BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pernikahan merupakan salah satu fitrah manusia yang tujuan utamanya adalah melakukan kewajiban sejarah1. Pernikahan tidak hanya dilakukan oleh manusia saja, akan tetapi mahluk selain manusia pun melakukan hal demikian seperti hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Pernikahan yang terjadi pada manusia khususnya bagi seorang muslim tidak hanya sebagai budaya yang peraturannya mengikuti perkembangan budaya dan adat-istiadat yang berkembang di daerah tersebut, akan tetapi pernikahan dipandang sebagai ibadah. Perkawinan adalah salah satu ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah/ kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang. Secara etimologi, nikah berasal dari bahasa arab, yakni nakaha-yankihu dengan masdar nikahan atau nikah. Sebutan lain perkawinan (pernikahan) ialah az-zawaj/ az-ziwaj dan az-zijah, diambil dari akar kata zaja-yazuju-zaujan yang secara harfiah berarti menghasut, menaburkan benih perselisihan dan mengadu domba. Namun yang dimaksud dengan az-zawaj/az-ziwaj di sini adalah attazwij yang diambil dari kata zawwaja-yuzawwiju-tazwijan dalam bentuk 1
Membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah war-rahmah, sehingga diharapkan nantinya akan melahirkan keturunan-keturunan yang berkualitas.
1
timbangan”fa‟ala-yufa‟ilu-taf‟ilan” yang secara harfiah berarti mengawinkan, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri.2 Secara terminologi, menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Islam sendiri pun pernikahan diistilahkan dengan sebuah ungkapan yang kaya makna yakni Mitsaqān Ghalidza (ikatan yang sangat kuat), hal ini menandakan bahwa Allah SWT. ingin menegaskan bahwa perkawinan merupakan ikatan pertalian yang sakral antara lawan jenis untuk membentuk rumah tangga yang sakinah. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut ada beberapa anjuran di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist untuk melakukan pernikahan, di antaranya: 1. Menurut Al-Qur’an:
ال
ِإ ِإ ِإ ِإ ِإ اال َوِإ ْنال االاَو ُت ْن ِإالا َو الوالِّن َو ا َوالا ْنُت َو ال َو ُت َو الال َو ُترَو َو والا ال َو َو َو ْن ال ْن ُت ْن الَو ال ُتُت ْن ُت والِإ الواْنَوَو َوا ال َو اْن ُت َو ِإ ِإ ِإ ِإ . كال ْنَود َوَنالَو ال َوُت ُت اُت و تالَوْنْيَو اُت ُت ْن ال َوذا َو ْن ُت ْن الَو ال َوُت ْن اُت وال َوُت َووا َو ًةالَوْن َوالا ال َوال اَو َو ْن
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.3
الالَواْن ِإ لَوِإ ُت ال َواْن واِإ ُت الِإ َّس الِإ ال َوذاِإكال آ ٍت ِإ ِإ ِإِإ .االاِإْن َو ِإالا آ َوال وار ِإ ال َوو ْن ِإ ُت َو ا ْن ال آَو ال َو ْن ُت الوا َّس َو َوواال َو ْن َو َو ْن َو َو ْن Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang 2
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 42-44 3 Q.S. An-Nisā : 2
2
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.4 2. Menurut Al-Hadits:
دالرضيالواّ ال ىلالعل الق لالالال ال"ق لالرس لالواّ الص الواّ الع ال ا ال س الآ الا شرال ال
عال
ع الو الا
وا ب االا الوس االال الواب ا ال ز جال ا ال غضالا بصرال اص الا رجال ا الاالآ ( )ا الع."اص ال ا الا ال ج ا
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang mempunyai kemampuan, maka hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.(HR. Bukhari-Muslim)5 Adapun sebab mengapa orang harus menikah? ada banyak manfaat ketika seseorang melakukan pernikahan, menurut Al-imam Al-Ghazali di dalam kitabnya Ihyā „Ulūmi Ad-Din menjelaskan ada beberapa manfaat di antaranya:6 1. Dengan melakukan pernikahan kita akan mendapatkan keturunan, dan otomatis pula ketika kita mempunyai keturunan anak tersebut setidaknya ada empat hal yang dianggap ibadah, a. Untuk meneruskan keberlangsungan hidup manusia-manusia di bumi ini seperti dalam hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad R.A:
