1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia yang memiliki masyarakat majemuk menempatkan masyarakat pada keadaan yang sangat membutuhkan pengertian antara satu yang lainnya, saling menghormati dan bertoleransi satu dengan yang lainnya demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Toleransi ini dibutuhkan untuk menjaga perdamaian antar masyarakat yang datang dari suku dan etnis yang berbeda pemikiran dan cara hidup yang dipraktekkan sehari-hari, begitu juga dalam perbedaan-perbedaan yang lain seperti perbedaan dalam kedudukan sosial maupun ekonomi, budaya dan agama. Pada masa pasca pemerintahan Soeharto telah terjadi beberapa konflik antar agama maupun antar etnik yang cukup mengancam bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang memakan korban jiwa yang tidak sedikit (Poso atau Maluku Ambon tahun 1998). Hal ini menuntut adanya antisipasi akan kejadian serupa sebagain upaya untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah dengan melibatkan seluruh masyarakat
untuk
memahami
kemajemukan
masyarakat
bangsa
dan
mengembangkan sikap saling menghormati dan menghargai satu sama lain dan bertoleransi dalam menghadapi pihak lain yang berbeda identitas, pemikiran maupun berbeda pemikiran. Beberapa upaya telah dilakukan salah satunya dengan mengevaluasi dan mencoba mencari solusi pada aspek pendidikan yang ada di Indonesia khususnya
2
pendidikan agaman di dalamnya. Sebuah Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2004-2006 di Yogyakarta menyatakan bahwa pendidikan keagamaan di Indonesia “belum
memberikan
kondisi
mempersatukan
bangsa
dalam
corak
multikulturalisme bangsa untuk menyikapi ragam agama di Indonesia melainkan justru memperuncing perbedaan agntar agama” (Listia et al 2007: xv). Lebih jauh hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa kota Yogyakarta memiliki masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi akan pemahaman yang multikultur dan mendidik para generasi mudanya untuk bersikap saling menghormati satu sama lain dalam masyarakat yang majemuk. Namun hal ini menimbulkan pertanyaan bagi penulis bagaimanakah pendidikan agama di sekolah memberikan kontribusinya terhadap upaya meningkatkan semangat persatuan dan kesatuan negara bagi para siswanya mengingat dalam kenyataannya juga terdapat sekolahsekolah yang cukup baik dalam memelihara keharmonisan antar agama maupun budaya yang ada di dalam sekolah tersebut. Beberapa model pendidikan agama di sekolah telah dirumuskan berdasarkan beberapa kategori. Zainal Abidin Bagir menuliskan dalam artikelnya bahwa pendidikan mengenai agama terbagi atas berbagai bentuk dan dalam berbagai konteks. Model pendidikan yang pertama adalah pendidikan agama yang bertujuan untuk menginternalisasikan suatu agama tertentu kepada penganutnya yang disebut mono religious education. Pendidikan agama seperti ini juga disebut pendidikan agama sebagai “instruksi” atau bersifat instruktif yaitu mengajarkan perintah suatu agama tertentu dari agama tertentu tersebut secara eksklusif. Hal ini berimplikasi pada ekslusivisme dalam pengajaran agama dan jika agama lain
3
diajarkan dalam pendidikan semacam ini tentu saja akan diberikan dengan menggunakan suatu perspektif agama tertentu dalam model mono religious education tersebut tanpa melihat dari “perspektif agama lain” yang dikenalkan. Hal ini menunjukkan bahwa ada satu agama tertentu yang dinyatakan sebagai agama yang lebih superior diantara agama lainnya. Pendidikan agama yang ke dua adalah, pendidikan agama bercorak pemahaman multikultural yang disebut multireligious education. Pendidikan agama seperti ini bisa merupakan bagian dari pendidikan multikultural yang biasanya banyak membahas tentang etnisitas dan dampak dari imigrasi. Pendidikan semacam ini bertolak pada keinginan untuk memahami agama-agama lain yang dibawa para imigran dari luar ke dalam negaranya Pendidikan yang bercorak