ANALISIS SEMIOTIK NILAI-NILAI NASIONALISME DALAM FILM “GURU BANGSA TJOKROAMINOTO”
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh : Egy Giana Setyaningsih NIM : 1111051000141
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 29 Juli 2016
EGY GIANA SETYANINGSIH
ii
ABSTRAK
Egy Giana Setyaningsih 1111051000141 Analisis Semiotik Nilai-Nilai NasionAalisme Dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” adalah salah satu film tokoh pahlawan nasional yang jejaknya hampir hilang di mata anak-anak bangsa. Ia adalah salah seorang tokoh pencetus generasi muda bangsa berbakat, dan juga berperan penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia seperti Soekarno, Semaoen, Kartosoewiryo dan Musso. Berbagai konflik yang muncul dari film ini, akhirnya memberikan aspek penandaan makna, salah satunya yaitu penandaan nilai-nilai nasionalisme yang terdapat pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto. Berdasarkan latar belakang diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan, Apa makna denotasi, konotasi dan mitos dalam film „Guru Bangsa Tjokroaminoto‟ menurut teori Roland Barthes? Bagaimana sikap nasionalisme yang tergambar dalam film „Guru Bangsa Tjokroaminoto‟? Dalam hal ini, penulis menggunakan teori analisis semiotik model Roland Barthes dengan pemaknaan dua tahap seperti denotasi dan konotasi yang nantinya akan menghasilkan mitos. Pengumpulan data dilakukan melalui intensive interview atau dengan melalui wawancara mendalam dengan produser film, melakukan observasi ke kantor MSH Films, menyelidiki benda-benda tertulis, seperti melihat beberapa buku mengenai sosok Tjokroaminoto yang kemudian mencari tanda nilai-nilai nasionalisme serta makna denotasi, konotasi dan juga mitos yang tersirat di dalamnya. Pada penelitian ini, penulis menggunakan paradigma konstruktivis yang mana lebih menekankan pada suatu realita dari yang paling umum hingga yang paling khusus. Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini juga menggunakan teknik sampling, yang mana teknik sampling disini adalah purposive sampling yang mana dirasa sesuai oleh penulis dengan teknik tersebut. Hasil yang diperoleh penulis terkait penandaan nilai-nilai nasionalisme pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto dalam film ini, yaitu seperti memperjuangkan keadilan, keberanian, pengabdian, serta ketabahan, yang sudah melekat dalam dirinya semenjak ia remaja bahkan sebelum itu atas dasar agama Islam, sehingga semakin menunjukkan terbentuknya sikap nasionalisme yang tinggi terhadap bangsa dan negara pada tokoh Tjokroaminoto. Makna denotasinya, sosok Tjokroaminoto yang berasal dari keturunan priyai pangreh praja namun walaupun begitu ia tidak pernah menuruti apa yang diperintahkan oleh Belanda. Makna konotasinya, Semua itu dikarenakan jiwa nasionalisme dalam dirinya timbul dari semenjak ia remaja. Mitosnya, semua itu termasuk dari sikap profesionalitas untuk mensejahterakan rakyatnya dan memegang teguh amanatnya yang diberikan kepadanya sebagai seorang pemimpin. Kata kunci : Scene, Film, Nasionalisme, Penelitian, Bangsa dan Negara.
iii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahim Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT pemilik alam semesta, yang telah
melimpahkan
rahmat
dan
karuniaNYA
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tidak lupa pula shalawat beserta salam, semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa ummatnya dari zaman jahiliyyah menuju era digital seperti saat ini. Semoga kita semua menjadi ummatnya yang taat dan mendapatkan syafaatnya sampai akhir zaman. Amin Yaa Rabbal Alamiin. Tahap demi tahap dengan selalu memohon ridho kepada Allah SWT, dan alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, tentunya dengan dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1.
Dr. Arief Subhan, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi, Suparto, M.Ed, Ph.D, selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Hj. Roudhonah, MA, selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi Dan Keuangan, dan Dr. Suhaimi, M.Si, selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, juga selaku dosen pembimbing penulis yang telah banyak memberikan waktu, motivasi, serta do‟a kepada penulis.
2.
Ketua Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, Drs. Masran, MA., dan Sekretaris Prodi Fita Fathurokhmah, M.Si, yang sudah membantu atas berjalannya skripsi, juga Rachmat Baihaky, MA., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis.
iv
3.
Seluruh dosen dan staff Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Segenap karyawan perpustakaan umum dan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5.
Kedua orangtuaku tercinta, Bpk. Tugino dan Ibu Siti Nuraeni yang sudah memberikan motivasi yang tidak ada hentinya kepada penulis berupa do‟a, moril dan materil, beserta adikku Deny Ahmad Gusti yang juga sudah memberikan motivasinya untuk penulis. Dan seluruh keluarga besar beserta sanak saudara penulis yang juga telah membantu atas berjalannya skripsi.
6.
Sutradara, Produser khususnya kak Nayaka Untara beserta Kru dan staff Film Guru Bangsa Tjokroaminoto, Yayasan Keluarga Besar Tjokroaminoto salah satunya yaitu ustadz Willy selaku cicit dari Tjokroaminoto, Bpk. Aji Dedi Mulawarman selaku penulis buku Jang Oetama, seluruh staff Dewan Pengurus Pusat Sarekat Islam ( DPP SI ) khususnya Bpk. Asep, seluruh staff Pengurus Besar Pemuda Muslimin Indonesia ( PB PMI ) khususnya Bpk. Evick Budianto selaku Wakil Sekjend, dan Bpk H. Muclis Zamzami Can, Annadwi, MA selaku ketua 1 PB PMI.
7.
Para Sahabat juga teman-teman KPI E angkatan 2011: Siti A‟malina, Laily Rahmawati, Ira Asri beserta suami, Salma,Tria Malida, Suci Kurnia Kasih, Naziah Ismi Aulia, Rifka O, Devi, Wulantari, Putri Rizki, Fatma H, Putri A, Budi, Marthoni, Rizki A. Rosman, Egie Permadi, Asep .A, A. Affandi, Wisnu, Widya R, Devi P.
8.
M. Rizki Arif, Sihabuddin dan yang telah menemani dan meminjamkan leptopnya untuk membantu penulis menyusun skripsi BAB demi BAB.
v
9.
Segenap guru SDN Kadu II, Mts. Daarul Falah, serta MA. Daarul Falah.
10. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Banten ( HMB ) angkatan 2011, Keluarga besar Radio Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ( 107,9 RDK fm UIN JKT ) angkatan 2012 khususnya, teman-teman KKN Ricks 2014, teman-teman Himpunan Keluarga Besar Alumni Daarul Falah ( Hikada ) khususnya angkatan 019 yang selalu memberikan arahan terbaik untuk penulis, seluruh staff dan anggota Baitul Maal Hidayatullah Jakarta ( BMH ) yang telah memberikan penulis beasiswa selama hampir 2 tahun dan sama-sama telah berusaha menjadi tim yang profesional, serta tidak lupa pula Keluarga Besar Paguyuban Karya Salemba Empat (KSE UIN Jakarta) dan beserta seluruh donatur yang
telah
memberikan
motivasinya
dalam
bentuk
pelatihan-pelatihan
kepemimpinan juga sejumlah dana beasiswa kepada penulis selama setahun terakhir, sampai akhirnya penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini sampai akhir. Dan tentunya semua pihak yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu di dalam lembaran ini. Semoga bantuan yang telah kalian berikan kepada penulis bisa dibalas suatu saat nanti oleh sang Maha Pemberi Balasan, Allah SWT. Jazaakumullahu Khairan. Amin. Jakarta, 29 Juli 2016
Penulis
vi
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................ LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... ABSTRAK ...................................................................................................... KATA PENGANTAR .................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR TABEL .......................................................................................... BAB I
BAB II
BAB III
i ii iii iv vii ix
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....................................................................... B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. D. Tinjauan Pustaka .................................................................... E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian........................................................ 2. Pendekatan Penelitian....................................................... 3. Metode.............................................................................. 4. Obyek Dan Subyek Penelitian.......................................... 5. Teknik Dan Pengumpulan Data ....................................... 6. Teknik Analsis Data ........................................................ F. Sistematika Penulisan ...............................................................
8 9 9 10 10 12 13
TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Semiotika ............................................................. B. Teori Roland Barthes ............................................................. 1. Makna Denotatif ............................................................ 2. Makna Konotatif ............................................................ 3. Makna Mitos ................................................................... C. Pengertian Film ...................................................................... 1. Elemen Dasar Produksi Program Televisi / Film ........... 2. Unsur-Unsur Dalam Film ............................................... D. Pengertian Guru ..................................................................... 1. Tugas Profesional ............................................................ 2. Tugas Manusiawi ............................................................ 3. Tugas kemasyarakatan .................................................... E. Pengertian Nasionalisme ........................................................
15 16 18 19 21 24 26 28 31 32 32 32 34
1 5 6 7
GAMBARAN UMUM FILM “GURU BANGSA : TJOKROAMINOTO” A. Lahirnya Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota ............................. 42 B. Gelar “Guru Bangsa” Dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” ...................................................................... 43 C. Sinopsis Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” ....................... 45 D. Penghargaan Film................................................................... 46 E. Profil Dan Karya-Karya Dari Sutradara ................................. 47
vii
F. Profil Pemain Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”............... G. Tim Produksi .......................................................................... BAB IV
BAB V
HASIL PENELITIAN A. Makna Denotasi, Konotasi, dan Mitos dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” 1. Fase Tjokro Remaja Scene 1................................................................. 2. Fase Tjokro Beranjak Remaja Scene 2................................................................. Scene 3................................................................. 3. Fase Tjokro Pertengahan Dewasa Scene 4................................................................. Scene 5................................................................. Scene 6................................................................. B. Nilai-Nilai Nasionalisme Dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”....................................................................
51 59
62 66 66 69 72 73 62
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................... 79 B. Saran ....................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... LAMPIRAN
viii
83
DAFTAR TABEL Tabel 1 Peta Tanda Roland Barthes…................................................... Tabel 2 Silsilah Keluarga Tjokro............................................................ Tabel 3 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 1......... Tabel 4 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 2......... Tabel 5 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 3......... Tabel 6 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 4......... Tabel 7 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 5......... Tabel 8 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 6.........
ix
22 40 63 66 66 70 72 73
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Sejak akhir tahun „90an, sineas-sineas dalam negeri mulai bermunculan dengan kemampuan produksi film yang berkualitas dan dapat diterima sangat baik oleh masyarakat lokal maupun non lokal khususnya di Indonesia sendiri, sebut saja seperti Garin Nugraha. Film-film yang sudah diproduksi olehnya bisa dikatakan sukses dalam penjualannya. Diantara film-film terakhir yang dirilis pada tahun 2015 lalu, yang paling banyak menarik minat masyarakat adalah film yang bernuansa nasionalime, yaitu “Guru Bangsa Tjokroaminoto”. Film ini menceritakan tentang salah satu pahlawan nasional Indonesia yaitu
“H.O.S
Tjokroaminoto” karya Garin Nugraha, dan bisa dikatakan film ini cukup banyak mendapatkan simpatik dan pujian dari masyarakat. Sampai pada akhirnya film ini pun dapat memenangkan banyak piala award, yaitu terpilih sebagai “Film Terpuji” Festival Film Bandung (FFB) 20151, pemenang piala Maya 2015, kemudian menjadi pemenang Piala Citra untuk kategori Film Terbaik di malam anugerah Festival Film Indonesia (FFI) 20152, dan yang terakhir mendapatkan lima piala sekaligus pada malam anugerah Usmar Ismail Award 2016 yaitu dua piala terbaik, dua piala terfavorit dan satu kategori khusus dari Perpusnas RI
1
“Daftar Pemenang Festival Film Bandung”, Artikel diakses pada tanggal 13 Septenber 2015 pkl. 05.30 wib. http://bintang.com/read/daftar-pemenang-festival-film-bandung-2015 2 “Film Guru Bangsa Tjokroaminoto Menjadi Pemenang Festival Film Indonesia”, Artikel diakses pada tanggal 23/11/2015 pkl. 21.10 wib. http://showbiz.liputan6.com/read/2373307/daftar-pemenang-festivalfilm-indonesia-2015
1
2
(Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)3. Beberapa film nasionalisme yang ditayangkan di Indonesia biasanya menceritakan
tentang
perjalanan
seorang
tokoh
yang
berjuang
ketika
kemerdekaan atau pasca kemerdekaan. Film ini adalah satu-satunya yang menggambarkan tentang perjuangan seorang tokoh besar yang sering disebutsebut sebagai “Guru Bangsa”, yang memperjuangkan hak hidup rakyat, wilayah dan negaranya serta menjadi mentor untuk para pejuang muda yang nantinya menjadi peletak dasar negara Indonesia, dengan landasan perjuangannya yaitu agama Islam juga untuk mengusir penjajah, jauh sebelum kemerdekaan. Tokoh seorang Tjokroaminoto sendiri mungkin sudah sering kita dengar namanya di dalam buku sejarah dulu ketika duduk di bangku sekolah tingkat dasar dan menengah. Tak banyak orang yang tahu dan bahkan tidak mau tahu, bagaimana sebenarnya kehidupan seorang tokoh nomor satu ini yang hidup jauh sebelum kemerdekaan di kota Yogyakarta. Ia mampu memperjuangkan hak hidup rakyat Jawa, wilayah bahkan negaranya atas pemikiran dan sikapnya yang nasionalis serta agamis. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Anies Baswedan, ketika ia menjadi salah satu narasumber dalam sebuah program talkshow “Mata Najwa”, ia mengatakan bahwa, “Tjokroaminoto adalah salah satu figur yang menyengat dan siapapun yang tersengat itu, sengatannya positif”4. Karna itulah Tjokroaminoto mampu menyengat para muridnya yang juga sempat menjadi salah satu bagian dari tokoh kemerdekaan RI, sebut saja seperti Soekarno, Muso, Semaoen dan Kartosuwiryo. Sehingga, Tjokroaminoto 3
“Penghargaan Usmar Ismal Award : Film Guru Bangsa Tjokroaminoto”, Artikel diakses pada tanggal 25 Maret 2016 pkl. 17.00 wib. http://berita.suaramerdeka.com/entertainment/usmar-ismail-awards2016-7-film-dan-unsur-unsur-unggulan-uia-2016/ 4 “Belajar Dari Guru Bangsa Tjokroaminoto”, dalam Program Mata Najwa edisi 8 April 2015 pkl.20.00 wib.
3
dijuluki sebagai “Raja Jawa Tanpa Mahkota” serta “Guru Bangsa”, yaitu guru dari beberapa pemuda hebat yang telah menjadi tokoh-tokoh besar Indonesia dengan berbagai ideologi yang berbeda. Film ini merupakan biopik dari salah satu pahlawan nasional Indonesia yaitu HOS Tjokroaminoto. Setelah keluar dari sistem tanam paksa di akhir tahun 1800-an, Hindia Belanda (Indonesia) memasuki babak baru yang memengaruhi kehidupan rakyatnya. Ia menjadi satu-satunya orang yang paling diharapkan untuk menjadi pemimpin dan menjadi peletak identitas bangsa. Bagaimana seorang Tjokroaminoto menghadapi berbagai rangkaian tragedi yang mengatasnamakan “Hijrah”, serta bagaimana sepak terjang Tjokroaminoto tidak hanya sebagai politikus yang mana ia menerapkan politik non cooperatif di dalam Sarekat Islam yang ia pimpin terhadap pemerintahan Belanda dan orang-orang yang tidak sepaham dengannya, tetapi juga sebagai seorang seniman. Di dalamnya juga mengandung banyak nilai-nilai nasionalisme, dan banyak hal yang bisa masyarakat temukan dalam film tersebut, antara lain nilai-nilai ajaran agama Islam, unsur sejarah, hubungan sosial dan budaya, juga tentunya pendidikan. Menurut salah satu pemain sekaligus sutradara dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”, Christine Hakim mengatakan bahwa ia sangat menyesalkan karena sosok Tjokroaminoto yang saat ini sudah mulai dilupakan bahkan nyaris tak dikenal oleh generasi muda masa kini. Padahal menurut aktor “Pasir Berbisik” itu, Tjokroaminoto adalah seorang guru bagi tokoh-tokoh Indonesia yang berperan dalam meraih kemerdekaan bangsa. Ia juga mengatakan bahwa, tokoh-tokoh muda yang merupakan agent of change (agen perubahan), tak banyak tahu soal siapa HOS Tjokroaminoto dan ia berharap semoga jalan cerita film ini bisa
4
menjadi inspirasi bagi para generasi muda saat ini5. Tidak sedikit masyarakat saat ini khususnya pelajar, justru lebih menikmati pelajaran sejarahnya jika dibuatkan menjadi sebuah gambar yang hidup atau sebuah film, karena di saat itulah penonton akan menikmati dan berimajinasi tentang film tersebut dengan gambaran yang jelas, walaupun setiap gambar yang disajikan belum tentu semuanya dapat dianggap benar jika dibandingkan dengan membaca buku sejarahnya, yang tentunya akan membuat para pembacanya akan merasa kantuk dan juga bosan. Film bergenre drama-biopik ini mendapat apresiasi positif dari banyak kalangan seperti pelajar, mahasiswa, dan juga guru yang ditunjukkan langsung dengan menyelenggarakan nonton bareng (NOBAR) di beberapa sekolah dari berbagai daerah serta Pameran Tingkat Nasional, seperti pada awal sampai akhir bulan Mei 2015 lalu di Museum Pahlawan Nasional Jakarta. Apresiasi positif juga didapat dari sebagian tokoh-tokoh besar di Indonesia. Tak terkecuali, Wakil Presiden Indonesia (Wapres) M. Jusuf Kalla mengatakan bahwa, “Tjokroaminoto pemimpin bangsa yang hebat. Hal ini karena sosok Tjokroaminoto yang dapat memberikan nilai positif, karena itu film biopik ini mampu memberikan nilai-nilai tauladan dari sosok Tjokroaminoto kepada masyarakat Indonesia”6. Semua ini dapat menjadi tolak ukur awal bahwa, film Guru Bangsa Tjokroaminoto dapat menjangkau banyak segmen sosial sehingga ia memiliki potensi besar untuk memengaruhi khalayaknya, karena hakikat makna film sendiri
5
“Pemeran Film Tjokroaminoto Komentar Mengenai Industri Perfilman Indonesia,” Edisi 24 April 2015 Artikel diakses Pada Hari Jum‟at, Tgl 24 April 2015 Pkl. 19.02 Wib Dari Http://M.Wowkeren.Com/Berita/Tampil/0069115.Html 6 “Film Guru Bangsa Tjkroaminoto Dipuji Wapres Jusuf Kalla”, Http://Lifestyle.Sindonews.Com/Read/992949/158/Film-Guru-Bangsa-Tjokroaminoto-Dipuji-Wapres-JusufKalla-1429761450 Artikel diakses Pada Tanggal 2 Mei 2015 Pkl. 13.40
5
adalah selain berfungsi sebagai hiburan, juga perpanjangan dari pemikiran dan ideologi pembuatnya. Selain itu, film juga memiliki kelebihan dalam memengaruhi penontonnya, seperti menimbulkan emosi penonton, sehingga penonton seakan-akan terlibat dalam film tersebut, dan lain sebagainya7. Maka dari itu, film ini diharapkan mampu menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi dari sosok guru bangsa Tjokroaminoto terhadap masyarakat yang menontonnya, dan juga bisa memberikan gambaran keadaan pulau jawa yang dijajah oleh kolonial Belanda pada saat itu khususnya kota Yogyakarta. Dari latar belakang tersebut, penulis memutuskan untuk memahami penandaan nilai-nilai nasionalisme yang terdapat pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto lebih mendalam dengan melakukan kajian analisis semiotik, yaitu menggunakan teori Roland Barthes yang mana mengkaji tentang makna denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”.
