BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Penelitian Selama ini sektor publik tidak luput dari tudingan sebagai sarang korupsi,
kolusi, nepotisme, inefisiensi dan sumber pemborosan negara. Keluhan birokrat tidak mampu berbisnis ditujukan untuk mengkritik buruknya kinerja perusahaanperusahaan sektor publik. Pemerintah sebagai salah satu organisasi sektor publik pun tidak luput dari tudingan ini. Organisasi sektor publik pemerintah merupakan lembaga yang menjalankan roda pemerintahan yang sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Oleh karena itu, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada
penyelenggara
pemerintah
haruslah
diimbangi
dengan
adanya
pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang bersih atau good governance ditandai dengan tiga pilar utama yang merupakan elemen dasar yang saling berkaitan (Prajogo, 2001). Ketiga elemen dasar tersebut adalah partisipasi, transparansi dan akuntabilitas (kemampuan memberikan pertanggungjawaban) merupakan dasar dari pelaporan keuangan (Wilopo, 2001). Pelaporan keuangan pemerintah tersebut memegang peran yang penting agar dapat memenuhi tugas pemerintahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dalam suatu masyarakat yang demokratis. Tantangan untuk merealisasikan ketiga pilar utama good governance tersebut sangatlah berat, mengingat perilaku usaha dan pelayanan publik yang dilakukan pemerintah selama kurun waktu yang sangat panjang telah tercemar
1
2
dengan berbagai bentuk tindakan, kegiatan dan modus usaha yang tidak sehat yang bermuara pada praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup sebagaimana yang diperlihatkan dari hasil survei yang dilakukan Transparency International (TI) dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 sebagaimana terlihat pada tabel 1.1. Tabel 1.1 Indeks Persepsi Korupsi Di Beberapa Negara Asia Tenggara Indeks Persepsi Korupsi 2007 2008 2009 2010 Singapore 9,3 9,2 9,2 9,3 Malaysia 5,1 5,1 4,5 4,4 Thailand 3,3 3,5 3,4 3,5 Indonesia 2,3 2,6 2,8 2,8 Philippines 2,5 2,3 2,4 2,4 Sumber: Transparency International (2007-2011) Negara
2011 9,2 4,3 3,4 3,0 2,6
Indeks Persepsi Korupsi mencerminkan persepsi masyarakat, khususnya pebisnis tentang tingkat korupsi suatu negara yang dilihat dari bagaimana layanan publik yang mereka rasakan. Rendahnya Indeks Persepsi Korupsi yang diperoleh Indonesia menunjukkan tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Salah satu cara pencegahan terjadinya praktek korupsi adalah pengembangan sistem akuntansi yang baik oleh pemerintah (Jeremi Pope, 2003) dan pengawasan terhadap kualitas laporan keuangan pemerintah (SPKN, 2007). Dalam negara demokrasi, pelaporan keuangan yang transparan merupakan sesuatu yang dituntut oleh rakyat kepada pemerintahnya. Sebaliknya, dalam negara demokrasi, pemerintah berkewajiban memberikan laporan keangan yang transparan kepada rakyat. Pemerintah demokratis harus bertanggung jawab atas integritas,
3
kinerja dan kepengurusan, sehingga pemerintah harus menyediakan informasi yang berguna untuk menaksir akuntabilitas serta membantu dalam pengambilan keputusan ekonomi, sosial dan politik. Laporan keuangan yang dihasilkan oleh organisasi sektor publik pemerintah merupakan instrumen utama untuk menciptakan akuntabilitas sektor publik (Mardiasmo, 2004). Akuntabilitas mengacu pada kewajiban perseorangan, suatu kelompok atau suatu organisasi yang diasumsikan harus melaksanakan kewenangan dan/atau pemenuhan tanggung jawab. Adanya tuntutan yang semakin besar terhadap pelaksanaan akuntabilitas publik menimbulkan implikasi bagi manajemen sektor publik untuk memberikan informasi kepada publik, salah satunya melalui informasi akuntansi yang berupa laporan keuangan. Dilihat dari sisi internal organisasi, laporan keuangan sektor publik merupakan alat pengendalian dan evaluasi kinerja manajerial dan organisasi. Sedangkan dari sisi eksternal, laporan keuangan merupakan alat pertanggung jawaban kepada publik dan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan. Seiring dengan munculnya tuntutan dari masyarakat agar organisasi sektor publik mempertahankan kualitas, profesionalisme dan akuntabilitas publik serta value for money dalam menjalankan aktivitasnya serta untuk menjamin dilakukannya pertanggung jawaban publik oleh organisasi sektor publik, maka diperlukan audit terhadap organisasi sektor publik tersebut. Audit yang dilakukan tidak hanya terbatas pada audit keuangan dan kepatuhan, namun perlu diperluas dengan melakukan audit terhadap kinerja organisasi sektor publik tersebut.