multikultural ini banyak diterapkan di negara-negara sekuler Eropa dan di negara-negara sekuler di Amerika Utara. Multi religious education mengajarkan semua agama sebagai secara objektif dan netral tanpa menempatkan satu agama tertentu sebagai agama yang superior di antara agama-agama yang lainnya. Model Pendidikan agama selanjutnya adalah inter-religious education yang memiliki dasar yang sama dengan multi-religious education, dengan sedikit perbedaan di mana model pendidikan ini melihat adanya potensi untuk saling mengisi antara satu agama dengan agama yang lainnya. Hal ini berbeda dengan multi-religious education yang tidak bertujuan untuk memperkuat atau memperkaya suatu pemahaman agama apa pun (Bagir, 2008: 3-5). Dari penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwasanya pendidikan monoreligious merupakan model pendidikan searah yang memberikan pemahaman
4
agama secara eksklusif kepada para peserta didiknya. Kemudian pendidikan multireligious dan inter-religious merupakan pendidikan agama yang memberikan berbagai persepektif kepada para peserta didik dalam hal agama. Dengan berbagai perspektif yang diberikan tersebut, diharapkan para siswa dapat lebih menerima berbagai perbedaan yang ada baik itu perbedaan dalam hal agama maupun dalam hal lainnya dan dapat tetap saling menghormati dan menghargai antara satu dengan yang lainnya tanpa menganggap perbedaan itu sebagai sesuatu yang perlu atau bahkan harus menjadi pemisah antara satu golongan dengan golongan yang lainnya. Sekolah-sekolah formal yang ada di Indonesia mengajarkan pendidikan agama bagi para siswanya sebagaimana pendidikan agama ini telah diwajibkan oleh pemerintah. Maka dari itu, pendidikan agama dengan model pendidikan agama yang diterapkan di sekolah-sekolah formal menjadi hal yang penting dan menarik untuk dipelajari lebih jauh. Beberapa penelitian dan survey terdahulu atas tingkat toleransi siswa tingkat SMA di Yogyakarta menyatakan bahwa hanya sebagian kecil dari siswa yang disurvey memiliki tingkat toleransi yang tinggi. Hasil survey yang dilakukan oleh LKIS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) pada tahun 2009 menyatakan bahwa 6,4% responden memiliki pandangan yang rendah dalam hal toleransi, kemudian 69,2% lainnya memiliki pandangan yang sedang, dan sisanya 24,3% memiliki pandangan yang tinggi terhadap toleransi. Kemudian dijelaskan pula bahwa 31,6% memiliki perilaku/tindakan dengan tingkat toleransi yang rendah, 68,2% lainnya pada tingkat yang sedang, dan sisanya hanya sebanyak 0,3% yang menempati tingkat yang tinggi dalam hal toleransi (Wajidi, 2009: 31).
5
Keadaan tersebut mendapatkan perhatian dari berbagai pihak yang mengupayakan berkembangnya sikap toleransi para siswa melalui pendidikan agama yang ada di sekolah. Dari beberapa pelatihan tersebut, para guru agama baik dari sekolah swasta maupun negeri di Yogyakarta turut diundang dan banyak di antaranya yang memberikan sambutan yang baik akan adanya upaya menghidupkan sikap saling menghargai antar sesama siswa melaui nilai-nilai multikultural yang bisa digunakan sebagai sumber inspirasi dalam praktik pendidikan agama di sekolah. Lebih jauh lagi, di antara para guru tersebut terdapat beberapa yang telah mempraktikkan dan bahkan mengembangkan pendidikan agama bermuatan nilai-nilai multikulturalisme dari kearifan budaya lokal yang menjadi salah satu dari sumber kekayaan bangsa Indonesia. Usaha tersebut dapat menjadi solusi dari permasalahan yang diungkapkan oleh Abdul Rahim Yunus, penulis artikel pendidikan dan toleransi di Indonesia, menyatakan bahwa model pendidikan Sekolah di Indonesia belum banyak memberikan kontribusi yang berarti dalam membangun budaya toleransi, dan bahkan pendidikan bercorak agama cenderung eksklusif dan fanatis karena kurang bernuansa pluralis dan inklusif (Yunus, 2007: 10). Beberapa hasil survey atas toleransi siswa yang telah disebutkan di awal dan adanya pelaksanaan pendidikan agama formal di sekolah yang memasukkan nilai-nilai multikultural di dalam proses pembelajarannya membuat penulis tertarik untuk meneliti pendidikan agama dan praktik toleransi siswa yang telah mendapat pelajaran agama di sekolah tersebut. Pada penelitian ini, toleransi yang dibahas adalah toleransi beragama yang mencakup toleransi antar-umat beragama
