BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam lintas sejarah ketatanegaraan Indonesia, gagasan untuk membentuk lembaga sejenis Komisi Yudisial bukanlah hal baru.Dalam pembahasan RUU tentang ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman tahun 1968, sudah diusulkan ide Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH).MPPH berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran dan usul yang berkaitan dengan pengangkataan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan bagi para hakim yang diajukan baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh menteri kehakiman.Namun, dalam perjuangannya ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak berhasil menjadi materi muatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 1 Ide komisi yudisial kembali mendapatkan momentum menyusul adanya desakan
penyatuatapan
kehakiman
yang
didaasarkan
pada
Tap
MPR
No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional.Munculnya desakan agar
1
Rifqi S. Assegap, 2004, “Urgensi Komisi Yudisial dalam pembaruan Peradilan Indonesia” dalam Jurnal Hukum Jentera, Edisi 2, Tahun II, Juni, 2004, hal5-7
1 Universitas Sumatera Utara
lembaga peradilan satu atap, makin memunculkan desakan agar komisi yudisial segara direalisasikan. Dibentuknya Komisi Yudisial pada perubahan ke-3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan reaksi terhadap kegagalan sistem peradilan yang ada untuk menciptakan peradilan yang lebih baik. Usaha kearah peradilan yang lebih baik tersebut sebelumnya juga dilakukan dengan menciptakan sistem satu atap (One Roof System) yaitu memberikan kewenangan dibidang administrasi, keuangan dan organisasi kepada Mahkamah
Agung.
Namun
usaha
inidipandang
belum
tentu
mampu
menyelesaikan masalah yang ada dan bahkandipandang dapat menimbulkan monopoli kekuasaan di lembaga tersebut 2. Situasi dan kekhawatiran
tersebut
mendorong terbentuknya gagasan ke arah pembentukan lembaga independen yang berada di luar Mahkamah Agung yang dapat mengimbangi agar
tidak
terjadi
monopoli kekuasaan pada lembaga tersebut. Dalam rangka merealisasikan gagasan tersebut dibentuklah Komisi Yudisial yang diharapkan dapat mengawasi serta mengimbangi (checks and balances) pelaksana kekuasaan kehakiman sehingga dapat mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik di masa mendatang. Diaturnya
Komisi Yudisial dalam Pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menunjukkan bahwa
lembaga
ini merupakan
2
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial, 2003, h.23.
Universitas Sumatera Utara
lembaga negara yang mendapat atribusi kekuasaan langsung dari Undang-Undang Dasar. Sebagaimana diketahui sejak perubahan ke-3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak ada lagi pembagian lembaga negara tertinggi dan lembaga tinggi negara. Semua lembaga negara adalah sederajat, yang membedakan satu sama lain adalah kewenangannya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengenal istilah lembaga negara utama (main) dan lembaga negara penunjang (supporting). Dengan demikian kedudukan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi adalah sama yaitu sama-sama mendapat kewenangan atribusi dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai lembaga negara yang mandiri, Komisi Yudisial
diberi wewenang oleh Undang-Undang Dasar untuk
mengawasi perilaku hakim, hakim agung dan hakim konstitusi. Seperti dikemukakan di atas, dibentuknya Komisi Yudisial merupakan reaksi terhadap kegagalan sistem yang ada untuk menciptakan peradilan yang lebih baik. Walaupun Komisi
Yudisial
dipandang
sebagai
salah
satu
cara
untuk
memperbaiki sistem yang ada, namun lembaga ini tidak mempunyai kewenangan dibidang kekuasaan yudisial. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah peradilan
yang
berada
di
bawahnya
Mahkamah
Agung
dalam lingkungan
dan
peradilan
badan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
Universitas Sumatera Utara
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa Komisi Yudisial bukan lembaga yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, namun kekuasaannya terkait dengan kekuasaan tersebut. Gagasan yang timbul dari pernyataan diatas ialah bahwa selama ini dalam kekuasaan
kehakiman
tidak
terdapat mekanisme
pengaturan
diri 3 yang