4
Q.S. Ar-Rūm: 21 Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqālanī, Bulugh al-Marām, (Surabaya: Dar al-′Alam, tt), hal. 200 6 Seggaf bin Hasan Bahrun, bagaimanakah Anda Menikah? Dan mengatasi permasalahannya, (Pasuruan: Ma′had darrul Lhagah Wadda′wah, 2005), hal. 5-9. 5
3
) (ر وهال مح.ل الك وال ل س وال Menikahlah kalian agar kalian memperoleh keturunan.(HR. Ahmad)7 b. Agar mendapatkan cinta Rasulullah SAW. karena Rasulullah bangga dengan hal demikian sebagaimana apa yang disabdakan Beliau:
ال(ر وهال مح )ال. الواالا الآ الوا اةالاىتال ا ط
ل الك وال ر وال ينال هيال
Menikahlah kalian sehingga kalin menjadi banyak karena sesungguhnya aku membanggakan kalian kepada umat lainnya pada hari kiamat, walaupun dengan bayi yang gugur.(HR. Ahmad)8 c. Mengharap do’a anak tersebut karena salah satu amalan yang tidak terputus biarpun kita sudah meninggal adalah doa seorang anak yang shaleh, sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda:
ِإ واالوَوْنِإْلاْن َو ُت ال ال ِإ َوذوال َوال َو: الهَورآْنُتَورَوالرضيالواالعل الَو َّس َوالر ُتس َولالوَواَّس الص الواالع ال س القَو َوالل َوع ْن الَوِإ ُت ِإ ٍت ٍت ِإِإ ِإ ال ص َو قَوٍتة ٍت: ال ِإ ِإ الص َوَلٍتالآَو ْن عُت ال العْنل ُت َو واْنُت َو َو َوع َو الَوْن ال َو اَو َو، الَوْن الع ْن ٍت الآُتُتْنلَوُت َو ُتعال،الج ِإرآَوةال الع َو ُت ُتال َّس الا ْن ال َوَو ال َو َو )ال
ال(ر وهالا.اَوالُت
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada orang meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (yang mengalir), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakan untuknya.(HR. Muslim)9
Manfaat yang kedua yaitu, dengan menikah dapat membentengi kita dari godaan setan dan hawa nafsu sehingga insya Allah kita bisa lebih menjaga kemaluan dan mata kita.
7
Ibid. Ibid. 9 HR. Muslim: 1631 8
4
2. Dengan menikah diri kita akan menjadi tenteram sebagaimana Allah menjelaskan:
ِإ ِإ ِإا ال والِإِإ وج الاِإَو ْن ُت لُت والِإاَوْنُت َو ال َو َوج َو َوال ُتَوْنُتلَو ُت ْن َوالا َو َّسد ًةال َو َور ْنمحَوةًةالِإ َّس الِإ ال ال آ الَو ْن ال َو َو َو الاَو ُت ْن الا ْن الَواْنُت ُت ُت ْن ال ْنَوزَو ًة َو ْن َو َوذاِإكال آ ٍت .االاِإَو ْن ٍت الآُتَوَوُت َو َّس ُتر َوال َو َو
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi kaum yang berpikir.10
3. Dengan pernikahan kita dapat memfokuskan diri untuk beribadah karena pekerjaan yang biasa kita kerjakan sendiri menjadi terasa lebih ringan terbantu dengan adanya istri, seperti hal-nya membersihan rumah, memasak, menyapu dan lain-lainnya dan itu merupakan sifat dari istri shalehah (bisa saling membantu dan melengkapi). 4. Dengan melakukan pernikahan dapat menjadi ladang pahala bagi kita, karena semua urusan di dalamnya akan menjadi sebuah nilai pahala seperti memberikan nafkah misalnya. Memberikan nafkah tidak hanya merupakan sebuah kewajiban semata, akan tetapi sekaligus merupakan tambahan nilai pahala bagi sang suami. Begitu juga mendidik anak dan bersabar dari ahlak masing-masing pasangan itu semua merupakan sebuah tambahan nilai pahala apabila kita menjalaninya dengan ikhlas. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa pernikahan itu sebuah ibadah di samping sebagai merupakan kewajiban sejarah11 untuk menunaikan
10 11
Q.S. Ar-Rūm: 21 Lihat catatan kaki No. 1.