6
maupun toleransi intern-umat beragama. Dengan kedua cakupan tersebut, membutuhkan adanya populasi yang memiliki keragaman atau perbedaan dalam agama dan juga populasi yang memiliki keragaman aliran dalam suatu agama. Hal ini menjadi pertimbangan di dalam memilih tiga SMA yang di dalamnya memiliki keragaman agama maupun aliran agama di dalamnya. Untuk itu penulis mengambil tiga sekolah di Yogyakarta yang menjadi perwakilan sekolah tingkat SMA dari sekolah umum negeri yaitu SMAN 7 Yogyakarta, kemudian perwakilan sekolah swasta yaitu SMA Tamansiswa Yogyakarta, dan SMA PIRI 1 Yogyakarta. Sekolah-sekolah tersebut memiliki guru yang telah mengikuti workshop pendidikan multikultural yang diharapkan dapat dipraktikkan pada pelaksanaan
pendidikan
agama
dengan
corak
multikultural
yang
mempertimbangkan kondisi dan situasi siswa yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda di sekolah masing-masing. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah tersebut penulis menyusun Rumusan Masalah sebagai berikut ini: a. Bagaimanakah model pendidikan agama dan karakter pendidikkan multikultural di SMAN 7 Yogyakarta, SMA Tamansiswa Yogyakarta, dan SMA PIRI 1 Yogyakarta? b. Bagaimanakah praktik toleransi siswa di tiga sekolah tersebut? c. Faktor penting apakah yang berpengaruh pada praktik pendidikan multikultural di tiga sekolah tersebut?
7
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian yang dilaksanakan di sekolah tingkat SMA di kota Yogyakarta ini adalah: a. Mengetahui bagaimanakah model pendidikan agama dan karakter pendidikan multikultural di SMAN 7 Yogyakarta, SMA Tamansiswa Yogyakarta, dan SMA PIRI 1 Yogyakarta. b. Mengetahui bagaimanakah praktik toleransi siswa di SMAN 7 Yogyakarta, SMA Tamansiswa Yogyakarta, dan SMA PIRI 1 Yogyakarta. c. Mengetahui faktor-faktor penting apakah
yang mempengaruhi
pelaksanaan pendidikkan multikultural di SMAN 7 Yogyakarta, SMA Tamansiswa Yogyakarta, dan SMA PIRI 1 Yogyakarta. d. Mendapatkan gambaran pelaksanakan pendidikan agama yang dapat dijadikan sebagai bahan inspirasi bagi sekolah lainnnya dalam melaksanakan pendidikan agama dengan corak multikultural di sekolah. 1.4
Kajian Pustaka James A. Banks menulis “An Introduction to Multicultural Education”
pada tahun 2002. James menjelaskan tentang konsep pendidikan multikultural dengan definisi-definisinya, strategi-strategi di dalamnya, dan hal-hal prinsip lainnya dalam diskursus pendidikan multikultural. Tulisan ini akan bermanfaat untuk memahami konsep pendidikan multikultural sebelum melihat dan menggali lebih jauh nilai-nilai pendidikan multikultural yang ada dalam praktik pendidikan
8
agama dan pendekatan multikultural yang diterapkan di sekolah-sekolah yang menjadi subjek penelitian dari tesis ini (Banks, 2002). Robert Jackson menulis artikel berjudul Tolerance in Religious and citizenship education: Interpretive and dialogical approaches pada tahun 2007. Tulisan ini fokus pada isu yang membahas tentang toleransi antar agama dalam hubungannya dengan sekolah, terutama pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan di Eropa. Robert menjelaskan konsep dari toleransi, penghormatan, dan dan pengakuan dan pengertian antar satu dengan yang lain, kemudian ia menghubungkannya dengan beberapa pendekatan pedagogik. Ia menyimpulkan bahwa pengetahuan dan pemahaman sangat dibutuhkan, akan tetapi hal tersebut belum cukup dalam mengupayakan pengurangan sikap prasangka buruk terhadap pihak lain, yang merupakan tantangan utama dari sikap toleran.
