BAB III ANALISIS PEMBAHASAN
3.1. Pemikiran Politik Tjokroaminoto Mengenai Nasionalisme yang Berdasarkan Islam
Menurut Tjokroaminoto makna istilah nasional merupakan suatu usaha untuk meningkatkan seseorang pada tingkat natie (bangsa). Selanjutnya, ditambahkan pengertian nasional sebagai usaha untuk memperjuangkan tuntutan Pemerintahan Sendiri atau sekurang-kurangnya agar orang-orang Indonesia diberi hak untuk mengemukakan suaranya dalam masalah-masalah politik. 92 Hal ini menunjukkan adanya beberapa fase, dimana ketika seorang individu yang berbeda karakteristiknya seperti suku, agama, atau kultur disatukan dengan individu lain yang juga memiliki karakteristik berbeda sehingga membentuk suatu identitas baru yang mempersatukan diantara mereka menjadi suatu bangsa. Kemudian bangsa tersebut memperjuangkan hak-hak politiknya untuk dapat membentuk pemerintahan sendiri, mengatur bangsa dan wilayahnya sendiri, sehingga pada akhirnya dapat menentukan nasib bangsanya sendiri. Disini dapat dilihat bagaimana Tjokroaminoto terinspirasi dan bersimpati terhadap gerakan Pan-Islamisme. Ia dan rekan-rekannya di SI memang mencitacitakan politik Pan-Islamisme. Ia berharap dapat mempersatukan kekuatan Islam di Hindia (Indonesia) dalam rangka mewujudkan gagasan besarnya, PanIslamisme. Pan-Islamisme melihat perjuangan umat Islam di Hindia sebagai 92
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009, hal. 391
Universitas Sumatera Utara
bagian dari perjuangan umat Islam di Asia dan Afrika untuk menyingkirkan penjajah Eropa. Ia menjadikan referensi kemenangan Turki atas Yunani dan Armenia sebagai teladan bagi gerakan pembebasan Islam atas dominasi kolonial barat. Namun demikian penekanan utamanya tetap pada ’masalah-masalah nasional dan problem-problem umat Islam di Hindia.’ 93 Tjokroaminoto pernah merumuskan bahwa untuk menjalankan Islam dalam segala aspek kehidupan, ”bangsa Hindia (Indonesia) harus bersandar kepada sijasah (politik) yang berkenaan dengan bangsa dan Negeri tumpah darah sendiri, dan politik menuju maksud akan mencapai persatuan atau perhubungan dengan ummat Islam di lain-lain negeri (Pan Islamisme) agar dapat mencapai kemuliaan dan keluhuran derajat.” Atau dengan kata lain Tjokroaminoto menganggap bahwa ”pergerakan sijasah (politik) itu suatu kewajiban yang penting bagi orang Islam” karena dua kepentingan, yaitu untuk mencapai kemerdekaan umat dan agar kita dapat melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah S.W.T. Upaya untuk mencapai kemerdekaan dipertegas lagi bahwa ”tak boleh tidak kita kaum muslimin mempunyai kemerdekaan umat atau kemerdekaan kebangsaan (nationale urijbeid) dan mesti berkuasa atas Negeri tumpah darah kita sendiri.” 94 Tjokroaminoto melihat kebangkitan kembali Pan Islamisme di negaranegara Islam yang pergerakannya semakin baik, kuat, dan terorganisir. Tjokroaminoto dengan demikian meyakini bahwa sejarah akan berulang dimana umat Islam di seluruh dunia akan bersatu menjadi suatu bangsa yang kuat dan
93
Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942, Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008, hal.179 94 M. Masyhur Amin, H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, Yogyakarta : Cokroaminoto Universty Press, 1995, hal.39
Universitas Sumatera Utara
kemudian akan mengambil alih kepemimpinannya
yang dahulu
untuk
menginternalisasi kembali nilai-nilai Islam kepada golongan lain sehingga dapat menundukkan negeri Barat dan Timur. 95 Arti dari gerakan Pan Islamisme ini, menyiratkan bahwa setidaknya yang dibayangkan oleh Tjokroaminoto persatuan nasib. Islam maupun sekuler diakui sebagai unsur yang sedang berjuang demi nasionalisme. Tjokroaminoto sendiri amat menyadari adanya perbedaan karakteristik tersebut hingga menciptakan pluralisme dan kemajemukan dalam diri bangsa Indonesia. Kemajemukan ini terutama terletak pada beragamnya suku-suku yang ada di Indonesia. Dan kemajemukan ini pula-lah yang menjadi ’senjata’ bagi pemerintah Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Dengan jitu mereka menerapkan politik devide et impera lewat pembentukan kelas-kelas sosial yang berbeda di dalam kemajemukan suku tadi. Sehingga masing-masing suku membentuk
eksklusifitasnya
masing-masing
dan
mengedepankan
ikatan
primordialnya saja. Mengenai kentalnya ikatan primordial ini juga dinyatakan Tjokroaminoto dalam suatu pidato di tahun 1915 yang menyatakan bahwa di kalangan rakyat Indonesia masih terlalu sedikit perasaan persatuan kebangsaan. Orang Madura tidak merasa satu dengan orang Jawa, orang Jawa pun demikian dengan orang Sunda, dan orang Sunda demikian pula dengan orang Palembang. Namun, demi kemajuan dan kebangkitannya, di atas segala-galanya rakyat Indonesia harus berhati-hati. Sarana untuk mencapainya adalah agama Islam. Islam menghimpun semua orang karena tidak seorang pun di Hindia yang mau disebut bukan orang 95
Anhar Gonggong, H.O.S Tjokroaminoto, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, hal.111
Universitas Sumatera Utara
Islam, walaupun sedikit sekali pengetahuannya tentang agama Islam ini. Dalam istilah ’Oetoesan Hindia’, Islam adalah semen pengikat puluhan juta orang Indonesia. Islam juga sebagai alat untuk meningkatkan nasionalisme dan cinta tanah air. 96 Yang kemudian dipertegas lagi oleh beliau dalam pendapat yang disampaikannya di depan Kongres PSII XIX yang diadakan di Jakarta pada tahun 1933 yang judul pre-advisenya adalah Cultuur dan Adat Islam. Pada pidatonya tersebut Tjokroaminoto mengingatkan agar kaum muslimin jangan sampai meninggalkan kultur dan adat Islam atau bahkan sampai menukarnya dengan kultur segelintir golongan rakyat Indonesia. Walaupun perselisihan ini belum tampak terlalu besar namun kaum muslimin tidak boleh hanya bersikap netral atau diam dalam menghadapi perselisihan antara kultur Islam dengan kultur lainnya itu karena hanya akan merugikan kultur Islam saja. Maka seandainya umat muslim hanya diam saja dalam menghadapi perselisihan antar kultur tersebut, Tjokroaminoto mengkhawatirkan ikatan yang ada di antara umat muslim akan rusak dan menyebabkan mereka akan mudah terpecah belah satu sama lainnya ke dalam beberapa kelompok Islam dan satu sama lainnya saling membesarkan cita-cita kesukuannya masing-masing seperti ke-Maduraan, ke-Sundaan, ke-Jawaan, ke-Lampungan, ke-Minagkabauan, keBugisan, ke-Ambonan, dan lainnya. Tentu hal ini merupakan bahaya laten karena amat rentan untuk disusupi politik devide et impera Belanda. Jadi akan semakin sulitlah untuk mencapai persatuan. Untuk mengantisipasi hal tersebut kaum
