BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Tujuan dari laporan keuangan menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomer 1 adalah untuk memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja perusahaan, dan aliran kas entitas yang bermanfaat bagi pengguna laporan dalam pembuatan dan pengambilan keputusan ekonomi. Oleh karena itu, informasi yang terdapat di dalam laporan keuangan tidak boleh menyesatkan pengguna baik internal maupun eksternal, karena akan menghasilkan keputusan ekonomik yang kurang tepat. Menurut Statements of Financial Accounting Concepts (SFAC) Nomer 8, laporan keuangan yang berkualitas adalah laporan keuangan yang
memenuhi karakteristik kualitatif informasi akuntansi, antara lain: relevan, andal, dapat dibandingkan, dan dapat dipahami. Salah satu indikator yang digunakan untuk menilai kinerja dari perusahaan adalah laba yang tercermin pada laporan keuangan. Menurut Anthony dan Reece (1989) laba yang diperoleh perusahaan sering dikaitkan dengan prestasi manajemen, besar kecilnya bonus yang akan diperoleh bergantung pada pencapaian laba dari perusahaan. Menurut Eisenhardt (1989), teori keagenan mengasumsikan bahwa setiap individu bertindak atas kepentingan sendiri (self interest). Diasumsikan pemegang saham hanya tertarik pada kekayaan dirinya sendiri, sementara manajemen hanya tertarik pada sesuatu yang dapat menguntungkan pribadi manajemen seperti bonus, atau berbagai kompensasi lainnya. Menurut Anthony dan Govindarajan (2005), teori keagenan adalah hubungan antara manajemen yang digambarkan sebagai agen dengan pemegang saham yang digambarkan sebagai prinsipal. Hal ini menyebabkan adanya konflik kepentingan antara manajemen dan pemegang saham. Konflik kepentingan 1
ini mendorong manajemen untuk bersifat oportunistik, salah satunya adalah manajemen laba. Namun demikian, manajemen laba tidak selalu dilihat dari perspektif oportunistik, manajemen laba juga dapat dilihat dari perspektif signaling. Laporan keuangan digunakan untuk memberi signal kepada investor mengenai kinerja perusahaan. Apabila kinerja perusahaan baik maka pasar akan menyambut positif signal tersebut sehingga akan menghasilkan return yang positif juga, begitupun sebaliknya. Return yang dihasilkan oleh pasar dapat menggambarkan nilai relevansi (relevance value) dari laporan keuangan. Hal ini juga dapat mendorong manajemen untuk melakukan manajemen laba mengingat pentingnya arti laba bagi pasar dan bagi nilai dari perusahaan. Menurut Scott (2000), a pabila dilihat dari prinsipnya, manajemen laba tidak menyalahi prinsip akuntansi. Namun, apabila dilihat dari tujuannya, manajemen laba dinilai dapat menurunkan kualitas laporan keuangan. Hal ini dikarenakan kondisi keuangan yang tergambar pada laporan keuangan bukanlah kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya. Fenomena manajemen laba lebih rentan terjadi pada negara dengan kondisi perekonomian berkembang. Hal ini dikarenakan pendapatan pada negara berkembang lebih rentan mengalami fluktuasi menurut Bhattacharya (2003). Indonesia adalah salah satu negara dengan perekonomian berkembang yang juga rentan akan fenomena ini. Menurut Trisanti (2012) ada 56% perusahaan di Indonesia yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia teridentifikasi melakukan manajemen laba. Berikut adalah contoh beberapa kasus manajemen laba yang terjadi di Indonesia yaitu PT Kimia Farma dan PT Indofarma. Berdasarkan hasil pemeriksaan dari Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) pada tahun 2002 ke pada PT Kimia Farma Tbk, diperoleh bukti bahwa PT Kimia Farma melakukan kesalahan dalam penyajian laporan keuangannya yaitu kesalahan dalam menilai persediaan barang jadi
2
dan kesalahan pencatatan penjualan, sehingga mengakibatkan laba bersih tersaji lebih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp32,7 bilion. Sementara itu, hal yang sama terjadi pada PT Indofarma tahun 2001. Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) menemukan bukti bahwa PT Indofarma melakukan kesalahan dalam penilaian persediaan barang dalam proses. PT Indofarma mencatat nilai persediaan barang dalam proses lebih tinggi dari nilai seharusnya sebesar Rp28,87 bilion, sehingga persediaan tersaji lebih sebesar Rp28,87 bilion dan kos produk terjual tersaji kurang sebesar Rp28,87 bilion dan laba bersih tersaji lebih sebesar Rp28,87 bilion. Dalam kurun waktu 2001 sampai dengan 2005 telah terjadi 38 kasus penyimpangan akuntansi. Salah satu contoh kasus penyimpangan akuntansi yang mendapat sorotan dunia adalah kasus Enron. Enron telah melakukan “akuntansi kreatif” sehingga terjadi mark up terhadap pendapatan sebesar US$600 juta dan menyembungikan hutangnya sebesar US$1,2 bilion. Enron yang menjadi salah satu bukti dari kegagalan generally accepted accounting principles (GAAP) dalam mencegah terjadinya manajemen laba. Kualitas akuntansi dapat diukur salah satunya dengan menggunakan manajemen laba (Barth, 2008). Dengan demikian, dapat diambil asumsi bahwa suatu standar dikatakan memiliki kualitas akuntansi yang baik apabila dapat menurunkan manajemen laba. Standar berbasis kaidah yang terkandung pada GAAP memberikan aturan yang detail dan ketat dinilai dapat mengurangi manajemen laba. Akan tetapi, justru dengan adanya aturan yang detail memberikan kesempatan pada para pelaku kejahatan korporasi untuk melakukan akuntansi kreatif dengan cara mencari celah yang ada di standar akuntansi dan pelaporan keuangan. Price Waterhouse Copper (PWC) mengeluarkan suatu pernyataan dalam Wall Street Journal yang diterbitkan April 2013 yang berbunyi:
3
“Rules based system encourage creativity (not the good kind) in financial reporting. They allow some stretch the limits of what is permissible under the law, even though it may not be etically or morally acceptable. A principles based system requires company to report and auditors to audit the substance or business purpose of transactions; not merely whether they can qualify as acceptable under incredibly complex or overly technical rules. A rules based system system allows managers to ignore the substance and instead ask “where in the rules does it say can’t do this?”
Ketua International Accounting Standard Board (IASB), Tweedie, menyebut standar berbasis kaidah sebagai “the cookbook approach” yang cenderung lebih kaku dan tidak dapat mengakomodir adanya perubahan-perubahan situasi ekonomi yang terjadi. Hal ini mengakibatkan relevansi berkurang seiring dengan
ketidakmampuan
dalam
menggambarkan
kondisi
ekonomi
yang
sebenarnya. Celah inilah yang kemudian digunakan oleh Enron untuk memuluskan aksinya terkait dengan moral hazard yang berdampak pada laba perusahaan. Hal membuat IASB mempercepat langkahnya untuk mengeluarkan International Financial Reporting Standards (IFRS). IFRS adalah standar pelaporan tunggal yang menekankan pada penilaian internasional dengan pengungkapan yang lebih rinci dan lebih transparan mengenai suatu substansi ekonomi, penjelasan hingga akhirnya dapat diambil kesimpulan tertentu. Tujuan dari IFRS adalah untuk menghasilkan informasi yang berkualitas tinggi salah satunya melalui transparansi bagi para pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang perioda. Manajemen laba akan menurunkan kualitas dari informasi akuntansi, sebab informasi yang disajikan tidak menggambarkan kondisi
4
perusahaan yang sebenarnya. IFRS diklaim dapat mengurangi fenomena manajemen laba melalui standar berbasis prinsip yang menitikberatkan pada nilai wajar dan pengungkapan penuh dan menghasilkan informasi yang berkualitas tinggi. Standar berbasis prinsip yang digunakan dalam IFRS lebih mengatur pada prinsip atau lebih menitik beratkan pada substansi dari suatu transaksi ekonomi dan hal-hal kecil cukup diatur dengan intrepretasi atas aturan pokoknya dan membutuhkan pertimbangan profesional dari manajemen dalam menanggapi pencatatan suatu transaksi ekonomi. Hal ini menjadi kelebihan dan kelemahan bagi IFRS sendiri. Meskipun IFRS menggema–gemakan standar berbasis prinsipnya, pada nyatanya standar yang terdapat di IFRS justru lebih rinci dibandingkan dengan standar berbasis kaidah. Hal ini terlihat dari banyaknya intrepretasi yang diluncurkan oleh IASB dalam International Financial Reporting Intrepretations Committee (IFRIC) yang menjelaskan standar utama. Meskipun demikian, kelemahan ini sekaligus menjadi keunggulan tersendiri dari IFRS. Standar ini tetap menuntut pertimbangan dari pengguna tetapi tetap diarahkan oleh adanya intrepretasi–intrepretasi yang menjelaskan standar utamanya. Hal ini menyebabkan IFRS dapat meminimalkan perilaku “kreatif” manajemen terkait dengan manajemen laba. Selain itu, penggunaan standar berbasis prinsip akan meningkatkan
nilai
relevansi
dikarenakan
penerapan
metoda
akuntansi
mencerminkan atau merefleksi transaksi atau kejadian ekonomi yang mendasari serta situasi yang sebenarnya. Standar berbasis prinsip diklaim dapat mempersulit manajemen untuk melakukan manajemen laba. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai hal ini.
