BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kesehatan di Indonesia diatur dalam Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Kesehatan merupakan suatu hal yang penting bagi setiap individu karena kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga harus dipenuhi sebagai upaya mencapai pembangunan negara di segala bidang (Saputra, 2013). Hadits Rasulullah SAW yang menunjukkan bahwa pemimpin wajib memenuhi kesehatan warganya adalah hadits riwayat Muslim 7/22, “Rasulullah SAW telah mengutus seorang dokter (thabib) kepada Ubai bin Ka’ab. Dokter itu memotong satu urat dari tubuhnya, lalu membakar (mencos) bekas urat itu dengan besi bakar”. Hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah SAW telah memberikan jaminan kesehatan kepada umatnya dengan mendatangkan seorang thabib untuk membantu seorang umatnya yang sedang sakit. Upaya pemerintah Indonesia dalam menjamin kebutuhan kesehatan adalah dengan membentuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mulai dijalankan di seluruh Indonesia pada tanggal 1 Januari 2014. Program ini dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Sosial (BPJS). Penyelenggaraan JKN berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS, Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan. Pelayanan JKN dilaksanakan pada fasilitas kesehatan pertama yaitu
1
2
puskesmas, praktik dokter dan dokter gigi, klinik pratama, dan rumah sakit kelas D atau setara. Jaminan Kesehatan Nasional merupakan salah satu upaya pemerintah dalam melaksanakan Program Indonesia Sehat. Program Indonesia Sehat terdiri atas Paradigma Sehat, Penguatan Pelayanan Kesehatan Primer, dan JKN (Depkes RI, 2015). Tujuan Kementrian Kesehatan menyelenggarakan Program Jaminan Indonesia Sehat adalah sebagai upaya mewujudkan masyarakat Indonesia berperilaku sehat, hidup dalam lingkungan sehat, serta mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi– tingginya. Paradigma sehat merupakan konsep yang harus dijalankan oleh pemberi layanan kesehatan tingkat primer untuk menyelengarakan kebijakan yang bersifat promotif dan preventif. Sistem
pembiayaan program JKN untuk fasilitas kesehatan tingkat
pertama yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia (RI) Nomor 19 tahun 2014 adalah sistem kapitasi Dana kapitasi ini menurut Permenkes tersebut merupakan dana yang diberikan kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama setiap bulannya tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan, dengan tarif per kapita yang sudah ditentukan. Tarif kapitasi menurut Permenkes Nomor 59 RI tahun 2014 untuk puskesmas adalah sebesar Rp 3.000,00–Rp 6.000,00, klinik pratama dan praktik dokter tanpa dokter gigi Rp 8.000,00–Rp 10.000,00 , dan praktik dokter gigi mandiri Rp 2.000,00. Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) menetapkan bahwa pelayanan kedokteran gigi merupakan pelayanan primer dan sekunder pada JKN, dengan
3
sistem pembiayaan pada strata primer adalah kapitasi dan srata sekunder adalah DRG (Diagnosis Related Group) atau disebut dengan Indonesia Case Based Group (INA CBG’s) (Dewanto dan lestari, 2014). Peran dokter gigi di era JKN ini adalah meningkatkan upaya promotif dan preventif pada masyarakat, sehingga apabila masyarakat sudah melakukan pencegahan terhadap penyakit gigi dan mulut diharapkan dapat menurunkan tingginya tingkat penyakit gigi dan mulut di Indonesia. Peran tersebut dapat dilakukan oleh dokter gigi yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama milik daerah yaitu puskesmas, karena kecenderungan masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan puskesmas ketika sakit. Hingga kini sebagian besar masyarakat masih memiliki kecenderungan pergi ke fasilitas kesehatan saat sudah mengalami sakit yang cenderung parah, hal tersebut dipengaruhi oleh tingginya biaya kesehatan terutama kesehatan gigi (Hamdani, 2013). Pelaksanaan JKN di Indonesia dianggap masih belum optimal, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa saat ini upaya penguatan fasilitas serta sarana dan prasarana di pelayanan kesehatan tingkat pertama masih dilakukan. Ketersediaan sarana dan prasarana menjadi tantangan strategis pelayanan kesehatan primer dalam pelaksanaan program JKN karena sarana dan prasarana merupakan syarat untuk mendukung pelaksanaan program (Taher, 2013). Ketersediaan sarana dan prasarana tersebut dapat menjadi hambatan bagi dokter gigi sebagai pelayan kesehatan di fasilitas kesehatan pertama terutama puskesmas apabila sarana
dan
prasarana
tidak
mendukung.