mengakibatkan tidak adanya sistem saling awasi dan saling imbang (checks andbalances). Konsekuensi yang ditimbulkan oleh ketiadaan checks and balances ini ialah terjadinya judicial corruption yang merupakan salah satu penyumbang didudukkannya Indonesia pada peringkat atas sebagai negara terkorup di dunia. Keberadaan Komisi Yudisial diharapkan dapat mengawasi dan menjadi ”external auditor” agar tercapai keinginan banyak pihak atas adanya obyektivitas dari suatu fungsi pengawasan terhadap pemegang kekuasan kehakiman. Kenyataanlain, dalam hal melaksanakan kewenangan dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, pengawasan yang dilakukan oleh MA tidak menunjukkan hasil yang maksimal. Ada dua hal mendasar yang menyebabkan kondisi di atas: Pertama, pendisplinan dan pemeriksaan hakim bermasalah yang dilakukan oleh MA maupun Majelis Kehormatan Hakim (MKH) baik proses maupun hasilnya tertutup (tidak transparan). Sehingga pada akhirnya menimbulkan kecurugiaan masyarakat adanya kolusi. Selain itu semangat membela 3
Lihat Fritjof Capra, Jaring-jaring Kehidupan Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2002, hal. 97, mendeskripsikan Proses pengaturan diri dalam kehidupan sosial seperti invisible hand dalam teori Adam Smith, Checks and Balances dalam Konstitusi Amerika dan konsep tesis-antitesis-sintesis (dialektika) dari Hegel dan Marx.
Universitas Sumatera Utara
korps (esprit de corps), mengakibatkan pemeriksaan internal yang dilakukan MA dan MKH diragukan untuk beratindak fair terhadap hakim yang diperiksa yang nota bene adalah teman seprofesi. Kedua, tertutupnya pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawasan internal MA juga diperburuk dengan pemberian sanksi yang tidak tegas terhadap oknum hakim yang terbukti bersalah. 4 Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan Negara yang satu sama yang lain dalam posisi setara melakukan kontroling (cheks and balances), mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Semangat perubahan UUD 1945 adalah mendorong terbangunnya struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis, profesional dan proporsional.Suatu konsekwensi logis bahwa Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.Karena kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prisip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum. Prinsip ini mengkehendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak maupun dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan (independensi) kekuasaan kehakiman
4
Titik Triwulan Tutik :eksistensi, kedudukan dan wewenang KY,Surabaya: Prestasi Pustaka, hal.76.
Universitas Sumatera Utara
Secara khusus, hasil amandemen UUD 1945 telah membawa angin perubahan dalam kehidupan tatanegara terutama dalam pelaksaaan kekuasaan kehakiman pada cabang kekuasaan kehakiman, terdapat empat perubahan penting.Pertama, apabila sebelumnya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 jaminan kekuasan kehakiman yang merdeka hanya terdapat dalam penjelasannya, maka setelah perubahan jaminan tersebut secara eksplisit disebut dalam batang tubuh. Kedua, Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman tidak lagi menjadi satusatunya pelaku kekuasaan kehakiman, karena di sampingnya ada Mahkamah Konstitusi yang juga berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martaba, serta perilaku hakim.Keempat, adanya wewenang kekuasaan kehakiman dalam hal ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa wewenang lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum Melalui pelaksaan program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya dilakukan untu menciptakan transparansi dan akuntabilitas dilingkungan peradilan antara lain melalui pembentukan lembaga pengawas independen.Untuk itu masyarakat menaruh harapan yang besar dengan
Universitas Sumatera Utara
dibentuknya Komisi Yudisial berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004. Komisi Yudisial tidak berperan dalam proses peradilan, akan tetapi berperan sebagai lembaga yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sebagai salah satu contoh kasus yang ditangani Komisi Yudisial yang lagi hangat di perbincangkan adalah kasus Antasari Azhar. Komisi Yudisial menengarai adanya indikasi pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dalam penanganan perkara mantan ketua KPK Antasari Azhar.Komisi Yudisial menilai, ada pengabaian barangbarang bukti penting yang dilakukan hakim baik tingkat pertama, banding, maupun kasasi.Pengabaian barang bukti menurut Suparman yang menjabat sebagai ketua bidang pengawasan dan investigasi Komisi Yudisial, merupakan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, khususnya prinsip profesionalitas serta kehati-hatian. 5 Ada beberapa alasan pokok bagi terwujudnya Komisi Yudisial di dalam Negara Hukum 6 : 1) Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluasluasnya dan bukan hanya monitoring internal saja; 2) Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (eksekutive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujua utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah; 5
