BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Hans Kohn dalam Buasan (2012:3) mendefinisikan nasionalisme sebagai formalisasi (bentuk) dari kesadaran berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, secara fundamental nasionalisme timbul dari adanya kesadaran nasional untuk menjaga kekuatan sebuah bangsa (semangat kebangsaan). Konsep
nasionalisme
sendiri
lahir
ketika
Ben
Anderson
mengungkapkan gagasannya mengenai terminologi awal nasionalisme. Anderson, seperti yang dikutip oleh Hendrastomo (2007:4) menjelaskan bahwa nasionalisme adalah sebuah komunitas politik berbayang yang dibayangkan
sebagai
kesatuan
terbatas
dan
kekuasaan
tertinggi.
Terminologi “berbayang” dalam konsep ini diterjemahkan sebagai adanya benang merah atau ikatan tak kasat mata antar anggotanya. Ikatan ini membentuk adanya jaringan persaudaraan tanpa batas yang terbentuk di dalam sebuah kelompok masyarakat. Nasionalisme berakar dari sistem budaya suatu kelompok masyarakat yang tidak saling mengenal satu sama lain. Kebersamaan dalam gagasan mengenai suatu bangsa dikonstruksikan melalui khayalan yang menjadi
1
materi dasar nasionalisme. Dalam konteks Indonesia, Anderson memberikan pandangannya bahwa nasionalisme di Indonesia pada awalnya terbentuk dari adanya suatu khayalan akan bangsa yang mandiri dan bebas dari kekuasaan kolonial dan kesatuan media komunikasi, yakni bahasa Indonesia (Hendrastomo, 2007:4). Pernyataan Anderson tersebut didukung oleh Ilahi (2012:5), yang menjelaskan bahwa nasionalisme Indonesia lahir atas kesadaran masyarakat untuk lepas dari kungkungan penjajah dan segala bentuk eksploitasi serta diskriminasi yang mengganggu stabilitas politik, ekonomi, budaya, dan agama sekalipun. Gerakan kebangkitan nasional ditandai dengan kelahiran Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, yang sekaligus menjadi lahan subur bagi pemikiran tentang wawasan kebangsaan. Bangsa Indonesia merupakan negara pewaris kepulauan terbesar di dunia. Dengan ribuan pulau yang tersebar di seluruh penjuru nusantara, dapat dibayangkan betapa besarnya bangsa ini dengan segala keberagaman dan keunikannya. Bagi bangsa Indonesia, konsep persatuan dan kesatuan sangat bermakna, lebih bermakna daripada umumnya bangsa dan negara lain (Buasan, 2012:1). Kondisi ini menjelaskan bahwa tingginya semangat kesatuan yang terangkum dalam perilaku nasionalistik, berperan penting sebagai faktor penentu yang dapat menjaga keutuhan sekaligus ketahanan nasional di Indonesia. 17 Agustus 1945 dianggap sebagai momentum penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Momen kemerdekaan ini seakan menjadi buah
2
manis perilaku nasionalistik yang sempat terbangun dan mencapai klimaksnya ketika proklamasi dikumandangkan. Namun belakangan ini, beragam fenomena sosial yang mengarah pada indikasi tergerusnya nilainilai kebangsaan dan nasionalisme bermunculan di berbagai aspek. Mohammad
Baharun
dalam
Buasan
(2012:51-52)
merangkum
persoalan nasionalisme dalam tujuh fenomena yang rutin terjadi belakangan ini. Pertama, Pancasila sebagai ideologi bangsa dan dasar negara tidak lagi menjadi pijakan yang kokoh di kalangan anak bangsa. Pengkhianatan terhadap esensi Pancasila dimulai sejak jaman orde baru. Pada masa itu, Pancasila adalah dasar negara yang dijargonkan sebagai sesuatu yang sakral, tetapi sekaligus dikhianati karena jalan pemerintahan orde baru kemudian menempuh jalan diktaktorial militer “berbulu” demokrasi pembangunan. Kedua, bendera merah putih sebagai simbol bangsa dan negara hanya berkibar pada saat-saat tertentu, seperti peringatan HUT Kemerdekaan RI, misalnya. Kesadaran mengibarkan bendera nasional ini tampak kontradiktif dengan semakin menjamurnya jumlah bendera partai di sepanjang jalan. Ketiga, lagu Indonesia Raya sebagai lagu persatuan, sudah jarang berkumandang di acara-acara resmi, dikalahkan oleh lagu-lagu hiburan. Krisis kebangsaan ini terutama tampak pada masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia. Dalam wawancaranya dengan tribunnews.com, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Indonesia (MPR), Ahmad Farhan Hamid menyatakan bahwa anak-anak di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, masih banyak yang tidak hafal lagu Indonesia
3
