BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakikatnya manusia merupakan suatu makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan bahasa baik lisan maupun tulisan guna bergaul dengan manusia lain, baik untuk menyatakan pendapatnya, maupun untuk mempengaruhi orang lain demi kepentingannya sendiri maupun kelompok atau kepentingan bersama (Suwito dalam Aslinda dkk, 2010: 06). Bahasa sebagai sebuah gejala dan kekayaan sosial yang akan terus melaju sejalan dengan perkembangan pemakaiannya. Komunikasi melalui bahasa, tidak akan terlepas dari kegiatan hubungan atau komunikasi dengan manusia lainnya. Bentuk hubungan yang terjadi sangat bervariasi, memungkinkan seseorang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Bahasa merupakan alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa juga sebagai alat interaksi atau alat komunikasi dalam masyarakat oleh kelompok sosial yang bekerjasama yang bersifat arbitrer (Kridalaksana dalam Chaer, 2003: 32). Melalui bahasa manusia dengan mudah mengungkapkan pikiran, gagasan, konsep, perasaan dan berbagai pengalaman kepada sesamanya. Begitu juga sebaliknya, manusia akan mengalami kesulitan dalam menyampaikan pikiran, gagasan, konsep dan perasaan apabila tidak ada bahasa sebagai alat komunikasinya. Proses saling mempengaruhi inilah yang akhirnya mencerminkan bahasa harus bersistem, berwujud simbol yang kita lihat dan kita dengar dalam lambang,
1
2
serta bahasa sebagai alat percakapan yang digunakan masyarakat dan menentukan sistem nyata masyarakat dalam bidang komunikasi (Lyons dalam Aslinda dkk, 2010: 01). Bahasa sering digunakan dalam suatu komunikasi yang disebut tuturan yang akhirnya berlanjut ke dalam percakapan. Kesanggupan bertutur atau menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma-norma penggunaan bahasa dengan konteks situasi dan sosial yang disebut kemampuan komunikatif. Kemampuan seseorang haruslah dapat memilih bentuk-bentuk bahasa yang sesuai dengan situasinya dan memilih ungkapan yang sesuai dengan tingkah laku dan situasi sehingga dapat menafsirkan makna konteks dan situasi. Percakapan itu dapat berupa dalam suatu wacana yang menimbulkan berbagai arti dan fungsi sendiri. Percakapan hakikatnya adalah peristiwa berbahasa lisan antara dua orang partisipan atau lebih yang pada umumnya terjadi dalam suasana santai. Percakapan juga merupakan wadah yang terwujudnya dalam prinsip-prinsip kerja sama yang terdapat pada peristiwa berbahasa secara fungsional. Dengan perkataan lain, percakapan ini digunakan untuk menerangkan makna implisit. Menurut Grice (dalam Suyono, 1990: 14) ada jenis asumsi yang merupakan pengatur dalam kegiatan percakapan sebagai tindakan dalam berbahasa. Jenis asumsi tersebut akan membantu tindakan seseorang dalam percakapan untuk mencapai hasil baik, yang berupa bahasa tulis maupun lisan. Jenis asumsi yang dikatakan oleh Grice adalah aturan percakapan yang terdiri dalam empat aturan: aturan kuantitas, aturan kualitas, aturan hubungan dan aturan cara. Keseluruhan aturan itu disebut sebagai prinsip kerjasama. Penerapan prinsip
3
kerjasama dalam percakapan harus diperhatikan agar wujud bahasa yang dihasilkan dapat diterima oleh orang lain dan dapat menyampaikan pesan secara efisien dan efektif. Dalam percakapan sebagai peristiwa berbahasa, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, di antaranya: bagaimana cara menarik perhatian seseorang, bagaimana caranya memulai pembicaraan, bagaimana caranya mengakhiri pembicaraan, bagaimana caranya menginterupsi atau memotong pembicaraan, dan bagaimana caranya memperbaiki kesalahan. Sebagai suatu bentuk pemakaian bahasa, percakapan