www.komisijudisial.go.id Kompas, Komisi Yudisial Temukan Pengabaian Barang Bukti, Jakarta. Hal 4, rabu 13 April 2011 6
www.komisi judicial.go.id
Universitas Sumatera Utara
3) Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal; baik yang menyangkut rekuitmen dan monitoring Hakim Agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman; 4) Tejadinya konsistensi putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (komisi yudisial); 5) Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan Hakim Agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyain kepentingan politik. Menurut Jimly Asshiddiqie, maksud dibentuk Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangaka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ke- Tuhanan Yang Maha Esa.Dengan kehormatan dan keluhuran martabat itu, kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartialjudiciary) diharapkan dapat diwujudkan sekaligus dapat diimbangi oleh prinsip akuntabilitaskekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi etika.Untuk itu diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para hakimitu sendiri. 7 Pembentukan Komisi Yudisial merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol di antara lembaga-lembaga negara.Pembentukan Komisi Yudisial merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya perlindungan hak asasi (hak konstitusional) yang telah dijamin oleh konstitusi.Selain itupembentukan Komisi Yudisial dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan. Keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara diataur dalam Pasal 24B UUD 1945 yang menyatakan : Ayat ( 1 ) : Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenag mengusulkan pengangkatan hakim Agung dan mempunyai wewenang lain 7
Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005,hlm.210-211
Universitas Sumatera Utara
dalam rangka menjaga dan menegakkan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Ayat ( 2 ) : Anggota Komisi Yudial harus mempunyai pengetahuan fan pengalaman di bidang hukum serta memeliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; Ayat (3) :Anggota Komisi Yudidisial diangkat dan diberhentikan oleh Presidendengan persetujuan DPR; Ayat ( 4 ) : Susunan dan Kedudukan dan Keanggotaan Komisi Yudisial diatu dengan UU. Berdasarkan ketentuan UUD 1945 di atas, setidaknya diatur beberapa hal mengenai Komisi Yudisial, yaitu: 1. Sifat lembaga Negara yang bernama Komisi Yudisial; 2. Kewenangan konstitusional Komisi Yudisial; 3. Persyaratan menjadi anggota Komisi Yudisial; 4. Lembaga negara yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Komisi Yudisial;dan 5. Pengaturan susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial. Di tengah pengurangan kewenangan Komisi Yudisial selaku lembaga Negara yang berkedudukan sebagai checks and balance.Eksistensi Komisi Yudisial sebagai lembaga Negara menjadi semakin tumpul dan mandul ketika fungsi pengawasan Komisi Yudisial terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim, berdasarkan judicial review bertentangan dengan putusan MK No.005/PUU/2006. Permasalahan timbul ketika, kewenangan pengawasan terhadap kinerja hakim dianggap telah melampaui kewenangan pengawasan terhadap keberadaan institusi di
Universitas Sumatera Utara
bawahnya, yaitu peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha Negara dan peradilan militer termasuk perilaku hakim.Konflik, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial pada akhirnya bermuara pada kontra produktif terhadap keberadaan dan kelangsungan kehidupan ketatanegaraan.Terbukti konflik kedua lembaga negara tersebut berujung pada saling lapor dan gugat-menggugat ke pihak kepolisian Negara. Alhasil lahirlah judicial review MK terhadap UU NO.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial . Dari perspektif hukum tata Negara, secara konstitusional UUD 1945 tidak lagi mengenal lembaga tertinggi Negara dan lembaga tinggi Negara. Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial mempunyai kedudukan yang sejajar sebagai lembaga tinggi Negara.Dengan posisi kesesederajatan antara ketiga lembaga atau badan yang berada dibawah kekuasaan kehakiman tersebut, maka komosi yudisial dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai pengawas secara merdeka dan mandiri.Akan tetapi, fungsi pengawasan Komosi Yudisialuntuk menjaga martabat dan kehormatan hakim dan terhadap perilaku hakim mengalami perubahan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Agustus 2006.Putusan MK No.005/PUU/2006 tanggal 23 Agustus 2006 antara lain sebagai berikut: 1. Komisi Yudisial tidak berwenang lagim mengawasi hakim 2. Ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU No. 22 tahun 2004 yang mengatur kewenangan komosi yudisialuntuk pengawasan perilaku hakim dan hakim agumg dibatalkan