Kesiapan
stakeholder
atau
penyelenggara program seperti Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Daerah juga
4
berperan dalam mendukung keberhasilan terselenggaranya program JKN terutama pada tersedianya sarana dan prasarana (Geswar dkk., 2014). Kesiapan dari tenaga kesehatan juga merupakan faktor penting dalam terselengganya JKN terutama dalam mengelola dana kapitasi dan pemahaman tentang paket manfaat JKN. Terdapat beberapa masalah yang dihadapi dokter gigi sebagai tenaga kesehatan pada paket manfaat, antara lain ketidakjelasan tindakan scalling 1 tahun sekali yang terdapat dalam paket manfaat BPJS, obat pasca ekstraksi, dan jenis tindakan yang dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan sekunder (Dewanto dan Lestari, 2014). Masalah lain yang dapat menjadi hambatan adalah beban kerja yang meningkat seiring dengan peningkatan dan tugas administratif yang dibebankan kepada sebagian tenaga kesehatan. Berdasarkan
masalah tersebut, perlu adanya penelitian tentang
gambaran hambatan dokter gigi sebagai provider puskesmas dalam pelayanan JKN di daerah rural yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah rural adalah daerah di mana sebagian besar penduduknya hidup bergantung pada sektor pertanian dan tinggal di pedesaan. Sebesar 70% penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan dengan angka kemiskinan yang masih tinggi. Perbedaan daerah perkotaan atau urban dengan daerah pedesaan atau rural adalah adanya kesenjangan sosioekonomi yang meliputi pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan, sehingga berdampak pada akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Masyarakat pedesaan memiliki akses ke pelayanan kesehatan lebih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan karena terbatasnya fasilitas kesehatan, rendahnya pengetahuan, dan rendahnya pendapatan (Sarumpaet dkk., 2012). Pelayanan di daerah rural atau
5
pedesaan umumnya berbeda dengan daerah urban atau perkotaan, di daerah rural banyak menemui kendala karena tidak meratanya persebaran tenaga kesehatan di mana banyak tenaga kesehatan yang memilih untuk ditempatkan di daerah kota (Lestari, 2013). Kondisi tersebut akan mempengaruhi pelayanan kesehatan di daerah rural karena tenaga kesehatan berperan penting dalam mutu pelayanan kesehatan pada masyarakat. Salah satu daerah rural yang berada di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Kabupaten Kulon Progo, dalam penelitian ini akan dilakukan penelitian di daerah tersebut karena Kabupaten Kulon Progo dapat mewakili daerah rural di Indonesia. Daerah Kabupaten Kulon Progo meliputi daerah perbukitan, dataran tinggi, dan dataran rendah. Kondisi daerah tersebut kemungkinan menjadi kendala masyarakat dalam mengakses fasilitas kesehatan seperti puskesmas, dan menjadi hambatan pula dalam pelayanan kesehatan pada program JKN di wilayah tersebut karena puskesmas merupakan ujung tombak dari pelayanan kesehatan masyarakat. Jumlah puskesmas di Kabupaten Kulon Progo sebanyak 21 unit yang terdiri dari 5 puskesmas dengan rawat inap, 16 puskesmas non rawat inap 2 diantaranya dilengkapi dengan rumah bersalin, dan jumlah puskesmas pembantu sebanyak 68 unit (Dinkes Kabupaten Kulon Progo, 2014). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Dinas Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2013 dalam hasil review Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tatanan rumah tangga sebesar 30,51% yang telah melaksanakan PHBS. Program PHBS merupakan salah satu program dari puskesmas untuk melaksanakan upaya preventif pada masyarakat, sejalan dengan prinsip
6