mempunyai organisasi. Menurut Levinson (dalam Suyono, 1990: 17) untuk mengenali organisasi percakapan tersebut dapat ditempuh dengan menggunakan tiga model analisis yaitu model turn talking (dengan model ini akan terungkap bahwa dalam percakapan itu seorang partisipan melakukan dialog dengan seorang partisipan lainnya), model adjacency pair (model ini dilakukan dengan cara mengisolasikan menjadi unit terkecil sehingga akan menghasilkan pasangan ujaran), dan model overall organization (model percakapan ini dianalisis dengan cara membagi percakapan sehingga diperoleh bagian pendahuluan, inti dan penutup percakapan). Percakapan merupakan hal yang penting, mengingat dengan definisi percakapan adalah peristiwa berbahasa secara lisan atau dialog yang terjadi pada dua orang atau lebih yang secara umumnya terjadi dalam suasana santai. Penggunaan percakapan tersebut bisa terjadi di kehidupan sehari-hari, yakni berupa saluran telepon, dialog santai dengan anggota keluarga, dialog interaksi yang terjadi dalam jual beli dan juga bisa terjadi di sekolah yang berupa dialog
4
interaksi dalam pembelajaran antara guru dan siswa. Dalam percakapan yang terjadi pada kegiatan pembelajaran yang terjadi di sekolah dilakukan oleh dua orang pelaku, yaitu guru dan siswa. Perilaku guru adalah membelajarkan dan perilaku siswa adalah belajar. Suatu kegiatan yang namanya pendidikan selalu merupakan rangkaian peristiwa yang sangat kompleks. Dalam peristiwa ini banyak faktor-faktor yang saling mempengaruhi dan saling menunjang. Salah satu faktor utama adalah siswa, yang diharapkan dapat tumbuh menjadi pribadi yang utuh melalui proses belajar dan mengajar. Percakapan dalam pembelajaran ini merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan yang menjadi pemegang peranan utama adalah seorang guru. Peranan guru tersebut, tercipta pada serangkaian tingkah laku yang saling mempengaruhi dengan yang dilakukan dalam situasi tertentu serta berkaitan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan kemampuan siswa yang menjadi tujuannya (Wrightaman dalam Uzer, 1999: 04). Itu menunjukkan peran guru tidak akan bisa digantikan, sekalipun dengan mesin canggih. Tugas guru ini berhubungan dengan pembinaan sifat mental siswa yang menyangkut aspek-aspek yang bersifat manusiawi yang unik dalam arti berbeda satu dengan yang lainnya. Peran guru dalam interaksi belajar mengajar dalam pembelajaran, khususnya bahasa Indonesia membawa konsekuensi kepada guru karena interaksi belajar mengajar dan hasil belajar siswa sebagian besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh orang yang
5
tidak memiliki keahlian khusus untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan sebagai guru. Orang yang pandai berbicara dalam bidang-bidang tertentu, belum bisa dikatakan sebagai guru. Untuk menjadi guru diperlukan syarat-syarat khusus, dan juga sebagai guru yang profesional harus menguasai dan mengetahui seluk-beluk pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang perlu dibina dan dikembangkan melalui pendidikan tertentu atau pendidikan prajabatan (Uzer, 1999: 05). Pentingnya guru dalam berkomunikasi pada interaksi pembelajaran ini memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilaksanakannya. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan secara seksama dalam meningkatkan kesempatan belajar bagi siswanya dan memperbaiki kualitas mengajarnya. Penggunaan tindak tutur dalam pembelajaran di kelas merupakan realitas komunikasi yang berlangsung dalam interaksi belajar mengajar. Dalam interaksi belajar mengajar, guru selalu menggunakan tindak tutur untuk memperlancar proses interaksi. Guru sebagai orang yang mempunyai peranan penting dalam proses belajar mengajar yang menggunakan tuturan sebagai media untuk menyampaikan ide kepada siswa. Komunikasi kepada anak didik merupakan peran yang strategis, karena sepandai apapun seseorang, jika dia tidak mampu berkomunikasi dengan baik pada anak didiknya maka proses belajar mengajar akan kurang optimal. Komunikasi yang edukatif pada anak didik akan mampu menciptakan hubungan yang harmonis. Dalam peristiwa tindak tutur ini biasanya dijumpai pada situasi percakapan antara kedua belah pihak yang berbeda status sosialnya, misalnya
6
antara guru dengan siswa. Adanya tindak tutur penghormatan ini terlihat adanya rasa hormat antara penutur yang satu terhadap penutur yang lain. Dengan demikian, maka kemampuan para peserta didik dalam berlatih dapat berkembang secara optimal dan tujuan belajar dapat tercapai dengan baik. Oleh karena itu, pengajaran dianggap berhasil jika siswa mencapai tujuan yang telah ditentukan. Ketercapaian tujuan oleh siswa menjadi indikator keberhasilan sistem pembelajaran (Hamalik, 2008: 75). Penggunaan prinsip kerja sama dalam interaksi belajar mengajar bahasa Indonesia di kelas idealnya diperlukan. Akan tetapi, tidak semua siswa dan guru menerapkan prinsip kerja sama dalam interaksi belajar mengajar. Meskipun prinsip kerja sama ini tidak digunakan dalam suatu percakapan, misalnya dalam diskusi di kelas, guru tetap dapat berkomunikasi dengan siswa. Hal ini dimaksudkan agar dalam melakukan komunikasi antara guru dengan siswa, dapat berbicara jelas, tidak berlebihan, dan tidak menimbulkan ketidakmengertian saat proses komunikasi dalam interaksi pembelajaran berlangsung. Dalam pemakaian bahasa percakapan di kelas X, prinsip kerja sama banyak terlihat ketika siswa melakukan dialog interaksi belajar mengajar daripada di kelas XI SMK Muhammadiyah 1 Kota Malang. Dan peneliti memilih kelas X karena kelas tersebut sering meraih prestasi atau juara daripada kelas lain pada acara-acara di sekolah lain, misalnya acara bulan bahasa. Terkait dengan topik prinsip kerjasama, telah dilakukan beberapa penelitian terdahulu. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Suci Rahmawati pada tahun 2007 yang berjudul ”Telaah Maksim Kerja Sama di Lingkungan
7
Pelelangan Ikan Desa Kalanganyar Kabupaten Sidoarjo” yang mengemukakan masalah prinsip kerjasama dalam pragmatik yang berupa permasalahan pada ruang lingkup jual beli. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Gufron pada tahun 2010 yang berjudul ”Telaah Prinsip Kerja Sama dalam Naskah Sketsa Komedi Karya Bambang Sayno” yang mengemukakan masalah prinsip kerjasama dalam pragmatik yang berupa permasalahan pada naskah sketsa komedi tersebut, dan itu bukan tuturan secara langsung. Dengan penelitian terdahulu, berbeda dengan penelitian ini. Perbedaan itu dapat dilihat segi tempat yang berbeda, dan juga penelitian ini lebih difokuskan permasalahan pada tuturan guru dalam interaksi belajar mengajar bahasa Indonesia. Dengan demikian, sehubungan dengan penjelasan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, peneliti mengambil judul ”Pemakaian Prinsip Kerja Sama pada Tuturan Guru dan Siswa dalam Interaksi Belajar Mengajar bahasa Indonesia kelas X SMK Muhammadiyah 1 Kota Malang Tahun Ajaran 2012-2013”. 1.2 Permasalahan 1.2.1
Batasan Masalah Berdasarkan jangkauan masalah di atas, banyak terdapat kategori maksim
secara keseluruhan. Peneliti tidak mungkin analisis keseluruhan. Dalam hal ini permasalahan penelitian dibatasi pada hal-hal yang terkait dengan prinsip kerjasama, yang mencakup maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relasi dan maksim cara.
8
1.2.2
Rumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana pemakaian maksim kuantitas pada tuturan guru dan siswa dalam interaksi belajar mengajar bahasa Indonesia kelas X SMK Muhammadiyah 1 Kota Malang Tahun 2012-2013? b. Bagaimana pemakaian maksim kualitas pada tuturan guru dan siswa dalam interaksi belajar mengajar bahasa Indonesia kelas X SMK Muhammadiyah 1 Kota Malang Tahun 2012-2013? c. Bagaimana pemakaian maksim relasi pada tuturan guru dan siswa dalam interaksi belajar mengajar bahasa Indonesia kelas X SMK Muhammadiyah 1 Kota Malang Tahun 2012-2013? d. Bagaimana pemakaian maksim cara pada tuturan guru dan siswa dalam interaksi belajar mengajar bahasa Indonesia kelas X SMK Muhammadiyah 1 Kota Malang Tahun 2012-2013?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. a. Memberikan gambaran objektif tentang pemakaian maksim kuantitas pada tuturan guru dan siswa dalam interaksi belajar mengajar bahasa Indonesia kelas X SMK Muhammadiyah 1 Kota Malang Tahun 2012-2013. b. Memberikan gambaran objektif tentang pemakaian maksim kualitas pada tuturan guru dan siswa dalam interaksi belajar mengajar bahasa Indonesia kelas X SMK Muhammadiyah 1 Kota Malang Tahun 2012-2013.
9
c. Memberikan gambaran objektif tentang pemakaian maksim relasi pada tuturan guru dan siswa dalam interaksi belajar mengajar bahasa Indonesia kelas X SMK Muhammadiyah 1 Kota Malang Tahun 2012-2013. d. Memberikan gambaran objektif tentang pemakaian maksim cara pada tuturan guru dan siswa dalam interaksi belajar mengajar bahasa Indonesia kelas X SMK Muhammadiyah 1 Kota Malang Tahun 2012-2013. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang berjudul Pemakaian Prinsip Kerja Sama pada Tuturan Guru dalam Interaksi Belajar Mengajar bahasa Indonesia Kelas X SMK Muhammadiyah 1 Kota Malang Tahun Ajaran 2012-2013 diharapkan dapat memperluas kajian pragmatik khususnya pemakaian prinsip kerja sama, serta dapat memberikan gambaran objektif tentang pemakaian maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relasi dan maksim cara pada tuturan guru dalam interaksi belajar mengajar bahasa Indonesia kelas X SMK Muhammadiyah 1 Kota Malang Tahun 2012-2013. Adapun manfaat bagi pengajaran bahasa dapat dijadikan sebagai materi matakuliah Pragmatik khususnya prinsip kerjasama dan bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi awal dalam penelitian lain khususnya bidang Pragmatik. 1.5 Asumsi Asumsi atau anggapan adalah sebuah titik tolak ukur dalam pemikiran sebenarnya yang diterima oleh penyidik. Sehubungan dengan keterangan tersebut yang digunakan sebagai landasan asumsi sebagai berikut.
10
a. Penelitian tentang prinsip kerja sama dapat dilakukan pada tuturan guru dan siswa dalam interaksi belajar mengajar bahasa Indonesia kelas X SMK Muhammadiyah 1 Kota Malang ketika terbentuk peristiwa tutur antara guru dengan siswa. b. Data berupa dialog-dialog yang merupakan pemakaian dari prinsip kerja sama bisa didapatkan dari rekaman atau dialog antara guru dengan siswa. 1.6 Penegasan Istilah Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam pemaknaan istilah dalam penelitian ini, maka ada istilah penting yang perlu ditegaskan yaitu sebagai berikut: a. Pemakaian prinsip kerja sama adalah suatu prinsip dari pemakaian bertutur dari sejumlah prinsip kerja sama itu seluruhnya meliputi empat macam maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relasi dan maksim cara (Rahardi, 2009: 23). b. Maksim kuantitas adalah maksim yang dilakukan oleh seorang penutur agar dapat memberikan informasi yang benar-benar cukup atau sebanyak yang dibutuhkan oleh mitra tutur dalam aktivitas bertutur (Rahardi, 2009: 23). c. Maksim kualitas adalah maksim yang dilakukan oleh seorang penutur agar dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta di dalam aktivitas bertutur (Rahardi, 2009: 24). d. Maksim relasi adalah maksim yang dilakukan oleh seorang penutur agar dapat memberikan kontribusi yang benar-benar relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan (Rahardi, 2009: 24).
11
e. Maksim cara adalah maksim yang dilakukan oleh seorang penutur agar menyampaikan informasi secara langsung dan dengan secara jelas (Rahardi, 2009:25).