Dibutuhkan suatu hal yang lebih yang ia sebut dengan “reflexive
approach in which students can engage with their own values and assumptions by engaging with material about others’ belief and values (Jackson, 2007). Carl Sterkens dan Muhammad Yusuf menulis “Preferences for Religious Education and Inter-Group Attitudes among Indonesian Students” (Sterkens, 20015: 48-49). Artikel ini menyajikan suatu penelitian yang mencoba menganalisis kecenderungan pilihan para pelajar di Indonesia dalam memilih model pendidikan agama. Dalam kesimpulan dari artikel tersebut dijelaskan bahwa secara umum, para pelajar di Indonesia baik yang beragama Islam, Kristen maupun Hindu lebih memilih pendidikan agama dengan model mono-religious dibandingkan dengan pendidikan model inter-religious. Hasil lain dari penelitian
9
ini menunjukkan bahwa pada semua model pendidikan agama, aspek attitude dan terkadang bersamaan dengan aspek affective adalah aspek yang paling dominan. H.A.R Tilaar menulis “Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia” pada tahun 2002. Tulisan ini membahas tentang pendidikan multikulturalisme yang secara praktis diterapkan dalam konteks Indonesia. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui dan memahami bagaimana diskursus dari pendidikan multikultural, khususnya yang dipraktikkan pada pendidikan agama formal di sekolah dalam konteks keindonesiaan, mengingat penelitian dalam tesis ini dilakukan di sekolah-sekolah yang berada di kota Yogyakarta, salah satu daerah istimewa di Indonesia (Tilaar, 2002). Pada tahun 2006, Sofyan Tan wrote “Pendidikan Multikulturalisme: Solusi Ancaman Disintegrasi Bangsa, Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda, Medan”. Ia menjelaskan bahwa pendidikan multikultural sebagai suatu konsep membutuhkan suatu model praktis untuk mempermudah praktik pelaksanaannya. Ia mengelaborasi suatu model institusi pendidikan yang mengaplikasikan konsep pendidikan
multikultural
secara
menyeluruh
dimana
institusi
tersebut
menyediakan suatu ruang bagi para siswa yang berasal dari beragam latarbelakang agama, suku maupun ras, untuk hidup bersama dalam satu asrama, satu sekolah dan satu kegiatan dalam berbagai kegiatan sosial yang dilakukan. Tulisan ini juga menjelaskan tentang dialog antar agama dalam kehidupan sehari-hari di antara para siswa yang berbeda agama (Tan, 2006: 36-39). Abdur Rahim Yunus, Pendidikan Toleransi dalam Konteks Indonesia. Ia menjelaskan dua model untuk mewujudkan toleransi antar umat beragama yaitu
10
bersifat top down (dari peraturan pemerintah) dan bottom up: upaya pembudayaan dalam masyarakat. Model yang kedua dilakukan dengan cara ditanamkan pandangan, sikap, perilaku toleransi pada individu sejak dini melalui pembiasaan atau pendidikan. Dijelaskan bahwasanya inti toleransi adalah: menghargai yang lain dan menghilangkan kecurigaan terhadap yang lain karena menjadi penyebab ketidakharmonisan. Toleransi menginginkan kehidupan yang rukun dan damai di antara penganut agama berbeda. Pandangan, sikap, dan perilaku toleran tidak bisa dipaksakan namun hanya bisa hadir melalui kesadaran diri seorang individu. Kesadaran yang toleran tersebut hanya bisa tercapai jika bangsa yang memiliki beragam agama telah memiliki kecerdasan untuk menentukan mana yang baik dan mana yang benar. Pendidikan merupakan pencetak generasi bangsa yang mampu mendidik masyarakat menjadi masyarakat yang cerdas dan memiliki kesadaran untuk bertoleransi demi kehidupan bersama yang aman dan damai (Yunus, 2007: 4). 1.5 Landasan Teori Dilihat dari tujuan pembelajarannya, terdapat beberapa tipe pendidikan agama yang diterapkan di sekolah sebagaimana dijelaskan oleh Robert Jackson. Tipe yang pertama adalah Educating into religion yang dalam pengajarannya melibatkan satu tradisi agama tertentu, diajarkan oleh insider atau guru yang berasal dari tradisi keagamaan yang sama, dan sering berfokus pada menyiapkan para siswa untuk mempercayai agama dan untuk memperkuat iman mereka. Contoh dari model pendidikan ini adalah sebagaimana yang diterapkan di sistem pendidikan negara Italia (Jackson, 2007: 3).