Universitas Sumatera Utara
3. Hakim Mahkamah Konstitusi tidak termasuk obyek pengawasan komosi yudisial 4. Komisi Yudisial tidak berhak lagi mengusulkan penjahtuhan sanksi berupa pemberhentian hakim kepada Mahkamah Agung dan/ Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk membahas dan menelitinya dengan mengambil judul Tinjauan Kritis Kedudukan dan Kewenangan Komisi Yudisial RI Pasca Amandemen UUD 1945. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulis membuat perumusan masalah yang berkenaan dengan keberadaan Komisi Yudisial, sebagai berikut: 1. Mengapa jajaran kekuasaan kehakiman membutuhkan adanya Komisi Yudisial? 2. Seluas mana kewenangan Komisi Yudisial sebagai suatu lembaga “komisi” namun bukan sebagai lembaga kehakiman? 3. Sejauh mana produk kinerja kerja Komisi Yudisial di Indonesia?
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang mengapa jajaran kekuasaan kehakiman membutuhkan adanya Komisi Yudisial. 2. Untuk mengetahui seluas manakewenangan Komisi Yudisial sebagai suatu “lembaga komisi” (bukan lembaga kehakiman) 3. Untuk mengetahui sejauh mana produk kinerja Komisi Yudisial di Indonesia D. Manfaat Penelitian Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis. Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan konstitusinal Komosi Yudisialsebagai
lembaganegara apakah sesuai dengan
gagasan pembentukan Komosi Yudisialdalam sistem ketatanegaraan Indonesia. 2. Secara praktis a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas.
Universitas Sumatera Utara
b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan penegakan dan pengembangan ilmu hukum. c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum, khsususnya yang berkaitan dengan Komisi Yudisial. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan, penelitian yang mengangkat judul tentang “tinjauan kritis kedudukan dan kewenangan komisi yudisial RI pasca amandemen UUD 1945” ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat di pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis. F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori Secara konseptual teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini dan dapat dijadikan acuan dalam membahas Tinjauan Kritis kedudukan dan kewenagan Komisi Yudisial RI Pasca Amandemen UUD 1945 adalah dengan menggunakan pendekatan teori “negara berdasarkan atas hukum” sebagai
Universitas Sumatera Utara
grand theory yang didukung oleh teori konstitusi dan teori demokrasi atau kedaulatan rakyat. Paham negara hukum berakar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Menurut Franz Magnis-Suseno, 8 terdapat dua unsur dalam paham negara hukum. Pertama, hubungan antara memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan, tetapi berdasarkan norma yang objektif juga mengikat pihak yang memerintah. Kedua, norma yang objektif itu, hukum, memenuhi syarat bukan hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan idea hukum. Jika dirujuk kebelakang, paham negara hukum sebetulnya merupakan konsep yang sudah lama menjadi discourse para ahli.Plato mengemukakan konsep nomoiyang dapat dianggap sebagai cikal bakal pemikiran tentang negara hukum.Sedangkan Aristoteles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkan dengan arti negara dalam perumusannya masih terkait pada polis.Bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara hukum bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil dan kesusilaan yang menentukan baik buruknya suatu hukum. 9 Seorang sarjana dari jerman F.J Stahl mengemukakan empat unsur dari negara hukum, yakni:
8
Franz Magnis-Suseno, 1999, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, hal,295.
9
M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1990, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi HTN UI dan Sinar Bakti, hal. 142.
Universitas Sumatera Utara
1.
Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia
2.
Adanya pembagian kekuasaan;
3.