B.
Batasan dan Rumusan Masalah Untuk lebih memfokuskan penelitian dan memberikan arahan yang tepat dalam pembatasan masalah ini sehingga tidak terlalu meluasnya pembahasan, maka dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah dengan mengambil beberapa potongan adegan dan teks yang berhubungan dengan sikap nasionalisme dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto“ khususnya pada alur cerita di tahun 1902, 1905 dan 1913. Karena menurut penulis, alur cerita pada tiga tahun tersebut dalam film merupakan masa-masa dimana Tjokro menjalani beberapa fasenya, 7
Elita Primasari Hananta, “Konten Kekearasan Dalam Film Indonesia Anak Terlaris Tahun 20092011”, Jurnal E-Komunikasi, no. 1 (September 2013) h. 7.
6
fase dimana mulai tumbuh sampai menguatnya rasa nasionalisme dalam dirinya, yaitu ketika ia remaja hingga beranjak dewasa. Berdasarkan batasan diatas, maka penulis merumuskan permasalahannya yaitu sebagai berikut : 1) Apa makna denotasi, konotasi dan mitos dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto“ menurut teori semiotika Roland Barthes? 2) Bagaimana penandaan nilai-nilai nasionalisme yang tergambar pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah agar penulis dapat mengetahui nilai-nilai nasionalisme yang tergambar pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto, yang mencakup dalam sejarah, serta pendidikan dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” dengan menggunakan konsep semiotika Roland Barthes, yaitu menjelaskan tentang makna denotasi, konotasi serta mitos. 2. Manfaat penelitian a) Manfaat akademis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada seluruh mahasiswa/i ilmu komunikasi dalam mengkaji semiotika, khususnya kepada penulis tentang kajian semiotika dalam film, yang mana dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotik model Roland Barthes.
7
b) Kegunaan praktis Agar dapat digunakan sebagai salah satu pengembangan evaluasi kelebihan dan kekurangan film yang telah dibuat sebelumnya, sehingga untuk kedepannya dapat membuat serta menghasilkan banyak film-film yang lebih berkualitas tanpa harus menyinggung golongan atau kelompok-kelompok tertentu. D.
Tinjauan Pustaka Ada beberapa penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan semiotika, sehingga skripsi ini bisa menjadi pelengkap dari tulisan-tulisan sebelumnya. Penelitian-penelitian tersebut antara lain : Skripsi “Penerapan sikap politik Non Cooperatif H.O.S Cokroaminoto dalam Sarekat Islam (1912-1934 M)” disusun oleh Titik Arum Ahadiyati mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2014. Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian diatas, yaitu sama-sama meneliti pahlawan nasional Indonesia, HOS Tjokroaminoto. Namun dalam penelitian terdahulu hanya menekankan pada sikap politik non cooperatifnya saja dalam organisasi Sarekat Islam yang ia pimpin pada tahun 1912. Sedangkan dalam penelitian ini berobjektifkan film biopik terbaru HOS Tjokroaminoto yang dirilis pada tahun 2015 lalu, dan lebih menekankan pada nilai-nilai sikap nasionalismenya saja dengan menggunakan semiotik Roland Barthes. Skripsi “Representasi Tjokroaminoto Dalam Cover Dan Suplemen Majalah Berita Tempo Edisi Kemerdekaan” disusun oleh Irvan Wiradinata mahasiswa Universitas Padjajaran pada tahun 2012.
8
Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian diatas, yaitu sama-sama meneliti tokoh Tjokroaminoto dengan menggunakan teori semiotik Roland Barthes. Namun dalam penelitian yang terdahulu hanya menekankan pada makna yang terkandung dalam karikatur tokoh Tjokroaminoto pada sampul dari majalah Tempo. Sedangkan dalam penelitian ini lebih menekankan pada nilai nasionalismenya saja yang tergambar dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”. E.
Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang penulis terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan penulis terhadap ilmu atau teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana penulis memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah penelitian8. Pada penelitian ini penulis menggunakan paradigma konstruktivis. Penelitian kualitatif berlandaskan paradigma kontruktivis ini lebih menekankan pada suatu realita dari yang paling umum hingga yang paling khusus. Paradigma ini memandang komunikasi sebagai suatu proses produksi dan pertukaran makna. Dua hal yang menjadi karakteristik penting dari paradigma ini adalah politik pemaknaan dan proses seseorang membuat gambaran tentang realitas dan komunikasi sebagai sebuah kegiatan yang dinamis9. Dengan paradigma ini, penulis ingin mengetahui bagaimana nilai-nilai nasionalisme
8
Pengertian Paradigma Penelitian Kualitatif, http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliahku/pengertian-masalah-variabel-paradigma-penelitian/ Artikel Diakses Pada Tanggal 22 September 2016 pkl. 20.00 wib 9 Eriyanto, Analisis Framing : Ideologi Dan Politik Media, (Yogyakarta : LKIS, 2005) h. 42
9
yang tergambar pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”. 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditunjukkan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Data dihimpun dengan pengamatan yang seksama, mencakup deskripsi dalam konteks yang mendetail disertai catatan hasil wawancara mendalam, serta hasil analisis dokumen. Dalam hal ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan teknik sampling, yang mana teknik sampling disini adalah purposive sampling. Jenis penelitian ini menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya10. Adapun pertimbangan penelitian sampel bukan berdasarkan pada aspek keterwakilan populasi di dalam sampel. Pertimbangannya lebih pada kemampuan sampel (informan) untuk memasok informasi selengkap mungkin kepada penulis. 3. Metode Dalam hal ini, untuk mengkaji tanda nilai-nilai nasionalisme yang terkandung dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”, penelitian ini menggunakan metode analisis semiotik yang mengacu pada teori Roland Barthes, dimana penulis merasa sesuai dengan bentuk penelitian ini. Dengan 10
Basrowi Sudikin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif mikro, (Surabaya : Penerbit Insan Cendikia, 2002)h.32
10
pemaknaan dua tahap seperti konotasi, denotasi yang nantinya akan menghasilkan mitos yang digunakan oleh Roland Barthes dalam teori semiotiknya. Ia menelusuri makna dengan pendekatan budaya yaitu semiotik makro, dimana Barthes memberikan makna pada sebuah tanda berdasarkan kebudayaan yang melatarbelakangi munculnya makna tersebut. Dengan demikian makna dalam tataran mitos dapat diungkap sesuai dengan keunggulan semiotik Roland Barthes yang terkenal dengan elemen mitosnya. Penulis akan mengidentifikasi enam scene saja yang berkaitan dengan rumusan masalah yang ingin diteliti. Tidak semua scene dalam film ini diteliti, dikarenakan agar analisis yang ada, sesuai dengan fokus penelitian. Dari enam
scene tersebut,
penulis
menemukan penandaan sikap
nasionalisme yang terkandung dalam film, khususnya pada alur cerita tahun 1902, 1905 dan 1913. Karena menurut penulis, pada tiga tahun tersebut dalam film merupakan masa-masa dimana Tjokro menjalani beberapa fasenya, fase dimana mulai tumbuh sampai menguatnya rasa nasionalisme dalam dirinya, yaitu fase ketika Tjokro remaja sampai ia beranjak dewasa. 4. Objek Dan Subjek Penelitian Adapun
subjek
penelitian
ini
adalah
film
“Guru
Bangsa
Tjokroaminoto“, dan objeknya adalah potongan-potongan gambar (scene) atau visual beserta teksnya yang terdapat dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto“ juga yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.
11
5. Teknik Pengumpulan Data 1) Observasi Observasi adalah Cara atau metode penghimpunan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan. Difokuskan sebagai upaya penulis mengumpulkan data dan
informasi
dengan
mengoptimalkan
pengamatan
penulis.
Observasi dilakukan dengan mengunjungi kantor production house MSH Films di jakarta. 2) Wawancara Mendalam Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah intensive-interview atau wawancara mendalam dari satu responden bergulir ke responden lain yang memenuhi kriteria sampai mengalami titik jenuh. Tehnik pengambilan data pada penelitian ini melalui pertanyaan yang diajukan secara lisan dan tulisan kepada informan. Penulis mewawancarai pihak yang mengetahui film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”, yaitu salah satunya adalah produser film tersebut. 3) Dokumentasi Teknik pengumpulan data sekunder dimana penulis menyelidiki benda-benda tertulis, seperti melihat beberapa buku mengenai sosok Tjokroaminoto yang kemudian menganalisis tiap scene-scene dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”.
12
Dalam penelitian ini data-data dikumpulkan dan dibagi menjadi dua bagian, dan penulis mengamati langsung data-data yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Adapun instrument penelitiannya adalah11 : a)
Data primer (data yang diperoleh langsung dari sumbernya), berupa dokumen
elektronik
seperti
film
Softcopy
“Guru
Bangsa
Tjokroaminoto“ dengan teks bahasa Indonesia. b) Data sekunder (data yang diperoleh tidak langsung dari sumbernya), berupa dokumen tertulis, yaitu seperti resensi film ”Guru Bangsa Tjokroaminoto“ baik dari majalah, artikel di internet, jurnal komunikasi, dan buku-buku yang relevan dengan penelitian. 6. Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dimengerti. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisa yang diperoleh melalui proses observasi langsung terhadap obyek yang diteliti untuk mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian dan studi pustaka yang tidak memungkinkan untuk menggunakan pengukuran secara numerik atau analisis kuantitatif12. Langkah langkah dalam teknik analisis data adalah : 1) Reduksi Data. Reduksi data adalah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan,
11
19.
12
hal. 143
memberi
kode
atau
tanda,
dan
Sugiyono, Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D, ( Bandung : Alfabeta, 2010), h. Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif : Teori dan Praktek, (Jakarta : Bumi Aksara, 2013),
13
mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab, supaya dapat disederhanakan dan akhirnya dapat dipahami dengan mudah juga untuk memastikan bahwa data yang diolah masuk dalam cakupan penelitian13. 2) Penyajian Data. Dalam penelitian ini, penulis mengembangkan sebuah deskripsi informasi tersusun untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data yang lazim digunakan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk teks naratif. 3) Penarikan Kesimpulan. Setelah data-data terangkum dan dijabarkan, penulis akan membuat kesimpulan yang nantinya dapat digunakan untuk menjawab rumusan masalah.
F.
Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan membaginya menjadi 5 (lima) bab, dan masing-masing bab akan dibagi-bagi menjadi sub-sub bab, yaitu sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan Pada bab ini, dijelaskan apa saja yang akan dibahas dari latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.
13
Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian Kuantitatif-Kualitatif, (Malang : Maliki Press, 2010), h.23.
14
BAB II
Tinjauan Teoritis. Terdiri dari definisi dan konsep semiotika, penjelasan tentang teori Roland Barthes yang terdiri dari makna konotasi, denotasi dan mitos, definisi dan konsep film serta unsur-unsur dasarnya, pengertian guru, juga definisi dan konsep nasionalisme.
BAB III
Gambaran Umum Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto“. Berisi tentang lahirnya sang “Raja Jawa Tanpa Mahkota”, Gelar “Guru Bangsa” dalam film, sinopsis film, penghargaan film, profil tentang sutradara & karya-karyanya beserta pemeran dan kru dalam film.
BAB IV
Hasil Penelitian Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang terdiri dari makna denotasi, konotasi dan mitos dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”, dan nilai-nilai nasionalisme dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”.
BAB V
Penutup. Pada bab ini, berisi kesimpulan dan saran yang berkaitan tentang hasil penelitian yang sudah diteliti.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A.
Pengertian Semiotika Istilah
manakah
yang
lebih
disukai,
semiotika
atau
semiologi;
semiotics/semiology? Yang jelas kata semiotika disamping kata semiologi dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semasiology, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang. Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu tentang tanda. Para ahli umumnya cenderung tidak begitu mau dipusingkan oleh kedua istilah tersebut, karena mereka menganggap keduanya sebenarnya sama saja. Satu satunya perbedaan antara keduanya, menurut Hawkes adalah bahwa istilah semiologi biasanya digunakan di eropa, sedangkan semiotika cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa inggris1. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified)2. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak
1
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Cet-1, 2003), h. 12. Sarjinah Zamzamah, Semiotika dalam Berhala, dalam Tonil-Kajian Sastra, Teater dan Sinema Vol.1 No.1 November 2000, (Yogyakarta : Tonil Press, 2000), h.2 2
15
16
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi, dalam hal mana objek-objek itu berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda3. Kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa yunani, semeion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. Tanda pada saat itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain4. Manfaat semiotika itu sangat besar melampaui sekedar penjelasan tentang suatu bahasa. Menurut Alo Liliweri dalam bukunya menyatakan bahwa semiotika menjadi sangat penting untuk dipelajari karena sangat bermanfaat untuk menjelaskan berbagai makna seperti model pakaian, teks atau suara iklan, genre budaya populer di TV dan film, tampilan musik, wacana politik, hingga segala bentuk tulisan dan pidato5. B.