Raya. Jangankan lagu kebangsaan, nama Presiden Indonesia pun mereka tidak tahu. Rupanya persoalan nasionalisme juga berakar dari masalah kurangnya pemerataan fasilitas pendidikan, terutama bagi mereka yang berada di daerah-daerah perbatasan. Keempat, hilangnya tradisi gotong royong dan semangat kebersamaan, yang perlahan namun pasti sudah berganti dengan sikap individualistis. Tergerusnya semangat kebersamaan ini tampak dari semakin menjamurnya perilaku saling menyerang, yang berujung pada konflik antar golongan di berbagai aspek kehidupan. Kelima, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak lagi menjadi bahasa resmi, bahkan sudah bercampur baur dengan bahasa asing dalam penggunaannya sehari-hari. Sebagian masyarakat malahan lebih lebih dihargai jika fasih menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari, dengan mengesampingkan fakta bahwa individu tersebut pada hakikatnya adalah orang Indonesia yang justru tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali. Keenam, Bhinneka Tunggal Ika tidak lagi menjadi perekat persatuan bangsa, maka perpecahan menjadi luka sosial yang parah di tengah rakyat. Anomali demokrasi dan toleransi multikulturalisme di Indonesia, yang terangkum dalam berbagai kejadian tidak bisa dimungkiri telah membunuh esensi Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri. Ketujuh, penegakan hukum tidak berjalan sesuai prosedur. Ibarat pisau, hukum memang tajam “ke bawah” akan tetapi tumpul “ke atas”. Sudah
4
bukan rahasia lagi bahwa aparat kepolisian bahkan pengadilan tinggi sekalipun, saat ini dapat dikategorikan sebagai sasaran paling empuk dalam hal menerima suap dan korupsi. Merosotnya semangat kebangsaan kemudian memicu timbulnya persoalan baru di tengah-tengah masyarakat, di mana dalam beberapa aspek, masyarakat bersikap seakan-akan bukan warga sebangsa. Bahkan beberapa kali negara dihinggapi isu-isu kemunculan pergerakan sekelompok masyarakat yang ingin melepaskan dirinya dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (Hendrastomo, 2007). Persoalan-persoalan ini kemudian diwacanakan lewat berbagai media komunikasi massa, salah satunya adalah melalui musik. Storey (2007:117) menjelaskan bahwa musik adalah jembatan komunikasi yang ideal bagi berbagai kalangan masyarakat. Nilai-nilai penting dalam musik populer, yang tentu saja bersifat kultural dan ekonomi, dewasa ini telah membawanya menjadi salah satu fokus sentral dalam cultural studies. Berwacana lewat musik, dianggap mudah untuk diterima dan dipahami oleh masyarakat. Hal ini semata-mata karena selayaknya komunikasi, kehidupan manusia tidak terlepas dari suara atau bunyi, yang menjadi akar dari penciptaan musik itu sendiri. Kreativitas seseorang dalam bermusik memang tidak bisa dibatasi. Kondisi sosial yang karut marut justru berbalik menjadi inspirasi tersendiri bagi para musisi. Insipirasi tersebut pada akhirnya direpresentasikan dalam lirik lagu yang tampaknya ‘hanya sekadar
5
lirik’, padahal makna sebuah lagu tidak bisa direduksi sebatas kata-kata di halaman kertas. Dalam lagu, kata-kata merupakan tanda dari suara. Musik populer tidak merayakan sesuatu yang diartikulasikan melainkan sesuatu yang tidak terartikulasikan, dan penilaian terhadap penyanyi pop tidak tergantung pada kata-kata melainkan pada bunyi – pada bunyi yang timbul di sekitar katakata (Storey, 2007:134). Indonesia pernah memiliki musisi-musisi yang sangat kental akan karakter sebagai musisi kritik sosial pada rezim orde baru. Sebut saja Iwan Fals, Harry Roesli, Mogi Darusman, dan Doel Soembang, yang beberapa kali dikenai peringatan pemerintah ataupun pemanggilan polisi karena lirik lagu-lagunya yang dinilai berani dalam merekam situasi sosial politik pada waktu itu. Berbagai pelarangan yang menghantui para musisi di rezim orde baru, didasarkan pada segi yang dianggap mengancam atau mengkritik status quo penguasa, serta menyangkut kritik terhadap penyalahgunaan wewenang dan korupsi (Mulyadi, 2009). Penulis lirik musik populer bekerja berdasarkan kewajaran bahasa. Mereka membuat ragam kata dan frase yang paling lumrah, tampak lebih bermakna dan bertujuan. Dengan kata lain, lagu-lagu populer memiliki kekuatan untuk menjadikan bahasa biasa menjadi intens dan vital. Bahasa yang mengepung tiba-tiba tampak terbuka – jika tidak bisa berbicara lewat sajak, maka bersuara melalui lagu pop bisa menjadi pilihan. Lagu-lagu
6