Pemerintah haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan
4.
Adanya peradilan administrasi. 10 Konsep negara hukum di Eropa yang dikenal dengan Rule Of Law yang sangat
terkenal karena uraian A.V. Dicey dalam bukunya yang berjudul law and constitution (1952). Dalam bukunya tersebut Dicey menyatakan bahwa unsur-unsur Rule of Law mencakup: 1.
Supremasi aturan-aturan hukum. Tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang dalam arti bahwa seseorang boleh dihukum jika melanggar hukum.
2.
Kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalil ini berlaku, baik bagi mereka rakyat kebanyakan meupun pejabat.
3.
Terjadinya hak asasi menusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan. 11 Jimly Asshiddqie 12 menyebutkan bahwa paling tidak ada sebelas prinsip pokok
yang terkandung dalam negara hukum yang demokratis, yakni: 1. 2. 3. 4. 5.
Adanya jaminan persamaan dan kesejahteraan dalam kehidupan bersama; Adanya pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas; Adanya atruran yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati bersama itu; Adanya pengakuan dan penghormatan terhadap HAM;
10
Hasan Zaini Z., 1974, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni,hal.
11
Miriam Budiarjo, 1992, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:Gramedia:Pustaka Utama,
155. hal.58. 12
Jimly Asshiddgie. 2005, Hukum Tata Negara dalam Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Konpress, hal. 229-300.
Universitas Sumatera Utara
6.
Adanya pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antara lembaga negara, baik secara vertical maupun horizontal; 7. Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak dengan kewibawaan putusan tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran; 8. Adanya lembaga peradilan yang dibentuk khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akiabat putusan atau kebijkan pemerintah; 9. Adanya mekanisme judicial review oleh lembaga peradilan menghadap normanorma ketentuan legislatif, baik yang ditetapkan oleh lembaga legislative maupun eksekutif; dan 10. Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan pelaksaan prinsip-prinsip diatas. 11. Adanya pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara. Konstitusi menurut makna katanya berarti “ dasar susunan badan politik” yang bernama negara. Konstitusi menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa peraturan kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah negara. 13 K.C Wheare F.B.E seperti dikutip Juniarto mengatakan: Istilah constitution pada umumnya dipergunakan untuk menunjuk kepada seluluruh peraturan mengenai ketatanegaraan suatu negara yang secara keseluruhan akan menggambarkan sistem ketatanegaraan tersebut terbagi dua golongan, yaitu peraturan berderajat legal (law) dan berderajat nonlegal (extralegal). 14 Berdasarkan pendapat diatas, maka pada dasarnya peraturan-peraturan (konstitusi) ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang, berupa UUD atau UU dan ada yang tidak tertulis yang berupa usage, understanding, custums atau convention.
13
Samidjo, Ilmu Negara, Bandung : Armico. Hlm. 297 Juniarto, Selayang Pandang Sumber-sumber Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 22. 14
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan keberadaan konstitusi dalam suatu negara Lord Bryce 15, mencatat empat motif timbulnya konstitusi: 1. Adanya keinginan aggota warga negara untuk menjamin hak-haknya yang mungkin terancam dan sekaligus membatasi tindakan-tindakan penguasa; 2. Adanya keinginan dari pihak yang diperintah atau yang memerintah dengan harapan untuk memjamin rakyatnya dengan menentukan bebtuk suatu sistem ketatanegaraan tertentu; 3. Adanya keinginan dari pembentuk negara yang baru untuk menjamin tata cara penyelenggaaraan ketatanegaraan; 4. Adanya keinginan untuk menjamin kerjasama yang efektif antar negara bagian. Berdasarkan pendapat Lord Bryce tersebut, maka paham konstitusi memiliki makna bahwa pemerintahan berdasarkan atas hukum dasar (konstitusi).Tidak berdasarkan kekuasaan belaka (absolutisme).Konskuensi logis dari diterimanya paham konstitusi atau pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar, berarti bahwa dalam pemerintahan negara presiden selaku eksekutif memegang kekuasaan pemerintah menurut UUD, presiden berhak mengajukan undang-undang kepada lembaga perwakilan rakyat.Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang.Dengan prinsip ini Presiden hanya mengeluarkan peraturan, kalau ini mempunyai landasan pada UUD, atau merupakan penerusan dari padanya. 16
15
Ibid. hlm. 40-41 Ibid.,hlm.7
16
Universitas Sumatera Utara
Paham konstitusionalisme menurut C.H Mellwain 17 dalam bukunya yang berjudul Ancient and Modern, menghendaki eksistensi dua elemen penting sekaligus: 1. hukum yang menjadi “pembatas” bagi kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan; 2. akuntabilitas politik sepenuhnya dari pemerintah (government) kepada yang diperintah (governed). Melalui sistem konstitusi dalam pemerintahan inilah akan melahirkan kesamaan hak dan kewajiban warga negara serta perlindungan di dalam hukum dan pemerintahan, karena pemerintah (penguasa) dalam menerapkan aturan merujuk pada aturan dasar yang berlaku (konstitusi) bukan kekuasaan yang dimiliki. Istilah ini dikenal dengan pengakuan akan kedaulatan rakyat. Dengan demikian dapat dikenali, bahwa konstitualisme, minimal mencakup dua hal yang sangat esensial 18, yaitu: 1.