Teori Roland Barthes Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistic dan semiology saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra prancis yang ternama, eksponen penerapan srukturalisme dan semiotika pada studi sastra6. Roland Barthes merupakan orang yang pertama kali menyusun model sistematis untuk menganalisa negosiasi dan gagasan makna interaktif7. 3
Paul Cobley dan Litza Jansz, “Mengenal Semiotika For Beginner”, (Bandung : Mizan, 2002) h.21 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta : Jalasutra, 2009) h.11 5 Alo Liliweri, komunikasi : Serba Ada Serba Makna, (Jakarta : Kencana, 2011) h. 346 6 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2003), Cet-1, h. 63 7 Ismail Sam Giu, “Analisis Semiotika Kekerasan Terhadap Anak Dalam Film Ekskul” no.1, h. 94 4
17
Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah protestan di Cherbourgh dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai atlantik di sebelah barat daya Prancis. Ayahnya seorang perwira angkatan laut yang meninggal di sebuah pertempuran di laut utara, sebelum usia Barthes genap mencapai satu tahun. Kemudian ia diasuh oleh ibu, kakek dan neneknya. Ketika ia didera penyakit TBC antara tahun 1943 – 1947, masa-masa istirahatnya ia gunakan untuk banyak membaca banyak hal. Sampai akhirnya ia menerbitkan sebuah artikel tentang Andre Guide. Setahun kemudian, ia kembali ke paris dan masuk universitas sarbonne dengan mengambil studi bahasa latin, sastra perancis dan klasik (Yunani dan Romawi). Barthes telah menulis banyak buku, diantaranya telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Buku Barthes lain yang banyak mendapat sorotan adalah Mythologies (mitologi-mitologi). Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori itu dikaitkan dengan desain komunikasi visual (DKV), maka setiap pesan DKV merupakan pertemuan antara signifier (lapisan ungkapan) dan signified (lapisan makna). Terkait dengan itu, Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya
18
berlangsung ketika interpretantt dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda. 1. Makna Denotatif Makna denotatif pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh katakata (yang disebut sebagai makna referensial). Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting dalam ujaran. Makna denotasi bersifat langsung yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Makna denotatif bukanlah sesuatu yang bisa dipastikan dengan tepat. Makna ini adalah generalisasi8. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia makna ini berkaitan dengan konotasi, yaitu bermakna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat objektif9. Makna denotasi bersifat langsung, dan dapat disebut sebagai gambaran dari suatu petanda10. Dengan demikian, jika kita memperhatikan sebuah objek misalnya tokoh pahlawan nasional yaitu Tjokroaminoto, maka makna denotasi yang terkandung adalah “seorang pria jawa yang selalu memakai belangkon / peci (kopiah) berwarna hitam, baju beskap (yaitu baju jas pendek, berleher tinggi, berlengan panjang, kancingnya diatas dan disisi sebelah kiri)11, sarung bermotif batik, serta memiliki bentuk kumis yang panjang dan agak sedikit melengkung”. 8
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, terjemahan oleh A. Gunawan Admiranto “Understanding Media Semiotics” (London : Arnold Publisher,2002), (Yogyakarta : Penerbit Jalasutra, 2002), hal.43 9 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2003, ISBN 9789796662913, Tebal 1371 halaman. h. 611 10 Eriyanto, “Laki-Laki Sebagai Korban Dalam Perkawinan Poligami : Analisis Semiotika Film AyatAyat Cinta Karya Hanung Bramantyo,” Jurnal Ilmu Komunikasi vol.1 No.1 (Juli 2013) : hal. 94 11 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2003, ISBN 9789796662913, Tebal 1371 halaman. h.149
19
Pada tahapan ini hanya informasi data saja yang disampaikan, karena makna denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan literal serta dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan tertentu, tanpa harus melakukan penafsiran terhadap tanda denotatif tersebut12. Penanda dan petanda pada tingkat denotasi ini kemudian menjadi satu dan membentuk penanda tersendiri yang kemudian dimaknai pada tingkat kedua yaitu konotasi. Barthes pun menjelaskan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat didominasi oleh konotasi. Berikut penjelasannya tentang konotasi. 2. Makna Konotatif Kata konotasi berasal dari bahasa latin yaitu connotare, “menjadi tanda” dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi). Kata konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional13. Konotasi juga bisa diartikan sebagai mode operatif dalam pembentukan dan penyandian teks-teks kreatif seperti puisi, novel, komposisi musik, dan karyakarya seni. Dan tentu saja, semua teks dan genre media massa didasarkan atas konotasi, karena semuanya dirancang untuk membangkitkan makna yang signifikan secara budaya14. Konotasi itu cukup kuat karena membangkitkan perasaan dan persepsi tentang segala sesuatu. Seperti yang dikemukakan oleh filsuf Amerika Serikat, Susanne Langer di dalam karangannya yang diterbitkan pada tahun 1948, menyatakan bahwa “bentuk-bentuk artistik memiliki kekuatan 12
Melisa Mayo, “Teori Semiotik Konotasi Foto Menurut Barthes”. Artikel Diakses Pada Tanggal 10 Mei 2016 Pkl. 14.38 WIB. http://melisamayo.blogspot.co.id/2009/12/teori-semiotik-konotasi-foto-menurutBarthes.html/m=1 13 Arthur Asa Berger, Teknik-Teknik Analisis Media, Diterjemahkan Oleh Setio Budi HH (Yogyakarta : Percetakan Universitas Atma Jaya, 2000) hal. 31 14 Sherman Zein, "Kajian Etnografi Dalam Mengungkapkan Simbol Budaya Dan Maknanya di masyarakat", Journal of Advanced Communication Exposure Vol.1, No.1, Februari 2011. h 148
20
tertentu karena kita “merasa” bahwa mereka memiliki banyak hal yang bisa dikatakan kepada kita, jauh lebih banyak daripada yang kelihatan pertama kali secara sekilas”15. Konotasi adalah pengembangan segi petanda oleh pemakai tanda sesuai sudut pandangnya. Makna konotatif akan sedikit berbeda dengan makna denotatif dan akan dihubungkan dengan kebudayaan yang tersirat didalam pembungkusnya tentang makna yang terkandung didalamnya, kemudian dihubungkan dengan kebudayaan dan gambaran yang akan dipancarkan serta akibat yang akan ditimbulkan, dan lain sebagainya16. Makna tersebut jika dihubungkan dengan tokoh Tjokroaminoto diatas, maka tentunya akan dihubungkan dengan kebudayaan jawa, karena tokoh Tjokroaminoto sendiri berasal dari tanah jawa. Misalnya seperti, tokoh ini menggambarkan sosok yang terlihat gagah berani, pintar, juga cerdik. Walaupun ia seorang yang lahir dari keturunan priyai jawa yang lekat dengan kesantunan, namun ia tetap tegas menanggapi segala permasalahan yang ada. Ia tetap terlihat seperti priyai jawa pada umumnya namun agak sedikit terlihat menyamai tampilan dirinya dengan tampilan penjajah Belanda seperti, mengenakan baju beskap dipadukan dengan sarung yang bermotif batik juga tampilan bentuk kumisnya yang panjang dan sedikit melengkung, inilah bentuk perlawanannya terhadap penjajah yang terlihat jelas dari tampilan fashion statement nya yaitu pakaian yang ia kenakan pada masa itu. Ia berani melawan dan mampu memberontak para penjajah Belanda dengan pemikiran-pemikirannya yang cerdik. Nama partai nya memang sarekat islam,
15
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung : Rosdakarya, 2006) hal. 95 16 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer, Terjemahan M. Dwi Marianto (Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana, 2010) hal. 65
21
namun Tjokroaminoto sendiri tidak pernah memakai sorban seperti kebanyakan ummat muslim lainnya yang menandakan bahwa ia adalah seorang muslim, contoh salah satunya yaitu pangeran Diponegoro, orang-orang sekitarnya pun memakai sorban, namun ia tetap memakai peci (kopiah). Ini juga merupakan bentuk nasionalisme yang tergambar dari sosok Tjokroaminoto. 1. Makna Mitos Seperti yang dikatakan oleh Barthes, tema-tema yang ada di dalam berbagai dongeng paling awal yang dimiliki manusia dikenal dengan nama mitos, terus merasuk ke dalam dan menjadi sumber informasi kegiatan pendongengan di dalam budaya pop17. Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakini kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Mitos bukan konsep atau ide tetapi merupakan suatu cara pemberian arti. Secara etimologis, mitos merupakan suatu jenis tuturan, tentunya bukan sembarang tuturan. Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi, yakni suatu pesan (message). Tetapi mitos tidak didefinisikan oleh objek pesan melainkan dengan cara menuturkan pesan tersebut, misalnya dalam mitos, bukan hanya menjelaskan tentang objek pohon secara kasat mata, tetapi yang penting adalah cara menuturkan tentang pohon tersebut18. Artinya, ketika seseorang menjelaskan tentang pohon dapat dibuat dalam berbagai macam versi. Pohon yang diutarakan oleh kelompok lingkungan bukan saja sebagai objek tetapi pohon mempunyai makna yang luas, psikologi, sakral, pelestarian dan sebagainya. Dalam artian, pohon diadaptasi untuk suatu jenis konsumen, dengan kerangka literatur yang 17
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, terjemahan oleh A. Gunawan Admiranto “Understanding Media Semiotics” (London : Arnold Publisher,2002), (Yogyakarta : Penerbit Jalasutra, 2002), hal.55 18 A.V. Zoest, Semiotika, Tentang Tanda, Cara Kerjanya. Terjemahan Ani Sukowati. (Jakarta: Yayasan Sumber Agung).
22
mendukung dan imaji-imaji tertentu yang difungsikan untuk keperluan sosial (social usage) yang ditambahkan pada objek murni. Mitos yang berurusan dengan semiologi telah berkaitan dengan dua istilah, yakni penanda (signified), dan petanda (signified), dan kemudian bertautan kembali dengan istilah sign. Misalnya satu karangan bunga menandakan cinta. Dalam hal ini berarti tidak hanya berurusan dengan penanda dan petanda, bunga dan cinta, karena dalam tahap analisis terdapat tiga istilah, bunga yang menandakan cinta adalah tanda. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, dapat dilihat bagan di bawah ini : 1. Signifier (penanda)
2. Signified (petanda)
3. Sign (tanda)
Kajian mitos yang paling populer di abad ke-20 adalah kajian yang dilakukan oleh akademisi Amerika Joseph Campbell (1904-1987). Dalam bukunya yang sangat laris, Campbell menggabungkan pandangan psikologi jungian dan linguistik untuk memformulakan suatu teori umum mengenai asal – usul, pengembangan, dan kesatuan seluruh budaya manusia. Jika seseorang mendengar guntur di langit, dan dia kurang memahami akan “guntur”, maka guntur dapat dijelaskan sebagai suara dewa yang sedang marah; jika hujan, maka hal tersebut dapat dijelaskan sebagai air mata dewa dan sebagainya. Suatu mitos adalah penceritaan akan peristiwa-peristiwa semacam itu19.
19
Marcel Danesi, Pesan, Tanda, Dan Makna : Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Komunikasi, (Yogyakarta : Jalasutra, 2012), h. 173
23
Mitos menurut Roland Barthes bukanlah mitos seperti apa yang kita pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, a historis, dan irasional, tetapi tentang tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of speak (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang, dan digunakan seseorang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Mitos memiliki empat ciri 20
: a) Distorsif, hubungan antara form dan konsep bersifat distorsif dan deformatif. konsep mendistorsi form sehingga makna pada sistem tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta yang sebenarnya. b) Intensional, mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan, dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu. c) Statement of facts, mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam. d) Motivasional, menurut Barthes bentuk mitos mengandung motivasi. Mitos
diciptakan
dengan
melakukan
seleksi
terhadap
berbagai
kemungkinan konsep yang akan digunakan. Jika konotasi sudah menguasai masyarakat maka akan menjadi mitos. Barthes mencoba menguraikan betapa kejadian sehari-hari menjadi “wajar”, padahal itu mitos belaka akibat konotasi yang mantap di tengah masyarakat21. Jika dihubungkan dengan tokoh Tjokroaminoto diatas adalah julukannya yang 20
Melisa Mayo, “Teori Semiotik Konotasi Foto Menurut Barthes”. Artikel Diakses Pada Tanggal 10 Mei 2016 Pkl. 14.38 WIB. http://melisamayo.blogspot.co.id/2009/12/teori-semiotik-konotasi-foto-menurutBarthes.html/m=1 21 Renata Pertiwi Isadi, “Bushido Pada Perempuan Jepang : Memaknai Nilai-Nilai Bushido pada Perempuan jepang dalam Film Rurouni Kenshin,” Communication V, no. 2 (Oktober 2014) : hal. 89
24
diberikan oleh rakyat jawa pada masa itu yaitu „raja jawa tanpa mahkota‟, sampai akhirnya terdengar hingga ke pelosok-pelosok kota. Sebutan tersebut bermula dari konotasi yang beredar kuat sehingga menguasai ideologi masyarakat jawa pada masa itu kemudian menjadi mitos, yaitu anggapan masyarakat yang memandang tokoh Tjokroaminoto terlihat sangat gagah, pemberani juga cerdik melawan penjajah Belanda dengan ideologi-ideologinya. Hanya Tjokro yang berani melawan dan memberontak Belanda hingga masyarakat merasa dilindungi dan diayomi oleh sosok pahlawan di tanah jawa yaitu Tjokro. Sampai akhirnya ia dapat mencetak murid-murid yang bernyali besar dan menjadi tokoh-tokoh besar Indonesia dengan berbagai ideologi hebat yang berbeda seperti Soekarno, Semaoen, Musso dan Kartosoewiryo sehingga masyarakat menyebutnya dengan gelar „Raja jawa tanpa mahkota‟. Ini semua berasal dari sikap nasionalismenya yang tinggi terhadap bangsa dan negaranya. C.
Pengertian Film Secara harfiah menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia makna film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan dalam bioskop) atau lakon (cerita) gambar hidup22. Film sebagai karya seni sering diartikan hasil cipta karya seni yang memiliki kelengkapan dari beberapa unsur seni untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya spiritual. Dalam hal ini unsur seni yang terdapat dan menunjang sebuah karya film adalah: seni rupa, seni fotografi, seni arsitektur, seni tari, seni puisi sastra, seni teater, seni musik. Kemudian ditambah lagi dengan seni pantomin dan novel. 22 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2003, ISBN 9789796662913, Tebal 1371 halaman. h. 330
25
Kesemuannya merupakan pemahaman dari sebuah karya film yang terpadu dan biasa kita lihat. Foto bergerak pertama berhasil dibuat pada tahun 1877 oleh Eadeward Muybridge, fotografer Inggris yang bekerja di California. Muybridge mengambil serangkaian gambar foto kuda berlari, mengatur sederetan kamera dengan benang tersambung pada kamera shutter. Prosedur Muybridge mempengaruhi para penemu di pelbagai Negara dalam mengembangkan peralatan perekam citra bergerak. Salah satu dari mereka adalah Thomas Edison (1847-1931) yang untuk pertama kalinya mengembangkan kamera citra bergerak pada tahun 1888 ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang asistennya ketika sedang bersin. Segera sesudah itu, di tahun 1895, Auguste Marie Louis Nicolas Lumiere (1862-1954) dan saudara laki lakinya Louis Jean Lumiere (1864-1948) memberikan pertunjukan film sinematik kepada umum di sebuah kafe di Paris. Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Pada tingkat penanda film merupakan cermin kehidupan metaforis 23. Tiga kategori utama film adalah film fitur, film dokumentasi, dan film animasi yang secara umum dikenal sebagai film kartun. Film fitur merupakan karya fiksi, yang strukturnya selalu berupa narasi, yang dibuat dalam tiga tahap. Tahap pra produksi merupakan periode ketika skenario diperoleh. 1. Film dokumenter merupakan film non fiksi yang menggambarkan situasi kehidupan nyata dengan setiap individu menggambarkan perasaannya dan pengalamannya dalam situasi yang apa adanya, tanpa persiapan, 23
Suwarno, "Representasi Makna Visual Poster Film Religius (Studi Semiotika Poster Charles S. Pierce Pada Film 99 Cahaya di Langit Eropa), Jurnal Communication V, No.2, Oktober 2014.
26
langsung pada kamera atau pewawancara. Dokumenter seringkali diambil tanpa skrip dan jarang sekali ditampilkan di gedung bioskop yang menampilkan film-film fitur. 2. Animasi adalah teknik pemakaian film untuk menciptakan ilusi gerakan dengan serangkaian gambar benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional dari animasi gambar bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan penyusunan story board, yaitu serangkaian sketsa yang menggambarkan bagian penting dari cerita24.
1.
Elemen Dasar Produksi Program Televisi / Film Ada beberapa elemen dasar dari sebuah produksi program televisi,
disamping sebuah teamwork sudah pasti ada perangkat system yang tidak bisa ditinggalkan seperti tata kamera, tata cahaya/lighting, tata suara/audio. Switching dan editing, video tape recording, special effects dan lain lain25. Teknik Dasar Pengambilan Gambar a. ELS (Extreme long shoot) Shot tipe ini mengambil gambar objek sangat jauh sehingga kadang objek terlihat kurang jelas. Teknik ini bertujuan untuk menunjukkan lingkungan sekitar objek dan dirancang untuk menujukkan dimana tempat tindakan diambil26.
24
Marcel Danesi,Pengantar Memahami Semiotika Media (terjemahan oleh A. Gunawan Admiranto “Understanding Media Semiotics” (London : Arnold Publisher,2002)), (Yogyakarta : Penerbit Jalasutra, 2002), hal. 134 25 Ciptono Setyobudi, Teknologi Broadcasting Tv, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2012), Edisi 2. 26 Marcel Danesi,Pengantar Memahami Semiotika Media (terjemahan oleh A. Gunawan Admiranto “Understanding Media Semiotics” (London : Arnold Publisher,2002)), (Yogyakarta : Penerbit Jalasutra, 2002), hal.31.
27
b. VLS (Very long shoot) Shot tipe ini untuk mengambil lebih dekat dengan lingkungan sekitar objek, teknik ini juga bisa memfokuskan pada satu objek seperti berada dalam jendela. c. LS (Long shoot) Shot tipe ini mengambil objek dalam bingkai yang penuh dari gambar kaki objek dan juga mengambil pada bagian kepala hampir pada bagian atas frame. Teknik ini agak sulit untuk dikerjakan karena dari awal sampai akhir harus selalu mengikuti pergerakan objek. d. Full Shoot Shot tipe ini diambil lebih padat, sehingga frame terisi objek dengan terlihat keseluruhan badannya, akan tetapi lebih padat. e. Medium Shoot Pengambilan
gambar dengan tipe
shot ini bertujuan untuk
menunjukkan objek lebih detail dan juga bisa menunjukkan emosi yang ditampilkan oleh objek. Teknik ini banyak digunakan pada penyampaian berita televisi pada presenter, wartawan yang akan mewawancarai sehingga objek dengan leluasa mengeluarkan ekspresinya, gerak tangan, wajah dan lain lain. f. Medium Close Up Shot tipe ini mengambil gambar dari dada sampai atas kepala untuk menunjukkan ekspresi lebih jelas. g. Close Up Shot ini hanya mengambil gambar pada bagian wajah, close up.
28
Teknik ini lebih menonjolkan ekspresi wajah dari objek. Close up juga dapat digunakan sebagai teknik cut-in, dengan teknik ini penonton dapat menggambarkan atau merasakan pribadi sang objek. Extreme Close Up. Pengambilan gambar tipe ini sangat dekat sekali, hanya menampilkan bagian tertentu pada tubuh objek.
2.
Unsur-Unsur Dalam Film Film merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses pembuatan film antara lain: produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera (kameramen), penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang film)27. a) Produser Unsur paling utama (tertinggi) dalam suatu tim kerja produksi atau pembuatan film adalah produser. Karena produserlah yang menyandang atau mempersiapkan dana yang dipergunakan untuk pembiayaan produksi film. Produser merupakan pihak yang bertanggungjawab terhadap berbagai hal yang diperlukan dalam proses pembuatan film. Selain dana, ide atau gagasan, produser juga harus menyediakan naskah yang akan difilmkan, serta sejumlah hal lainnya yang diperlukan dalam kaitan proses produksi
27
“Sejarah Film” Artikel diakses pada hari kamis, tanggal 23 april 2015, pkl 09.15 WIB. http://www.kajianpustaka.com/2012/10/pengertian-sejarah-dan-unsur-unsur-film.html
29
film28. b) Sutradara Sutradara merupakan pihak atau orang yang paling bertanggungjawab terhadap proses pembuatan film di luar hal-hal yang berkaitan dengan dana dan properti lainnya. Karena itu biasanya sutradara menempati posisi sebagai “orang penting kedua” di dalam suatu tim kerja produksi film. Di dalam proses pembuatan film, sutradara bertugas mengarahkan seluruh alur dan proses pemindahan suatu cerita atau informasi dari naskah skenario kedalam aktivitas produksi. c) Penulis Skenario Skenario film adalah naskah cerita film yang ditulis dengan berpegang pada standar atau aturan-aturan tertentu. Skenario atau naskah cerita film itu ditulis dengan tekanan yang lebih mengutamakan visualisasi dari sebuah situasi
atau
peristiwa
melalui
adegan
demi
adegan
yang
jelas
pengungkapannya. Jadi, penulis skenario film adalah seseorang yang menulis naskah cerita yang akan difilmkan. Naskah skenario yang ditulis penulis skenario itulah yang kemudian digarap atau diwujudkan sutradara menjadi sebuah karya film. d) Penata Kamera (Kameramen) Penata kamera atau yang popular juga dengan sebutan cameraman adalah seseorang yang bertanggungjawab dalam proses perekaman (pengambilan) gambar di dalam kerja pembuatan film. Karena itu, seorang
28
Marselli Sumarno, “Dasar-Dasar Apresisasi Film”, (Jakarta : PT. Gramedia, 1996) h.28
30
penata kamera atau kameramen dituntut untuk mampu menghadirkan cerita yang menarik, mempesona dan menyentuh emosi penonton melalui gambar demi gambar yang direkamnya di dalam kamera. Di dalam tim kerja produksi film, penata kemera memimpin departemen kamera. e) Penata Artistik Penata artistik (art director) adalah seseorang yang bertugas untuk menampilkan cita rasa artistik pada sebuah film yang diproduksi. Sebelum suatu cerita divisualisasikan kedalam film, penata artistik setelah terlebih dulu mendapat penjelasan dari sutradara untuk membuat gambaran kasar adegan demi adegan di dalam sketsa, baik secara hitam putih maupun berwarna. Tugas seorang penata artistik di antaranya menyediakan sejumlah sarana seperti lingkungan kejadian, tatarias, tata pakaian, perlengkapanperlengkapan yang akan digunakan para pelaku (pemeran) film dan lainnya. f) Penata Musik Penata musik adalah seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pengisian suara musik tersebut. Seorang penata musik dituntut tidak hanya sekadar menguasai musik, tetapi juga harus memiliki kemampuan atau kepekaan dalam mencerna cerita atau pesan yang disampaikan oleh film. g) Editor Baik atau tidaknya sebuah film yang diproduksi akhirnya akan ditentukan pula oleh seorang editor yang bertugas mengedit gambar demi gambar dalam film tersebut. Jadi, editor adalah seseorang yang bertugas
31
atau bertanggungjawab dalam proses pengeditan gambar. h) Pengisi dan Penata Suara Pengisi suara adalah seseorang yang bertugas mengisi suara pemeran atau pemain film. Jadi, tidak semua pemeran film menggunakan suaranya sendiri dalam berdialog di film. Penata suara adalah seseorang atau pihak yang bertanggungjawab dalam menentukan baik atau tidaknya hasil suara yang terekam dalam sebuah film. Di dalam tim kerja produksi film, penata suara bertanggungjawab memimpin departemen suara. i) Bintang Film (Pemeran) Bintang film atau pemeran film dan biasa juga disebut aktor dan aktris adalah mereka yang memerankan atau membintangi sebuah film yang diproduksi dengan memerankan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita film tersebut sesuai skenario yang ada. Keberhasilan sebuah film tidak bisa lepas dari keberhasilan para aktor dan aktris dalam memerankan tokoh-tokoh yang diperankan sesuai dengan tuntutan skenario (cerita film), terutama dalam menampilkan watak dan karakter tokoh-tokohnya. Pemeran dalam sebuah film terbagi atas dua, yaitu pemeran utama (tokoh utama) dan pemeran pembantu (figuran).