96
A.P.E. Korver, Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil, Jakarta: Gratifipers, 1985, hal.56
Universitas Sumatera Utara
muslimin wajib menciptakan kultur Islam dengan dasar-dasar yang sebenarnya dan berusaha meng-sinkronkannya dengan pemikiran dan cita-cita modern. 97 Namun bukan berarti hanya umat Islam saja yang dapat mempersatukan dirinya ke dalam suatu bangsa (natie). Dalam Kongres Central Sarekat Islam (CSI) di Bandung (1916), Tjokroaminoto mengatakan bahwa: ”Kita cinta bangsa sendiri dengan kekuatan ajaran agama kita, agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan seluruh bangsa kita, atau sebagian besar dari bangsa kita. Kita cinta tanah air, dimana kita dilahirkan, dan kita cinta Pemerintah yang melindungi kita. Karena itu, kita tidak takut untuk meminta perhatian atas segala sesuatu, yang kita anggap baik, dan menuntut apa saja, yang dapat memperbaiki bangsa kita, tanah air kita dan pemerintah kita.” 98 Ucapan ini tentu yang dimaksudkan agar umat Islam dengan kekuatan agamanya dapat berperan mempersatukan bangsanya yang pluralis. Bukan dalam arti menjadikan seluruh bangsanya menjadi Islam. Karena ketika itu, bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya umat agama lain, berada pada posisi termarjinalkan oleh penjajah Belanda, selalu diperintah tetapi tak pernah mendapatkan hak untuk ikut memerintah. Hal ini semakin menguatkan perspektif beliau bahwa untuk membangun nasionalisme dalam arti yang luas, tidak dapat dibangun dari sesuatu yang general. Nasionalisme harus dibangun atas dasar kesamaan dan untuk itu diperlukan unsur pembeda guna membersihkannya dari unsur lain. Tjokroaminoto percaya unsur pembeda itu adalah Islam. Bahkan dengan kesadaran yang tinggi tentang pluralitas bangsanya sebagai realitas sosial, budaya, dan politik yang memang nyata ada di tengahtengah masyarakat, Tjokroaminoto lebih banyak bicara tentang nasionalisme, sosialisme, dan demokrasi yang berasaskan Islam namun bukan mengarah pada berdirinya sebuah Negara Teokrasi (Negara Agama). Dengan perjuangan yang 97 98
Anhar Gonggong, H.O.S Tjokroaminoto, op.cit, hal.103 Ibid, hal.43
Universitas Sumatera Utara
berlandaskan semangat nasionalisme dan demokrasi, berarti mengajak seluruh komponen bangsa yang beragam ini untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, tak mengenal istilah mayoritas-minoritas yang cenderung bermakna diskriminatif, untuk bersama-sama melepaskan diri dari cengkeraman penjajah. Jadi yang berusaha dijelaskan oleh beliau adalah bahwa Nasionalisme Islam bukanlah suatu nasionalisme yang buta, fanatis, atau cenderung fundamental. Melainkan nasionalisme yang menuju kepada sosialisme yang berdasarkan Islam. ”Islam sepertujuh bagian rambut pun tidak menghalangi dan merintangi kemajuan nasionalisme yang sejati, tetapi memajukan dia. Nasionalisme yang dimajukan oleh Islam bukannya ’eng’ nasionalisme (yang sempit) dan berbahaya, tetapi yang menuntun kepada sosialisme berdasar Islam. Yakni sosialisme yang menghendaki mono-humanisme (persatuan manusia) dikuasai oleh satu Yang Maha Kuasa, Allah SWT, dengan lantaran (melalui) hukum-hukum yang sudah dipermaklumkan kepada Utusan-Nya Nabi penutup Muhammad SAW.” 99
3.2. Pemikiran Politik Tjokroaminoto Mengenai Sosialisme yang Berdasarkan Islam
Tjokroaminoto mulai mengangkat tentang sosialisme ini pada Kongres SI di Batavia pada Oktober 1917. Di Kongres tersebut Tjokroaminoto mulai mengecam kapitalisme Belanda. Ia berkata: “Yang kita inginkan adalah sama rasa, terlepas dari perbedaan agama. CSI ingin mengangkat persamaan semua ras di Hindia sedemikian hingga mencapai tahap berpemerintahan sendiri. CSI menentang kapitalisme berdosa, CSI tidak akan mentolerir dominasi manusia atas manusia lainnya. CSI akan bekerja sama dengan siapa saja yang mau bekerja untuk kepentingan ini.” 100
99
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996, hal.268 Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942, op.cit, hal.125
100
Universitas Sumatera Utara
Tjokroaminoto sendiri ketika harapan akan datangnya Ratu Adil merebak di tengah-tengah masyarakat, ia menyebut Ratu Adil bukan dalam pengertian fisik sebagai manusia, namun sistem yang melawan ketidakadilan yaitu sosialisme. Ide yang berlandaskan demokrasi dan nasionalisme yang diilhami oleh ajaran Islam. Ia kemudian memperkenalkan konsep ’kapitalisme berdosa’ yaitu setiap modal asing yang berusaha melipatgandakan modalnya melalui penghisapan atas bangsa Hindia dan ini pasti diikuti kolonialisme. Kapitalisme bertemu dengan kolonialisme tentu akan menghasilkan exploitation del’home par l’home serta explatation de nation par nation. Ia menyebutnya sebagai ’kapitalisme yang berdosa’, sesuatu yang mendasari pemikiran teoritiknya ’Sosialisme Islam’. Tak dapat disangkal pertarungannya dengan kelompok komunis selam beberapa tahun telah membuatnya semakin sungguh untuk membuktikan Islam juga sebagai ajaran yang mengadakan keberpihakan terhadap kaum tertindas (Musthadh’afin), Tjokroaminoto mengatakan ’de Islam is de godsdient van de armen en de verdrukten’ (Islam adalah agamanya kaum miskin dan yang tertindas). 101 Pada bulan Desember 1924, Tjokroaminoto menuangkan pemikirannya mengenai Sosialisme Islam tersebut ke dalam sebuah buku yang berjudul Islam dan Sosialisme. Menurut beliau di bukunya itu ’Sosialisme’ asalnya dari perkataan bahasa Latin socius, yang artinya dalam bahasa Belanda: Makker; dalam bahasa Indonesia: teman-sahabat; dalam bahasa Jawa: kanca; dan dalam bahasa Arab: asyrat atau sahabat. Sosialisme mengutamakan paham ’pertemanan’ atau ’persahabatan’ sebagai unsur pengikat di dalam pergaulan masyarakat. Jadi
101
Ibid, hal.129-130
Universitas Sumatera Utara