5
keberlangsungan hidup selaku mahluk sosial yang mempunyai cita-cita untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat, akan tetapi karena demikian ada sebagian orang yang memilih jalan pernikahannya dengan cara sirri12 ilegal atau yang sering kita kenal dengan istilah pernikahan di bawah tangan (ilegal wedding), padahal ada akibat dari pernikahan sirri tersebut, salah satunya yang paling urgen adalah status anak, bahwa status anak hasil pernikahan sirri di mata hukum dikategorikan anak tidak sah sehingga si anak hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya (dengan kata lain si anak tidak dianggap mempunyai hubungan dengan ayahnya, keduanya hanya dianggap mempunyai hubungan bapak dan anak secara biologis saja tetapi tidak secara yuridis formil). Indonesia sebagai negara hukum (reecht staat), juga memandang hukum perkawinan tidak hanya sebagai hubungan privat semata, tetapi juga mengandung unsur hubungan publik. Oleh karena itu, pernikahan perlu diatur oleh negara melalui Peraturan Perundang-undangan, seperti adanya UU No.1 Tahun 1974, PP No.9 Tahun 1975 dan KHI (Inpres No.1 Tahun 1991). Pasal 2 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 menegaskan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku”. Hal senada diatur dalam KHI pada Pasal 5 ayat 1: “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat”. Lebih 12
Secara bahasa pernikahan sirri itu berarti pernikahan secara sembunyi-sembunyi, akan tetapi yang dimaksud adalah pernikahan yang dilakukan tanpa melakukan pencatatan di KUA atau kantor catatan sipil bagi non muslim
6
lanjut diatur dalam Pasal 2 PP No.9 Tahun 1975 pada ayat (1): “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Dengan adanya keharusan mencatat perkawinan oleh UU, maka lahirlah istilah nikah siri untuk menyebut pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan. Atau nikah di bawah tangan bagi pernikahan yang meskipun dicatat, tapi tidak oleh petugas yang ditunjuk undang-undang. Selain pandangan yang membedakan antara nikah siri dengan nikah di bawah tangan, ada pula pandangan yang menyamakan keduanya. Nikah siri disebut juga dengan kawin syar’i, kawin mudin dan kawin kyai. Problem pertama yang muncul dari nikah siri adalah problem mengenai keabsahan hukumnya. Sebagaimana dimaklumi, pencatatan perkawinan tidak diatur secara tekstual di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehubungan dengan itu, di kalangan umat Islam, pencatatan perkawinan kurang mendapat perhatian. Hal ini dimungkinkan oleh beberapa faktor13,
Pertama, adanya
larangan untuk menulis sesuatu selain al-Qur’an, akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang di banding kultur hafalan (oral).
Kedua, sebagai
kelanjutan yang pertama, umat Islam sangat mengandalkan hafalan, apalagi mengingat suatu peristiwa bukanlah suatu hal yang sulit. Ketiga, tradisi walimat al-„urs merupakan saksi di samping saksi syar’i sebuah perkawinan. 13
Zulkarnain, Nikah Sirri (Pengertian, problematika dan Solusinya), http://www.pastatbat.net/index.php?option=com_content&view=article&id=155:nikahsirri&catid=74:interlan& Itemid=134.diakses tanggal 24/04/2010
7
Keempat, perkawinan pada masa awal Islam belum terjadi antara wilayah negara yang berbeda, sehingga alat bukti selain saksi belum dibutuhkan. Muhammadiyah pun selaku organisasi yang cukup diperhitungkan di Indonesia, dikenal dengan Gerakan Tajdid (Pembaharuan) dan Purifikasi (Pemurnian agama agar kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah) pernah mengelurakan fatwa tentang hukum nikah siri yang disampaikan secara lisan pada sidang tarjih tepatnya pada hari jum’at tanggal 25 Mei Tahun 2007/8 Jumadal-Ula 1428 H. Di mana hasil dari sidang majelis tarjih tersebut adalah bahwa hukum mencatatkan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) adalah wajib hukumnya, sehingga secara tidak langsung Majelis Tarjih Muhammadiyah memutuskan bahwa hukum nikah sirri itu adalah haram selama belum dicatatkan, biarpun status pernikah yang dilakukan secara sirri tersebut tetap sah karena syarat dan rukunnya telah terpenuhi. Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu'amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan Agama Islam menjadi rahmatan lil-'ālamin dalam kehidupan di muka bumi ini. Muhammadiyah berpandangan bahwa berkiprah dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar sebagaimana telah menjadi panggilan sejarahnya sejak zaman pergerakan hingga masa awal dan setelah