D.
Pengertian Guru Pengertian guru menurut para ahli adalah merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh seseorang tanpa memiliki keahlian seorang guru. Untuk menjadi seorang guru, diperlukan syarat-syarat khusus, apalagi seorang guru yang harus menguasai seluk
32
beluk pendidikan tentang belajar mengajar dan juga mengajar dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang perlu dikembangkan melalui masa pendidikan tersebut. Guru juga merupakan unsur penting dalam keseluruhan sistem pendidikan. Oleh karena itu, peranan dan kedudukan guru dalam meningkatkan mutu kualitas anak didik perlu diperhitungkan dengan sungguh-sungguh. Dalam pendidikan, guru mempunyai tugas pokok yang dapat dilaksanakan, sebagai berikut 29 : 1.
Tugas Profesional
Tugas profesional ialah tugas yang berhubungan dengan profesinya. Tugas profesional ini meliputi tugas mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan hidup, atau meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan. 2.
Tugas Manusiawi
Tugas manusiawi yaitu tugas sebagai manusia. Dalam hal ini, baik guru matapelajaran IPA-Biologi maupun guru mata pelajaran lainnya bertugas mewujudkan dirinya untuk merealisasikan seluruh potensi yang dimilikinya. Selain itu, transformasi diri terhadap kenyataan di kelas atau di masyarakat perlu dibiasakan, sehingga setiap lapisan masyarakat dapat mengerti bila menghadapi guru.
29
Muhtar, Pedoman Bimbingan Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, (jakarta : PGK & PTK Dep.Dikbud, 1992).
33
3.
Tugas kemasyarakatan
Tugas kemasyarakatan ialah guru sebagai anggota masyarakat dan warga negara seharusnya berfungsi sebagai pencipta masa depan dan penggerak kemampuan. Bahkan keberadaan guru merupakan faktor penentu yang tidak mungkin dapat digantikan oleh komponen manapun dalam kehidupan bangsa sejak dulu terlebih-lebih pada masa kini. Di samping ketiga tugas pokok guru tersebut, guru juga berperan sebagai: a)
Fasilitator perkembangan siswa
b)
Agen pembaharuan
c)
Pengelola kegiatan proses belajar mengajar
d)
Pengganti orangtua di sekolah.
Guru selalu memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan akhlak buruk. Oleh karena itu, guru mempunyai kedudukan dalam agama islam. Dalam ajaran islam pendidik disamakan ulama yang sangatlah dihargai kedudukannya. Hal ini dijelaskan oleh Allah maupun Rasul-Nya. Allah SWT berfirman : “...... Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadalah : 11)30. Tjokroaminoto sendiri adalah seorang guru, yaitu guru dari para pendiri bangsa. Hanya saja, perannya sebagai guru sangatlah istimewa, karena Tjokro bukan hanya mengajar, tetapi ia pun mendidik, menginspirasi dan yang lebih jauh lagi yaitu menggerakkan, karena ia adalah seorang pendidik yang lengkap.
30
Al-Qur‟an Terjemah, QS. Al-Mujadalah : 11, (Surabaya : CV. Ramsa Putra, 2004).
34
Pendidikanlah yang diutamakan oleh Tjokro, karena ia melihat efek nyata pada dirinya dan pada orang-orang yang bergerak bersamanya, bahwa mereka memiliki wawasan yang jauh lebih luas, ketajaman dalam membaca masalah, memiliki terobosan-terobosan, termasuk memiliki kemampuan berkomunikasi yang luar biasa. Tjokro menyadari bahwa keterdidikan itu bukan semata-mata untuk membuat seseorang itu meraih cita-citanya atau hidup mandiri, tetapi baginya pendidikan sebagai instrumen untuk pergerakan. Sampai pada akhirnya ia mewajibkan bersekolah hingga berumur 15 tahun kepada seluruh rakyat jawa yang memang pada masa itu anak-anak masih belajar dua tahun, karena baginya pendidikan dapat menghapus ketidakadilan, dan ketimpangan dapat dipahami lebih luas. Dalam artian, anak-anak yang terdidik ini dapat melakukannya tidak dengan kekerasan melainkan dengan ide-ide / ideologi-ideologi yang modern, sampai akhirnya mereka dapat meraih kesejahteraan. E.
Pengertian Nasionalisme Definisi kerja nasionalisme menurut Smith dalam bukunya tentang nasionalisme yang sudah diterjemahi oleh Frans adalah suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang aktual atau bangsa yang potensial31. Nasionalisme adalah suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada Negara kebangsaan. Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tumpah darahnya, dengan tradisitradisi setempat dan penguasa-penguasanya di daerahnya. Namun baru pada akhir 31
Anthony D. Smith, Nasionalisme : Teori, Ideologi, Sejarah, Terjemahan Frans Kowa ( Jakarta : Erlangga, 2002) hal.11
35
abad ke-18M nasionalisme diartikan dengan kata modern menjadi suatu perasaan yang diakui secara umum32. Kata nasional dalam nasionalisme, berasal dari kata “nation” atau bangsa, yakni kumpulan manusia yang terikat oleh kesamaan budaya, wilayah, dan sejarah. Sedangkan menurut pengertian dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yaitu suatu paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; atau dengan kata lain suatu kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial
atau
aktual
bersama-sama
mencapai,
mempertahankan,
dan
mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu, semangat kebangsaan33. Nasionalisme di Indonesia diawali dengan timbulnya upaya-upaya pencarian jati diri masyarakat untuk memotivasi perlawanan terhadap bangsa asing. Ciri-ciri nasionalisme sebagai berikut : 1. Sudah ada persatuan dan kesatuan bangsa 2. Sifat perjuangannya sudah bersifat nasional 3. Tujuannya
untuk
mencapai
kemerdekaan
yang nantinya
ingin
mendirikan suatu negara merdeka yang kekuasaannya ditangani rakyat. 4. Sudah ada organisasi modern dan bersifat nasional 5. Mengandalkan kekuatan otak (pikiran), dimana pendidikan sangat berperan penting untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Penyebab tumbuhnya nasionalisme : 1. Adanya tekanan penderitaan yang terus menuju, sehingga rakyat 32
Hans Kohn, Nasionalisme – Arti Dan Sejarahnya Terjemahan Sumantri Mertodipuro, (Jakarta : Erlangga, cet-4, 1984) h.11 33 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2003, ISBN 9789796662913, Tebal 1371 halaman. h. 1.200
36
Indonesia harus bangkit melewati penjajah 2. Adanya rasa nasib sepenanggungan yang hidup dalam cengkeraman penjajah, sehingga tumbuh semangat bersatu membentuk negara 3. Adanya rasa kesadaran nasional harga diri, menyebabkan kehendak untuk memiliki tanah air dan hak menentukan nasib sendiri. Para kritikus beranggapan bahwa nasionalisme lebih dari pada sekedar ideologi politik. Nasionalisme juga merupakan suatu bentuk budaya dan „agama‟. Namun demikian, semua varian sependapat untuk sama-sama untuk memandang bangsa sebagai suatu bentuk „budaya politik‟, yang terbuka secara prinsip bagi semua anggota komunitas atau semua warga negara dari „negara nasional‟34. Kata nasionalisme disini, semakin lama semakin kuat peranannya dalam membentuk semua segi kehidupan, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat pribadi. Meskipun nasionalisme sendiri adalah gejala zaman modern, namun beberapa watak nasionalisme sudah lama berkembang dalam zamanzaman terdahulu35. Akar-akar nasionalisme tumbuh di atas tanah yang sama dengan peradaban barat, yaitu dari bangsa-bangsa ibrani dan yunani purba. Kedua bangsa ini mempunyai kesadaran yang tegas, bahwa mereka itu berbeda dari bangsa-bangsa yang lainnya. Seperti yang sudah diketahui bahwa nasionalisme menuntut penemuan kembali dan pemulihan identitas budaya bangsa yang unik, ini berarti nasionalisme menuntut agar orang kembali pada akarnya yang otentik di dalam komunitas budaya historis yang menghuni tanah air leluhurnya. Sebagai suatu
34
Anthony D. Smith, Nasionalisme : Teori, Ideologi, Sejarah, Terjemahan Frans Kowa ( Jakarta : Erlangga,2002) hal.42 35 Hans Kohn, Nasionalisme – Arti Dan Sejarahnya Terjemahan Sumantri Mertodipuro, (Jakarta : Erlangga, cet-4, 1984) h. 14
37
bentuk budaya, bangsa dari kaum nasionalis tersebut adalah bangsa yang anggotanya sadar akan kesatuan budaya dan sejarah nasional mereka. Mereka juga mengabdikan diri untuk menggali individualitas nasional mereka di dalam bahasa, adat istiadat, seni dan alam daerah mereka melalui pendidikan dan institusiinstitusi nasional. Ciri-ciri sikap nasionalisme adalah : a. Sudah ada persatuan dan kesatuan bangsa b. Sifat perjuangannya sudah bersifat nasional c. Tujuannya untuk mencapai kemerdekaan yang nantinya ingin mendirikan suatu negara merdeka yang kekuasaannya ditangani rakyat d. Sudah ada organisasi modern dan bersifat nasional e. Mengandalkan kekuatan otak (pikiran), dimana pendidikan sangat berperan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Terkait dengan makna nasionalisme dalam pembahasan kali ini, “Raja Jawa Tanpa Mahkota” begitulah julukan untuk HOS Tjokroaminoto yang memang sejak dini sudah memiliki rasa nasionalisme yang cukup tinggi diantara pemudapemuda lain yang hidup di tanah jawa ketika Belanda menjajah pada saat itu. Tjokroaminoto adalah salah satu anak dari seorang priyai jawa. Pada saat itu, seorang priyai pangkat terendah pun dapat menjadi orang yang sangat berkuasa di wilayahnya sendiri. Jika ia lewat, berjongkoklah para petani sambil menyembah, apa yang mereka lakukan itu adalah salah satu tanda tunduk dan hormatnya kepada priyai36. Berikut ini adalah susunan keresidenan pemerintahan jawa :
36
Hans Van Miert, Dengan Semangat Berkobar (Nasionalisme Dan Gerakan Pemuda Di Indonesia, 1918-1930) Diterjemahkan oleh Sudewo Satiman, (Jakarta : Pustaka Utan Kayu,2003), cet-1, h. 2
38
Amtenar Belanda
Residen Regent (Bupati) Patih (Pembantu Bupati) Wedana (Kepala Distrik)
Setelah tahun 1900 muncul kelompok yang dinamakan “Priyai Baru” kebanyakan mereka adalah orang muda dari kalangan pangreh praja yang telah memanfaatkan kesempatan yang lebih luas untuk memperoleh pendidikan barat lanjutan. Masa itulah periode politik etis, ketika orang mencurahkan perhatiannya kepada “pembangunan” jasmani dan rohani penduduk pribumi. Kaum muda ini sering tidak puas dengan sikap merendah pemerintah elit pemerintahan jawa. Mereka tak ingin mengikuti jejak orangtua mereka. Pendidikan menawarkan kepada mereka kemungkinan baru. Kemudian para “Priyai Baru” ini memperoleh pekerjaan dan status sosial berkat pendidikan yang dinikmatinya, seperti salah satunya adalah HOS Tjokroaminoto. Kelompok Priyai Baru inilah yang merupakan sumber utama nasionalisme37.
37
Hans Van Miert, Dengan Semangat Berkobar (Nasionalisme Dan Gerakan Pemuda Di Indonesia, 1918-1930) Diterjemahkan oleh Sudewo Satiman, (Jakarta : Pustaka Utan Kayu2003), h. 3
39
Menurut Tjokro, Nasionalisme bukan cara untuk bersepakatnya menjadi satu bangsa sehingga mengakibatkan Islam tidak mendapatkan ruang secara konsisten sebagai agama, jadi jika mendefinisikan nation state sebagai bagian yang terpisah dengan agama islam maka Nasionalisme seperti itu ia anggap telah menyalahi substansi nasionalisme sekaligus melampaui makna nasionalisme itu sendiri. Apalagi yang lebih fatal menurut beliau adalah perilaku seseorang yang mengaku dirinya islam dan berjiwa nasionalis tetapi tidak merefleksikan perilaku islam di forum-forum publik, seperti tidak mau menjalankan kebiasaan mengucap salam ala muslim, apalagi bersikap netral terhadap islam, ia anggap sebagai muslim yang sesat38. Bagi beliau, nasionalisme di Indonesia juga bukan membangkitkan nasionalisme terlebih dahulu kemudian jika sudah merdeka pengaturan pemerintahan berdasarkan islam. Pemikirannya ini ia tulis dalam koran Fadjar Asia edisi 24 mei 1924 yaitu : Di Indonesia sendiri, yang saat ini rakyatnya sedang memulai dan belajar serta membangkitkan jiwa nasionalisme, terlihat pula tanda akan menggiring nasionalisme menuju arah yang tidak benar. Beberapa saudara kita yang mengaku dirinya mslim berkata : “sekarang kami hendak menjadi nasionalis terlebih dahulu. Apabila negeri ini sudah merdeka, maka kami akan berusaha mengatur pemerintahan berdasarkan islam”. Jelas sekali hal tersebut merupakan perasaan nasionalisme sesaat dalam pandanga islam! Adapula saudara kita yang mengaku beragama islam, tetapi apabila mereka hendak berbicara di vergadering-vergadering, tidak suka mengucap ”salam” menurut adat kebiasaan muslim. Danapabila di vergadering mereka mendengar ucapan salam dari seorang pembicara muslim, mereka tidak menjawabnya. Padahal sebagaimana telah jelas dalam Al-Qur’an surat An-Nisa:86 Allah ta’ala memerintahkan: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan maka balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu”. Ada pula beberapa saudara yang mengaku beragama islam tetapi dalam ber-Nasionalisme mereka bersikap “neutral” terhadap semua agama bahkan kepada agamanya sendiri (Islam!). sungguh tersesatlah nasionalisme yang demikian itu bagi kita sebagai seorang muslim39.
38
Aji Dedi Mulawarman, Jang Oetama : Jejak Perjuangan HOS. Tjokroaminoto, (Yogyakarta : Galang Pustaka, 2015), h.37 39 Koran Fadjar Asia, 24 Mei 1924.
40
Sifat nasionalisme dalam diri seorang Tjokroaminoto tampak jelas terlihat ketika ia selesai menunaikan ibadah haji tahun 1926, beliau tidak lagi menggunakan gelar keningratannya dan lebih suka memperkenalkan diri dengan nama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Gelar “Raden Mas” baginya merupakan hak yang biasa saja, tidak begitu penting. Bahkan bagi beliau, status sosial “haji” lebih menunjukkan universalitas dan kemusliman sekaligus simbol/bentuk perlawanan dirinya terhadap dominasi Belanda saat itu. Berdasarkan kritik terhadap nasionalisme turki dan praktik nasionalisme yang sesat jalan di Indonesia itulah maka kemudian Tjokro memberikan definisi serta penjelasan bagaimana sebenarnya nasionalisme. Nasionalisme yang lahir dari jiwa patriotisme, sifat mencintai negeri bagi seorang muslim adalah haruslah merujuk kepada nabi Muhammad saw, karena menurut beliau patriot dan nasionalis terbesar sepanjang sejarah umat manusia adalah nabi Muhammad saw. Kecintaan terhadap tempat kelahiran menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup manusia sebagai makhluk sosial, begitu pula cinta terhadap tanah kelahirannya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw ketika ia diusir dari Makkah oleh orang-orang Quraisy: Telah menceritakan pada kami Qutaibah, telah menceritakan pada kami al-Laits dari Uqail dari az-Zuhri, dari Abu Salamah dari Abdullah bin Adi bin Hamra‟ berkata: ”Aku melihat Rasulullah saw berdiri di atas al-Hazwarah sembari bersabda: Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah benar-benar sebaik-baik bumi Allah dan juga merupakan bumi-Nya yang paling Dia cintai. Seandainya saja aku tidak dikeluarkan darimu, niscaya aku tidak akan pergi (meninggalkanmu)” (HR at-Tirmidzi, no: 3860).
41
Secara naluriah, seseorang akan merasa berat meniggalkan kampung halaman tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Hal ini kiranya yang dialami oleh Rasulullah saw dan para sahabat ketika Allah memerintahkan mereka untuk Hijrah ke Madinah, karena masyarakat Makkah ketika itu menolak ajaran Nabi saw. Namun rasa berat hati itu luluh saat berhadapan dengan perintah Allah. Mereka lebih memilih ridha Allah daripada sekedar memenuhi keinginan diri. Betapapun demikian, rasa cinta mereka kepada Makkah belum bisa terlupakan oleh para Sahabat ketika awal-awal hijrah, terbukti banyak dari sahabat yang mengalami demam Madinah.