paham Sosialisme itu bertentangan sama sekali dengan paham individualisme, yang hanya mengutamakan kepentingan ’individu’ (kepentingan diri sendiri). Sosialisme menghendaki cara hidup satu buat semua dan semua buat satu, yaitu cara hidup yang memperlihatkan kepada kita, bahwa kita semua memikul pertanggung jawaban atas perbuatan kita bersama, satu sama lain. Sedang individualisme mengutamakan paham tiap-tiap orang buat dirinya sendiri. Dalam menuangkan pemikirannya tersebut, Tjokroaminoto banyak membaca tulisan-tulisan pengarang dari Barat terutama karangan Prof.Quack (bangsa Belanda). Dari dalam kitab itu beliau bisa mengenal kaum sosialis dari berbagai abad dengan aturan masing-masing yang dibuat. Ternyata berdasarkan penelaahan beliau terdapat begitu besar perbedaan pengertian sosialisme antara satu dengan yang lainnya. Satu hal yang disepakati di antara mereka adalah sosialisme itu hendak melindungi kepentingan, hak-hak dan kewajiban bersama di atas hawa nafsunya orang perorang atau segolongan manusia saja. Beliau menguraikan bahwa pergerakan-pergerakan sosialistis zaman dahulu tersebut pertama kali timbul tidak hanya karena disebabkan kerusakan masyarakat pada masing-masing zaman yang bersangkutan, tetapi juga terutama sekali mendapat impuls dari perasaan keagamaan yang mendalam. Namun secara perlahan-lahan unsur kebaikan dan Agama yang banyak terdapat pada kalangan rakyat tersebut semakin lemah dan perlahan-lahan pergerakan rakyat yang bersifat sosialistis itu semakin lama semakin bertambah kuat berkiblat pada unsur kebendaan belaka (stoffelijke dingen), terutama sekali di negeri-negeri Barat. 102
102
H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, Bandung: Sega Arsy, 2008, hal.1-2
Universitas Sumatera Utara
Seperti yang juga diungkapkan oleh Marx dalam Materialism Dialectic dan Historis Materialism. Materialism Dialectic adalah pandangan hidup yang menekankan pada aspek perkembangan kebendaan. Sedangkan Historis Materialism adalah ilmu sejarah yang disandarkan pada sejarah perubahan sistem produksi yang berasal pada benda yang nyata. 103 Marx juga mengatakan bahwa dunia itu terdiri atas benda yang dapat ditangkap oleh panca indera, dan dunia yang seperti itulah yang ada. Sedangkan pikiran, perasaan walaupun tampaknya berada di atas panca indera namun hanya merupakan hasil dari pemikiran otak tentang adanya benda. Kenyataan ini membuktikan Historis Materialism nyatanyata menentang akan eksistensi Tuhan, malaikat, roh dan perkara gaib lainnya yang diajarkan oleh semua agama terutama sekali oleh Islam. Menurut Hegel sebagaimana yang ditirukan juga oleh Marx bahwa: ‘agama itu adalah kebingungan otak yang dibuat-buat oleh manusia untuk meringankan hidup yang sulit ini sehingga agama itu merupakan candunya rakyat.’ 104 Meskipun begitu banyak pendefinisian yang berbeda dari masa ke masa tersebut,
namun
bisa
digeneralisir
bahwa
sosialisme
itu
bermaksud
mengimplementasikan suatu teori cita-cita kemasyarakatan yang bertentangan dengan sistem masyarakat yang berlaku di negeri yang disebut sopan (Barat), yaitu sistem yang memberi kebebasan seluas-luasnya kepada orang yang merdeka, untuk bersaing sebebas-bebasnya dalam bidang politik, bidang produksi dan pembagian hasilnya, dan bebas pula untuk mempunayi hak milik atas alat-alat produksi.
103
Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942 op.cit, hal.131 104 Tashadi dkk, Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, Jakarta: Depdikbud, 1993, hal.115
Universitas Sumatera Utara
Sekalipun teori-teori sosialisme tersebut juga mempunyai maksud dan tujuan untuk memperbaiki nasib golongan manusia yang termiskin dan dominan jumlahnya agar mereka bisa mendapatkan nasib yang sesuai dengan derajat mereka yaitu dengan jalan memerangi penyebab yang menimbulkan kemiskinan mereka. Namun teori-teori tadi juga bermaksud menentang kehidupan sosial masyarakat yang ada sekarang ini, baik yang berkaitan dengan soal ekonomi, pengadilan, bahkan soal kehidupan beragama. 105 Ia kemudian menentang konsep-konsep sosialismenya Marx dan kapitalisme itu, karena konsep Marx menjauhkan manusia dari agama sedangkan kapitalisme memperlihatkan watak individualisme yang berlebihan untuk menimbun harta yang pada akhirnya digunakan sebagai alat penindas rakyat. Dalam pandangan Tjokroaminoto, sosialisme Marx dan kapitalisme menjadikan benda sebagai segalanya, dan manusia sebagai objek. Sedangkan yang dilihat dari sudut pandang Islam, manusia itu khalifah, subjek yang merupakan muara atas semua sistem sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Cita-cita sosialisme dalam Islam itu, tidak kurang berumur tiga belas abad, dan tidak dapat dikatakan bahwa berasal dari pengaruh orang Eropa. Walaupun tidak dapat dikatakan saat itu sudah ada propaganda sosialisme yang tersistematis seperti sekarang, namun sesungguhnya azas-azas sosialisme itu telah dikenal dalam masyarakat Islam pada zaman nabi Muhammad SAW dan azas-azas tersebut lebih banyak lebih mudah dilakanakan pada masa itu jika dibandingkan dengan pelaksanaannya di Eropa pada masa kapan pun juga. 106
105 106
H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, op.cit, hal.3 Ibid, hal.8
Universitas Sumatera Utara
Kemudian ia mencontohkan tentang dasar-dasar sosialisme dalam pengertian Nabi Muhammad adalah kemajuan akhlak dan budi pekerti rakyat. Diyakininya tiap-tiap sosialisme yang sejati tidak akan tercapai selamanya kalau tidak dengan kemajuan akhlak budi pekerti rakyat itu. Akhlak dan budi pekerti yang baik itu umumnya ada pada bangsa Timur terutama bagi yang beragama Islam. Meski umat Islam seperti juga bangsa-bangsa Timur telah turun derajatnya di mata dunia, tapi mereka itu masih memiliki sifat dan tabiat yang sangat diperlukan untuk menjadi dasar kemajuan sosialisme. 107 Tabiat dan nafsu manusia itu pada dasarnya tergantung keadaan tempatnya, yang masing-masing akan berusaha membesar-besarkan dan menjunjung setinggi-tingginya diri sendiri, pribadi dan egonya. Maka obat untuk mengatasi atau mencegah datangnya penyakit tersebut adalah agama. Sosialisme haruslah berdasar atau sesuai dengan kepercayaan agama. Kalau tidak maka sosialisme akan menyimpang dan membawa kerusakan pada manusia. Terutama dalam dunia yang dikuasai oleh nafsu kebendaan, dimana tujuan hidup manusia hanya untuk memenuhi nafsunya kebendaannya semata, maka dalam dunia yang seperti itu akan sulit diharapkan seorang manusia mengorbankan kepentingan pribadinya demi kepentingan masyarakat. Dan dalam dunia yang hanya dikuasai oleh akal dan materialisme saja, segala keahlian itu pasti hanya untuk kepentingan ‘si kuat’ guna menindas ‘si lemah’. Hanya agamalah yang mampu membawa manusia kepada cita-cita yang mulia dan membekali manusia tidak hanya di dunia ini melainkan juga terutama untuk hidup di dunia yang baqa dan kekal. Hanya agamalah yang mampu