11
Tipe pendidikan agama yang kedua adalah educating about religion, yang merupakan pendidikan agama dengan metode deskriptif dan historis, tanpa bermaksud untuk memperkuat atau pun mengurangi suatu kepercayaan terhadap agama yang dipelajari tersebut. Tipe pendidikan ini adalah seperti yang telah dipraktekkan di pendidikan agama negara Estonia (Jackson, 2007: 3-4).
Tipe pendidikan agama yang selanjutnya adalah educating from religion, yang merupakan pendidikan agama dengan pendekatan yang mempertimbangkan berbagai macam respon terhadap agama dan moral untuk mengembangkan pemahaman mereka terhadap hal-hal yang berkaitan dengan agama. Pendidikan agama model ini diterapkan di English Community School System dengan dipadukan sekaligus bersama pendidikan tipe educating about religion (Jackson, 2007: 4).
Dalam “A Theory of Tolerance”, Giacomo Corneo and Olivier Jeanne menjelaskan bahwa perilaku toleransi bisa terwujud dalam masyarakat melalui berbagai pondasi yang ia dapat berkembang di dalamnya. Perilaku toleransi berarti bahwa seseorang itu bisa berpikir positif dan memandang baik terhadap symbol atau atribut yang berbeda dari yang ia miliki. Toleransi idealnya bisa memberikan manfaat bagi pribadi orang yang memiliki sikap toleransi teersebut seperti adanya kepercayaan terhadap potensi dirinya dan memiliki pikiran dan pandangan yang terbuka untuk memperluas interaksi sosial yang dimiliki (Corneo, 2009: 27).
12
Selanjutnya, toleransi menurut Andrew Jason Cohen, dapat terwujud dengan adanya delapan syarat atau kondisi yang membentuknya. Delapan syarat itu adalah: an agent’s b. intentional and c. Principled d. refraining from interfering with e. an opposed f. other (or their behavior, etc ) g. in situations of diversity, where h. the agent believes she /he has power to interfere (Cohen, 2009: 14). Penulis mengartikan bahwa yang dimaksudkan Andrew sebagai delapan syarat tersebut adalah, pribadi atau sesuatu yang memiliki kekuatan untuk bertindak, secara sengaja, berprinsip, menahan diri untuk tidak menginterfensi terhadap suatu hal yang suatu hal yang bertentangan, dari orang lain, (atau perilaku orang tersebut), dalam situasi yang terdapat perbedaan di dalamnya, dimana pribadi tersebut menyadari bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk mengintervensi. Suatu sikap toleransi dapat terbentuk dengan adanya gabungan dari berbagai unsur. Di antara unsur-unsur tersebut adalah delapan syarat sebagaimana telah disebutkan oleh Andrew dalam artikelnya. Pendapat lain menjelaskan bahwa, toleransi didefinisikan sebagai anggapan atau prasangka yang baik terhadap orang atau perilaku yang lain, hormat terhadapa perbedaan, dan tidak mengintervensi bnyak hal yg berbeda dari dirinya. Dalam penelitian ini, toleransi adalah hal yang bisa ditemukan baik toleransi intern umat agama maupun antar umat agama (Wiwit, 2013: 10). Toleransi berasal dari bahasa latin “Tolerare” yang artinya adalah “enduring” atau menahan (diri) dari sesuatu. Toleransi adalah standar minimal untuk dapat mencapai perdamaian hidup antar umat beragama (Corneo, 2009). Terdapat beberapa kesadaran yang
13
ditawarkan untuk dasar pendidikan toleransi yaitu kesadaran pluralitas agama, nasionalisme, humanism, inklusivisme, dan sekularisme (Yunus, 2007: 14).