BAB III GAMBARAN UMUM FILM “GURU BANGSA : TJOKROAMINOTO”
A.
Lahirnya Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota Jika dilihat dari representasi islam, Tjokro yang lahir di Bakur 16 Agustus 1882 bertepatan dengan meletusnya gunung krakatau ini memiliki keunikan tersendiri, karena “gen” yang melekat dalam dirinya merupakan perpaduan “unik” antara islam konstitusi (kebangsawanan atau priyai), dan islam kiyai (pondok pesantren). Sisi genetis priyai Tjokro berasal dari trah susuhunan Pakubuwono III Keraton Surakarta, B.R.M. Gusti Suryadi. Sedangkan, sisi genetis kiyai berasal dari tokoh kiyai besar, yaitu Kasan Besari, Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Kiyai Kasan Besari sendiri merupakan anak dari Kiyai Anom Grabahan dari garis darah trah Raden Patah (Mataram/Majapahit) dengan nyai anom dari garis darah trah Sunan Ampel, Surabaya . Pernikahan antara Kiyai Kasan Besari dan putri dari Susuhunan Pakubuwono III Surakarta kemudian melahirkan Raden Mas Adipati Tjokronegoro, yang nantinya menjadi Bupati Ponorogo. Kemudian Raden Mas Adipati Tjokronegoro menikah dan istrinya melahirkan Tjokroamiseno, ayah Tjokroaminoto. Seperti yang dapat dilihat di bagan silsilah keluarga Tjokro berikut ini :
42
43
“Raja Jawa Tanpa Mahkota”, inilah salah satu julukan Tjokroaminoto yang disebut-sebut oleh rakyat jawa dan kolonial Belanda pada masa itu. Sosoknya dikenal sebagai salah seorang yang berani melawan Belanda, dihargai, diagungkan, diharapkan juga disegani oleh masyarakat jawa. Semenjak jiwa nasionalisnya timbul untuk berani melawan Belanda, namanya lambat laun menjadi dikenal oleh masyarakat di seluruh pelosok pulau jawa. Puncaknya, ketika ketua SDI (Sarekat Dagang Islam) yaitu H. Samanhoedi memilih Tjokro untuk memimpin organisasinya yang kemudian digantikan namanya menjadi (Sarekat
Islam).
Alasan
didirikannya
organisasi
ini
adalah
persaingan
perdagangan batik, terutama dengan golongan cina dan juga karena sikap superioritas orang-orang cina terhadap orang-orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya revolusi cina tahun 1911 . Akhirnya, seluruh masyarakat jawa ikut bergabung ke dalam organisasi tersebut dan menjulukinya si „Raja Jawa Tanpa Mahkota‟. Sosok Tjokro yang dianggap sebagai pemimpin yang adil oleh masyarakat, juga dianggap sebagai raja di tanah jawa hanya saja ia tidak bermahkota, layaknya seorang raja pada umumnya.
B.
Gelar “Guru Bangsa” Dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” Secara
individual,
Tjokroaminoto
memang
telah
memiliki
sifat
kepemimpinan tranformasional-karismatik , yang terlihat dari kepribadian yang dominan, memiliki hasrat mempengaruhi, kepercayaan diri yang tinggi, serta memiliki nilai moral yang kuat. Ciri kepribadian tersebut membentuk perilaku keteladanan yang kuat, menunjukkan kecakapan, baik strategis maupun teknis
44
yang bertujuan dapat mengkomunikasikan gagasan dengan baik, selalu mendesain harapan yang tinggi, merangsang orang-orang di sekitarnya untuk bertindak kreatif sehingga menumbuhkan keyakinan dan nilai-nilai ideologi yang dibawanya, semuanya itu terekspresikan dalam keyakinan yang kuat serta dapat menumbuhkan gairah/motivasi
yang menginspirasi bagi orang-orang di
sekelilingnya. Tak heran, jika kolonial Belanda pada saat itu menyimpan rasa takut dan kesal yang berlebih dari sosok Tjokroaminoto, karena ia terlihat sangat “menantang” dan kharismatik. Tjokroaminoto adalah satu-satunya orang yang berani dengan kolonial Belanda, juga berani secara vokal dan terang-terangan mengatakan Hindia dengan pemerintahan sendiri sejak 1912 , sehingga ia dijuluki dengan si “Raja Jawa Tanpa Mahkota”, karena pembawaannya itulah ia dianggap seperti seorang raja pada umumnya, hanya saja tidak bermahkota. Maka dari itu, terkait dengan julukan yang diberikan kepada Tjokroaminoto yaitu “Guru Bangsa” dan sosoknya yang tergambar sangat luar biasa sekali untuk dijadikan
panutan
atau
seorang
guru
besar,
akhirnya
keluarga
besar
Tjokroaminoto, pemain beserta kru film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” ini memutuskan untuk membuat sebuah memoriam dalam bentuk film drama-biopik. Sebenarnya, keluarga besar dari Tjokroaminoto sendiri keberatan dengan judul film yang mengangkat nama Tjokroaminoto dengan julukan “Guru Bangsa”, karena mereka khawatir hal tersebut dianggap terlalu membesar-besarkan „eyang‟ mereka . Sampai pada akhirnya keluarga, pemain beserta kru film ini sepakat untuk melakukan Votting. Kemudian nama judul film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” inilah yang diambil oleh kru dan disetujui oleh banyak pihak,
45
karna memang julukan itu juga sangat pantas diberikan kepada sang guru para tokoh-tokoh besar Indonesia ini. Film ini ditayangkan pada 9 April 2015 lalu, dan mampu mengambil banyak perhatian khalayak yang ditandai dengan terpilihnya sebagai “Film Terpuji” Festival Film Bandung (FFB) 2015, pemenang piala Maya 2015, kemudian menjadi pemenang Piala Citra untuk kategori Film Terbaik di malam anugerah Festival Film Indonesia (FFI) 2015, dan yang terakhir mendapatkan lima piala sekaligus pada malam anugerah Usmar Ismail Award 2016 yaitu dua piala terbaik, dua piala terfavorit dan satu kategori khusus dari Perpusnas RI (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia).
C.
Sinopsis Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” HOS Tjokroaminoto (Tjokro) yang lahir dari kaum bangsawan Jawa dengan latar belakang keislaman yang kuat, tidak diam saja melihat kondisi kemiskinan rakyat dan kesenjangan sosial selepas Tanam Paksa dan awal Politik Etis sekitar tahun 1900an. Ia berani meninggalkan status kebangsawanannya dan bekerja sebagai kuli pelabuhan. Tjokro berjuang dengan membangun organisasi Sarekat Islam, yaitu salah satu organisasi resmi bumiputera pertama terbesar, yang mempunyai 180 cabang sampai lebih dari dua setengah juta anggota, dan mampu mengalahkan jumlah anggota organisasi sebelumnya yang pernah ada yaitu Boedi Oetomo. Ia berjuang untuk menyamakan hak dan martabat masyarakat bumiputera yang terjajah. Perjuangan ini menjadi awal lahirnya tokoh dan gerakan kebangsaan, seperti Soekarno, Muso, Semaoen dan Kartosuwiryo. Tjokro adalah intelektual, pandai bersiasat, mempunyai banyak keahlian,
46
termasuk jago silat, ahli mesin dan hukum, penulis surat kabar yang kritis, orator ulung yang mampu menyihir ribuan orang, membuat pemerintah Hindia Belanda khawatir, dan bertindak untuk menghambat laju gerak Sarekat Islam. Perjuangan Tjokro lewat organisasi Sarekat Islam juga terancam oleh perpecahan dari dalam organisasi itu sendiri. Rumah Tjokro di Gang Peneleh, Surabaya, terkenal sebagai tempat bertemunya tokoh-tokoh bangsa Indonesia kelak. Di rumah sederhana yang berfungsi sebagai rumah kos yang dikelola oleh istrinya, Soeharsikin, Tjokro mempunyai banyak murid muda yang kemudian mempunyai jalan perjuangannya masing-masing, meneruskan cita-cita Tjokro, yaitu : “Bangsa bermartabat, terdidik, dan sejahtera”. Salah satu muridnya di Peneleh adalah proklamator kemerdekaan Indonesia, yaitu Soekarno. Kemudian ia wafat pada hari senin kliwon, 10 Ramadhan 1353 H, atau tepatnya pada tanggal 17 Desember 1934, ketika berumur 52 tahun .
D.
Penghargaan Film Setelah film Guru Bangsa Tjokroaminoto memenangkan tiga piala di Festival Film Bandung (FFB) 2015 dan tiga piala di Festival Film Indonesia (FFI) 2015, kembali meraih Anugerah Film Cerita Panjang, Film Bioskop Terpilih (Piala Maya) 2015, dan yang terakhir mendapatkan lima piala sekaligus pada malam anugerah Usmar Ismail Award 2016 yaitu dua piala terbaik, dua piala terfavorit dan satu kategori khusus dari Perpusnas RI (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia) bersaing dengan film-film favorit lainnya seperti Surat Dari Praha dan Filosofi Kopi.
47
E.
Profil Dan Karya-Karya Dari Sutradara Garin Nugroho Riyanto atau yang lebih dikenal dengan Garin Nugroho merupakan
salah
satu
produser
dan
sutradara Indonesia yang popular di dunia perfilman saat ini. Nama Garin Nugroho mulai dikenal luas setelah film pertamanya yang memiliki durasi terpanjang, yaitu “Cinta dalam Sepotong Roti” pada tahun 1990. Lalu, film keduanya, “Surat Untuk Bidadari” yang rilis di tahun 1992 lalu membawa namanya ke panggung film internasional. Garin Nugroho juga peduli pada masalah lingkungan hidup. Hal tersebut setidaknya tercermin dalam filmnya yang bertema lingkungan, yaitu Under The Tree. Ia juga mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bernama SET pada tahun 1987. LSM tersebut bertujuan untuk membuat bahasa yang baru, menciptakan spirit penciptaan dan membuat komunitas. Dari LSM tersebut lahirlah sutradara muda, seperti salah satunya yaitu Riri Riza . Dalam hal film, Garin Nugroho memulai kariernya sebagai kritikus film dan pembuat film dokumenter. Ia telah menyelesaikan sedikitnya dua puluh film (dokumenter, film pendek dan film panjang). Pada perayaan 250 tahun Mozart, ia terpilih sebagai salah satu dari enam sutradara inovatif dunia untuk membuat film yang kemudian melahirkan Opera Jawa. Di bidang musik, ia sempat membuat video klip January Christy, Titi DJ, Krakatau (grup musik), Katon Bagaskara, Paquita Widjaya, Edo Kondologit dan Gong 2000. Salah satu karya video klipnya,
48
yaitu Negeri di Atas Awan (dinyanyikan oleh Katon Bagaskara) berhasil mendapat Trofi Visia pada final Video Musik Indonesia Periode II 1994/1995. Sampai saat ini, tidak sedikit film pendek ataupun panjang yang sudah dirilis oleh Garin Nugroho, yaitu diantaranya sebagai berikut : 1)
Gerbong Satu, Dua (1984)
2)
Cinta dalam Sepotong Roti (1990)
3)
Air & Romi (1991)
4)
Surat untuk Bidadari (1992)
5)
Bulan Tertusuk Ilalang (1994)
6)
Daun di Atas Bantal (1997)
7)
My Family, My Films and My Nation (1998)
8)
Dongeng Kancil untuk Kemerdekaan (1999)
9)
Puisi Tak Terkuburkan (1999)
10)
Layar Hidup: Tanjung Priok/Jakarta (2001)
11)
Rembulan di Ujung Dahan (2002) (TV Movie)
12)
Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002)
13)
Rindu Kami Padamu (2004)
14)
Serambi (2005)
15)
Opera Jawa (2006)
16)
Under The Tree (2008)
17)
Teak Leaves and The Temple (2008)
18)
Generasi Biru (2009)
19)
Mata Tertutup (2012)
20)
Soegija (2012)
49
21)
Isyarat (2013)
22)
“Guru Bangsa: Tjokroaminoto” (2015)
23)
Aach Aku Jatuh Cinta (2016)
“Bagaikan sayur tanpa garam”, pepatah ini sangat cocok diberikan kepada produser yang sangat kreatif dan produktif satu ini. Bagaimana tidak, hampir semua film yang ia buat selalu membuahkan sebuah hasil yang memuaskannya seperti sebuah penghargaan, artinya semua karya-karyanya yang ia buat selama ini sangat diterima oleh kalangan masyarakat. Pria yang menempuh pendidikan film di Fakultas Sinematografi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan pendidikan hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini sudah mengantongi banyak penghargaan dari awal tahun karirnya sampai tahun 2015, sebagai berikut : 1) 1991 : Unggulan di Festival Film Indonesia kategori Sutradara Terbaik pada film “Cinta dalam Sepotong Roti”. 2) 1992 : a) Pemenang di Festival Film Asia Pasifik kategori Sutradara Pendatang Baru pada film “Cinta dalam Sepotong Roti”. b) Unggulan di Festival Film Indonesia kategori Cerita Asli Terbaik pada film “Cinta dalam Sepotong Roti”. 3) 1996 : FIPRESCI dari Festival Film Internasional Berlin untuk film “Bulan Tertusuk Ilalang”. 4) 1997 : Pemenang di Festival Tiga Benua, Nantes, Perancis kategori Sutradara Terbaik pada film “Bulan Tertusuk Ilalang”. 5) 1998 : a) Unggulan di Festival Film Asia Pasifik kategori Skenario Terbaik
50
pada film “Daun di Atas Bantal”. b) Penghargaan Khusus Juri di Festival Film Internasional Tokyo untuk film “Daun di Atas Bantal”. 6) 1999 : a) Unggulan di Festival Film Bandung kategori Sutradara pada film “Daun di Atas Bantal”. b) Pemenang di Festival Film Bandung kategori Penghargaan Khusus pada film “Daun di Atas Bantal”. 7) 2000 : Silver Leopard Video di Festival Film Internasional Locarno untuk “Puisi Tak Terkuburkan”. 8) 2006 : Pemenang di Festival Film Indonesia kategori Penulis Skenario Cerita Adaptasi Terbaik pada film “Opera Jawa”. 9) 2007 : Film Terbaik Asia di Osian's Cinefan Festival ke-7 lewat Rindu Kami Padamu. 10) 2008 : Unggulan di Festival Film Indonesia kategori Penyutradaraan Terbaik pada film “Under The Tree”. 11) 2012 : Unggulan di Festival Film Indonesia 2012 kategori Penyutradaraan Terbaik. 12) 2015 : a) “Film Terpuji” Festival Film Bandung (FFB) b) Pemenang Piala Maya 2015 c) Pemenang Piala Citra untuk kategori Film Terbaik di malam anugerah Festival Film Indonesia (FFI). 13) 2016 : Mendapatkan lima piala sekaligus pada malam anugerah Usmar
51
Ismail Award 2016 yaitu dua piala terbaik, dua piala terfavorit dan satu kategori khusus dari Perpusnas RI. Ketua panitia FFB 2015, Eddy D Iskandar memberikan komentar positif untuk Film yang membutuhkan waktu selama dua setengah tahun untuk riset hingga ke Belanda ini , ia mengatakan bahwa, “kelebihan Film Guru Bangsa Tjokroaminoto dibanding film yang lain adalah menampilkan unsur kedaerahan dan nasionalisme yang menjadi inti dari penilaian yang dilakukan oleh panitia . Menurutnya, dari film-film yang sebelumnya seperti Soekarno, sang kiyai dan beberapa film yang banyak muatan sejarahnya dan nasionalisme yang sangat bagus, tetapi khusus untuk film Guru Bangsa Tjokroaminoto ini panitia melihat dari sisi yang lain” .
F.
Profil Pemain Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” Reza Rahadian Reza Rahadian dalam film ini ia memerankan sebagai tokoh utama yaitu HOS Tjokroaminoto. Ia memulai awal karier di dunia hiburan dengan menjadi seorang model. Sebelumnya, Reza berhasil meraih juara Favorite Top Guest majalah Aneka Yess! tahun 2004. Reza mengawali karir aktingnya di sinetron, seperti di antaranya “Culunnya Pacarku”, produksi Rapi Films di tahun 2005 silam. Kesempatan yang datang tersebut dimanfaatkan Reza dengan sebaik-baiknya. Ia berusaha mengerahkan seluruh kemampuan akting yang ia miliki. Terbukti, ia kembali dipercaya pihak Rapi Films untuk bermain dalam
52
sinetron produksi mereka berikutnya Sebut saja sinetron Inikah Rasanya, Mutiara Hati, Cinta SMU 2, ABG dan Aku Hamil. Dari sinetron Reza pun mulai mendapat beberapa tawaran bermain film layar lebar. Karir dari Reza semakin menanjak dengan bermain dalam film layar lebar Film Horor. Lewat film Perempuan Berkalung Sorban, ia meraih Piala Citra 2009 untuk kategori Pemeran Pendukung Pria Terbaik. Pada tahun berikutnya, ia juga meraih Piala Citra untuk kategori pemeran Utama Pria Terbaik lewat film 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta. Pada tahun 2013, Reza berhasil meraih Piala Layar Emas IMA Indonesian Movie AwardsI untuk kategori Pemeran Utama Pria Terfavorit di film Habibie & Ainun . Dalam film terakhirnya pun yang dirilis pada tahun 2014 lalu, ia kembali mendapatkan penghargaan yang digelar oleh Festival Film Bandung 2015 (FFB) sebagai Pemeran Pria Terpuji dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”. Penghargaan a)
Pemeran utama pria terbaik, film Perempuan Berkalung Sorban. Festival Film Indonesia, 2009.
b)
Pemeran utama pria terbaik, film Emak ingin naik haji. Festival Film Indonesia, 2010.
c)
Pemeran utama pria terbaik, film 3 hati dua dunia, satu cinta. Festival Film Indonesia, 2010.
d)
Pemeran utama pria terbaik, film Habibie dan Ainun. Festival Film Indonesia, 2013.
e)
Aktor favorit, Indonesia Kid Choice Award, 2013.
f)
Pemeran Pria Terpuji dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” 2015.