107
Ibid, hal.15
Universitas Sumatera Utara
menggerakkan manusia untuk megusahakan segala kekuatan rohani dan kekuatan budi pekerti yang terkandung di dalamnya. 108 Orang-orang sosialis Barat terlebih orang Bolsyevik atau komunis pada masa sekarang ini menjalankan sosialisme itu dari puncak dan tidak dimulai dari dasar. Sebaliknya, Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan sosialisme itu berbeda dengan orang-orang sosialis Barat, yaitu dimulainya dari bawah. Mulamula beliau mengubah sifat dan tabiat masing-masing orang sehingga mampu untuk membangun masyarakat
yang sosialistis dengan terlebih dahulu
membangun sifat dan tabiat yang menjadi dasar dan sandaran dari suatu negara yang tinggi tingkat sosialisnya. Tjokroaminoto juga menegaskan kalau Nabi Muhammad ialah seorang nabi sejati dalam arti yang sebenarnya, tidak pernah melakukan paksaan atau pengerdilan dalam sosialisme. Nabi Muhammad pun tidak pernah melakukan suatu perjuangan kelas (klassen stijd) dan tidak pernah pula beliau melakukan atau memerintah orang untuk melakukan diktatur van het proletariat (kekuasaan hanya dimonopoli oleh kaum miskin). Segala sesuatu yang beliau lakukan untuk memajukan masyarakat, merupakan pelajaran yang hak dan petunjuk jalan yang benar. Beliau melakukan interaksi dengan semua manusia, tanpa membedakan kepandaiannya, derajatnya, atau tempat tinggal mereka. Yang pertama sekali dilakukan beliau adalah memperbaiki dan mempertinggi akhlak masing-masing orang dan dengan demikian berarti beliau telah membersihkan masyarakat dari segala kekurangan, celaan, dan keburukan. 109
108 109
Ibid, hal.100-102 Ibid, hal.122-123
Universitas Sumatera Utara
Tjokroaminoto kemudian menerangkan berbagai contoh dari pemerintahan Islam yang pada dasarnya mengenal dua macam sosialisme, masing-masing ialah: 1. Staats-socialisme,
baik
bekerja
dengan
kekuatan
satu
pusat
(gecentraliseers) maupun bekerja dengan kekuasaan gemeente-gemeente (gedecentraliseerd) 2. Industrie-socialisme Menurut beliau sosialisme yang pertama itulah yang penting karena inilah yang dijalankan Islam. Jika suatu negara bersifat sosialistis, maka hendaknya pekerjaan kerajinan (industri) diaturnya secara sosialistis dengan seluas-luasnya. Maka dalam negara yang seperti itu, tanahlah yang menjadi sumber penghasil dan sumber
pekerjaan
industri
besar,
itupun
jika
dijalankan
sebaik-baik
Landsocialisme dan Staats-socialisme. Dengan begitu tanah menjadi milik negara, kemudian alat-alat produksi yang dapat menghasilkan barang diberikan negara kepada rakyat. Maka sosialisme seperti inilah yang terutama sekali dijalankan oleh Islam. Sejak Nabi Muhammad SAW memegang kekuasaan negara, maka secepatnya diaturnya secara sosialistis dan semua tanah dijadikan milik negara. 110 Terakhir beliau mengatakan bahwa keistimewaan sosialisme Islam ialah tidak merusak semangat berkarya dan kegiatan seseorang serta tidak menjadi penghambat cita-cita seseorang untuk maju sebaliknya dipantangkan bagi seseorang menindas dan merusak orang lain, atau menjadi kaya dengan cara merugikan atau memakai hasil usaha orang lain. Sosialisme Islam tentu saja dapat mencapai tujuannya karena setiap orang baik pria maupun wanita telah mampu untuk menerima azas sosialistis karena akhlak, sifat, serta tabiatnya telah
110
Ibid, hal.8-9
Universitas Sumatera Utara
diperbaiki terlebih dahulu. Dasarnya sosialisme Islam adalah agama. Orang Islam baik pria maupun wanita semuanya berusaha untuk melakukan perbuatan yang baik dan benar. 111 Tjokroaminoto disini berusaha memperlihatkan keunggulan Sosialisme Islam dalam konsep pembangunan masyarakat dibanding konsep-konsep lainnya, termasuk sosialisme Marx, komunisme, dan kapitalisme. Tjokroaminoto hanya memperkenalkan kandungan ajaran Islam tentang nasionalisme dan sosialisme yang manusiawi, tanpa harus melahirkan tirani jiwa seperti sosialisme yang dibangun atas dasar diktator proletariat. Dengan sistem pasar tunggal yang dikuasai negara, dan mencabut hak-hak rakyat atas kepemilikan alat-alat produksi, ternyata yang lahir adalah pemerataan kemiskinan dan kondisi anti demokrasi. Sementara itu Sosialisme Islam justru memperbolehkan setiap orang untuk berusaha dan berkompetisi secara jujur dan adil. Dengan Sosialisme Islam, hak individu masyarakat tetap terjamin. Yang penting bukan membangun kondisi sama rata sama rasa belaka, tetapi membangun semangat berkompetisi dengan skill masing-masing, karena setiap orang memang dilahirkan tidak untuk sama rata sama rasa, apalagi kalau kemudian disama ratakan melalui proses yang dipaksakan secara diktator. Setiap orang bebas mengembangkan keahliannya, memperoleh kekayaan dengan keahliannya itu namun tidak dengan jalan menindas orang lain. Bahkan beliau menambahkan, dengan berusaha untuk menjadi kaya raya melalui cara yang halal, maka kekayaan atau harta benda yang menurut Islam hanya titipan Tuhan itu dalam persentase tertentu harus diberikan kepada orang yang tidak mampu yang disebut sedekah
111
Ibid, hal.122
Universitas Sumatera Utara
atau zakat. Sosialisme model ini tidak melahirkan kondisi sama rata, tetapi menimbulkan kondisi sama rasa seperti yang ditekankannya dalam pidato di Kongres SI di batavia sebelumnya, yang mana maksudnya sama-sama merasakan kebahagiaan satu sama lainnya. Maka Tjokroaminoto telah tiba pada pada suatu kesimpulan akhir bahwa sosialisme itu mudah dijalankan oleh mereka yang beragama Islam karena landasan nasionaliteit mereka adalah agama. 112 Terhadap hal ini Tjokroaminoto tiba pada uraian kaitan sosialisme dengan kebangsaan dan berpendapat : ”Sosialisme Islam mudah ditanam dan dilakukannya, oleh karena Nasionaliteit (kebangsaannya) orang Islam itu tidak terbatas oleh batasbatas kenegaraan, oleh perbedaan warna kulit, oleh perlainan bahasa, oleh perbedaan tanah air dan benua, tetapi kebangsaannya orang Islam adalah berdasarkan kepada agama, yang batas-batasnya sangat luas, melampaui batas-batas yang sempit.. Di tempat mana saja orang Islam tinggal, bagaimanapun juga jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, di dalam negeri yang baru itu, ia masih menjadi satu bagian dari masyarakat Islam, di tempat manapun orang Islam itu berdiam, disitulah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya. Nasionalisme yang semacam itulah Nasionalisme Islam, yang menjadi dasar sosialisme yang tersiar di seluruh muka bumi.” 113
