BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan rapat dari para pemilik kekuasaan tertinggi dalam perusahaan yaitu pemegang saham. Pemegang saham melalui RUPS memiliki hak tertinggi untuk pengambilan keputusan penting terutama yang berkaitan dengan modal yang ditanam, sedangkan hal-hal yang terkait dengan operasional perusahaan diserahkan kepada manajemen eksekutif yaitu dewan komisaris dan direksi. Para eksekutif diberi tanggung jawab untuk mengambil keputusan berkaitan dengan perusahaan yang menunjang tercapainya kepentingan pemegang saham. Dengan kata lain, pemegang saham sebagai principal dan eksekutif sebagai agent sesuai dengan teori keagenan. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa hubungan keagenan sebagai: “a contract under which one or more persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent.” Manajemen eksekutif terdiri dari dewan komisaris dan direksi. Dewan komisaris bertugas melakukan pengawasan pemutusan dan pelaksanaan kebijakan serta memberikan nasehat kepada direksi. Peran pengawasan oleh dewan komisaris merupakan tugas yang penting untuk mendukung terlaksananya good corporate governance (GCG). Di sisi lain, direksi 1
memiliki tanggung jawab yang lebih besar lagi yaitu berwenang dan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan perusahaan dan melakukan tindakan yang mendukung kepentingan perusahaan. Meski memiliki tugas yang berbeda, namun keduanya memiliki kewajiban yang sama untuk bersinergi mengarahkan perusahaan menuju pencapaian tujuan perusahaan. Jika badan usaha yang didirikan merupakan lembaga untuk mengadakan konsentrasi modal, maka pemilik perusahaan tersebut (penanam modal) mengharapkan diperolehnya pendapatan maksimal dari modal yang ditanamkan sebagai tujuan perusahaan. Tujuan tersebut bisa dicapai apabila perusahaan mendapatkan keuntungan yang maksimal. Keuntungan yang maksimal juga mendukung tujuan perusahaan lain seperti prestise, kelangsungan hidup, dan pertumbuhan perusahaan (Swastha & Sukotjo, 2007). Untuk mendukung tercapainya tujuan perusahaan, sebuah mekanisme dibutuhkan untuk memastikan tiap anggota perusahaan, termasuk eksekutif, memberikan kinerja yang maksimal. Mekanisme tersebut salah satunya adalah dengan adanya penilaian kinerja menggunakan Key Performance Indicator (KPI). Laporan atas KPI akan menjadi evaluasi mengenai pengembangan kompetensi, penentuan program pembinaan yang dibutuhkan, dan dasar pemberian penghargaan serta kompensasi. Masuknya hasil penilaian kinerja menjadi salah satu penentu kebijakan kompensasi bertujuan untuk mengarahkan perilaku eksekutif agar tekun dalam bekerja, produktif dalam meningkatkan kinerja, dan meningkatkan nilai 2
perusahaan. Jika target kinerja yang tercapai semakin tinggi, maka kompensasi yang didapatkan semakin besar pula. Kompensasi juga digunakan sebagai alat untuk mempertahankan tenaga kerja yang cakap dalam mengelola perusahaan (Anthony & Govindarajan, 2011). Jika seorang eksekutif semakin cakap, maka bukan tidak mungkin paket kompensasi yang diterima akan semakin tinggi. Hal ini terkait dengan kecakapan yang dibutuhkan eksekutif untuk mengambil kebijakan yang mengarahkan pada tercapainya tujuan perusahaan dengan lebih efektif dan efisien. Selain tujuan yang telah disebutkan sebelumnya, menurut McGuire, Dow, dan Argheyd (2003) kompensasi bisa menjadi alat untuk mengarahkan perhatian manajer pada tujuan sosial. Tujuan sosial perusahaan dicapai dengan pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR). Kane dalam Mahoney & Thorne (2006) berpendapat bahwa ketika perusahaan lebih bertanggung jawab sosial dan mengutamakan tujuan jangka panjang, maka perusahaan akan menikmati keuntungan dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan CSR akan memberikan dampak positif pada minat beli konsumen, sehingga akan menaikkan penjualan yang akan berpengaruh pada peningkatan kinerja perusahaan. Peningkatan kinerja perusahaan mengarah pada pencapaian target kinerja sehingga kompensasi yang didapatkan akan meningkat. Perusahaan yang melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungannya mendapat nilai lebih dari pihak eksternal perusahaan. Environics International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales business leader forum (London) melakukan penelitian “The 3
Millenium Poll on Corporate Social Responsibility” pada tahun 1999. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi penilaian publik terhadap perusahaan paling besar dipengaruhi oleh social responsibilities sebesar 49%. Sisanya sebanyak 40% dipengaruhi oleh brand quality/reputation dan 32% oleh business fundamentals (Environics International Ltd., 1999). Hal ini menunjukan bahwa lebih banyak konsumen yang mengapresiasi perusahaan dari sisi tanggung jawab terhadap lingkungan dibandingkan dengan reputasi produknya. Stakeholder theory juga menekankan hubungan perusahaan dengan jangkauan stakeholder yang lebih luas. Pada kenyataannya, stakeholder perusahaan bukan hanya eksekutif dan pemegang saham saja. Perusahaan juga berkepentingan terhadap para pekerja, masyarakat sekitar perusahaan, termasuk di dalamnya konsumen. Perusahaan juga bertanggung jawab pada lingkungan hidup tempat perusahaan beroperasi. Seperti yang disebutkan oleh Hinkley (2002) bahwa tugas direksi adalah untuk menghasilkan uang, tetapi tidak dengan jalan mengorbankan lingkungan, kesehatan dan keselamatan umum, martabat karyawan, dan kesejahteraan masyarakat tempat perusahaan beroperasi. Di sisi lain, kompensasi yang tinggi juga dapat memberikan dampak negatif. Sejalan dengan motivasi manajer untuk meraih target kinerja guna mendapatkan bonus, tidak sedikit eksekutif yang justru kurang memperhatikan aspek tanggung jawab sosial dalam pengambilan keputusannya. Eksekutif cenderung fokus pada pencapaian financial factor guna mencapai target 4
keuangan yang disyaratkan. Murphy dalam McGuire et al. (2003) menyatakan “target kinerja spesifik pada perencanaan bonus pada umumnya berdasar pada keuangan.” Berman dalam McGuire et al. (2003) juga berpendapat bahwa semakin tinggi gaji, fokus manajerial pada kepentingan stakeholder semakin turun dan cenderung tidak mendukung pengambilan keputusan yang terbaik bagi masyarakat. Hal ini akan menurunkan loyalitas konsumen dan stakeholder lain seperti karyawan. Salah satu dampak yang sering terjadi akibat kompensasi eksekutif tinggi kaitannya dengan tanggung jawab sosial pada stakeholder adalah adanya kesenjangan sosial. Selisih antara kompensasi bagi para eksekutif dan gaji para pekerja di bottom line sering terlalu besar. Hasil penelitian Anderson, Cavanagh, Collins, C. Pizzigati, dan Lapham dalam Miles dan Miles (2013) menyoroti bahwa rata-rata gaji CEO/eksekutif biasanya 30-40 kali gaji pekerja rata-rata pada 30 tahun yang lalu. Nilai tersebut sama dengan lebih dari 350 kali gaji pekerja biasa pada saat itu. Perbedaan pendapatan yang sangat besar ini menimbulkan kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial akan menyebabkan pekerja menjadi kurang termotivasi bahkan memicu timbulnya konflik. Bok dalam Wade, O’Reilly, dan Pollock (2006) berpendapat bahwa ukuran gaji dan bonus dapat memiliki dampak negatif dengan menimbulkan rasa tidak adil dan hal tersebut akan melemahkan loyalitas dan memicu konflik disfungsional. Penelitian ini termotivasi untuk menguji apakah kompensasi direksi dan komisaris (manajemen eksekutif) dengan tingkatan tertentu memotivasi 5
mereka untuk menciptakan serta meningkatkan kinerja sosial perusahaan melalui kegiatan CSR yang terkait dengan kesejahteraan para stakeholder selain kesejahteraan pemegang saham yang merupakan pemilik utama dari perusahaan, khususnya perusahaan pertambangan di Indonesia. Pelaksanaan CSR pada perusahaan pertambangan di Indonesia menarik untuk disimak, karena industri pertambangan erat kaitannya dengan eksplorasi lingkungan yang seringkali mengganggu kelestarian alam. Selain itu, pekerja pada industri pertambangan juga sangat rawan mengalami kecelakaan kerja. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri pertambangan biasanya akan mengelola kegiatan sosialnya secara baik. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Besaran Kompensasi Eksekutif terhadap Corporate Social Performance (Studi pada Perusahaan Pertambangan yang Tercatat di Bursa Efek Indonesia pada Tahun 20102012)”. Penelitian ini akan berusaha untuk mendeteksi pengaruh besaran kompensasi eksekutif terhadap kinerja sosial perusahaan yang diwakili dengan indeks kinerja sosial perusahaan seperti yang digunakan oleh Sembiring (2005). Adapun variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah ukuran perusahaan, profitabilitas, tingkat leverage, dan ukuran dewan komisaris.
6
1.2 Rumusan Masalah Pemberian kompensasi yang tinggi dapat mengarahkan manajer untuk berperilaku lebih sosial. Menurut Berthelot et al. dan Jones & Wicks dalam Mahoney & Thorne (2006), hal ini terjadi karena dewan meningkatkan perhatian mereka sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kepentingan beberapa macam kelompok stakeholder. Hal ini akan berpengaruh pada keuntungan jangka panjang. Di sisi lain, pemberian kompensasi yang tinggi justru akan meningkatkan kecenderungan eksekutif untuk fokus pada pencapaian kinerja keuangan dengan mengabaikan kepentingan stakeholder lainnya. Kepedulian pada kepentingan stakeholder lain dapat dilihat dalam pengungkapan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Pendapat ini diperkuat dengan hasil penelitian McGuire et al. (2003) yang menemukan bahwa tingkat gaji yang tinggi terkait dengan kinerja sosial yang rendah, yang secara umum diartikan bahwa level kompensasi yang tinggi mengindikasikan orientasi tanggung jawab sosial yang rendah. Atas uraian-uraian sebelumnya, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. Apakah besaran kompensasi eksekutif berpengaruh pada Corporate Sosial Performance?
7
1.3 Tujuan dan Kontribusi Penelitian a. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui pengaruh besaran kompensasi eksekutif terhadap Corporate Sosial Performance. b. Kontribusi Penelitian i. Memberikan informasi kepada pembuat keputusan besaran kompensasi eksekutif perusahaan, baik komite remunerasi maupun pemegang saham, mengenai hubungan besaran kompensasi dengan pemerataan kesejahteraan bagi stakeholder melalui pelaksanaan Corporate Social Responsibility yang akan berpengaruh pada kinerja perusahaan. ii. Memberikan kontribusi pada pengembangan teori akuntansi mengenai kompensasi eksekutif, terutama pembahasan yang berkaitan dengan Corporate Social Responsibility di Indonesia.
1.4 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab, dengan masing-masing uraian sebagai berikut. BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini memberikan gambaran mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kontribusi penelitian yang dilakukan, serta sistematika penulisan.
8
BAB II
: KAJI TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Bab II berisi kajian teori yang digunakan sebagai dasar penelitian serta perumusan hipotesis yang akan diuji.
BAB III
: METODA PENELITIAN Bab III menjelaskan prosedur penentuan sampel, sumber data, model empiris yang digunakan, dan variabel penelitian.
BAB IV
: HASIL PENELITIAN Bab IV terdiri dari hasil dan pembahasan penelitian yang menunjukkan hasil dari pengujian hipotesis menggunakan data yang diolah sesuai dengan model empiris yang telah ditetapkan.
BAB V
: PENUTUP Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan, kekurangan, dan saran berkaitan dengan hasil yang telah didapatkan dari penelitian.
9