53
Putri Ayudya Putri Ayudya dalam film ini memerankan sebagai
Soeharsikin,
yaitu
istri
dari
HOS
Tjokroaminoto. Ia mewakili provinsi DKI Jakarta 2 dalam Tiga puluh delapan finalis dari 33 provinsi
berkompetisi
memperebutkan
gelar
Puteri Indonesia 2011, menjadi presenter di program Jejak Petualang di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia . Ayu berkesempatan mendaki pegunungan Himalaya bersama 50 wanita dari kelompok kartini petualang, walaupun hanya sampai di ketinggiian 6.000 kaki di atas permukaan Ayu bangga karena dapat melihat langsung dampak pemanasan global terhadap es abadi di Himalaya. Ia juga merupakan salah satu finalis Wajah Femina pada tahun 2008. Selain gemar mendaki gunung, Gadis Sampul 2002 ini juga menyukai olahraga bela diri Karate. Filmografi FTV Pesan Dari Samudra
Christoffer Nelwan Christoffer Nelwan (lahir di Jakarta, Indonesia, 30 Januari 1997; umur 17 tahun) dalam film ini ia memerankan peran sebagai Tjokro Muda. Ia juga merupakan seorang aktor berkebangsaan Indonesia. Dia pertama kali bermain di drama musikal
54
seperti Laskar Pelangi pada tahun 2010 Ia juga memainkan film tentang Pramuka berjudul 5 Elang. Ia mempunyai kakak kembar yang bernama Athina Nelwan dan Bianca Nelwan. Di tahun 2014 lalu dia bermain film komedi yang berjudul Marmut Merah Jambu. Ia dan kedua kakak nya juga menyanyikan soundtrack film Marmut Marmut Merah jambu yang berjudul nama film itu sendiri. Filmografi a)
5 Elang (2011)
b)
Habibie & Ainun sebagai Ilham Akbar Kecil (2012)
c)
Marmut Merah Jambu (2014)
Christine Hakim Herlina Christine Natalia Hakim (lahir di Kuala Tungkal, Jambi, 25 Desember 1956; umur 57 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Christine Hakim dalam film ini ia memerankan peran sebagai mbok tambeng, ia adalah kerabat dekat dari Soeharsikin. Ia adalah salah satu aktris senior dan terkemuka di Indonesia . Meski dilahirkan di Jambi, namun orang tuanya merupakan campuran Minangkabau, Aceh, Banten, Jawa, dan Lebanon. Hal inilah yang menyebabkan Christine kecil sering mempertanyakan identitas dirinya. Sepanjang kariernya sebagai artis film Indonesia, Christine Hakim dikenal sebagai artis yang memiliki akting yang sangat bagus. Sehingga telah banyak mendapatkan pujian dan meraih penghargaan piala Citra selama beberapa kali. Karena itulah dia juga kerap dikatakan hanya bermain di film-film yang
55
berkualitas bagus di bawah arahan sutradara-sutradara yang handal. Ketika perfilman Indonesia mencoba bangkit kembali di era 2000-an awal, Christine Hakim langsung mengambil peran penting dalam film penuh pujian Pasir Berbisik. Dengan lawan main Dian Sastrowardoyo, aktris muda yang sedang naik daun ketika itu, film ini bertabur berbagai penghargaan di ajang festival film luar dan dalam negeri. Di ajang Festival Film Indonesia pada 2004 setelah 12 tahun absen diselenggarakan, Pasir Berbisik mengantongi 8 nominasi penghargaan termasuk untuk kategori bergengsi Film Terbaik dan Aktris Utama Terbaik. Walaupun tidak meraih Film Terbaik, film ini adalah catatan kembalinya Christine Hakim dalam sinema Indonesia terkini yang didobrak sebagai sineas muda yang haus akan idealism berkarya. Penghargaan a)
Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik, dalam film Cinta Pertama (1974)
b)
Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam film Sesuatu Yang Indah (1977)
c)
Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam film Pengemis dan Tukang Becak (1979)
d)
Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam film Kerikil-Kerikil Tajam (1985)
e)
Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam film Di Balik Kelambu (1983)
f)
Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam film Tjoet Nja‟ Dhien (1988)
56
g)
Aktris Terpuji Festival Film Bandung dalam film Tjoet Nja‟ Dhien (1989)
h)
Penghargaan khusus Festival Film Bandung (1999)
i)
Best Actrees pada Asia Pasific International Film Festival dalam film Daun diatas bantal (1998)
j)
Aktris Terpuji Festival Film Bandung dalam film Pasir Berbisik (2002) Lifetime Achievement SCTV Awards 2002
k)
Nominasi Piala Maya 2012 – Aktris Pemeran Pendukung (Rayya, Cahaya Di Atas Cahaya)
l)
Nominasi Piala Maya 2013 – Aktris Pemeran Pendukung (Sang Kiai)
Sujiwo Tedjo Agus Hadi Sudjiwo (lahir di Jember, Jawa Timur, 31 Agustus 1962; umur 51 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Sujiwo Tejo. Di film ini ia memerankan sebagai Mangoensoemo. Ia adalah seorang budayawan Indonesia. Ia pernah mengikuti kuliah di ITB, namun kemudian mundur untuk meneruskan karier di dunia seni yang lebih disenanginya . Sempat menjadi wartawan di harian Kompas selama 8 tahun lalu berubah arah menjadi seorang penulis, pelukis, pemusik dan dalang wayang. Selain itu ia juga sempat menjadi sutradara dan bermain dalam beberapa film seperti Janji Joni dan Detik Terakhir. Selain itu dia juga tampil dalam drama teatrikal KabaretJo yang berarti “Ketawa Bareng Tejo”. Sujiwo Tejo juga aktif dalam menggelar atau turut serta dalam
57
pertunjukan teater. Antara lain, membuat pertunjukan Laki-laki kolaborasi dengan koreografer Rusdy Rukmarata di Gedung Kesenian Jakarta dan Teater Utan Kayu, 1999. Sujiwo Tejo juga menjadi Sang Dalang dalam pementasan EKI Dancer Company yang bertajuk Lovers and Liars di Balai Sarbini, Sabtu dan Minggu, 2728 Februari 2004. Selain teater, Sujiwo Tejo juga bermain dan menjadi sutradara film. Debut filmnya adalah Telegram (2001) arahan Slamet Rahardjo dengan lawan main Ayu Azhari. Film ini bahkan meraih Best Actress untuk Ayu Azhari dalam Asia-Pacific Film Festival. Kemudian dilanjutkan Kafir (2002), Kanibal (2004) menjadi Dukun Kuntetdilaga, Janji Joni (2005), dan Kala (2007). Bersama Meriam Bellina, Sujiwo Tejo membintangi Gala Misteri SCTV yang berjudul Kafir-Tidak Diterima di Bumi (2004). Filmografi a)
Telegram (2001)
b)
Kafir (2002)
c)
Kanibal – Sumanto (2004)
d)
Detik Terakhir (2005)
e)
Janji Joni (2005) Kala (2007)
f)
Hantu Aborsi (2008)
g)
Kawin Laris (2009)
h)
Capres (Calo Presiden) (2009)
i)
Sang Pencerah (2010)
j)
Tendangan dari Langit (2011)
k)
Semesta Mendukung (2011)
l)
Sampai Ujung Dunia (2012)
58
m)
Soekarno (2013)
Maia Estianty Maya Estianty lahir di Surabaya, Jawa Timur, 27 Januari 1976 atau dulu juga dikenal dengan nama Maia Ahmad adalah seorang musisi dan pengusaha berkebangsaan Indonesia. Dalam film
ini,
ia
memerankan
sebagai
Ibu
Mangoensoemo (istri dari Mangoensoemo). Ia merupakan salah satu penyanyi dari duo Maia dan sebelumnya dikenal sebagai kibordis dari duo Ratu . Selain bernyanyi, Maia juga terjun ke dunia artis dan menjadi salah satu pemeran komedi Extravaganza di Trans TV tetapi kemudian berhenti, lalu melanjutkan berperan di drama sit-kom OB di (RCTI) untuk beberapa episode. Pada tahun 2009, duo Maia merilis album bertajuk Sang Juara dan Album mereka mencetak single seperti “Pengkhianat Cinta” dan “Serpihan Sesal” serta Sang Juara yang didedikasikan untuk para Olahragawan Indonesia yang di nobatkan sebagai lagu wajib oleh Menteri Pemuda & Olahraga Indonesia, Adyhaksa Dault dalam acara Pertandingan-Pertandingan Serta Kejuaraan Olahraga yang diselenggarakan di Indonesia menggantikan lagu “We Are The Champion” yang dibawakan Queen. Maia juga membintangi Film yang berjudul “Kata Maaf Terakhir”. Dari bisnis musik, kini Maia melirik film. Ia ingin menjadi produser film. Diam-diam, ternyata Maia menjadi salah seorang yang menyiapkan film “Guru bangsa Tjokroaminoto” ini, dan memang ingin didedikasikan untuk sang kakek, yaitu Hadji Oemar said Tjokroaminoto.
59
Filmografi
G.
a)
Lantai 13 (2007) – Bintang Tamu
b)
Oh My God (2008) – Pemeran Pendukung
c)
Kata Maaf Terakhir (2009) – Pemeran Utama
Tim Produksi Dalam suatu pembuatan film, tentunya tidak akan berjalan secara baik jika tidak ada tim produksi didalamnya, karena sejatinya tim produksi inilah yang nantinya akan berada secara penuh dan langsung di lokasi pembuatan film tersebut. Ada beberapa bagian dalam suatu tim produksi, yaitu : Departemen Produksi a)
Sutradara
: Garin Nugroho
b)
Produser
: Christine Hakim, Alm. Didi Petet, Dewi Umaya
Rachman, Sabrang Mowo Damar Panuluh, Nayaka Untara, Ari Syarif. c)
Penata skrip & cerita : Ari Syarif, Kemal Pasha Hidayat, Erik Supit
d)
Line Producer
e)
Asisten sutradara : Sugeng Wahyudi
f)
Manajer Lokasi
: Agus Santoso
g)
Casting Director
: Adji Nur Ahmad
h)
Pencatat Adegan
: Pritagita Arianegara
i)
Asisten Produksi
j)
Pimpinan Pasca Produksi
k)
Produser Eksekutif
: Ai Tjokroaminoto
l)
Produser Eksekutif
: Erik Hidayat
: Elza Hidayat
: Dian Lasvita : Rizky Amalia
60
Departemen Kamera a)
Penata Kamera
: Ipung Rachmat Syaiful
Departemen Artistik b)
Disain Produksi
: Ong Hari Wahyu
c)
Penata Artistik
: Allan Sebastian
d)
Penata Busana
: Retno Ratih Damayanti
e)
Penata Rias
: Didin Syamsudin
Departemen Suara dan Musik a)
Penata Suara
: Satrio Budiono
b)
Perekam
: Suara Trisno
c)
Penata Musik
: Andi Rianto
Departemen Penyuntingan a)
Penata Gambar
: Wawan I Wibowo
b)
Efek Visual
: Satria Bayangkara
Departemen lainnya a)
Fotografi
: Erik Wirasakti
b)
Produksi
: Pic[k]lock Production
c)
Produksi
: Yayasan Keluarga Besar HOS Tjokroaminoto
d)
Produksi
: MSH Films
Produksi
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Makna Denotasi, Konotasi, dan Mitos dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”. Film ini dimulai dengan scene dimana Tjokro (Reza Rahadian) sedang diinterogasi oleh salah seorang pekerja Belanda berkebangsaan Yaman di penjara kalisosok Surabaya, karena ia dicurigai telah melakukan tindakan yang dianggap oleh pemerintah Belanda adalah menyimpang. Pihak Belanda mencurigai Tjokro atas kerusuhan yang terjadi di Garut – Jawa Barat pada tahun 1921, karena ia adalah ketua dari organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi yang dinilai oleh Belanda sering melakukan pemberontakan terhadap kolonial-kolonial Belanda, juga sering membuat kerusuhan dimana-mana. Kemudian, dilanjutkan ketika Tjokro muda melihat seorang buruh yang disiksa oleh atasannya yaitu salah seorang dari kolonial Belanda karena buruh tersebut telah melakukan keteledoran. Darah yang terpercik di antara hamparan kapas menjadi potret yang terekam kuat di benaknya dan membekas dalam hatinya. Sehingga pada saat itu jiwa nasionalismenya sedikit demi sedikit mulai tumbuh di dalam dirinya. Sampai akhirnya ia berniat untuk segera membuat pemerintahan sendiri, agar rakyat Indonesia tidak lagi dijadikan “Sapi Perah” oleh pemerintah Belanda. Film drama-biopik „Guru Bangsa Tjokroaminoto‟ ini berdurasi 160 menit, dan hanya menceritakan 10 tahun perjuangannya pada periode 1911 sampai 1921 saja. Film ini mengisahkan sosok Tjokro ketika berjuang untuk memberontak
61
62
Belanda, ditahan, memimpin SI, persoalan keluarga, sampai akhirnya ia bekerja keras untuk membuat pemerintahan sendiri di tanah kelahirannya yaitu Indonesia dengan mengatasnamakan “Hijrah” serta dengan pemikiran-pemikirannya yang cemerlang. Sesuai dengan rumusan masalah pertama, penulis akan mengidentifikasi enam scene yang dianalisis sesuai dengan model semiotik yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu semiotik Roland Barthes, sebagai berikut : 1) Fase Tjokro Remaja. Pada fase ini dari masa awal anak anak hingga masa awal dewasa, yang memasuki usia kira-kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun. Masa remaja bermula pada perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol (pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis) dan semakin banyak menghabiskan waktu di luar keluarga1.
1
http://ariestaputris.blogspot.co.id/2014/08/fase-fase-perkembangan-usia-remaja.html
63
Scene 1
Visual & Durasi
Durasi 00 : 08 : 24
Dialog
Type of Shot
Tjokro : “Orang-orang Eropa datang kesini untuk mencari apa yang tidak mereka punya. Karet, kopi, pala, cengkeh, tembakau untuk pabrik-pabrik, mereka juga mencari pelabuhan-pelabuhan hangat untuk mengambil hasil kita sepanjang tahun” Guru : “tutup mulutmu!” Over The Shoulder Shot. Tipe shot ini merupakan yang dilakukan untuk dua subyek, namun pengambilan gambar dilakukan dari belakang bahu salah satu subyek. Orang yang dihadapi subyek biasanya harus menempati sekitar 1/3 frame. Tipe shot ini biasa digunakan dalam sebuah percakapan dua subyek, framing gambar bisa dilakukan bergantian sehingga visual dapat terlihat dinamis.
64
Makna Denotasi Tjokro menjelaskan apa yang ditanyakan oleh gurunya di sekolah (OSVIA) yaitu “apa yang terjadi jika kapal Eropa datang ke pulau Hindia Belanda?”, tetapi gurunya tidak senang dengan jawaban Tjokro yang menyudutkan negara asalnya itu. Akhirnya, Tjokro pun dihukum oleh gurunya dengan bentuk hukuman yang diberikan yaitu meletakkan tumpukkan buku-buku tebal diatas kepalanya, kemudian setelah panjang lebar Tjokro membantah, akhirnya ia diusir dari dalam kelas oleh gurunya. Makna Konotasi Tjokro bukanlah anak yang pendiam, justru ia adalah anak yang agresif, pikirannya tak pernah berhenti melakukan kreativitas, tidak seperti anak-anak lainnya yang seumuran dengannya. Progresivitas dan kreativitas yang berlebih itu kemudian biasanya orang-orang menyebutnya dengan “anak nakal”. Karena itu, menjadi wajar ketika pada masa bermain, kreativitas Tjokro muda menyebabkan ia menjadi dominan di antara teman-teman sebayanya di desa. Tetapi, kreativitas dan dominasi itu tidak menjadi masalah baginya, justru hal itu menjadi pupuk yang tepat bagi tumbuhnya sifat kepemimpinan yang lugas di masa depannya. Masalah mulai muncul, ketika kreativitas dan dominasi itu terbawa di sekolah formal yang aktivitasnya lebih diarahkan kepada pengetahuan dan perilaku berkepatuhan pada sistem kekuasaan penguasa kolonial Belanda. Salah satu bentuk masalah yang timbul karena kreativitasnya yaitu yang terlihat pada scene diatas. Ketika gurunya bertanya “apa yang terjadi jika kapal eropa datang ke pulau Hindia Belanda?”. Kemudian Tjokro menjawab, “Orangorang Eropa datang kesini untuk mencari apa yang tidak mereka punya. Karet,
65
kopi, pala, cengkeh, tembakau untuk pabrik-pabrik, mereka juga mencari pelabuhan-pelabuhan hangat untuk mengambil hasil kita sepanjang tahun”. Kemudian gurunya membantah “tutup mulutmu!” dan akhirnya mengeluarkannya dari ruang kelas. Dari apa yang ia jelaskan itu, sebenarnya ia menjelaskan realita yang benar-benar terjadi pada saat itu. Adegan ini menginsyaratkan bahwa Tjokro sudah mulai memberanikan dirinya untuk memberontak serta melawan penjajah dengan pengetahuannya atau pemikiran-pemikirannya yang kritis tersebut. Mitos Bentuk perlawanan dari sosok Tjokroaminoto sendiri sudah sangat terlihat sejak ia berusia dini. Walaupun ia terlahir dari keluarga priyai pangreh praja, tetapi nyalinya semakin hari semakin bertambah kuat untuk memberontak dan melawan penjajah.
Ketika ia kecil hingga remaja, ia memang tidak pernah
berfikir untuk melawan penjajah Belanda dengan senjata atau kembali membalasnya dengan kekerasan seperti apa yang telah dilakukan oleh tentara Belanda kepada rakyat jawa. Justru ia lebih menekankan perlawanannya pada pemikiran-pemikirannya yang kritis hingga dianggap terlalu radikal revolusioner oleh kolonial Belanda.
2) Fase Tjokro Beranjak Dewasa. Pada fase ini bermula pada akhir usia belasan tahun atau awal usia 20 tahun dan berakhir pada usia 30 tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, masa perkembangan karir, dan bagi banyak orang, masa pemilihan pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai keluarga, dan mengasuh anak anak.
66
Scene 2 dan 3
Durasi 00 : 14 : 49 Visual & Durasi
Durasi 00 : 14 : 55
67
Dialog
Tjokro : “Teh ini panas, tapi tanganku sudah terbiasa dengan panasnya matahari. Teh ini ditanam di tanah mereka, dengan keringat mereka. Tuan menikmati teh ini pagi dan sore demi kesejahteraan hidup tuan”.