5
Selain itu, penggunaan kos historis pada GAAP dianggap sudah tidak relevan lagi saat ini seiring dengan semakin kompleksnya instrument keuangan saat ini. Kos historis tidak mengakui adanya perubaha nilai bersifat ekonomis dan cenderung memilih sendiri apa dan kapan mengakui adanya perubahan tersebut. Ini membuat bias dalam pemilihan informasi yang dilaporkan serta adanya kumungkinan untuk tidak melaporkan kerugian segera pada saat terjadinya. Celah ini dapat digunakan oleh manajemen untuk melakukan manajemen laba sehingga penilaian berdasarkan nilai wajar dianggap perlu untuk dilakukan. IFRS menekankan pada penilaian berdasarkan nilai wajar. Barth (2008) menemukan bukti setelah adanya konvergensi IFRS pengakuan terhadap kerugian menjadi tepat waktu. Pengukuran terhadap instrument keuangan yang diperdagangkan diukur berdasarkan nilai wajar melalui laba rugi. Hal ini dimaksudkan agar penilaian terhadap instrument keuangan yang diperdangangkan menjadi lebih relevan sesuai dengan kondisi saat ini dan memiliki nilai relevansi yang tinggi. Penggunaan nilai wajar ini juga diklaim dapat mengurangi kesempatan manajemen untuk melakukan manajemen laba sehingga diperlukan adanya penelitian lebih lanjut untuk menguji apakah pendekatan nilai wajar dapat mengurangi manajemen laba. Penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Bachtiar (2003) m enemukan bahwa perusahaan yang melakukan manajemen laba cenderung mengungkapkan informasi lebih sedikit dalam laporan keuangannya agar tidak terdeteksi. Hal ini ditunjukkan dengan kasus Enron yaitu tidak adanya pengungkapan mengenai entitas tujuan khusus pada laporan keuangannya sehingga investor dan Securities and Exchange Commission (SEC) tidak mengetahui adanya entitas tujuan khusus yang didirikan oleh Enron. IFRS mensyaratkan pengungkapan berbagai informasi tentang risiko baik kualitatif maupun kuantitatif. Pengungkapan secara penuh akan
6
mempersulit manajemen dalam melakukan manajemen laba. Sebab semua informasi baik kualitatif maupun kuantitatif harus disampaikan pada laporan keuangan. Pengungkapan dalam laporan keuangan harus sejalan dengan data/informasi yang dipakai untuk pengambilan keputusan yang diambil oleh manajemen. Selain itu, pengungkapan secara penuh juga dapat mengurangi asimetri informasi. Selama pengungkapan atas laporan keuangan disajikan dengan ketentuan yang ada, maka masalah terkait dengan informasi asimetris dapat diselesaikan secara efektif. Saat ini masih terjadi perdebatan apakah IFRS dapat mengurangi manajemen laba. Kualitas dari laporan keuangan seharusnya dapat meningkat apabila IFRS dapat membatasi perilaku oportunistik manajemen. Apabila demikian, maka dapat dikatakan IFRS memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan Indonesian GAAP karena dapat mengurangi praktik manajemen laba. Berbagai penelitian telah dilakukan dengan hasil yang berbedabeda. Penelitian menurut Barth (2008) menunjukkan bahwa setelah digunakannya IFRS tingkat manajemen laba berkurang, meningkatnya nilai relevansi dan pengakuan kerugian menjadi semakin tepat waktu dibandingkan dengan masa sebelum menggunakan IFRS. Penelitian ini didukung oleh penelitian Arifin (2010) yang menunjukkan bahwa negara yang menggunakan standar berbasis prinsip menunjukkan manajemen laba real yang lebih rendah dibandingkan dengan negara yang menggunakan standar berbasis kaidah. Sementara itu menurut Doukakis (2011) bahwa adopsi wajib terhadap IFRS tidak berdampak signifikan pada manajemen laba akrual dan manajemen laba real. Hal ini didukung oleh penelitian oleh Rudra dan Bhattacharjee (2012) yang mendapatkan hasil bahwa penerapan IFRS berpengaruh secara positif terhadap manajemen laba di India.