3.3. Pandangan Tjokroaminoto tentang Demokrasi dan Sistem Parlemen Bagi Tjokroaminoto pondasi dari sistem demokrasi harus didasarkan pada tauhid yaitu segala sesuatu berasal dari Allah, untuk Allah, dan kembali pada Allah. Bukan pondasi yang dianut oleh paham Kapitalisme dan Komunisme yang berakar pada pandangan hidup materialisme. 114 Dalam pandangan Tjokroaminoto, bila umat Islam bersungguh-sungguh melaksanakan ajaran agamanya, maka dengan sendirinya dia akan menjadi
112
Anhar Gonggong, H.O.S Tjokroaminoto, op.cit, hal.88 H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, op.cit, hal.125 114 M. Masyhur Amin, H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, op.cit, hal. 54 113
Universitas Sumatera Utara
seorang demokrat, dan demikian juga sosialis. Tetapi tidak berarti dalam pengertian demokrat dan sosialis yang mengesampingkan agama. Sebab jika seseorang dengan sungguh-sungguh menjalankan perintah-perintah Allah maka ia tidak akan lagi dipenuhi nafsu egoisme, individualisme, despotisme, maupun kapitalisme. Jika tidak maka ia belum dapat dikatakan seorang muslim yang baik.” 115 Demokrasi yang dimaksudkannya disini jelas adalah demokrasi yang Islami sebab menekankan pada musyawarah yang didukung oleh pendapat rakyat. Tjokroaminoto menyatakan hal tersebut dalam Program Asas PSII yaitu “Negeri merdeka (Indonesia) yang kaum Partai SI Indonesia wajib mencapainya, pemerintahannya haruslah bersifat demokratis, sebagaimana yang dicantumkan di dalam Al-Qur’an: “Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.”(Asy-Syura: 38) 116 Selanjutnya, Tjokroaminoto menjelaskan bahwa: “Menurut faham kaum partai SI Indonesia dan juga mengingat contohcontoh pada zaman Khulafaur Rasyidin, pemerintahan yang dimaksudkan didalam ayat-ayat tersebut, terlebih-lebih buat zaman kita yang sekarang ialah harus suatu pemerintahan yang kekuasaannya bersandar kepada kemauan Rakyat (Ummat), yang menyatakan sepenuh-penuh suaranya di dalam suatu Majelis Usy-Syura, yaitu berupa Majelis Perwakilan Rakyat, susunan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya harus berdasar kepada asasasas demokrasi yang seluas-luasnya.” 117 Dengan mengambil sampel tentang kehidupan politik di desa-desa, ia berharap demokrasi juga dapat diterapkan di Hindia secara menyeluruh. Ia mengatakan di desa-desa demokrasi telah ada dalam bentuk Dewan Kampung, 115
H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, op.cit, hal.135 Q.S. Asy-Syura: 38 117 H.O.S Tjokroaminoto, Tafsir Program Asas dan Program Tandhim PSII, Jakarta: Lajnah Tanfidiyah PSII, 1965, hal.29-30 116
Universitas Sumatera Utara
tempat semua warga desa dapat saling berdiskusi untuk memecahkan masalahnya sehari-hari. Belum lagi pemilihan kepala kampung telah menjadi model demokrasi di Hindia. 118 Perintah mengadakan pemerintahan yang bersifat musyawarah menurut beliau turun di Makkah ketika kaum muslimin masih berjumlah sedikit dan hidup dalam penindasan dan ketidakadilan. Perintah tersebut ternyata bermaksud agar kaum muslimin, walaupun dalam keadaan tertindas, perlu menyiapkan organisasi untuk
membicarakan dan
memutuskan perkara-perkara mengenai umat.
Organisasi ini adalah majelis yang disebut sebagai Majelis Usy Syura dan waktu itu modelnya dapat disamakan dengan parlemen masa sekarang. Musyawarah itulah yang menjadi dasar corak pemerintahan Islam era Khulafaur Rasyidin. 119 Di dalam Islam, pemerintahan baik yang berbentuk republik atau kerajaan dengan parlemen harus berlandaskan ‘sosialisme yang sejati’ sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Didalam sistem ini, baik rakyat maupun penguasanya akan dapat terbebas dari sikap saling membenci dan bermusuhan disebabkan perbedaan golongan, perbedaan bangsa atau warna kulit; tidak ada perbedaan kebutuhan dan keperluan antar yang diperintah dan yang memerintah; atau penduduk tidak perlu lagi memakai kekuasaan dan polisi untuk menjaga ketertiban. Pemerintahan mendapat kontrol dari seluruh rakyat yang berpegang pada hukum Tuhan yaitu Al-Quran. 120 Kedaulatan Negara dipegang oleh rakyat yang berlandaskan nilai-nilai Islami inilah yang menjadi perhatian Tjokroaminoto.
118
Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942 op.cit, hal.83 119 H.O.S Tjokroaminoto, Tafsir Program Asas dan Program Tandhim PSII, op.cit, hal. 31-32 120 Ibid, hal.34-35
Universitas Sumatera Utara
Untuk mendukung pemerintahan yang sosialistis yang kedaulatan Negara ada di tangan rakyat ini, mula-mula tabiat tiap rakyat harus diubah sehingga mampu untuk membangun masyarakat yang sosialistis. Pendidikan politik harus ditanamkan pada rakyat agar mengerti hak dan kewajibannya. Tjokroaminoto menandaskan “tiap-tiap kali terasa perlunya ada usaha untuk memperbaiki soal pemerintahan dan Negara, maka tiap-tiap kali pula tambah perlunya diadakan usaha untuk memperbaiki tabiat dan perangai dari tiap-tiap rakyat dalam Negara tersebut.”121 Kemudian mengenai parlemen yang dimaksudkan oleh beliau adalah Dewan Rakyat. Dalam kongres SI di Bandung pada tahun 1916 ia mengemukakan: “Untuk mencapai tujuan kita, dan untuk memudahkan cara kerja kita agar rencana raksasa itu dapat dilaksanakan, maka perlulah, dan kita harapkan dengan sangat agar diadakan peraturan, yang memberi kita penduduk bumiputera hak untuk ikut serta dalam mengadakan bermacam-macam peraturan yang sekarang sedang kita pikirkan. Tidak boleh terjadi lagi, bahwa dibuat perundang-undangan untuk kita, bahwa kita diperintah tanpa kita, dan tanpa keikutsertaan kita”. Dilanjutkan lagi “Kita terus mengharapkan dengan ikhlas dan jujur datangnya status berdiri sendiri bagi Hindia Belanda, atau paling sedikit Dewan Jajahan (Dewan Rakyat), agar kita dapat berbicara dalam urusan pemerintahan.” 122 Dewan Rakyat yang akan dibentuk pada tahun 1917 itu, walaupun tidak dapat disebut ideal, menurut Tjokroaminoto tetap harus disambut dengan gembira sebagai langkah pertama untuk mencapai tujuan akhir, ialah pemerintahan sendiri untuk Indonesia. Karena memang pada saat itu, komposisi dari para anggota Volksraad amat tidak seimbang dan tidak menguntungkan rakyat. Apalagi wewenang Volksraad hanya sebagai penasihat pemerintah kolonial Belanda.