1.6 Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang dilakukan di tiga sekolah yang ada di Yogyakarta. Tiga sekolah tersebut adalah SMA yang di dalamnya memiliki keragaman agama maupun aliran agama dan juga memiliki guru yang telah mengikuti workshop pendidikan multikultural secara berkala, yaitu SMAN 7 Yogyakarta, SMA Tamansiswa Yogyakarta, dan SMA PIRI 1 Yogyakarta. Dalam penyusunan tesis ini, peneliti menggunakan metode penelitian campuran, atau kombinasi dari penelitian kualitatif dan kuantitatif yang akan dijelaskan dalam meode penelitian yang meliputi jenis penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif (Muleong, 1994: 160) dan dilengkapi
beberapa data pendukung yang
menggunakan data kuantitatif. Data primer (Muleong, 1994: 112) dari penelitian ini adalah hasil observasi dan wawancara bersama guru agama dan siswa di SMAN 7, SMA Taman Siswa, dan SMA PIRI I Yogyakarta. Kemudian data sekunder dari penelitian ini adalah hasil survey terhadap toleransi siswa-siswi di sekolah dan dokumentasi pendidikan agama dan kegiatan siswa SMAN 7, SMA Taman Siswa, dan SMA PIRI I Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan beberapa teknik dalam pengumpulan data yaitu metode observasi, interview atau wawancara, kuesioner atau wawancara
14
tertulis, serta menetukan sejumlah sampel dan populasi. Metode observasi merupakan metode pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang akan diselidiki. Dalam arti luas observasi tidak terbatas pada pengamatan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung (Hadi, 1990). Jadi, observasi dilakukan dengan jalan mengamati dan mencatat obyek yang akan diteliti. Melalui observasi, peneliti ingin memahami praktek pendidikan agama dan toleransi yang ada di sekolah-sekolah yang dijadikan sebagai subjek penelitian.
Metode interview atau wawancara merupakan metode yang dilakukan berupa tanya jawab seputar penelitian. Metode wawancara digunakan untuk mendapatkan informasi dari obyek penelitian. Dengan kata lain, metode wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan jalan mengadakan komunikasi dengan sumber data. Adapun jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak berstruktur dan wawancara pembicaraan informal.
Penelitian ini dilakukan di 3 sekolah menengah atas di Yogyakarta. Untuk itu penulis mengambil 3 sekolah di Yogyakarta yang menjadi perwakilan sekolah tingkat SMA dari sekolah umum negeri yaitu SMAN 7 Yogyakarta, kemudian perwakilan sekolah swasta yaitu SMA Tamansiswa Yogyakarta, dan SMA PIRI 1 Yogyakarta. Sekolah-sekolah tersebut memiliki praktik pendidikan agama dengan pendekatan multikultural yang mempertimbangkan kondisi dan situasi siswa yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda.
15
Sekolah yang pertama, yaitu SMA PIRI I. SMA PIRI 1 adalah Sekolah tingkat Menengah yang berada dalam naungan Yayasan PIRI (Perguruan Islam Republik Indonesia). Yayasan ini dipelopori oleh H. Minhajurrahman Djojosugito yang mengadopsi Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) aliran Lahore sebagai dasar pembentukannya. Pendirian sekolah-sekolah yang berada di bawah Yayasan PIRI merupakan langkah yang dilakukan untuk dapat mewujudkan tujuan Yayasan yang tertuliskan dalam Anggaran Dasar Yayasan PIRI (Marliani, 2004: 1). SMA PIRI Yogyakarta berdiri pada tanggal 01 Oktober 1947 dan berkembang menjadi SMA PIRI I Yogyakarta di Komplek Baciro dan SMA PIRI 2 Yogyakarta di Pugeran. SMA PIRI I mendapatkan status disamakan pada tanggal 17 Januari tahun 1985 berdasarkan SK Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor: 607/C/Kep/1/1985, dan saat ini SMA PIRI I Yogyakarta dikepalai oleh Bapak Drs. M. Alie Arie Susanto (Marliani, 2004: 3-4). SMA I PIRI Yogyakarta memiliki 139 Siswa yang terbagi dalam 6 kelas yaitu X, XI, dan XII IPA maupun IPS. Sekolah ini memiliki prestasi dengan tingkat kelulusan 100% dan juga memiliki potensi di banyak bidang seperti teater, karya tulis maupun esai yang telah mendapatkan beberapa penghargaan yang diarih oleh siswa SMA PIRI I ini (Marliani, 2004: 4-5). Guru agama yang mengampu pendidikan agama di sekolah ini ada dua orang yaitu Dra. Anis Farikhatin, Mpd. yang juga menjabat wakil kepala sekolah sekaligus humas dan yang ke dua adalah Drs. Sururi. Pendidikan agama di sekolah ini diberikan dalam bentuk mata pelajaran Agama Islam dengan memasukkan