8
kemerdekaan Indonesia. Peran dalam kehidupan bangsa dan negara tersebut diwujudkan dalam langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian, keyakinan dan cita-cita hidup, serta khittah perjuangannya sebagai acuan gerakan sebagai wujud komitmen dan tanggungjawab dalam mewujudkan "Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur". Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah setidaknya ada dua alasan paling tidak, kenapa bahwa hukum nikah sirri itu haram. Pertama, diqiyaskan dengan hukum pencatatan mudayanah (hutang-piutang), kedua, bahwa mematuhi hukum pemerintah yang dianggap ada kemaslahatan di dalamnya adalah wajib karena termasuk dalam kategori “...Athīullaha wa athīur-Rasūl wa ulil Amri minkum...”. Sehingga menarik sebenarnya kalau dikaji secara lebih mendalam lagi, apakah benar bahwa hukum nikah sirri itu haram selama belum dicatatkan di KUA dan sudah tepatkah hujjiatud dalil atau dalil-dalil yang dipakai tersebut. Hal inilah salah satunya yang menjadi pendorong dan sekaligus alasan penulis untuk melakukan penelitian tentang hukum nikah sirri
tersebut
dengan
judul: “FATWA HUKUM NIKAH SIRRI
MENURUT MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH DI TINJAU DARI PERSPEKTIF MAQȂSHID AL-SYARȊ'AH”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana
status
hukum
nikah
Muhammadiyah?
9
sirri
menurut
Majelis
Tarjih
2. Bagaimana Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah terhadap hukum nikah sirri ditinjau dari perspektif Maqāshid Al-Syarī‟ah? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian tersebut adalah: 1. Untuk mengetahui status hukum nikah sirri Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah. 2. Untuk mengetahui Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah terhadap hukum nikah sirri ditinjau dari perspektif Maqāshid Al-Syarī‟ah. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Secara teoritis hasil penelitian ini berguna untuk mengetahui dasar-dasar hukum nikah sirri serta bagaimana relevansi hukum tersebut dengan Maqāshid Al-Syarī‟ah.
2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan khususnya yang terkait langsung dengan pembahasan hukum nikah sirri bagi masyarakat dalam konteks di negara kita indonesia, 3. Secara akademis, penelitian ini berguna untuk kontribusi pemikiran hukum dan sekaligus sebagai rekomendasi pengetahuan kepada jurusan Syari’ah FAI UMM tentang hukum nikah sirri. E. Definisi Operasional
1. Muhammadiyah Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW.
10
sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampurbaur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi. Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik (ini dibuktikan dengan jumlah lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah yang berjumlah ribuan). Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem. Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al-Qur’an, di antaranya surat Ali-Imran ayat 104 yang berbunyi: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna
11
pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya. Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia. Berdasarkan
situs
resmi
Muhammadiyah,14
Muhammadiyah
didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912. Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu'allimin khusus laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu'allimaat Muhammadiyah khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta). 2. Nikah Sirri Di kalangan umat Islam nikah sirri biasanya terjadi dalam dua bentuk. Pertama, akad nikah itu tidak didaftarkan dan dicatatkan ke KUA oleh kedua calon pengantin atau orang tuanya. Akan tetapi dalam pelaksanaan prosesi nikah, tetap meniti dan mempedomani hukum munakahat dalam Islam; yakni ada dua mempelai, ada wali nasab yang
14
http://www.muhammadiyah.or.id/.