Type of Shot
1. Two Shot Two Shot merupakan tipe shot yang menampilkan dua orang dalam satu frame kamera, tipe shot ini dapat digunakan untuk membangun hubungan antara subyek satu dengan lainnya, masing-masing subyek dapat saling berinteraksi dan terlibat dalam gerakan atau tindakan dalam pengambilan gambar. Tipe shot ini juga biasanya digunakan ketika dua presenter sedang membawakan acara ataupun memperkenalkan dua orang secara bersamaan. 2. Cutaway Jenis shot ini digunakan untuk membangun situasi. Subyek bisa berbeda, misalnya hewan kesayangan milik subyek, bagian yang berbeda dari subyek misalnya properti milik subyek, atau apapun.
Denotasi Pada dua scene diatas terlihat Tjokro sedang menuangkan teh ke dalam cangkir Haendlift yaitu salah seorang staff Belanda, setelah ia memarahi salah seorang pekerja pribumi (pelayan) karena telah membawa secangkir minumannya tanpa alas tangan. Dengan berani Tjokro menatap dan berkata kepada haendlift dengan tatapan mata yang tajam, nada bicara yang tegas serta lugas, ia mengatakan “teh ini panas, tapi tanganku sudah terbiasa dengan panasnya matahari. Teh ini ditanam di tanah mereka, dengan keringat mereka. Tuan menikmati teh ini pagi dan sore demi kesejahteraan hidup tuan”, sampai teh yang ia tuangkan ke dalam cangkir terisi penuh hingga akhirnya mengalir menumpahi meja kerja haendlift dan hampir saja mengenainya.
68
Konotasi Pada scene diatas, Tjokro nampak kesal dengan apa yang sudah Haendlift lakukan terhadap rakyatnya tersebut. Berawal karena Haendlift beranggapan bahwa jika tubuhnya tersentuh dengan kulit rakyat pribumi yang sering sekali terserang berbagai penyakit, menurutnya akan menularkan penyakit-penyakit tersebut kepadanya, sehingga Haendlift kesal jika didapatinya pelayan yang membawakan minuman ataupun makanannya tanpa memakai alas tangan. Kemudian Tjokro menunjukkan rasa kekesalannya terhadap Haendlift dengan memberanikan dirinya, untuk melawannya dengan menghampirinya dan menuangkan teh ke dalam cangkirnya sambil berkata “teh ini panas, tapi tanganku sudah terbiasa dengan panasnya matahari. Teh ini ditanam di tanah mereka, dengan keringat mereka. Tuan menikmati teh ini pagi dan sore demi kesejahteraan hidup tuan”, sampai akhirnya teh yang ia tuangkan ke dalam cangkir terisi penuh hingga mengalir menumpahi meja kerja Haendlift. Ini adalah salah satu bentuk nilai nasionalisme yang tergambar dalam dirinya, yaitu kepeduliannya terhadap segala bentuk masalah yang dihadapi oleh rakyatnya, ia pun sudah ikut serta dalam upaya pembelaan terhadap rakyatnya yang sudah diperlakukan seperti itu oleh penjajah. Mitos Pada masa itu, seluruh pekerja Belanda dari setingkat buruh hingga priyai pangreh praja akan selalu menuruti apa yang diperintahkan oleh Belanda. Jika ada yang memberontak, tentara Belanda akan siap menyiksa orang tersebut sampai ia akan menuruti apa yang diperintahkan. Sangat berbeda dengan apa yang
69
dipikirkan serta apa yang dilakukan oleh Tjokro. Walaupun ia sudah lama menggeluti pekerjaannya sebagai priayi pangreh praja, tetapi jika ia melihat ketidakadilan ia akan tetap memberontak walaupun tidak dengan alat senjata perang ataupun membalasnya kembali dengan kekerasan. Sejak kekerasan merajalela di tanah jawa, sejak saat itu pula Tjokro menjadi sosok yang anti kekerasan. Apalagi yang menjadi korbannya adalah rakyat jawa yang dilakukan oleh penjajah Belanda. Ia akan tetap melakukan perlawanan dengan pemikiranpemikirannya yang cemerlang juga dengan pembawaannya yang tenang. Dan ia pun akan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda jika ia melihat rakyatnya kembali diperlakukan tidak adil oleh Belanda.
3) Fase Pertengahan Dewasa Periode perkembangan yang bermula pada usia kira-kira 35 hingga 45 tahun dan merentang hingga usia 60 tahun. Ini adalah masa untuk memperluas keterlibatan dan tanggung jawab pribadi dan sosial seperti membantu generasi berikutnya menjadi individu yang berkompeten, dewasa dan mencapai serta mempertahankan kepuasan dalam berkarir.
70
Scene 4
Visual & Durasi
Durasi 00 : 55 : 27 Dialog
Type Of Shot
Tjokro : “Mari kita sama-sama melakukan perlawanan atas ketertindasan, agar semua rakyat nusantara tidak lagi dipandang sebagai seperempat manusia!” Medium Close Up Shot tipe ini mengambil gambar dari dada sampai atas kepala untuk menunjukkan ekspresi lebih jelas.
Denotasi Pada scene ini, terlihat Tjokro sedang berpidato dengan tatapan mata yang tajam, raut wajah yang serius, jari telunjuk yang menunjuk keatas juga terlihat sangat bersemangat saat peresmian pergantian nama organisasi SDI (Sarekat Dagang Islam) menjadi SI (Sarekat Islam) di surabaya. Ia juga mengatakan kepada rakyatnya bahwa, “Mari kita sama-sama melakukan perlawanan atas
71
ketertindasan, agar semua rakyat nusantara tidak lagi dipandang sebagai seperempat
manusia!”.
Tjokro
mengajak
dengan
meyakinkan
seluruh
masyarakatnya untuk melakukan perlawanan yang juga ditemani oleh H. Samanhoedi di sampingnya. Konotasi Sebagai orator yang ulung, Tjokroaminoto berpidato di hadapan ribuan masyarakat yang hadir, juga ditemani oleh H. Samanhoedi selaku ketua umum SDI (Sarekat Dagang Islam) pada tahun 1913 di Surabaya dengan sorotan mata yang tajam, suara yang lantang juga menggelegar, ditambahkan dengan gerakan tubuh dan acungan jari telunjuknya ke atas menjadi nilai plus baginya untuk mengajak, meyakinkan serta mendorong keinginan rakyatnya agar siap melawan Belanda dengan menjadi anggota Sarekat Islam. Pada hari itu ia memakai beskap (semacam jas yang hanya digunakan oleh priayi yang bekerja di pemerintahan Belanda) juga memakai blankon (semacam penutup kepala yang hanya dipakai oleh orang-orang jawa). Hal ini menandakan bentuk nasionalisme yang pasti dari sosok Tjokro dan prinsipnya tentang “sama rasa sama rata” yang ia tanam kepada rakyatnya.
Sebagai ketua organisasi Sarekat Islam, ia meyakinkan di dalam
pidatonya kepada masyarakat yang hadir agar memberanikan dirinya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda yang selama ini sudah menginjakinjakkan harga diri rakyat nusantara khususnya rakyat jawa, juga sudah menjadikan rakyatnya sebagai “sapi perah” bagi keuntungan Belanda karena politik etisnya.
72
Mitos Jiwa kepemimpinan seorang Tjokro sudah sangat kuat terlihat oleh rakyat jawa ketika ia berpidato di depan ratusan masyarakat, juga sekaligus menjadi ketua Sarekat Islam. Kedatangan Tjokro pada saat itu sangat tepat, dimana sejak setelah pangeran Diponegoro memimpin tanah jawa, lebih dari 70 tahun rakyat nusantara tidak lagi memiliki sosok pemimpin. Rakyat jawa sangat mendambakan sosok “ratu adil” atau seorang pemimpin yang benar-benar dapat melindungi dan membantu mereka hingga rakyat nusantara merasakan keamanan, kenyamanan, keadilan juga kemerdekaan dengan aturan pemerintahan sendiri. Dan mereka sangat berharap agar tidak lagi menjadi “sapi perah” bagi penjajah Belanda.
Scene 5 dan 6
Visual & Durasi
Durasi 01 : 02 : 21
73
Durasi 01 : 02 : 28
Dialog
Tjokro : “Aku datang kesini bukan menikmati wedangan, aku datang untuk menegur kalian. Sudah berapa kali aku katakan, segera buat koperasi. Perlu kalian ketahui, oerganisasi ibarat rumah, rumah perlu dapur, dan koperasi adalah dapurnya. Hasil bumi ini sudah sangat melimpah. Harusnya ini membuat kesejahteraan bagi kalian, bukan untuk oranglain. Bisa bapak bayangkan nasib anak cucu bapak nantinya, kalau ini terus diambil, diambil, dan diambil?! Segera buat koperasi!”
Type Of Shot
Medium Shot Pada teknik ini area pengambilan gambar sedikit lebih sempit yaitu dimulai dari batas pinggang sampai atas kepala. Teknik ini bertujuan untuk menonjolkan lebih detail lagi bahasa tubuh dari ekspresi subyek.
74
Denotasi Pada scene ini terlihat Tjokro dengan tuan Rinkes sedang mengunjungi anggota organisasi Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Ia menyarankan serta meminta kepada mereka agar segera membuat koperasi, karena baginya peran koperasi dalam sebuah organisasi sangatlah penting. Ia mengatakan, “Aku datang kesini bukan menikmati wedangan, aku datang untuk menegur kalian. Sudah berapa kali aku katakan, segera buat koperasi. Perlu kalian ketahui, organisasi ibarat rumah, rumah perlu dapur, dan koperasi adalah dapurnya. Hasil bumi ini sudah sangat melimpah. Harusnya ini membuat kesejahteraan bagi kalian, bukan untuk oranglain. Bisa bapak bayangkan nasib anak cucu bapak nantinya, kalau ini terus diambil, diambil, dan diambil?! Segera buat koperasi!” Konotasi Dalam scene ini, Tjokro berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk rakyatnya yaitu dengan memberikan saran agar membuat koperasi yang mana menurutnya koperasi adalah salah satu wadah yang terpenting untuk mensejahterakan rakyatnya dibawah pimpinan organisasi yang dipimpinnya yaitu Sarekat Islam. Bukan hanya itu, ia pun menekankan kepada anggotanya agar membangun sebuah koperasi supaya hasil pertanian mereka yang melimpah tersebut tidak terus-menerus diambil dan dinikmati oleh pihak Belanda, tetapi juga bisa dinikmati sendiri oleh semua rakyat Hindia Belanda khususnya rakyat di tanah Jawa. Ia sangat berharap rakyatnya dapat hidup dengan layak, nyaman juga aman. Sebagai warga negara yang baik, tentunya tidak akan membiarkan bangsa dan negaranya selalu dalam keadaan terpuruk.
75
Mitos Tindakan Tjokro yang tergambar diatas adalah salah satu bentuk profesionalitas dari sosok Tjokro yang ia lakukan yaitu untuk mensejahterakan rakyatnya, yang mana ia harus memegang teguh amanat yang diberikan kepadanya oleh seluruh rakyatnya khususnya di tanah jawa, karena seyogyanya kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab seorang pemimpin. Dalam sebuah hadist dikatakan bahwa : Ibn umarr.a berkata : “saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala Negara akan diminta pertanggung jawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggung jawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pembantu rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggung jawaban) dari hal yang dipimpinnya.”(HR. Bukhari dan Muslim) Maka dari itu, dalam hal ini Tjokro bukan semata-mata melaksanakan tugas hanya sekedar seorang pemimpin dari organisasi saja, melainkan bertanggung jawab pula untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak-pihak yang dipimpinnya.
B. Nilai-Nilai Nasonalisme dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” Sesuai rumusan masalah kedua, penulis akan menjelaskan penandaan nilainilai nasionalisme yang tergambar pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” khususnya pada alur cerita di tahun 1902, 1905 dan 1913. Karena alur cerita pada tiga tahun tersebut dalam film merupakan masa-masa dimana Tjokro menjalani beberapa fasenya,
76
fase dimana mulai tumbuh sampai menguatnya rasa nasionalisme dalam dirinya, yaitu ketika ia remaja hingga beranjak dewasa. 1) Scene 1 Pada scene yang diteliti ini, berawal ketika Tjokro beranjak remaja pada usia 19 tahun yaitu ketika Tjokro menempuh pendidikan di OSVIA (Opleidings School Voor Inlandshe Ambtenaren) sekolah calon pegawai bumiputera, pada tahun terakhirnya yaitu 1902 di Magelang. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air merupakan salah satu dari sekian banyak contoh bentuk nasionalisme. Tentunya sulit bagi seseorang untuk melakukan perlawanan terhadap oranglain dalam hal ini adalah penjajah Belanda, jika tidak mempunyai nyali yang cukup besar juga tidak ditanamkan sejak dini. Tetapi justru Tjokro berbeda dengan orang lain. Ia belajar banyak hal dari setiap apa yang ia lihat terhadap kekejian serta ketidakadilan yang dilakukan oleh penjajah. Sehingga sedikit demi sedikit ia tunjukkan perlawanannya dengan pengetahuan yang ia miliki.
2) Scene 2 dan 3 Pada fase yang tergambar pada scene ini, diteliti ketika Tjokro sudah beranjak dewasa, di masa-masa akhir ia menjadi pegawai juru tulis pada tahun 1905, dimana rasa nasionalismenya yang ada dalam dirinya sudah mulai tumbuh besar juga kuat terhadap bangsa dan negaranya. Jika sudah memiliki rasa cinta terhadap bangsa dan negara, tentunya sikap kesetian kepada tanah air pun akan timbul. Seperti yang terlihat dalam scene diatas, Tjokro sama sekali tidak takut dengan apa yang sudah ia lakukan terhadap
77
Haendlift, justru itu adalah sebuah “gertakan” yang diberikan olehnya terhadap penjajah Belanda juga sebuah bentuk “perlindungan dan pembelaan” terhadap rakyatnya, khususnya dalam hal ini adalah rakyat Jawa.
3) Scene 4 Pada fase ini, scene diteliti ketika Tjokro sudah berada di masa-masa pertengahan dewasa, dimana rasa nasionalismenya yang ada dalam dirinya sudah tumbuh kuat juga besar terhadap bangsa dan negaranya. Tjokro tidak hanya melakukan perlawanan atas dasar cinta serta setia saja terhadap bangsa dan negaranya, tetapi juga untuk menjaga dan melindungi rakyatnya dari segala bentuk ancaman yang membuat ketidaknyamanan rakyatnya. Inilah bentuk nasionalisme yang tergambar dalam scene diatas, yaitu Tjokroaminoto mengajak seluruh rakyatnya agar tidak diam dalam setiap penindasan yang dilakukan oleh penjajah. Ia menyarankan untuk sama-sama melakukan perlawanan, karena dengan begitu mereka bisa ikut berpartisipasi dalam suatu kegiatan yang berguna untuk memajukan bangsa dan negaranya tercinta. Hal ini juga menandakan bahwa Tjokro mencoba untuk menjaga dan melindungi negara dari segala bentuk ancaman, baik dari dalam maupun luar, serta ia sudah ikut berpartisipasi dalam suatu kegiatan yang berguna untuk memajukan bangsa dan negaranya.
78
4) Scene 5 dan 6 Pada fase ini, scene masih diteliti ketika Tjokro sudah berada di masamasa pertengahan dewasa, di saat ia mengunjungi salah satu anggota organisasinya Sarekat Islam. Semestinya ada di dalam diri setiap individu beragama maupun bernegara melakukan sebuah perubahan. Sama halnya dengan apa yang sudah Tjokro lakukan untuk rakyatnya. Ia mempunyai inisiatif tersendiri untuk memajukan rakyat nusantara agar terlepas dari genggaman penjajah. Walaupun bentuk perubahannya tidak terlalu signifikan, tetapi ia sudah berusaha semampu yang ia bisa, melakukan perubahan demi kemajuan bangsa dan negaranya. Hal ini pula yang menggambarkan rasa nasionalismenya yang kuat dalam dirinya terhadap seluruh rakyatnya.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukan oleh penulis pada Bab IV, maka dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Tanda-tanda yang digambarkan melalui karakter dan gerak isyarat tergambar dengan jelas dalam film ini. Akhirnya, karakter dan gerak isyarat dalam film yang menampilkan nilai-nilai nasionalisme bisa dianalisa secara denotasi, konotasi, maupun mitos. a. Denotasi Analisis film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” ini memiliki makna denotasi yang menggambarkan sosok Tjokroaminoto yang berasal dari keturunan priyai pangreh praja namun walaupun begitu ia tidak pernah menuruti apa yang diperintahkan oleh Belanda ataupun dengan orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Sampai akhirnya ia keluar dari jabatan tersebut dan memimpin organisasi Sarekat Islam untuk memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia dengan berniat membentuk pemerintahan sendiri. b. Konotasi Makna konotasi yang tersirat dalam film ini adalah sosok Tjokro yang tidak tega melihat ketidakadilan yang diterima oleh rakyatnya. Semenjak pada saat itu, ia berani melawan penjajah Belanda yang selalu bertindak semena-mena terhadap rakyat dengan pemikiran-
79
80
pemikirannya. Semua itu dikarenakan jiwa nasionalisme dalam dirinya timbul dari semenjak ia remaja sampai beranjak dewasa, yang mana saat-saat itulah mulai tumbuh sampai menguatnya rasa nasionalisme dalam dirinya. c. Mitos Mitos yang terkandung dalam film ini yaitu tindakan-tindakan yang Tjokro berikan kepada seluruh rakyatnya, khususnya rakyat jawa pada saat itu termasuk dari sikap profesionalitasnya untuk mensejahterakan rakyatnya dan memegang teguh amanatnya yang diberikan kepadanya sebagai seorang pemimpin. Dari ketiga makna diatas, penulis dapat simpulkan bahwa nilai-nilai nasionalisme dari seorang tokoh pencetus generasi muda bangsa berbakat yaitu Tjokroaminoto sudah melekat dalam dirinya semenjak ia remaja bahkan sebelum itu atas dasar agama Islam. Dalam Islam sendiri mengajarkan dan menganjurkan agar setiap muslim harus memiliki sikap nasionalisme.
2. Berdasarkan dari rumusan masalah kedua, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam beberapa scene yang sudah diteliti, banyak dijumpai sikapsikap yang menunjukkan nilai-nilai nasionalisme diantaranya seperti memperjuangkan keadilan, keberanian, pengabdian, serta ketabahan, sehingga semakin menunjukkan terbentuknya sikap nasionalisme yang tinggi terhadap bangsa dan negara pada tokoh Tjokroaminoto dalam film ini.