4
Secara umum proses audit sektor publik, selain untuk menguji kelayakan penyajian laporan keuangan, auditor juga disyaratkan untuk mengaju efektifitas pengendalian intern, memeriksa kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundangan serta memeriksa kemungkinan terjadinya kecurangan dan ketidakpatuhan. Temuan audit yang berupa temuan atas pengendalian intern, temuan atas ketaatan terhadap peraturan perundangan dan temuan kecurangan dan ketidakpatuhan selanjutnya harus disajikan menurut elemen temuan yang terdiri dari kriteria, kondisi, sebab dan akibat. Hal ini dimaksudkan untuk membantu manajemen atau lembaga pengawas auditan dalam memahami perlunya untuk melakukan tindakan perbaikan. Sebagai tambahan auditor juga harus memberikan rekomendasi untuk tindakan perbaikan. Selanjutnya dalam rangka mewujudkan good governance baik dalam proses pengelolaan keuangan, penyajian laporan keuangan serta akuntabilitas keuangan pemerintah, telah dikeluarkan paket peraturan perundang-undangan di bidang keungan negara yang meliputi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara beserta peraturan-peraturan pendukungnya. Paket peraturan perundang-undangan tersebut menggambarkan keseriusan jajaran pemerintah dan DPR untuk memperbaiki pengelolaan, pencatatan, pertanggungjawaban, dan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah.
5
Tidak dapat terbantahkan lagi jika yang paling bertanggungjawab atas penyajian
laporan
keuangan
pemerintah
daerah
(LKPD)
adalah
Gubernur/Bupati/Walikota. Namun, perlu untuk dipahami bahwa LKPD merupakan output dari suatu sistem akuntansi yang tidak terlepas dari siklus pengelolaan keuangan daerah, mulai dari perencanaan, penganggaran (penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)), pelaksanaan APBD, pengawasan sampai kepada pertanggungjawaban APBD, sehingga untuk menguraikan secara komprehensif penyebab dari dihasilkannya suatu opini hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas LKPD, tidak dapat hanya dengan menganalisis laporan hasil pemeriksaan BPK saja, namun juga perlu untuk melakukan studi yang mendalam atas seluruh regulasi, kebijakan, rangkaian prosedur, peralatan (fasilitas) dan penyelenggara pengelolaan keuangan daerah itu sendiri. Dalam semester II tahun 2012 BPK telah memeriksa 94 LKPD provinsi/kabupaten/kota tahun 2011, sedangkan pada semester I tahun 2012 BPK telah menyelesaikan dan melaporkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas 426 LKPD. Dengan demikian, dalam tahun 2012 BPK telah menyelesaikan LHP atas 520 LKPD tahun 2011 dari 524 pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota yang wajib menyusun LKPD. Opini LKPD tahun 2011 atas 520 pemerintah daerah serta perkembangan opini LKPD Tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 disajikan dalam tabel 1.2.