7
Dugaan sementara mengenai adanya inkonsistensi hasil penelitian dikarenakan adanya pergeseran manajemen laba. Ada dua pendapat yang menyatakan pergeseran manajemen laba paska konvergensi IFRS. Pendapat pertama mengatakan setelah konvergensi IFRS, manajemen laba real menjadi mengingkat dan menurunkan manajemen laba akrual karena IFRS yang berbasis prinsip memberi keleluasaan untuk manajemen menggunakan judgmentnya dan mempersubur manajemen laba real. Pendapat kedua menyatakan bahwa manajemen laba real menurun dan meningkatkan manajemen laba akrual karena standar berbasis prinsip yang tidak ketat membuat manajemen untuk beralih menggunakan akrual dibandingkan dengan real. Hal ini masih menjadi kontroversi teoretis yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Alasan lain yang mungkin menyebabkan terjadinya inkonsistensi hasil penelitian adalah negara yang dijadikan sampel penelitian. IFRS akan berfungsi sebagaimana mestinya pada negara dengan tingkat kejujuran dan kesadaran yang baik sehingga segala maksud baik dari IFRS dapat dipahami secara sadar dan dilakukan tanpa keterpaksaan. Berbeda dengan Negara dengan tingkat kejujuran dan kesadaran yang masih rendah. Negara dengan tingkat kejujuran yang rendah akan menjalankan IFRS dengan keterpaksaan sehingga maksud baik yang terdapat didalamnya tidak disadari dengan baik sehingga dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak penyimpangan karena memikirkan kepentingan masing–masing pihak, yaitu manajemen dan pemegang saham. Analogi sederhana dari hal ini adalah apabila terdapat dua kampus yang mengadakan kantin kejujuran dalam rangka meningkatkan kejujuran dan moral dari mahasiswa. Salah satu kampus memiliki mahasiswa yang tidak sadar betul dengan maksud dan tujuan dari kantin tersebut sehingga akan banyak mahasiswa yang “mencuri” atau membayar tidak
8
pada semestinya di kantin tersebut. Akan tetapi, kampus dengan mahasiswa yang sadar betul dengan maksud tujuan dari kantin kejujuran tersebut akan berusaha untuk tidak mencuri dan membayar sesuka hati meskipun situasi kondisi mendukung untuk melakukan hal tersebut. Adanya inkonsistensi hasil penelitian ini menjadi dorongan untuk meneliti lebih lanjut apakah IFRS dapat meningkatkan kualitas dari informasi akuntansi yang terdapat pada laporan keuangan dengan mengurangi fenomena manajemen laba. Saat ini penulis memfokuskan penelitian pada manajemen laba real. Hal ini dikarenakan menurut Roychowdhury (2006) saat ini manajemen cenderung tidak lagi menggunakan manajemen laba akrual tetapi menggunakan manajemen laba melalui aktivitas real. Penulis berpendapat bahwa pergeseran ini dikarenakan manajemen laba akrual memiliki nilai yang kecil sehingga manajemen lebih menyukai manajemen laba real karena nilainya cukup besar. Terbukti dari beberapa kasus yang telah penulis paparkan sebelumnya yaitu PT Kimia Farma melakukan manajemen laba sebesar Rp32,7 bilion dan PT Indofarma sebesar Rp28,87 bilion Dalam penelitian ini penulis menggunakan pengukuran manajemen laba yang
berbeda
dari
penelitian–penelitian
terdahulu.
Penelitian
terdahulu
menggunakan salah satu dari tiga pengukuran manajemen laba real untuk menggambarkan manajemen laba real secara keseluruhan. Penulis memiliki pendapat yang sedikit berbeda yaitu salah satu pengukuran belum bisa dikatakan menggambarkan manajemen laba secara keseluruhan karena ada kemungkinan manajemen menggunakan tidak hanya satu cara melainkan dua atau tiga cara sehingga penulis menggabungkan ketiga pengukuran manajemen laba real untuk menggambarkan manajemen laba secara keseluruhan. Harapan penulis adalah dengan menggabungkan ketiga pengukuran ini hasil penelitian penulis dapat
9
menggambarkan manajemen laba real secara utuh, bukan hanya bagian tertentu saja. 1.2
Rumusan Masalah Rumusan masalah yang penulis ajukan berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya adalah: Apakah terdapat dampak dari konvergensi IFRS terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan pemanufakturan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2004 sampai dengan tahun 2013?
1.3
Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah yang telah penulis ungkapkan sebelumnya, adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris tingkat intensitas manajemen
laba
sebelum
dan
setelah
penerapan
IFRS
pada
perusahaan
pemanufakturan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap konvergensi IFRS di Indonesia dengan memberikan bukti bahwa konvergensi IFRS dapat meningkatkan kualitas dari laporan keuangan dan informasi akuntanasi melalui penurunan angka manajemen laba di Indonesia.
1.5
Sistematika Penulisan BAB I: PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
10
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan membahas landasan teori serta reviu penelitian sebelumnya yang kemudian akan dikembangkan menjadi hipotesis yang menjadi permasalahan sehingga dilakukannya penelitian ini. BAB III: METODA PENELITIAN Bab ini berisi tentang metoda penelitian yang dipilih oleh penulis dalam rangka melakukan penelitian yang antara lain berisi tentang metoda pengumpulan data dan metoda analisis data. BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan tentang deskripsi objek, analisis dan hasil penelitian dengan menggunakan metoda yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. BAB V: SIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi tentang simpulan atas hasil dari penelitian secara keseluruhan, keterbatasan serta saran bagi pengembangan penelitian selanjutnya.
11