81
B.
Saran Setelah penulis menyampaikan kesimpulan dari analisa diatas, penulis ingin menyampaikan beberapa saran, yaitu warga negara Indonesia khususnya sineassineas baru, harus lebih kreatif dalam memproduksi sebuah film. Menurut penulis, film dalam bentuk sejarah masih sangat dibutuhkan untuk anak-anak dalam negeri, karena banyak sejarah Indonesia yang ditutup-tutupi ataupun dihilangkan jejaknya setelah zaman orde baru seperti salah satu contohnya yaitu Tjokroaminoto. Sehingga tidak jarang masyarakat tidak mengetahui siapa Tjokroaminoto sebenarnya. Tokoh Tjokroaminoto pun dalam film ini diuraikan sangat singkat demi kebutuhan skenario dan karakter tokoh dalam cerita, sehingga masyarakat hanya mendapatkan tidak begitu banyak informasi umum tentang dirinya. Warga negara Indonesia juga seharusnya tidak melupakan sejarahnya, karena dengan apa yang telah dilakukan dan diusahakan oleh para pahlawan pada masa lampau, kita dapat menikmati kemerdekaan tanpa ada lagi kekerasan, pemberontakan serta ketidakadilan seperti saat ini. Masyarakat pun harus lebih cerdas memilih film-film yang patut untuk ditonton atau sebaliknya. Karena saat ini sudah banyak film-film yang memang tidak seharusnya untuk ditonton oleh masyarakat khususnya anak-anak di bawah umur serta remaja, yang mana di usia mereka dapat menyerap cepat pesan-pesan yang disampaikan oleh para tokoh filmnya. Masyarakat pun harus memberikan apresiasi yang besar terhadap para tokoh pejuang kemerdekaan, dan juga kepada sineas-sineas baru dalam negeri yang saat ini sedang mengepakkan sayapnya di kancah perfilman sampai ke ranah internasional.
82
Sebagai penonton dapat mengambil nilai-nilai positif serta nilai-nilai nasionalisme yang terkandung di dalamnya, yang mana sebagai warga negara Indonesia yang baik seharusnya mulai memupuk jiwa nasionalisme sejak dini, juga harus dapat mempertahankannya. Loyalitas yang tinggi terhadap tanah kelahiran, negara Indonesia tercinta juga perlu dipupuk, dimiliki serta dijaga pula sejak usia dini.
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER DARI BUKU : Berger, Arthur Asa. Teknik-Teknik Analisis Media. Terjemahan Setio Budi HH. Yogyakarta : Percetakan Universitas Atma Jaya, 2000. -----------------------. Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer. Terjemahan M. Dwi Marianto. Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana, 2010. Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara. Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2006. Cobley, Paul dan Litza Jansz. Mengenal Semiotika For Beginner. Bandung : Mizan, 2002. Danesi, Marcel. Pengantar Memahami Semiotika Media. Terjemahan A. Gunawan Admiranto “Understanding Media Semiotics”. London : Arnold Publisher, 2002. Yogyakarta : Penerbit Jalasutra, 2002. --------------------. Pesan, Tanda, Dan Makna : Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Komunikasi. Yogyakarta : Jalasutra, 2012. Eco, Umberto. A Theory of Semiotics. Bloomington : Indiana University Press, 1976. Giu, Ismail Sam. Analisis Semiotika Kekerasan Terhadap Anak Dalam Film Ekskul. No.1 2012. Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif : Teori dan Praktek. Jakarta : Bumi Aksara, 2013. Hamid. Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press, 2010. Kohn, Hans. Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Pembangunan, 1961. Latief, Yudi. Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas. Jakarta : PT. Gramedia, 2011. Liliweri, Alo. Komunikasi : Serba Ada Serba Makna. Jakarta : Kencana, 2011. Makhrufi, Dianita Dyah. “Pesan Moral Islami Dalam Film Sang Pencerah : Kajian Analisis Semiotik Model Roland Barthes”. Skripsi S1 Fakultas Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.
83
84
Miert, Hans Van. Dengan Semangat Berkobar : Nasionalisme Dan Gerakan Pemuda Di Indonesia, 1918-1930. Diterjemahkan oleh Sudewo Satiman. Jakarta : Pustaka Utan Kayu, 2003. Muhtar. Pedoman Bimbingan Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta : PGK & PTK Dep.Dikbud, 1992. Mulawarman, Aji Dedi. Jang Oetama : Jejak Perjuangan HOS. Tjokroaminoto. Yogyakarta : Galang Pustaka, 2015. Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKIS, 2007. Pranajaya. Film Dan Masyarakat: Sebuah Pengantar. Jakarta : Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, 1992. Rambe, Safrizal. Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942. Sani, Asrul. Mengapa Film Indonesia Makin Lama Makin Kehilangan Simpati Penonton. Tempo, 1971. Setyobudi, Ciptono. Teknologi Broadcasting TV. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2012. Smith, Anthony D. Nasionalisme : Teori, Ideologi, Sejarah. Terjemahan Frans Kowa. Jakarta : Erlangga, 2002. Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, cetakan pertama, 2003. ----------------. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006. ----------------. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : Rosdakarya, 2006. Sudikin, Basrowi. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya : Penerbit Insan Cendikia, 2002. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung : Alfabeta, 2010. Sumarno, Marselli. Dasar-Dasar Apresisasi Film. Jakarta : PT. Gramedia, 1996. Suradi. Haji Agus Salim : Dan Konflik politik Dalam Sarekat Islam. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997. Suryanegara, Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah : Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung : Mizan, cetakan ke 3, 1996.
85
Tinarbuko, Sumbo. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta : Jalasutra, 2009. Zoest, A.V. Semiotika, Tentang Tanda, Cara Kerjanya. Terjemahan Ani Sukowati. Jakarta : Yayasan Sumber Agung.
SUMBER DARI JURNAL : Eriyanto. “Laki-Laki Sebagai Korban Dalam Perkawinan Poligami : Analisis Semiotika Film Ayat-Ayat Cinta Karya Hanung Bramantyo,” Jurnal Ilmu Komunikasi vol.1 No.1 Jakarta Juli 2013. Hananta, Elita Primasari. Konten Kekearasan Dalam Film Indonesia Anak Terlaris Tahun 2009-2011. Jurnal E-Komunikasi No. 1, 2013. Isadi, Renata Pertiwi. “Bushido Pada Perempuan Jepang : Memaknai NilaiNilai Bushido pada Perempuan jepang dalam Film Rurouni Kenshin”. Jurnal Communication V, no. 2, Jakarta Oktober 2014. Suwarno. "Representasi Makna Visual Poster Film Religius (Studi Semiotika Poster Charles S. Pierce Pada Film 99 Cahaya di Langit Eropa). Jurnal Communication V, No.2, Jakarta Oktober 2014. Zamzamah, Sarjinah. “Semiotika dalam Berhala, dalam Tonil-Kajian Sastra, Teater dan Sinema”. Vol.1 No.1 November, 2000. Yogyakarta : Tonil Press, 2000. Zein, Sherman. "Kajian Etnografi Dalam Mengungkapkan Simbol Budaya Dan Maknanya di Masyarakat". Journal of Advanced Communication Exposure Vol.1, No.1, Februari 2011.
SUMBER LAIN : Koran Fadjar Asia, 24 Mei 1924. Program Mata Najwa, “Belajar Dari Guru Bangsa Tjokroaminoto”, edisi 8 April 2015 pkl.20.00 wib. Tim Penyusun. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya : CV. Ramsa Putra, 2004. Wawancara pribadi dengan Nayaka Untara. Jakarta, 7 April 2016. W. J. S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, 2003. ISBN 9789796662913. Tebal 1371 halaman.
86
SUMBER DARI WEBSITE : Bintang.com, Guru Bangsa Tjokroaminoto Keluar Sebagai Film Terpuji FFB 2015, Artikel diakses pada tanggal 14 september 2015 pkl. 06.10 wib “Daftar Pemenang Festival Film Bandung”, Artikel diakses pada tanggal 13 Septenber 2015 pkl. 05.30 wib. http://bintang.com/read/daftar-pemenangfestival-film-bandung-2015 “Film Guru Bangsa Tjokroaminoto Menjadi Pemenang Festival Film Indonesia”. Artikel diakses pada tanggal 23 November 2015 pkl. 21.10 wib. http://showbiz.liputan6.com/read/2373307/daftar-pemenang-festivalfilm-indonesia-2015. “Film Guru Bangsa Tjkroaminoto Dipuji Wapres Jusuf kalla”. http://lifestyle.sindonews.com/read/992949/158/film-guru-bangsatjokroaminoto-dipuji-wapres-jusuf-kalla-1429761450 Artikel diakses pada tanggal 2 Mei 2015 Pkl. 13.40 http://perfilman.perpusnas.go.id/kliping_artikel/detail/421 Artikel diakses pada tanggal 5 Agustus 2015 pkl. 12.00 pm http://ariestaputris.blogspot.co.id/2014/08/fase-fase-perkembangan-usiaremaja.html Artikel diakses pada tanggal 2 Oktober 2016 pkl. 10.00 wib https://id.wikipedia.org/wiki/Garin_Nugroho Artikel diakses pada tanggal 5 Agustus 2015 pkl. 12.00 pm “Penghargaan Usmar Ismal Award : Film Guru Bangsa Tjokroaminoto”, http://berita.suaramerdeka.com/entertainment/usmar-ismail-awards-20167-film-dan-unsur-unsur-unggulan-uia-2016/ Artikel diakses pada tanggal 25 Maret 2016 pkl. 17.00 wib. “Pengertian Paradigma Penelitian Kualitatif”, http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/pengertian-masalahvariabel-paradigma-penelitian/ Artikel Diakses Pada Tanggal 22 September 2016 pkl. 20.00 wib “Pemeran Film Tjokroaminoto Komentar Mengenai Industri Perfilman Indonesia”. Edisi 24 April 2015 http://m.wowkeren.com/berita/tampil/0069115.html Artikel diakses pada hari jum’at, tanggal 24 April 2015 Pukul 19.02 wib “Sejarah Film”. http://www.kajianpustaka.com/2012/10/pengertian-sejarah-danunsur-unsur-film.html Artikel diakses pada hari kamis, Tanggal 23 April 2015, Pkl 09.15 wib
87
“Teori Semiotik Konotasi Foto Menurut Barthes”. http://melisamayo.blogspot.co.id/2009/12/teori-semiotik-konotasi-fotomenurut-Barthes.html/m=1 Artikel Diakses Pada Tanggal 10 Mei 2016 Pkl. 14.38 wib. www.tjokromovie.com/team/reza_rahadian Artikel diakses pada tanggal 1 Oktober 2015, Pkl. 17.00 wib www.tjokromovie.com/team/putri_ayudya Artikel diakses pada tanggal 1 Oktober 2015, Pkl. 17.00 wib www.tjokromovie.com/team/christoffer_nelwan Artikel diakses pada tanggal 1 Oktober 2015, Pkl. 17.00 wib www.tjokromovie.com/team/christine_hakim Artikel diakses pada tanggal 1 Oktober 2015, Pkl. 17.00 wib www.tjokromovie.com/team/sudjiwo_tedjo Artikel diakses pada tanggal 1 Oktober 2015, Pkl. 17.00 wib www.tjokromovie.com/team/maia_estianty Artikel diakses pada tanggal 1 Oktober 2015, Pkl. 17.00 wib
LAMPIRAN COVER FILM GURU BANGSA TJOKROAMINOTO
Surat Bimbingan Skripsi
Surat Izin Penelitian Skripsi Untuk Pick Lock Production House
Surat Izin Penelitian Skripsi Untuk MSH Film Production House
Surat Izin Penelitian Skripsi Untuk Pengurus Besar Pemuda Muslimin Indonesia
Surat Bukti Hasil Penelitian MSH Films
TRANSKRIP WAWANCARA Nama Pewawancara
: Egy Giana Setyaningsih
Nim
: 1111051000141
Waktu
: 7 Juni 2016
Tempat
: MSH Films, Graha CIMB Niaga Jakarta
Saya
: Apa yang melatar belakangi anda (kak Nayaka Untara) sebagai salah satu produser untuk menggarap film ini?
Naya : Kekhawatiran sebagai generasi penerus yang sudah kurang mengenal identitas bangsa dan penghargaan terhadap para pahlawan terutama seorang pahlawan bernama H.O.S. Tjokroaminoto yang selama hidupnya mendedikasikan untuk menjadikan negeri yang dulu bernama Hindia Belanda memiliki pemerintahan sendiri. Film ini diprakarsai oleh Yayasan Keluarga Besar H.O.S. Tjokroaminoto sebagai sumbangsih untuk masyarakat
Indonesia
untuk
lebih
mengenalkan
siapa
sosok
Tjokroaminoto yang menjadi guru para pendiri bangsa ini, yang salah satunya adalah Soekarno.
Saya
: Mengapa film ini diberi judul “Guru Bangsa : Tjokroaminoto”?
Naya : Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mengilhami tokoh-tokoh pendiri bangsa seperti Semaun, Koesno (Soekarno), Kartosuwiryo dan lain-lain, sehingga menurut kami pantas bahwa film ini diberi judul Guru Bangsa Tjokroaminoto.
Saya
: Kriteria seperti apa saja untuk pemilihan pemainnya? Dan khususnya untuk menjadi sosok Tjokroaminoto, kenapa harus diperankan oleh Reza Rahadian?
Naya : Dalam dunia perfilman terutama seni peran, pemilihan pemain merupakan salah satu unsur terpenting. Dan film Guru Bangsa Tjokroaminoto adalah sebuah film sejarah yang mengharuskan pemeran tokoh sejarah diperankan semirip mungkin dengan aslinya. Tantangan terbesar adalah menentukan pemeran Tjokroaminoto sendiri karena bukti audio dan visualnya sangat minim bahkan hampir tidak ada, sehingga pemilihan Reza Rahadian sebagai salah satu aktor terbaik saat ini menjadi pilihan yang sangat tepat. Reza mampu beradaptasi dengan cepat dalam mendalami karakter Tjokroaminoto dan meyakinkan kami para produser, sutradara dan pihak keluarga.
Saya
: Apa pendapat anda sendiri (kak Nayaka Untara) tentang sosok Tjokroaminoto?
Naya : Indonesia saat ini membutuhkan sosok pemimpin seperti Tjokroaminoto yang mampu menggerakkan masyarakat untuk berkembang mengikuti jaman tanpa mengubah identitas dirinya. Menjadi pemimpin yang dicintai rakyat sekaligus ditakuti dan disegani oleh lawan-lawan politiknya tanpa harus dengan kekerasan dan pemaksaan kehendak dalam berideologi.
Saya
: Menurut anda, bagian scene mana yang tersulit untuk dijadikan angle?
Naya : Sejak awal, memfilmkan tokoh Tjokrominoto di era 1890-1920an sangat sulit. Dimulai dengan riset yang tersebar, penulisan scenario dan penentuan sudut pandang, pemilihan sutradara, tim produksi dan pemain, membuat kostum dan membangun set (Hotel Oranje, Trem, Rumah Peneleh, dsb) sampai men-sosialisasi-kan tokoh Tjokroaminoto dan filmnya karena keterbatasan informasi masyarakat terutama generasi muda terhadap tokoh Tjokroaminoto.
Saya
: Dalam film ini, siapakah sosok Bagong dan Stella? Apakah mereka ini ada nyatanya dalam kehidupan Tjokroaminoto sendiri? Atau hanya sebagai hiasan belaka / hiburan dalam film saja ?
Naya : Bagong dan Stella adalah tokoh fiktif yang kami ciptakan sebagai representatif penonton untuk menceritakan peristiwa lain di era tersebut. Bagong, tokoh pewayangan yang diciptakan agar penonton dekat dengan budaya ketimuran. Stella, tokoh Indo-Belanda yang selalu memberikan informasi mengenai kejadian-kejadian dibelahan dunia lain dan juga sebagai refleksi bahwa banyak masyarakat sekarang yang memiliki dualisme kebudayaan.
Saya
: Dari analisis saya, film ini diproduseri oleh beberapa orang. Nah, bagaimana cara menyatukan pemikiran dari beberapa produser ini?
Naya : Film ini sangat besar sehingga membutuhkan banyak orang yang terlibat. Banyaknya produser dalam film ini mempunyai tugas dan tanggung jawab
masing-masing. Produksi, marketing, sejarah dan cerita adalah salah satu tugas dari produser-produser tersebut.
Saya
: Kenapa dalam film ini, tidak ditampilkan kedua orangtua dari sosok Tjokroaminoto? Kenapa hanya kedua orangtua dari Soeharsikin yang lebih menonjol dalam film ini?
Naya : Film adalah sebuah karya yang memiliki durasi sehingga tidak mungkin semua tokoh yang pernah bersinggungan dengan Tjokroaminoto dapat kami masukkan kedalam film. Tidak banyaknya kedua orangtua Tjokroaminoto tampil didalam film ini karena keterbatasan data riset mengenai
mereka
sehingga
kami
menghindari
untuk
tidak
menampilakannya dalam porsi yang lebih banyak.
Saya : Dimana saja pemilihan lokasi syuting untuk pembuatan film ini? Naya : Ambarawa, Semarang dan Jogjakarta. Terbanyak adalah Jogjakarta karena kami membangun studio set disebuah lahan milik Universitas Gajah Mada Jogjakarta.
Saya
: Sudah berapa film yang sudah diproduksi oleh MSH Films?
Naya : Baru film ini yang sudah diproduksi oleh MSH Films, ini pun atas permintaan dari Yayasan Keluarga Besar Tjokroaminoto kemudian bekerjasama dengan Picklock Films dan Alhamdulillah berjalan dengan lancar dan sukses.
Saya
: Apa harapan anda dari film ini untuk para penonton?
Naya : Harapan kami bahwa penonton dapat mengenal siapa sosok Tjokroaminoto dan seperti apa Indonesia pra kemerdekaan. Selain itu kami mengharapkan bahwa penonton mendapat sesuatu yang berharga dan bermanfaat untuk mereka aplikasikan dikehidupan sehari-hari.
Saya
: Kira-kira, kapan film ini akan keluar dalam bentuk Digital Video Disc (DVD) di pasaran?
Naya : Insha Allah film Guru Bangsa Tjokroaminoto dapat kami rilis dalam bentuk DVD di tahun 2016. Aamiin.
Foto Bersama Salah Satu Produser Film Guru Bangsa Tjokroaminoto ( Nayaka Untara)