6
Tabel 1.2. Perkembangan Opini LKPD di Indonesia Tahun 2007-2012 LKPD
WTP
%
WDP
Opini % TW
Tahun 4 1% 283 60% 59 2007 Tahun 13 3% 323 67% 31 2008 Tahun 15 3% 330 65% 48 2009 Tahun 34 7% 241 66% 26 2010 Tahun 67 13% 349 67% 8 2011 Sumber: IHPS BPK RI Semester II Tahun 2012
%
TMP
%
Jumlah
13
123
26
469
6
118
24
485
10
111
22
504
5
115
22
516
2%
96
18%
520
Dari Tabel 1.1 terlihat bahwa BPK telah memberikan opini atas 469 LKPD tahun 2007, 485 LKPD tahun 2008, 504 LKPD tahun 2009, 522 LKPD Tahun 2010 dan 520 LKPD tahun 2011. Untuk LKPD tahun 2011 belum seluruh pemerintah daerah dapat diberikan opini atas LKPD-nya. Sampai dengan semester II tahun 2012, opini baru diberikan kepada 520 LKPD tahun 2011 dari yang seharusnya sejumlah 524 LKPD. Hasil pemeriksaan BPK RI atas LKPD memperlihatkan bahwa penyeleggaraan pemerintahan belum sesuai dengan harapan. Pemeriksaan laporan keuangan tersebut bertujuan memberikan opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan berdasarkan pada (a) kesesuaian dengan standar akuntansi yang berlaku umum yaitu Standar Akuntansi Pemerintah bagi entitas pemerintah dan Standar Akuntansi Keuangan bagi perusahaan Negara dan perusahaan daerah dan atau prinsip-prinsip akuntansi yang ditetapkan dalam
7
berbagai peraturan perudang-undangan; (b) kecukupan pengungkapan (adequate disclosure); (c) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; dan (d) efektifitas sistem pengendalian. Hasil pemeriksaan BPK RI atas LKPD di Jawa Barat menunjukkan perkembangan kualitas laporan keuangan atas LKPD belum seperti yang diharapkan. Hal ini terlihat dari opini atas LKPD yang diberikan oleh BPK RI masih ada yang mendapatkan opini disclaimer atau tidak memberikan pendapat. Perkembangan opini LKPD tahun 2007-2011 dapat dilihat pada Tabel 1.3. Tabel 1.3 Opini LKPD TA 2007-2011 BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat No
Entitas Pemerintah Daerah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Provinsi Jawa Barat Kabupaten Bandung Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bekasi Kabupaten Bogor Kabupaten Ciamis Kabupaten Cianjur Kabupaten Cirebon Kabupaten Garut Kabupaten Indramayu Kabupaten Karawang Kabupaten Kuningan Kabupaten Majalengka Kabupaten Purwakarta Kabupaten Subang Kabupaten Sukabumi Kabupaten Sumedang Kabupaten Tasikmalaya Kota Bandung
Opini Opini Opini Opini Opini Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP TMP TMP TMP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP TMP WDP TMP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP TMP WDP WDP WDP WDP TMP WDP WDP WDP WDP TMP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP TMP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP TMP WDP WDP
8
20 21 22 23 24
Kota Banjar Kota Bekasi Kota Bogor Kota Cimahi Kota Cirebon
WTP WDP WDP WDP TMP
WDP WDP WDP WDP WDP
WDP TMP WDP WDP WDP
WDP WDP WDP WDP WDP
25
Kota Depok
WDP
WDP
WDP
WDP
WTP WDP WDP WDP WDP WTP DPP WDP WDP
26 Kota Sukabumi WDP WDP WDP WDP 27 Kota Tasikmalaya TMP WDP WDP WDP Sumber: IHPS BPK RI Semester II Tahun 2012 (Keterangan: WTP = Wajar Tanpa Pengecualian, WDP = Wajar Dengan Pengecualian, TMP = Tidak Memberikan Pendapat, WTP DPP = Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelas) Tabel 1.3 menunjukkan LKPD pada tahun 2011, dari 27 entitas pelaporan di wilayah Jawa Barat yang telah memperoleh opini LKPD, hanya 1 entitas pelaporan yang memperoleh opini WTP, sebanyak 1 entitas pelaporan yang memperoleh opini WTP DPP sedangkan sisanya 25 entitas pelaporan memperoleh opini WDP. Hal ini menunjukkan bahwa opini WTP yang diperoleh masih sedikit. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kualitas informasi keuangan, khususnya yang disajikan dalam LKPD belum sepenuhnya memenuhi karakteristik kualitatif laporan keuangan sesuai dengan SAP. Hal tersebut tidak lain karena opini merupakan pernyataan profesional sebagai kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan (Pasal 1 UU No.15 Tahun 2004). Selain memuat opini atas LKPD, setiap hasil pemeriksaan BPK atas LKPD juga memuat adanya saran perbaikan berdasarkan permasalahan yang ditemukan, baik yang terkait dengan kelemahan atas sistem pengendalian intern maupun
9
ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Dengan memenuhi saran perbaikan yang disampaikan BPK tersebut diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas penyajian informasi dalam LKPD yang pada akhirnya akan meningkatkan perolehan opini LKPD. Pemerintah wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Pengendalian intern pada pemerintah kota dan pemerintah daerah dirancang dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Selain memberikan opini, pelaksanaan pemeriksaan keuangan oleh BPK juga mengungkapkan temuan yang terkait dengan SPI. Hasil evaluasi atas sistem pengendalian intern yang dilakukan oleh BPK RI mengungkapkan kasus-kasus kelemahan pengendalian intern yang dikelompokkan sebagai (a) kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan (b) kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, dan (c) kelemahan struktur pengendalian intern (IHPS BPK RI Semester I Tahun 2012). Kasus-kasus kelemahan SPI pada umumnya terjadi karena pejabat yang bertanggungjawab belum optimal dan kurang cermat dalam melaksanakan tugas, lemah dalam melakukan pengawasan maupun pengendalian kegiatan dan belum sepenuhnya memahami ketentuan, dan belum adanya koordinasi antara pihak-pihak terkait (IHPS BPK RI Semester I Tahun 2012).
10
Tabel 1.4 Daftar Temuan Kelemahan SPI di Indonesia Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2007-2011 No
I 1 2 3 4 5 II 1 2
3 4 5
6 7 III 1
Jumlah Kasus Kelemahan Sistem Pengendalian Intern Kelemahan Sistem Pengendalian Akuntansi 1.791 dan Pelaporan Pencatatan tidak/belum dilakukan atau tidak 1.005 akurat Proses penyusunan laporan tidak sesuai 603 ketentuan Entitas terlambat menyampaikan laporan 13 Sisten Informasi Akuntansi dan Pelaporan tidak 147 memadai Sistem Informasi Akuntansi dan Pelaporan 23 belum didukung SDM yang memadai Kelemahan Sistem Pengendalian Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan 1.739 Belanja Perencanaan kegiatan tidak memadai 577 Mekanisme pemungutan, penyetoran dan pelaporan serta penggunaan Penerimaan Daerah 249 dan hibah tidak sesuai ketentuan Penyimpangan terhadap peraturan perundangundangan bidang teknis tertentu atau ketentuan 494 intern organisasi yang diperiksa tentang pendapatan dan belanja Pelaksanaan belanja di luar mekanisme APBD 97 Penetapan/pelaksanaan kebijakan tidak tepat atau belum dilakukan berakibat hilangnya 237 potensi penerimaan/pendapatan. Penetapan/pelaksanaan kebijakan tidak tepat atau belum dilakukan berakibat peningkatan 80 biaya/belanja Lain-lain 5 Kelemahan Struktur Pengendalian Intern 839 Entitas tidak memiliki SOP yang format untuk 509 suatu prosedur atau keseluruhan prosedur Kelompok dan Jenis Temuan
%
41,00
39,80
19,20
11
SOP yang ada pada entitas tidak berjalan secara optimal atau tidak ditaati 3 Entitas tidak memiliki Satuan Pengawan Intern Satuan Pengawas Intern yang ada tidak 4 memadai atau tidak berjalan optimal Tidak ada pemisahan tugas dan fungsi yang 5 memadai 6 Lain-Lain Total Kelemahan Sistem Pengendalian Intern 2
247 1 55 25 2 4.369
100