12
menikahkan, ijab dan qabul, mahar dan dua saksi. Model ini biasa disebut nikah bawah tangan. Para ulama memfatwakan nikah menurut agama ini sah, walaupun menurut hukum negara tidak sah. Kedua, nikah dilakukan tanpa menghadirkan wali karena wali nasab tidak diberitahu, atau wali nasab tidak dihadirkan karena takut tidak memberi ijin dan persetujuan, atau wali nasab „adhol (enggan) untuk menikahkan. Nikah model ini masuk wacana nikah tanpa wali. Hukumnya tidak sah, baik dari sisi hukum agama maupun hukum negara, karena bertentangan dengan hadits Rasulullah SAW. Yang berbunyi: “Wanita mana saja yang menikah tanpa ijin walinya (maksudnya wali nasab) maka nikahnya bathil disebut sampai tiga kali”15 Kata
”sirri”
atau
”sirr”
bermakna
rahasia,
yakni
tidak
ditampakkan. Nikah siri (Arab: Nikah Sirri) adalah nikah ”diam-diam”. Pernikahan siri tidak menggunakan resepsi dan semua pihak terkait (baik wali, saksi maupun kedua mempelai) sepakat untuk merahasiakannya. Nikah siri memenuhi semua syarat syariat tetapi tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau catatan sipil lainnya sehingga nikah siri disebut juga nikah “di bawah tangan”. Salah satu permasalahan nikah siri adalah pembuktiannya yang sulit manakala diperlukan. Untuk mengecek keabsahan sebuah pernikahan siri, seseorang perlu menemui para saksi dan menerima keterangan mereka tentang pernikahan itu.16
15 16
HR. Ahmad: 6/156 dan Abu Dawud: 2069. http://ruslihasbi.wordpress.com/tanya-jawab/pernikahan/cj/
13
3. Maqāshid Al-Syarī'ah Maqāshid Al-Syarī'ah yaitu tujuan Allah SWT. dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam. Sementara menurut Wahbah al-Zuhaili, Maqāshid Al-syarī‟ah berarti nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian besar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syari‟ah, yang ditetapkan oleh Al-Syari‟ dalam setiap ketentuan hukum17. Sedangkan menurut Al-Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia. Maqāshid Al-Syarī‟ah, yang secara substansial mengandung kemashlahatan, menurut Al-Syathibi dapat dilihat dari dua sudut pandang: pertama, Maqāshid Al-Syari‟ (tujuan Tuhan). Kedua, Maqāshid Almukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqāshid Al-Syarī‟ah mengandung empat aspek, yaitu: tujuan
awal dari Syari’
menetapkan syari′ah yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. Penetapan syari‟ah sebagai sesuatu yang harus dipahami. Penetapan syari‟ah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan. Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum. Begitu pula dari sudut Maqāshid Al-Mukallaf, Maqāshid Al-Syarī‟ah mengandung empat aspek pula, yaitu: pembicaraan mashlahah, pengertian, tingkatan, karakteristik, dan relativitas atau keabsolutannya18.
17
Ahmad al-Raisuni, Nazhariyyat Inda al-Syathibi, (Rabath : Dar al-Aman, 1991), hal 67.
18
Ahmad al-Raisuni, ibid.
14
Pembahasan dimensi linguistik dari problem taklif yang diabaikan oleh juris lain. Suatu perintah yang merupakan taklif harus bisa dipahami oleh semua subjeknya, tidak saja dalam kata-kata dan kalimat tetapi juga dalam pengertian pemahaman linguistik dan kultural. Al-Syathibi mendiskusikan problem ini dengan cara menjelaskan dalalah-asliyah (pengertian esensial) dan ummumiyah (bisa dipahami orang awam). Analisa pengertian taklif dalam hubungannya dengan kemampuan, kesulitan dan lain-lain. Untuk mempermudah penelitian tersebut agar pembahasannya tidak melebar jauh ke mana-mana, penelitian ini memfokuskan pada permasalahan nikah sirri ditinjau dari perspektif Maqāshid al-Syarī‟ah. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian
ini
merupakan
penelitian
kepustakaan
(library
research), oleh karena itu sumber data penelitian diperoleh dari kitabkitab atau buku-buku secara langsung maupun referensi lain yang berkaitan dengan pokok pembahasan. Data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yakni data primer dan data skunder. 2. Teknik Pengumpulan Data Metode penelitian adalah bagaimana peneliti mencapai tujuan atau memecahkan masalah. Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian karena berhasil tidaknya suatu penelitian sangat ditentukan oleh bagaimana peneliti memilih metode yang tepat.