Konsep negara hukum haruslah mengatasi kekuasaan pemerintah yang berarti pula bahwa hukum harus mengontrol dan mengendalikan;
2.
Konsepsi hak-hak sipil warga negara yang menggariskan adanya kebebasan warga negara di bawah jaminan konstitusi sekaligus adanya pembatasan kekuasaan negara yang dasar legitimasinya hanya dapat diperoleh dari konstitusi. 17
Jika diperinci lebih jauh, dua hal tersebut menghasilkan gagasan-gagasan lanjutan seperti kedaulatan rakyat (demokrasi), konstitusi sebagai hukum dasar, pemerintahan berdasarkan undangundang, prosedur yang terlembaga bagi akuntabilitas pemerintah, dan last but not least jaminan perlindungan HAM warga negara. A. Ahsin Thohari, “Jalan Terjal Konstitusionalisme Indonesia,” Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi RI Vol. 1 No.1.Juli 2004, hlm. 158 18 K.C Wheare dalam Bambang Heryanto, “Refleksi Politik Hukum Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonsia”, Yuridika, Volume 17, No.4, Juli 2004, hlm.158
Universitas Sumatera Utara
Pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat yang berarti pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah. Kemudian secara prinsipil, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang menginzinkan rakyatnya untuk mengambil bagian penting dalam proses pemerintahan. Demokrasi adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan rakyat. Menyikapi hal ini Sri Soemantri mengutip pendapat E.Barkermengatakan : Dilihat dari kata-katanya demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yang kemudian diartikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Meskipun kelihatan sederhana, akan tetapi sampain sekarang adalah sukar untuk membeikan batasan yang dapat diterima semua pihak. Hal ini disebabkan pengertian demokrasi tersebut telah dan akan mengalami perkembangan. 19 Dengan demikian makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Dengan kata lain bahwa, negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauanrakyat. Menurut Moh. Mahfud MD 20, ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah
19 20
Sri Soemantri, Perbandingan Hukum Tatanegara, Bandung: Alumni, 1971.hlm.23 Moh, Mahfud MD., Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gamma Media,
1999.h.5
Universitas Sumatera Utara
menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental; kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya. Setidaknya ada tiga nilai ideal yang mendukung demokrasi sebagai suatu gagasan kehidupan yaitu kemerdekaan (freedom), persamaan, (equality), dan keadilan (justice).Ide-ide tersebut direalisasikan melalui perwujudan simbol-simbol dan hakekat dari nilai-nilai dasar demokrasi yaitu sungguh-sungguh mewakili atau diangkat dari kenyataan hidup yang sepadan dengan nilai-nilai itu sendiri. 21 2. Kerangka Konsepsional Untuk menghindari perbedaan pengertian terhadap istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, berikut ini adalah konsepsi dan definisi operasional dari istilahistilah tersebut.Khusus untuk pengertian kewenangan dalam penelitian ini di uraikan dengan cukup rinci, sedangkan istilah-istilah lainnya hanya disebutkan definisi operasionalnya karena diuraikan lebih jelas dalam pembahasan permasalahan yang diangkat. Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsp-konsep di bawah ini:
21
Muhadjir Darwin, “Demokrsi Politik Sudah Saatnya”, Jakarta, h.3
Universitas Sumatera Utara
A.