Hasil pemeriksaan atas SPI terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) di seluruh Indonesia pada tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1.4, dari jumlah total 4.369 kasus kelemahan SPI yang mendapat porsi paling tinggi dari ketiga kelemahan terletak pada kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan yang mencapai 1.791 kasus atau sebesar 41,00%. Hasil pemeriksaan atas SPI pada Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1.5, dari kasus kelemahan SPI porsi paling tinggi dari ketiga kelemahan juga terletak pada kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan yaitu sebesar 98 kasus. Tabel 1.5 Daftar Temuan Kelemahan SPI Pemeriksaan LKPD Provinsi Jawa Barat No
Kelompok Temuan
Kelemahan Sistem Pengendalian Akuntansi dan Pelaporan Kelemahan Sistem Pengendalian Pelaksanaan Anggaran 2 Pendapatan dan Belanja 3 Kelemahan Struktur Pengendalian Intern Jumlah Sumber: IHPS BPK RI Semester I Tahun 2012
Jumlah Kasus
1
98 77 22 197
12
Kasus-kasus
kelemahan
SPI
pada
umumnya
terjadi
karena
pejabat/pelaksana yang bertanggungjawab tidak/belum melakukan pencatatan secara akurat dan tidak menaati ketentuan dan prosedur yang ada, belum adanya kebijakan dan perlakuan akuntansi yang jelas, kurang cermat dalam melakukan perencanaan,
belum
melakukan
koordinasi
dengan
pihak
terkait,
penetapan/pelaksanaan kebijakan yang tidak tepat, belum menetapkan prosedur kegiatan, serta lemah dalam pengawasan dan pengendalian. Selain opini dan penilaian atas efektivitas SPI, hasil pemeriksaan juga mengungkapkan
ketidakpatuhan
terhadap
ketentuan
perundang-undangan.
Ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan mengakibatkan kerugian daerah, potensi kerugian daerah, kekurangan, penerimaan, penyimpangan administrasi, ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan. Hasil pemeriksaan BPK RI atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, mengungkapkan 5.776 kasus senilai 3.783.861,42 yang ditemukan pada 426 entitas. Tabel 1.6 Temuan Pemeriksaan LKPD Tahun 2012 Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan No 1 2 3 4 5 6 7
Kelompok Temuan Jumlah Kasus Kerugian Daerah 1.609 Potensi Kerugian Daerah 354 Kekurangan Penerimaan 945 Administrasi 2.318 Ketidakhematan 231 Ketidakefisienan 2 Ketidakefektifan 317 Total Ketidakpatuhan 5.776 Sumber: IHPS BPK RI Semester I Tahun 2012
Nilai (juta Rp) 865.376,78 1.603.922,08 411.985,75 183.959,04 537,50 718.080,27 3.783.861,42
13
Hasil pemeriksaan BPK atas LKPD kabupaten/kota selama Semester I tahun 2012 menunjukkan kasus-kasus pemeriksaan yang sering terjadi antara lain kekurangan penerimaan daerah yang belum/tidak dipungut atau ditetapkan, pengadaan barang, serta potensi kerugian daerah akibat piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi tidak tertagih. Berdasarkan data hasil pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) kabupaten kota di provinsi Jawa Barat tersebut dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas laporan keuangan adalah (1) penyajian laporan keuangan sesuai SAP dan tindak lanjut atas temuan pemeriksaan BPK dan komitmen untuk memantau pelaksanaan SPI, (2) pengendalian internal terutama pengendalian untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan, (3) tindak Lanjut atas pemeriksaan keuangan oleh BPK RI terutama terkait dengan koreksi yang disampaikan oleh BPK RI agar LKPD disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah dan rekomendasi-rekomendasi untuk memperbaiki kelemahan dalam sistem pengendalian internal. Rekapitulasi hasil pemeriksaan BPK RI Tahun 2011 mengenai temuan, rekomendasi dan tindak lanjut di Provinsi Jawa Barat terlihat pada tabel 1.7.