15
Adapun metodologi adalah serangkaian metode yang saling melengkapi yang digunakan dalam melakukan penelitian. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang sistematis dan ilmiah, maka penelitian ini menggunakan seperangkat metode. 3. Sumber Data Dari segi sumber data penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua sumber yaitu: a. Data primer Sumber data primer adalah bahan utama yang dijadikan referensi. Dalam hal ini sumber data primer yang penulis gunakan adalah UU. No 1 Thn. 1974, PP. Thn. 1975 No.9 Pasal 10, 11, 12 dan 13, Inpres No.1 tahun 1991 (KHI Pasal 4 dan 5 ayat 1, 2), dokumen hasil Fatwa dan Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang nikah sirri pada tanggal 8 Jumadil Ula 1428 H/ 25 Mei 2007 M. Dan kitab Maqāshid alSyarī‟ah Al-Muwāfaqāt karya Al-Syathibi. b. Data Sekunder Sedangkan data sekundernya adalah termasuk dokumendokumen ekspresif (secondary resources), Putusan MUNAS Tarjih ke 27, Himpunan Putusan Tarjih (HPT), Metode Ijtihad Majelis Tarjih, manhaj Tarjih Muhammadiyah, metode dan aplikasi, mencari format baru
Majelis
Tarjih
Muhammadiyah,
Ideologi
dan
Strategi
Muhammadiyah, kitab Fiqih serta buku-buku yang terkait dengan nikah sirri, termasuk juga penelitian terdahulu, laporan buku, media masa,
16
baik melalui internet, surat kabar, radio, TV, media cetak maupun media elektronik lainya yang dapat menjadi tambahan sumber data dalam penulisan tersebut. 4. Analisis Data Dalam menganalisis data,19 peneliti menggunakan analisis data kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.20 Dalam hal ini hendak diuraikan secara sistematis kemudian dianalisis hukum nikah sirri tersebut dengan menggunakan metode Maqāshid Al-Syarī‟ah.21 Analisa ini akan mengacu pada bahan-bahan penelitian yang datanya mengarah pada kajian yang bersifat teoritis mengenai konsepkonsep, norma-norma atau kaidah-kaidah hukum. Karena penelitian ini bersifat kepustakaan maka metode pokok yang penulis gunakan adalah analisis
kualitatif
dengan
metode
diskripstif
analisis22,
yaitu
mengumpulkan dan menelusuri kitab-kitab, buku-buku dan tulisan yang relevan dengan tema kajian ini setelah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode Maqāshid Al-Syarī‟ah.
19
20
21
22
Menurut Moh. Nazir, Analisa adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca. Moh. Nazir. Metode Penelitian, Cet. 4, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1999). hal, 419 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3. Jakarta: PT. Raja grafindo persada, 1995, hal. 134. Bandingkan dengan Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kulitatif, Cet. 14. (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001) hal. 2. Dan Koencaraningrat, Metode- Metode Penelitian Masyarakat, Cet. 14. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1970) hal.269 Mqqāshid Al-Syarī’ah adalah tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia baik berupa perintah, larangan dan hal yang mubah, untuk individu, keluarga, jamaah dan umat. Lihat Yusuf Al-Qardawi, Fiqih Maqāsid Syarī‟ah (Jakarta : 2006). Hal. 17. Nana Sudjana, Proposal Penelitian, Bandung: Sinar Baru, Cet. Ke-1, 1992. hlm. 85
17
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian skripsi ini adalah: BAB I: PENDAHULUAN Dalam bab ini dijelaskan tentang judul penelitian, latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, definisi operasional, metode penelitian, sistematika penulisan skripsi serta penulisan isi skripsi secara global. BAB I: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi, point A tentang pernikahan sekitar definisi, syarat, rukun, status hukumnya menurut Fuqāha, hikmah dan tujuan nikah secara umum serta point tentang nikah siri, sekitar pengertian dan faktor penyebab terjadinya, sedangkan di point B tentang Maqāshid al-Syarī‟ah sekitar pengertian, cakupan dan pembagian dan point C disitu dibahas tentang Majelis Tarjih Muhammadiyah sekitar Sejarah, fungsi dan kedudukan, metode yang digunakan dalam Isthinbath hukum serta produk-produk dan kekuatan mengikatnya. BAB III: PEMBAHASAN Bab ini menguraikan point A tentang faktor penyebab keluarnya, bagaimana fatwa majelis tarjih muhammadiyah tentang hukum nikah sirri, serta metode isthinbath hukum yang digunakannya serta penjelasan kata wajib dan akibat hukumnya, Point B fatwa majelis tarjih muhammadiyah tentang hukum nikah sirri, apabila ditinjau dari perspektif maqāshid al-syarī‟ah.
18
BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini dikemukakan kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan, selain itu juga diajukan beberapa saran bagi pihak-pihak dan instansi terkait dengan inti pembahasan penelitian tersebut.
19