121
M. Masyhur Amin, H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, op.cit, hal.46 122 A.P.E. Korver, Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil, op.cit, hal.59
Universitas Sumatera Utara
Volksraad bukan badan legislatif sebagaimana tuntutan Kongres SI yakni badan legislatif sebagai badan pembuat undang-undang yang akan dikenakan kepada rakyat. 123 Namun apabila Dewan Rakyat maupun partai-partai politik tidak mampu untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, maka rakyat harus memberikan kesempatan untuk menyatakan sikapnya dalam bentuk referendum agar pemerintah dan parlemen dapat mengetahui secara pasti tentang suatu UndangUndang yang akan disahkan itu apakah dapat diterima oleh rakyat atau tidak. Bahkan dalam rangka kepentingan secara menyeluruh, rakyat pun harus diberi kesempatan untuk menyampaikan inisiatif rakyat sendiri secara langsung yang disebut dengan istilah Belanda Volksinitiatief. Perihal ini seperti yang sudah berlaku di Swiss kira-kira sejak pertengahan dan penghabisan abad ke-19. Jadi menurut pandangan Tjokroaminoto, apa yang dimaksud referendum tidak lain ialah hak rakyat atau ummat untuk menyatakan pendapatnya terhadap rancangan Undang-Undang baik yang disampaikan oleh pemerintah ke forum parlemen atau yang berasal dari usul inisiatif anggota Dewan Rakyat (parlemen) sendiri. Sedang yang dimaksud dengan volksinitiatief disini ialah hak rakyat untuk mengajukan. Rancangan Undang-Undang sendiri langsung kepada parlemen tentang apa yang menjadi keinginan rakyat. Adanya referendum dan volksinitiatief oleh beliau bukan untuk meniadakan parlemen, tetapi justru untuk memperkuat dan memperluas pengaruh parlemen dan juga sebagai bukti bahwa parlemen itu adalah hasil penjelmaan dan kemauan rakyat dan karena itu parlemen harus
123
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, op.cit, hal.397
Universitas Sumatera Utara
bergantung kepada dan senantiasa mengumandangkan suara dan kepentingan rakyat. 124 Selanjutnya
Tjokroaminoto
menyatakan
bahwa
dalam
sistem
pemerintahan Islam, sudah sejak lama terdapat peraturan atau undang-undang mengenai orang-orang yang mempunyai hak memilih yang disebut ahlul ikhtiyar atau ahlul aqd wal hall yaitu orang-orang yang membuat dan membatalkan undang-undang, dan mengenai orang-orang yang mempunyai hak untuk dipilih atau ahlul imamat yaitu orang-orang yang bertugas memegang dan menjalankan kekuasaan. 125 Tjokroaminoto sendiri semasa masih aktif menginginkan banyak tokoh Islam yang moderat duduk dalam pemerintahan, namun tidak berarti ingin pemerintahan menjadi Negara Islam karena ini akan mengingkari sendiri ajarannya tentang perlunya menghargai semua agama yang ada di Indonesia tanpa diskriminasi, tanpa ada yang menjadi kelompok penguasa atas nama agama. Dengan konstitusi nasional berdasarkan suatu agama, maka pemeluk agama lain langsung atau tidak akan terdiskriminasi bahkan termarjinalkan. Karena itu pulalah dia lebih banyak mengedepankan pemahaman bahwa muslim itu demokrat dan sosialis. Dengan pengertian dari prinsip-prinsip ini, berarti setiap umat Islam wajib menjalankan ajaran agamanya dengan menegakkan demokrasi dan menjalankan fungsi sosialnya di masyarakat. Tjokroaminoto tidak mengedepankan kekuasaan Islam melainkan pengabdian Islam di tengah masyarakat yang pluralistik.
124
M. Masyhur Amin, H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, op.cit. hal.43 125 H.O.S Tjokroaminoto, Tafsir Program Asas dan Program Tandhim PSII, loc.cit, hal.32
Universitas Sumatera Utara
3.4. Pemikiran Tjokroaminoto dalam Konfigurasi Politik Kontemporer Tjokroaminoto pada akhirnya berusaha menunjukkan nasionalisme, sosialisme, bahkan demokrasi dapat berjalan beriringan, bukan ditempatkan dalam posisi terkotak-kotak yang saling berkonfrontasi, juga tidak sebagai ideologi yang dikotomis melainkan semua merupakan sistem untuk membangun sebuah komposisi masyarakat yang ideal. Dalam hal ini dapat terlihat keunggulan pemikiran Tjokroaminoto, dimana meskipun ajaran-ajarannya dapat dikatakan ‘tertinggal’ lebih dari satu abad, namun tampak tetap lebih maju daripada pemikiran kelompok radikal Islam atau kelompok ‘yang menganggap dirinya paling tahu tentang Islam’ di masa kini, yang terus sempit dalam melihat konsep nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme sebagai sesuatu yang ‘anti Islam’ bahkan dianggap sebagai barang impor dari dunia Barat yang non-Islami, dan lebih parah lagi sampai ada anggapan sebagai pemikiran kaum kafir. Misalkan saja ada tudingan yang menyatakan demokrasi bekan saja bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan bisa merusak tatanan Islam karena demokrasi merupakan produk kapitalis. Sebutan sosialis juga selalu diidentikkan dengan komunisme dan atheisme dan oleh sebab itu harus diperangi. Hal ini tidak terlepas dari adanya pengalaman sejarah yang terjadi di negara-negara Islam atau yang mayoritasnya penduduk Islam dalam hubungannya dengan kolonialisme Barat yang mendera mereka di masa lalu, sehingga apa saja yang dianggap ‘produk Barat’ termasuk pemikiran dan ide yang dihasilkan dari sana secara apriori dimusuhi dan dikategorikan sebagai ‘bertentangan dengan Islam’. Padahal sosialisme disini adalah yang diangkat dari konsep-konsep untuk
Universitas Sumatera Utara
membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang diajarkan secara langsung oleh Rasul dan Islam, yang menghindari kediktatoran dan otoritarian. Bagi mereka yang melihat konsep sosialisme dari sisi ini, bahkan kemudian menjadikannya sebagai salah satu bentuk solidaritas perlawanan terhadap Barat. Dan ini kemudian ditandai dengan munculnya rasa nasionalisme. Sebagai pihak yang pernah merasakan pahitnya kolonialisme, Islam tak lagi hanya bertahan sebagai identitas kultural. Nasionalisme juga menjadi ide politik yang terbuka untuk memerdekakan bangsanya. Oleh karena itu, hubungan Islam dengan nasionalisme menjadi kesadaran yang paling kuat dan membekas dalam perlawanan panjang terhadap kolonialisme Barat. Beberapa negara yang merdeka dan memilih sebagai negara Islam juga memilih jalan sosialisme Islam sebagai bentuk perlawanan kepada Barat yang kapitalistik. Sosialisme menjadi dekat dengan masyarakat mayoritas muslim. Hanya
saja, tidak berbeda dengan
sosialisme Marx yang telah dijungkirbalikkan oleh pengikutnya sendiri di negaranegara yang mengaku sosialis sejati tetapi rakyatnya malah menderita dipasung sistem tirani, demikian juga halnya sosialisme Islam telah dijungkirbalikkan sehingga tak lagi menjadi kekuatan rakyat, malah menjadi ideologi rezim politik, rezim yang korup di mata kepentingan rakyat. Di negara-negara Islam yang berkuasa adalah rezim kekuasaan yang satu sama lainnya saling bermusuhan. Dan hingga kini, memang belum pernah terdengar ada negara dengan sebutan ‘Republik Sosialis Islam’ atau ‘Kerajaan Sosialis Islam’ dengan rakyatnya yang makmur sejahtera, tidak tertindas oleh rezim, tidak mengalami tirani jiwa karena hak-hak asasinya terbelenggu. Tak beda dengan negara-negara yang memasang label ‘Republik Sosialis’ yang memilih jalan sosialisme Marx, dimana
Universitas Sumatera Utara
bukan hanya kemiskinan dan tirani jiwa yang diderita rakyatnya negara-negara berlabel sosialis itu bahkan malah mengalami keruntuhan karena dimana-mana dibenci oleh rakyatnya sendiri sebelum mencapai tahap sebagai negara komunis. Apa yang dikemukakan oleh Tjokroaminoto tersebut sesungguhnya bukanlah Tjokroisme melainkan murni ajaran Islam. Tjokroaminoto hanya berperan dalam mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan. Pemikiran Tjokroaminoto diatas yang mengemukakan Islam sebagai dasar dan pedoman dalam nasionalisme dan sosialisme menjadikan suatu pertanyan kembali bagi kita umat Islam di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang sampai saat ini tetap dominan menganut agama Islam masih sering terjebak dengan segala multi tafsir mereka masing-masing terhadap Islam dan Al-Quran sebagai kitab sucinya. Diantara mereka ada yang dinamakan sebagai golongan konservatif yang menganggap masih mempertahankan kemurnian nilai-nilai Islam, golongan fundamentalis atau ekstrimis yang beraliran radikal, atau golongan liberal dengan hermeneutiknya yang mayoritas berasal dari kaum intelektual. Sesama mereka saling mengklaim bahwa Islam-nya lah yang paling benar dan baik. Bahkan tidak jarang diantara mereka sampai terlibat konflik untuk mempertahankan keyakinan semunya tersebut. Mereka lupa bahwa seluruh kaum muslimin bahkan seluruh umat manusia itu bersaudara seperti yang tertulis dalam Al-Quran dan kemudian diingatkan
kembali
oleh
Tjokroaminoto.