16
nilai-nilai multikultural dalam beberapa pokok bahasan yang akan diterangkan lebih lanjut pada pembehasan model pendidikan agama di SMA PIRI Yogyakarta. Tempat penelitian yang dipilih selanjutnya adalah: SMA Taman Siswa Jetis. SMA Taman Siswa Jetis ini berdiri sebagai perkembangan dari berdirinya Perguruan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922 (bersamaan dengan hari Senin kliwon tanggal 8 tahun 1340 Hijriyah. Pendidikan dan pengajaran nasional dilakukan oleh Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Perguruan ini awalnya bernama “nationaal onderwijks institute taman siswo” atau “Perguruan Nasional Taman Siswa”. Berdirinya Taman siswa memiliki tanda yang disebut dengan “candrasengkala”, “lawan: 2, sastra:5, ngesti:8, mulya:1”, (tahun Jawa 1852)
yang maksudnya dengan ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan
mencapai kemuliaan (Winata, 2015: 7-10). SMA Taman Madya berdiri pada tahun 1956, dan sekarang dikepalai oleh Ki Sriyana S.Pd, sejak tahun 2012-sekarang. Di sekolah ini terdapat siswa Islam, Katolik, Kristen dan juga siswa Hindu. Dalam Standar kompetensi pendidikan agama Islam, ada yang khusus tentang adanya kompetensi siswa dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang anjuran bertoleransi. Di dalam standar kompetensi tersebut disebutkan bahwa murid diharapkan untuk bisa memahami kandungan ayat tentang toleransi dan juga memahami perilaku yang benar dalam praktik toleransi tersebut.1 Dari sini dapat dilihat bahwa siswa mendapatkan materi pelajaran dalam pendidikan agama mengenai toleransi baik dari segi pemahaman maupun praktiknya. Peserta didik atau semua siswa berjumlah 121 1
Terdapat dalam Kisi-kisi Ujian Sekolah Berstandar nasional (Pendidikan Agama Islam SMA Tahun 2014/2015).
17
siswa, yaitu kelas X sebanyak 42 siswa, kelas XI sebanyak 29 siswa, dan kelas XII sebanyak 51 siswa. Sekolah lainnya adalah SMA N 7 Yogyakarta yang didirikan pada tanggal 1 Juli tahun 1983. Sekolah yang telah mendapatkan akreditasi A ini beralamat di Jalan MT. Haryono 47 Yogyakarta. Untuk jumlah siswa, setiap tingkat terdiri dari 8 kelas dan tiap kelasnya terdiri dari 32 siswa. Jumlah keseluruhan siswa adalah 768 siswa. Dari keseluruhan siswa tersebut, mayoritas beragama Islam, dan sekitar 20 siswa beragama Katolik, sedangkan Kristen sebanyak 15 siswa. Sebagai narasumber yang memberikan informasi yang diperlukan melalui proses wawancara, penulis mengambil satu guru yang mewakili mata pelajaran agama yang ada di sekolah masing-masing, dan satu sampai dua orang siswa yang mewakili agama yang ada dalam setiap sekolah dengan metode snowballing sehingga mendapatkan narasumber yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan (Jane Ritchie, Jane lewis, eds. 2003: 94). Wawancara dilakukan secara semi formal dengan beberapa catatan pertanyaan yang penulis siapkan untuk mendapatkan informasi dari narasumber secara maksimal. Untuk mendapatkan data yang menyeluruh mengenai gambaran toleransi siswa di sekolah, peneliti menggunakan kuesioner yang akan diberikan kepada sebanyak 208 siswa sebagai sampel dari keseluruhan populasi siswa di tiga sekolah yang menjadi tempat penelitian. Dalam menentukan sampel yang disurvey, peneliti menggunakan sistem kuota yang bertujuan memenuhi jumlah 208 siswa yang tersurvey sebagai bahan kelengkapan data untuk bisa dianalisis.