paradigma sehat pada program Jaminan Kesehatan Nasional. Bidang kesehatan gigi, prevalensi kesakitan gigi di Kabupaten Kulon Progo masih sangat tinggi yaitu sebesar 90% serta kesadaran masyarakat dalam berobat masing sangat rendah yaitu sebesar 1%, hal tersebut dituturkan oleh drg Hendro Suwarno selaku ketua unit Pendidikan dan Pelatihan Profesional Kedokteran Berkelanjutan (PPPKB) Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) kepada Radar Jogja pada Mei 2014. Berdasarkan masalah–masalah tersebut maka perlu dilakukan penelitian terhadap hambatan dokter gigi dalam pelayanan JKN di puskesmas Kabupaten Kulon Progo.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimanakah gambaran hambatan dokter gigi sebagai provider dalam memberikan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut era JKN di puskesmas
Kabupaten Kulon Progo ?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum : Untuk mengetahui gambaran tentang hambatan dokter gigi sebagai provider dalam memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut era JKN di Kabupaten Kulon Progo. 2. Tujuan Khusus : a. Mengetahui nilai tertinggi hambatan dokter gigi dalam memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut era JKN. b. Mengetahui gambaran pengetahuan dokter gigi tentang JKN.
7
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi instansi terkait dalam penelitian
ini adalah puskesmas di
Kabupaten Kulon Progo sebagai informasi tentang gambaran terhadap hambatan yang dialami dokter gigi dalam memberikan pelayanan JKN bidang kedokteran gigi. 2. Bagi dokter gigi sebagai evaluasi terhadap hambatan yang telah dialami dalam pelayanan JKN pada bidang kedokteran gigi. 3. Bagi ilmu pengetahuan sebagai pengetahuan tentang gambaran terhadap hambatan pelayanan JKN bidang kedokteran gigi di Kabupaten Kulon Progo. 4. Bagi penulis sebagai pengetahuan tentang gambaran dokter gigi terhadap hambatan dalam pelayanan JKN di bidang kedokteran gigi di Kabupaten Kulon Progo. E. Keaslian Penelitian 1.
Judul : Kesiapan Stakeholder dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kabupaten Gowa (Geswar dkk., 2014) Penelitian ini meneliti tentang kesiapan fasilitas kesehatan, regulasi, dan sosialisasi stakeholder (pelaksana program) kepada masyarakat dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Kabupaten Gowa. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah pertama sampel penelitian, sampel penelitian tersebut adalah pelaksana stakeholder atau pelaksana program sedangkan penelitian yang akan dilakukan sampel penelitian adalah dokter gigi
8
sebagai pelayanan kesehatan. Kedua cara pengumpulan data yang digunakan, pengumpulan data penelitian tersebut adalah indepth interview
sedangkan
pada
penelitian
yang
akan
dilakukan
menggunakan kuesioner dengan skala Likert. 2.
Judul : Studi tentang Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) di puskesmas Sidomulyo Kecamatan Samarinda Ilir Kota Samarinda (Saputra, 2013). Penelitian tersebut menggambarkan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah jenis penelitian yaitu penelitian deskriptif. Penelitian tersebut memiliki perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu cara pengumpulan data, pada penelitian tersebut cara pengumpulan data dengan melakukan wawancara, sedangkan pada penelitian ini menggunakan kuesioner untuk mengumpulkan data.
3.
Judul : Implementasi Program Pelayanan Kesehatan Masyarakat Berdasarkan Peraturan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/MENKES/PER/V/2011 (Hamdani, 2013). Penelitian tersebut
membahas
tentang
implementasi
program
pelayanan
Jamkesmas yang terjadi ketidaksesuaian pada pembagian kartu Jamkesmas di kecamatan Sawahan kabupaten Nganjuk dan hambatan yang ditemui pada implementasi Jamkesmas. Persamaan pada penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah variabel penelitian yaitu hambatan dari pelaksanaan program jaminan kesehatan. Perbedaan pada penelitian tersebut adalah metode penelitian, pada
9
penelitian tersebut menggunakan metode yuridis sosiologis sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan adalah obsevasional deskriptif.