Dari
pemaparan
mengenai
Tjokroaminoto sebelumnya dapat diambil kesimpulan: Pertama, Tjokroaminoto adalah seorang tokoh yang memiliki multi talenta. Bakat-bakatnya tersebut diasahnya secara otodidak. Ia pernah merasakan menjadi seorang pegawai pamong praja yakni sebagai juru tulis di Ngawi, merasakan pahitnya menjadi seorang kuli pelabuhan di Semarang, kemudian di Surabaya ia sempat bekerja di sebuah perusahaan dagang, dilanjutkan menjadi
Universitas Sumatera Utara
seorang teknisi dan bekerja sebagai leerling machinist di jawatan kereta api, bahkan setelah itu ia sempat bekerja sebagai seorang ahli kimia di sebuah pabrik gula yaitu Rogojampi Surabaya, dan terakhir menjadi seorang kolumnis di salah satu surat kabar di Surabaya. Dengan semua bakat dan pengalamannya selama bekerja di berbagai tempat dan macam pekerjaan tersebut ditambah dengan kepribadiannya yang unik, yaitu kombinasi antara keturunan bangsawan priyayi dan ulama yang merakyat,
menjadikannya sebagai pemimpin dengan
kemampuan yang komplet. Kedua, Tjokroaminoto berusaha menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang kaku dan rumit dalam memandang perubahan zaman. Islam diyakininya adalah sebuah agama yang toleran dan fleksibel dalam menghadapi pergolakan pemikiran dan ideologi. Hal ini dibuktikan ketika ia berusaha melakukan rekonsiliasi dengan pihak komunis atau di SI disebut sebagai SI Merah. Dalam brosur yang nantinya menjadi buku ’Sosialisme Islam’, ia berusaha memperlihatkan kalau Islam juga menganut prinsip-prinsip hidup dalam sosialisme dan mempunyai ’musuh’ yang sama dengan kaum sosialis yaitu kapitalisme. Namun, menurut beliau yang membedakan antara Islam dan sosialisme terletak pada keyakinan akan adanya eksistensi Tuhan. Ketiga, Tjokroaminoto bukanlah seseorang yang taqlid atau memiliki fanatisme agama yang berlebihan sehingga menganggap agama lain tidak layak memperoleh kemerdekaan seperti yang diasumsikan oleh kelompok nasionalis sekuler. Beliau adalah orang yang amat jeli membaca situasi. Ia melihat potensi Islam yang dapat menyatukan masyarakat Hindia sebagai suatu bangsa yang utuh dan merdeka. Islam waktu itu dianut 90% masyarakat Hindia (Indonesia) mulai
Universitas Sumatera Utara
dari golongan paling bawah seperti petani hingga golongan paling atas seperti kaum bangsawan. Selain itu, ia melihat adanya faktor kedekatan antara pedagang pribumi dengan para saudagar yang berasal dari Arab. Waktu itu para pedagang pribumi dan saudagar Arab sama-sama merasakan tekanan dari pedagang Cina yang mendapat perlakuan khusus dari pemerintah kolonial. Tak dapat disangkal, para pedagang inilah yang menciptakan cikal bakal dari Sarekat Islam, yaitu Sarekat dagang Islam. Keempat, Tjokroaminoto bukan hendak mendirikan sebuah Negara Teokrasi (negara Islam) atau ingin meng-Islamkan seluruh rakyat Indonesia sehingga dapat menjadi sebuah bangsa yang utuh. Beliau amat menyadari pluralitas yang ada terutama pluralitas primordial (kesukuan) sehingga menyadari betul potensi perpecahan yang dapat timbul apalagi dengan adanya politik devide et impera yang dilakukan oleh Belanda. Maka yang ia harapkan adalah persatuan yang utuh dan Islam-lah yang ia lihat dapat menjadi simbol pemersatu tersebut. Karena beliau juga sadar betul bahwa sebenarnya umat agama lain selain Islam juga sebenarnya ditindas dan termarjinalkan oleh sistem ’kapitalisme berdosa’ Belanda. Tujuan utama kaum kolonial jelas bukan untuk menyebarkan agama melainkan mengeksploitasi dan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari negeri jajahannya. Dengan bersatunya seluruh kaum muslimin ditambah sokongan dan dukungan dari umat agama lain di Indonesia maka bisa dibayangkan begitu besar kekuatan yang bisa digalang untuk mengusir kaum penjajah. Kelima,
Tjokroaminoto
adalah
figur
yang
mempelopori metode
perjuangan baru dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda. Ia menyadari
Universitas Sumatera Utara
kalau perjuangan bersenjata yang hanya bersifat lokal atau kedaerahan sebelumnya tidak efektif menghadapi pemerintah kolonial yang menerapkan politik devide et
impera atau politik pecah belah. Untuk itu Tjokroaminoto
menggunakan metode yang lebih kooperatif dan sistemik yaitu lewat organisasi pergerakan nasional yang berorientasi pada sosial keagamaan dan politik yaitu Sarekat Islam (SI). Lewat SI ini Tjokroaminoto lebih leluasa mengonsolidasikan kembali ’kekuatan’ yang sebelumnya terpecah belah di daerah-daerah. Sementara itu, beliau juga mendapat ruang gerak lebih besar sembari memberikan tekanan pada pemerintah kolonial dalam memperjuangkan kepentingan bangsanya. Keenam, pada awal kemunculannya sebagai pemimpin SI, Tjokroaminoto memandang Islam hanyalah sebagai simbol dan alat dalam memperjuangkan persatuan nasional. Ia belum memahami Islam secara lebih substansial. Ada dua kondisi yang memicu beliau untuk lebih memperdalam pengetahuannya mengenai Islam. Pertama, sejak Agustus 1921 hingga April 1922, selama ia berada dalam penjara. Keadaan ini dilihat beliau sebagai proses simbolik untuk melakukan refleksi dan menginsyafi diri sendiri. Ketika itu beliau berusia 40 tahun dan sangat mungkin beliau memaknainya sama seperti umur Nabi Muhammad ketika diangkat menjadi utusan Allah. Kedua, sekembalinya ia keluar dari penjara, ia melihat SI organisasi yang dibesarkannya berada diambang perpecahan akibat adanya ’infiltrasi’ komunis yang menyusup ke dalam internal SI dan melakukan indoktrinasi terhadap anggota-anggota SI. Ketujuh, prinsip yang dipegang Tjokroaminoto adalah ’sebaik-baik tauhid’ dan ’tidak membesar-besarkan perselisihan masalah furu atau aliran’. Dengan prinsip yang dipegangnya inilah beliau berusaha sekuat tenaga mempertahankan
Universitas Sumatera Utara
persatuan umat Islam di kalangan bangsa Hindia (Indonesia). Tidak masalah baginya perbedaan aliran seperti sosialis atau nasionalis selama itu masih dalam koridor ke-Islaman dan persaudaraan sesama kaum muslimin. Kedelapan, sistem kenegaraan dalam pemikiran Tjokroaminoto adalah negara demokrasi Islam, melalui perwakilan di parlemen (Ahlul-aqd wal hil), yang disebutnya sebagai Dewan Rakyat dan kemudian lebih dikenal sebagai Volskraad, untuk memilih orang-orang yang berhak memegang kekuasaan (Ahlul Imamah) bebas dari penjajahan asing. Namun pada awalnya ia hanya mengambil sampel dalam ruang lingkup yang lebih kecil yaitu kehidupan politik di desa-desa. Ia mencontohkan kehidupan warga desa yang memecahkan masalahnya seharihari dengan cara saling berdiskusi dan adanya pemilihan kepala kampung.