populer memberi pendengarnya cara untuk menolak kerutinan (Storey, 2007:137) Salah satu musisi sekaligus pemerhati situasi sosial di Indonesia yang beberapa tahun terakhir ini rutin menciptakan karya-karya musik populer adalah Pandji Pragiwaksono. Mengawali kariernya di dunia hiburan sebagai penyiar radio di Hard Rock FM Bandung pada 2001, saat ini Pandji telah menjelma menjadi satu dari sekian banyak orang yang mendedikasikan hidupnya sebagai seniman yang peduli terhadap kondisi sosial masyarakat. Menolak untuk berpartisipasi lewat cara yang rumit, Pandji memilih untuk menyuarakan ideologi dan gagasan-gagasannya lewat karya-karyanya yang unik. Sebagai musisi, Pandji memilih jalur hip hop sebagai media komunikasinya. Album hip hop pertamanya yang berjudul Provocative Proactive dirilis pada Maret 2008, disusul dengan album berjudul You'll Never Know When Someone Comes In And Press Play On Your Paused Life yang dirilis pada 2009, Merdesa pada 2010, dan 32 pada 2012 (Pragiwaksono, 2009). Dalam salah satu wawancara berjudul “Hip hop: Media Protes yang Membantu Saya” yang dilakukannya dengan hiphopindo.net, Pandji menegaskan bahwa hip hop adalah media protes yang ampuh untuk menyuarakan ragam kegelisahannya terhadap berbagai permasalahan krusial di Indonesia, seperti demokrasi, nasionalisme, sosial, politik, budaya, dan pendidikan. Salah satu yang paling rutin diteriakkan Pandji adalah mengenai
7
kegerahannya terhadap semangat kebangsaan anak muda, yang dewasa ini tampak meluntur. Selain melalui album-albumnya, Pandji juga melayangkan kritiknya terhadap nasionalisme di Indonesia lewat bukunya yang berjudul Nasional.Is.Me. Diambil dari istilah nasionalisme, dan digubah sedemikian rupa sehingga maknanya meluas menjadi, “Saya adalah Bangsa”. Dalam blog resminya yang bertajuk pandji.com, Pandji juga beberapa kali menyinggung perihal nasionalisme dalam gaya bahasa serupa dengan karyakaryanya yang lain: nyeleneh, lugas, jujur, tepat pada sasaran. Sebagai stand up comedian yang masih aktif hingga saat ini, berbagai persoalan sosial di Indonesia selalu berhasil dirangkumnya lewat cara yang sederhana dan cerdas. Keberanian dan akses yang dimilikinya dalam menyuarakan gagasan melalui berbagai platform inilah yang menjadikan Pandji sosok ideal untuk dikaji. Berangkat dari argumentasi faktual di atas, peneliti tertarik untuk menganalisis bagaimana wacana nasionalisme disampaikan Pandji lewat lirik-lirik lagunya yang terangkum dalam album Provocative Proactive dan Merdesa. Penelitian ini sekaligus juga dilakukan untuk menganalisis situasi sosial di tengah masyarakat yang memengaruhinya. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan musik diakui sebagai salah satu media komunikasi yang tergolong ampuh dalam memengaruhi cara pandang dan pola pikir masyarakat. Tidak hanya itu, musik juga pada akhirnya dipahami bukan hanya sebagai kumpulan lirik dan notasi yang melebur menjadi satu,
8
melainkan juga berlaku sebagai cerminan sosial kehidupan masyarakat yang faktual.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini: 1. Bagaimana nilai nasionalisme diwacanakan pada lirik-lirik lagu Pandji Pragiwaksono? 2. Apa motif produsen teks di balik pewacanaan nilai nasionalisme pada lirik-lirik lagu Pandji Pragiwaksono?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana nilai nasionalisme diwacanakan pada lirik-lirik lagu Pandji Pragiwaksono, sekaligus untuk menggali motif produsen teks – yaitu Pandji Pragiwaksono itu sendiri – di balik pewacanaan nilai nasionalisme pada lirik-lirik lagunya
9
1.4 SIGNIFIKANSI PENELITIAN
1.4.1
SIGNIFIKANSI AKADEMIS
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai informasi dan kajian tambahan dalam bidang ilmu komunikasi, khususnya terkait dengan wacana nasionalisme yang dibangun oleh para musikus lewat karya-karyanya.
1.4.2
SIGNIFIKANSI PRAKTIS
Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
berguna
untuk
memberikan gambaran bagi khalayak terkait perihal wacana nasionalisme yang dibangun Pandji Pragiwaksono lewat lirik lagunya, juga dapat menjadi masukan dan pertimbangan, khususnya bagi Pandji Pragiwaksono dan musikus Indonesia lainnya. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan bagi mahasiswa ilmu sosial dan komunikasi, baik civitas Universitas Multimedia Nusantara maupun lembaga pendidikan tinggi lainnya, serta masyarakat luas yang tertarik pada topik tentang Pandji Pragiwaksono, musik, kritik sosial, dan penelitian dengan menggunakan metode analisis wacana kritis.
10
1.5 BATASAN PENELITIAN
Karena cakupan penelitian ini cukup luas, maka pada penelitian ini, peneliti membatasi objek kajian hanya pada album Provocative Proactive dan Merdesa.
11