Komisi Komisi negara sering disebut dalam beberapa istilah berbeda, misalnya di
Amerika Serikat di kenal saebagai administrative agencies. Menurut Michael R Asimow, komisi negara adalah: units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent. 22Komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, namun justru mempunyai fungsi campur dari ketiganya. 23Dalam bahasa Funk dan Seamon komisi independen itu tidak jarang mempunyai kekuasaan “quasi legislative” dan “quasi judicial”. 24 Sesuai dengan defenisi komisi negara independen di atas, di Indonesia saat ini ada 13 independent regulatory agencies.Evaluasi atas komisi negara di tanah air paling tidak perlu menyoroti tiga hal, yaitu: (1) problema eksistensinya yang mulai menginflasi; (2) efektifitas fungsi, (3) serta urgensi restrukturisasi komisi negara tersebut. 25
22
Michael R Asimow, Administrative Law (2002)hlm.1. Jimly Asshiddigie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah dalam seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli 2003 24 William F. Funk dan Richard H. Seamon, Administrative Law: Examples&Explanations (2001) hlm.23-24. 25 Denny Indrayana, Komisi Negara Independen Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, Majalah Hukum Nasional: DEPKUMHAM RI. Hlm.77. 23
Universitas Sumatera Utara
B. Kedudukan Menurut Philipus M. Hadjhon, makna kedudukan suatu lembaga negara dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: pertama, kedudukan diartikan sebagai suatu posisi yaitu posisi lembaga negara dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara lain. Kedua, kedudukan lembaga negara diartikan sebagai posisi yang didasarkan pada fungsi utamanya. 26 Dengan makna kedudukan dari dua sisi tersebut ketetapan MPR No.VI/MPR/1973 junto Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 membedakan dua kelompok Lembaga UUD 1945, yaitu lembaga tinggi negara, MPR dan lembaga Tinggi Negara yang terdiri atas: Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. Namun berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca Amandemen tidak lagi dikenal pembagian dalam kelompok Lembaga Negara dan Lembaga Tinggi Negara pola Ketetapan MPR No VI / MPR /1973 juntoKetetapan MPR No.III / MPR / 1978. 27 Susunan Komisi Yudisial adalah stuktur organisasi Komisi Yudisial yang telah tersusun yang menyangkut siding paripurna, ketua/wakil ketua, sub-sub komisi, sekretariat jendral, biro-biro dan bagian-bagian. 28)Dalam hal ini juga menyangkut fungsi, tugas, kewajiban, dan wewenag Komisi Yudisial.