4.2. SARAN Berikut beberapa masukan yang kiranya dapat menjadi solusi dalam menjawab berbagai problem sosial dan politik khususnya menyangkut politik Islam: Pertama, seperti halnya Soekarno-Hatta yang dijuluki ’Bapak Proklamasi’ karena mereka adalah duet yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia atau Soeharto yang dikenal sebagai ’Bapak Pembangunan’ untuk mengenang jasanya dalam bidang pembangunan Indonesia maka H.O.S Tjokroaminoto amat layak dijuluki sebagai ’Bapak Pergerakan Kebangsaan’ karena jasa-jasanya dalam dunia pergerakan pada masa pra-kemerdekaan Indonesia dan tentu saja peranannya dalam membentuk character national building bangsa Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Kedua, para pemimpin di Indonesia yang mengaku muslimin seharusnya lebih concern meningkatkan ukhuwah Islamiyah dengan sesamanya. Saling menguatkan persatuan dan persaudaraan diantara mereka dan bukannya membesarkan golongan dan kubu masing-masing. Tinggalkan perbedaan yang hanya akan menjadi mudharat bagi kemaslahatan umat. Termasuk perbedaan mengenai ideologi atau sistem yang paling layak bagi rakyat Indonesia. Mereka harusnya menyadari politik devide et impera akan selalu merongrong kaum muslimin sejak zaman Rasulullah hingga akhir zaman meski bermutasi dalam bentuk dan formulasi yang berbeda. Ketiga, para tokoh Islam saat ini sebaiknya memberikan karya nyata bukan hanya sekadar karya kata belaka. Para tokoh Islam ini tidak memberikan solusi yang riil malah memberikan komentar yang sebenarnya tidak penting. Malah mereka sering memanfaatkan momentum di tengah-tengah penderitaan sesama kaum muslim hanya untuk mempromosikan dirinya. Yang mereka pikirkan hanya pencitraan dirinya sendiri. Seharusnya mereka bercermin dari tokoh-tokoh Islam sebelumnya seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Natsir dan lainnya. Para tokoh ini jelas memberikan karya konkrit bagi bangsa ini bukan hanya sekadar omong kosong saja. Keempat, umat Islam yang hingga saat ini masih menjadi penganut agama mayoritas di Indonesia seharusnya lebih sering untuk mengoreksi dirinya masingmasing dan bukannya membuang-buang waktu dan energinya untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Karena dalam Islam konsep yang benar adalah saling mengingatkan satu sama lainnya diantara umat muslim dan bukannya saling menjatuhkan. Jadikan kesalahan orang lain sebagai cerminan untuk memperbaiki
Universitas Sumatera Utara
diri sendiri. Karena tujuan akhir seorang muslimin adalah menyucikan dirinya masing-masing baik zahir maupun batin. Seperti prinsip dalam Islam ‘Benahi diri kamu lebih dulu lalu benahi orang lain, pimpin diri kamu kemudian pimpin orang lain, dan tentu saja selamatkan diri kamu dan keluargamu kemudian selamatkanlah orang lain.’ Kelima, segala perbedaan yang ada dalam tubuh umat Islam bukanlah menjadi alat peruncing konflik antar sesama muslim melainkan menjadi alat perekat persatuan sesama mereka. Segala perbedaan itu seharusnya untuk saling melengkapi satu sama lainnya. Sebab, Allah SWT menciptakan perbedaan itu bukan tanpa maksud melainkan ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Seharusnya manusia menjadi makhluk yang berpikir. Dan terakhir, sempurnanya Islam harus dijalani secara Kaffah dalam arti keseluruhan bagian dalam Islam yang berarti memahaminya secara Syariat, Tariqat, Haqiqat dan Makrifat. Dan setiap pemahaman tersebut harus diejawantahkan dalam setiap sendi kehidupan kaum muslimin baik itu dalam berjalan, berlari, duduk diam, bahkan tidur sekalipun. Kunci Islam bukan terletak pada salah satu bagian sebagaimana kita lihat perdebatan yang terjadi saat ini hanya berkisar pada Syariat. Perdebatan mengenai ideologi atau sistem pemerintahan yang paling baik akan terus menjadi isu yang paling hangat di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Walaupun sebenarnya tidak ada hal yang sangat prinsiipil yang menjadi dikotomi diantara masing-masing ideologi atau sistem pemerintahan tersebut karena tujuan akhirnya tetap sama yaitu mensejahterakan masyarakatnya. Tidak menjadi masalah seperti apa ideologi atau sistem pemerintahan yang ingin
Universitas Sumatera Utara
diterapkan karena yang menjadi permasalahan paling substansial adalah akhlak dan budi pekerti dari para pemimpinnya. Islam yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah SAW adalah agama yang hadir untuk memperbaiki akhlak dari sekalian manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Maka Islam tidak pernah secara rigid membahas mengenai ideologi apa yang paling layak diterapkan oleh suatu bangsa. Islam diterima karena nilai-nilai universalitasnya akan terus bertahan hingga akhir zaman seiring revolusi kebudayaan umat manusia itu sendiri. Islam adalah sebuah agama yang merahmati sekalian alam dan semua makhluk-Nya tanpa terkecuali tentu saja tidak dapat disamakan dengan sebuah ideologi yang hanya merupakan hasil kreasi dari akal manusia dan hanya untuk segelintir manusia pula.
Universitas Sumatera Utara