14
Tabel 1.7 Rekapitulasi Hasil Pemantauan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Barat
Periode
Temuan
Rekomendasi
Sesuai dengan rekomendasi
2008 140 210 2009 104 159 2010 73 183 2011 100 226 2012 105 262 Jumlah 522 1.040 617 Sumber: IHPS BPK RI Semster II Tahun 2012
114 123 165 170 45
Belum sesuai dengan rekomendasi dalam proses tindak lanjut 16 34 17 53 38 158
Belum ditindaklanjuti
80 2 1 3 179 265
Rekapitulasi hasil pemantauan tindak lanjut di atas masih ada temuan rekomendasi hasil pemeriksaan yang belum ditindaklanjuti. Hal ini menunjukkan komitmen belum sepenuhnya dilaksanakan untuk segera menyelesaikan rekomendasi yang disarankan BPK RI dalam rangka meningkatkan kualitas penyajian laporan keuangan. Selanjutnya agar dapat memenuhi tujuan pelaporan LKPD dimaksud, LKPD yang disusun oleh masing-masing pemerintah daerah harus memenuhi karakteristik kualitatif laporan keuangan yang memadai. Karakteristik kualitatif laporan keuangan adalah ukuran-ukuran normatif yang diperlukan agar LKPD dapat memenuhi kualitas yang dikehendaki adalah relevan, andal, dapat dibandingkan, dan dapat dipahami. Secara umum, karakteristik kualitatif tersebut dapat dipenuhi jika penyusunan dan pelaporan keuangan daerah didasarkan sepenuhnya pada Standar Akuntansi Pemerintah.
15
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, salah satunya dilakukan melalui pemeriksaan keuangan yang menghasilkan simpulan dalam bentuk opini atas LKPD. Opini yang diberikan oleh BPK tersebut juga merupakan simpulan mengenai kualitas informasi yang disajikan dalam LKPD, yang secara rinci diterjemahkan dalam bentuk penilaian tingkat kesesuaian pelaporan dan penyajian LKPD terhadap Standar Akuntansi Pemerintah. Selanjutnya guna lebih mendorong pertanggungjawaban pengelolaan keuangan pemerintah yang makin transparan dan akuntabel melalui penyajian LKPD, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelapoan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah mewajibkan setiap entitas pelaporan dan akuntansi untuk menyelenggarakan Sistem Pengendalian Intern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait. Dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, enitas pelaporan adalah suatu pemerintah provinsi, kabupaten, atau kota, sedangkan entitas akuntansi adalah seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di masing-masing pemerintah provinsi, kabupaten, atau kota tersebut. Sistem Pengendalian Intern yang baik, penerapan Standar Akuntansi Pemerintah yang baik oleh pemerintah dan penyelesaian atas temuan audit diharapkan akan dapat memperbaiki kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah diharapkan akan berimplikasi pada penerapan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik sehingga dapat meminimalkan praktek korupsi.
16
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, penulis memandang penting untuk melakukan penelitian yang dituangkan dengan penelitian “Pengaruh Penyelesaian Temuan Audit terhadap Kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.” 1.2
Identifikasi Masalah Dari uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang dapat
diidentifikasi adalah seberapa besar pengaruh penyelesaian temuan audit terhadap kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. 1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memperoleh data mengenai variabel yang diteliti, untuk mengungkapkan pengaruh penyelesaian temuan audit terhadap kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. 1.3.2 Tujuan Penelitian Sedangkan tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis mengenai pengaruh penyelesaian temuan audit terhadap kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. 1.4
Kegunaan Penelitian Melalui penelitian ini, penulis mengharapkan agar hasilnya dapat
memberikan kontribusi yang bermanfaat, antara lain: 1. Kegunaan teoritis
17
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penambahan kajian efektivitas organisasi dan wawasan baru penyelesaian temuan audit terhadap kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di Provinsi Jawa Barat. Kegunaan Praktis. a.
Bagi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini diharapkan akan menjadi salah satu bahan evaluasi dan masukan mengenai sejauh mana pengaruh penyelesaian temuan audit terdap kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Barat, sehingga dapat melengkapi dan menyempurnakan usaha-usaha yang selama ini telah dilakukan.
b.
Bagi Pembaca Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi, baik bagi pembaca sesama mahasiswa maupun akademisi yang berminat pada topik penelitan yang sama.
1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian Untuk memperoleh data sehubungan dengan masalah yang akan dibahas
dalam penyusunan skripsi ini, maka penulis akan melakukan penelitian di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Jawa Barat yang berlokasi di Jalan Raya Cibeureum No. 50 Bandung. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2013 sampai dengan selesai.