18
Survei yang merupakan data tambahan untuk mengetahui tingkat toleransi siswa tersebut, penulis mengambil 20, 24% dari seluruh populasi siswa yang berjumlah 1028 siswa, sebagai jumlah yang dapat mewakili 100% dari seluruh populasi. Jumlah tersebut dijabarkan dengan rincian sebagai berikut: Nama sekolah:
populasi
Sampel
SMAN 7 Yogyakarta:
768
114
SMA Taman Siswa Yogyakarta:
121
41
SMA PIRI I Yogyakarta:
139
53
_________________ + 1028
208
Data yang diperoleh di lapangan ditulis dalam bentuk uraian dan atau laporan terinci. Laporan-laporan itu kemudian direduksi, dirangkum dan dipilih hahal-hal yang pokok yang disusun secara sistematis (Arikunto, 1993: 202). Untuk data yang diperoleh dari data survey, akan dilakukan teknik analisis menggunakan analisis staistik dan menggunakan program Microsoft Excel untuk mendapatakan data deskriptif dari tingkat toleransi siswa yang telah disurvey. Langkah ini dilakukan untuk menjadikan data-data yang rumit sehingga tampak lebih praktis dalam bentuk tabel atau grafik. Selanjutnya tabel atau grafik tersebut dijelaskan dengan penjabaran dalam bentuk paragraf yang memuat penggambaran data secara apa adanya. Tujuan dari data ini adalah untuk
19
menyajikan data asli yang dari data yang masih murni tersebut dapat dianalisis atau diinterpretasikan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan. Dari data-data yang diperoleh, penulis mengambil pokok-pokok yang dituangkan berupa kesimpulan-kesimpulan yang kemungkinan apabila masih kabur dicarikan dan ditambah dengan data-data baru sampai mencapai kesimpulan yang valid. Penarikan kesimpulan ini adalah hasil dari pembacaan dari keseluruhan data dan analisa yang menyeluruh terhadap data-data tersebut. Penarikan kesimpulan hanya bisa dilakukan setelah dilakukan interpretasi, analisis dan merupakan hasil pembacaan terhadap data-data yang membangun suatu kesimpulan itu sendiri. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian dengan metode campuran karena menggunakan data berupa hasil survey awal yang dianalisis dan disajikan dalam bentuk angka. Namun begitu penelitian dan analisis yang digunakan adalah mengutamakan pendekatan kualitatif sebagaimana dijelaskan di awal. 1.7 Sistematika Pembahasan Bab 1 dari penelitian ini berisis latar belakang masalah, rumusan masalah, studi pustaka serta kerangka teori dan metode penelitian yang akan dipakai dalam melaksanakan penelitian berikut dengan penulisannya. Kemudian pada Bab 2 penelitian ini berisi tentang penjelasan mengenai Model Pendidikan Agama dan teori Toleransi. Dalam penjelasan pendidikan agama, penulis memberikan penjelsan model pendidikan agama dan alternatif ada selain bebrapa model pendidikan agama tersebut sekaligus penjelasan tentang sekilas pelaksanaan pendidikan agama di Indonesia. Kemudian dalam penjelasan toleransi, penulis
20
menjelaskan beberapa konsep dan teori toleransi kemudian mengajukan satu teori yang akan dijadikan sebagai parameter untuk mensurvey toleransi para siswa yang akan dibahas dalam bab selanjutnya. Pada Bab 3, akan dipaparkan data dari hasil wawancara dan observasi mengenai model pendidikan yang dilaksanakan di 3 sekolah yang diteliti diikuti dengan pemaparan mengenai pola pendidikan multikultural yang dipraktikkan pada masing-masing sekolah. Kemudian pada Bab 4, akan dijelaskan mengenai hasil survei tingkat toleransi para siswa di 3 sekolah tersebut dengan beberapa penjelasan yang menjadi temuan dan analisis peneliti terhadap data yang ada, dilanjutkan dengan analisis dari hubungan antara pendidikan agama yang diterapkan di sekolah dengan tingkat toleransi siswa yang telah disajikan di bab sebelumnya. Selanjutnya, Bab yang terakhir berisi kesimpulan.