26
Philipus M. Hadjon, 1996, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945, Surabaya: Bina Ilmu,1992, h.x 27 Philipus M. Hadjon, 2004, Ibid 28 Tim Penyusun Kamus Pustaka Bahasa,op.cit.,hlm.1112
Universitas Sumatera Utara
Kedudukan
KomisiYudisial
adalah
kedudukannya
dalam
struktur
ketatanegaraan dan juga tempat kedudukan Komisi Yudisial. 29Dalam konteks ini yang menjadi pernyataan adalah apakah Komisi Yudisial termasuk dalam kekuasaan kehakiman atau tidak dan apakah Komisi Yudisial termasuk ke dalam alat-alat kelengkapan Negara dalam struktur ketatanegaraan atau tidak.Pelembagaan Komisi Yudisial adalah perbuatan melembagakan atau mengorganiasasikan 30 Komisi Yudisial yang menyangkut susunan dan kedudukannya dan menyangkut sidang paripurna, ketua/wakil ketua, sub-sub komisi, sekretariat jendral, biro-biro dan bagian-bagian selain itu, juga menyangkut fungsi, tugas, kewajiban dan wewenang Komisi Yudisial. C. Kewenangan dan Tugas Komisi Yudisial Kata kewenangan berasal dari kata dasar wewenang yang berarti hak dan kekuasaan untuk membuat keputusan yang memiliki akibat hukum setelah dikeluarkan keputusan tersebut. 31Dalam pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 digunakan istilah “wewenang” untuk menunjuk fungsi yang harus dilakukan oleh komisi yudisial.Penggunaan istilah “wewenang” menurut Tim Penyusun Naska Akademis Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung
29
Pengertian ini diadaptasi dari pengerian kata “kedudukan” dalam ibid., hlm.278 Pengertian ini diadaptasi dari pengertian kata “lembaga”, “melembagakan”, “pelembagaan” dalam ibid., hlm.653-654. 31 Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,1998), hlm.1011. 30
Universitas Sumatera Utara
32
kurang tepat karena kata kewenangan biasanya diartikan sebagai hak-hak yang
dimiliki seseorang atau suatu badan untuk menjalankan tugasnya. Sementara fungsi Komisi Yudisial dibentuk dan tugas menunjukkan hal-hal apa yang wajib dilakukan oleh suatu lembaga guna mencapai fungsi yang diharapkan. Dalam Undang-Undang Komisi Yudisial digunakan istilah wewenang dan tugas, tidak dijabarkan tentang fungsi Komisi Yudisial.Ada pendapat yang mengatakan bahwa wewenang (bevoegdheid) mengandung pengertian tugas (plicthen)dan hak (rechten). Menurut Bagir Manan, 33 wewenang mengandung makna kekuasaan (macht)yang ada pada organ, sedangkan tugas dan hak ada pada pejabat dari organ. G. Metode Penelitian 1. Tipe atau jenis penelitian Peneliti akan mengkaji pokok-pokok permasalahan sesuai dengan ruang lingkup dan identifikasi masalah sebagaimana yang telah disebut di atas melalui pendekatan yuridis-normatif. 34 Selain itu, penelitian juga akan menggunakan pendekatan yuridis-historis dan yuridis-komparatif berdasarkan ruang lingkup dan identifikasi masalah yang ada. Hal ini dimaksudkan agar penelitian ini sejauh
32
Tim Mahkamah Agung, 2003, Naska Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial. Jakarta: Mahkamah Agung 33 Bagir Manan, 2001, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH UII Yogyakarta, hal.69-70. 34 Soerjono Soekanto,” Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press”, 1986, hlm.10.
Universitas Sumatera Utara
mungkin dapat mengetahui sosok Komisi Yudisial dalam spektrum yang seluasluasnya dengan cara menggali informasi tentangnya dari berbagai sudut pandang. 2. Sumber data penelitian 1) Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penelitian ini seperti: 2) Norma atau Kaidah Dasar, yaitu Pembentukan Undang-undang Dasar 1945; 3) Peraturan Dasar, yakni pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 4) Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan Yudisial, khususnya keberadaan Komisi Yudisial, diantaranya: -
Undang-Undang
Nomor
4
tahun
2004
Tentang
Kekuasaan
Kehakiman; -
Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 Tentang Mahkamh Agung;
-
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial;
- Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi; 5) Bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities) yang digunakan adalah kajian pustaka yang bersumber dari karya ilmiah berupa buku-buku teks, kamus hukum, artikel, majalah, jurnal ilmiah di bidang hukum, komentar-komentar atas putusan MK, makalah yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian.
Universitas Sumatera Utara
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik
pengumpulan
data
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
pengumpulan data studi dokumen, yaitu dilakukan dengan menginventarisir berbagai bahan hukum baik, hukum primer, sekunder, maupun tertier melalui penelusuran kepustakaan (library research). 4. Analisis Data Dengan mengkaji hukum normatif, analisis bahan hukum hakekatnya kegiatan untuk mengadakan sistematika terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti
membuat
klasifikasi
terhadap
bahan-bahan
tertulis
tersebut
untuk
memudahkan pekerjaan analisis dan kontruksi.Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis data, yaitu: a) Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur masalah eksistensi, kedudukan, tugas, fungsi dan kewenangan komisi yudisial. b) Membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu. c) Bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara