BAB I
PENDAHULUAN KENISCAYAAN DILEMA DALAM PEMBARUAN POLITIK: PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
BELAJAR DARI
A. Latar belakang Dari telaah melalui lensa mikro, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa dimaknai sebagai hasil transformasi dari suatu gerakan dakwah ke gerakan politik. Namun, jika dilihat secara makro upaya para aktifis partai ini dalam memperjuangkan perubahan perubahan politik memberi pelajaran yang menarik untuk dicermati. Studi ini bermaksud untuk mememetik pelajaran dari tumbuh dan berkembangnya partai ini. Sejauh ini telah tersedia berbagai kajian tentang metaforphosis PKS. Simpati yang besar terhadap perubahan yang diusung oleh partai ini justru berpotensi menghasilkan over-statement tentang apa yang terjadi. Partai ini memang muncul dari gerakan dakwah keagamaan Islam ‘Gerakan Tarbiyah’ yang mulai muncul sejak dekade 1980-an. Pada dekade 1990-an akhir, saat bergulirnya reformasi politik, gerakan ini berubah wajah menjadi partai politik.1 Perubahan tersebut tidak hanya terjadi dari gerakan keagamaan dakwah Islam yang menjadi partai politik, dalam derajat tertentu partai
politik Islam juga, melakukan semacam adaptasi, moderasi.2
Beberapa partai politik Islam, sebagian lagi mengalami proses sekularisasi–pragmatisme, bahkan ada yang mempolitisasi Islam untuk kepentingan politik jangka pendek. Transformasi ini, tentu saja dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah bentuk dan strategi pendidikan yang dilakukan.3 Kemajuan dan kemunduran yang diraih partai ini sangat terkait dengan strategi pendidikan politik yang dilakukan. Partai ini oleh sejumlah pengamat dipersepsi memiliki strategi pendidikan politik yang berkualitas dan mampu menghasilkan kader-kader partai yang kapabel, kredibel, memiliki visi,4 memiliki peluang untuk berkembang
1
Yon Machmudi, Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS), Publisheb by ANU E Press, The Australian National University, 2008: 10-12. Andi Rahmat dan Muhammad Najib, Gerakan Perlawanan dari Majid Kampus, Penerbit Profetika, Yogyakarta, tahun 2007. Lihat juga Ali Said Danamik, Fenomena Partai Keadilan, Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, Teraju, Bandung 2002:215161. 2 Lihat Greg Feley dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, Mizan, Bandung,2007:81-84. 3 Lihat, Saban Taniyici,Transformation of Political Islam in Turkey: Islamist Welfare Party’s Pro-EUTurn, SAGE Journals Online, http:// www.sagepublication.com. 2 oktober 2008. 4 Kemampuan dan kehandalan model pendidikan politik PKS dalam menghasilkan kader yang berkualitas mulai dipertanyakan-diragukan, semenjak munculnya beberapa kader PKS khususnya di DPR yang terjerat berbagai kasus seperti kasus Lc fiktif yang dialami oleh Misbahun serta puncaknya kasus ‘suap impor daging sapi’ yang dialami oleh Presiden PKS.
menjadi partai yang memperoleh dukungan dari masyarakat, serta menjadi partai yang memiliki kemampuan untuk survive.5 Hanya saja, proses transformasi yang terjadi sebetulnya tidak hanya dipengaruhi oleh bentuk pendidikan politik yang diselenggarakannya 6 melainkan juga diuntungkan oleh perubahan landscape politik Indonesia saat itu. Studi ini bermaksud menguak secara kritis berbagai telaah optimimistis bahwa transformasi partai melalui pendidikan politik (tarbiyah siyasah) merupakan basis dan kunci kesuksesan PKS.7 Oleh para perintis dan pendirinya pendidikan politik8 atau “tarbiyah siyasah”9 diyakini sebagai persoalan yang sangat urgen bagi tumbuhnya kesadaran politik dan kematangan politik warga negara. Mereka menegaskan bahwa tidak berjalanya fungsi pendidikan politik melahirkan suatu kehidupan partai yang didera berbagai persoalan serius. Berbagai persoalan pelik yang mendera kehidupan partai politik di Indonesia,10 menurut mereka mempertegas urgensi pendidikan politik, termasuk di dalamnya tentang berbagai pilihan srategi-bentuk pendidikan politik yang dipraktekan oleh partai politik.11 Kunci dari proses transformasi ini, menurut mereka, adalah kaderisasi. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memang telah mencoba hadir sebagai partai kader.12 Lebih dari itu, partai ini dengan cepat dapat memproduksi kader dengan jumlah yang melampaui partai lainya. Partai ini bisa bertahan dalam pentas politik nasional di Indonesia, bahkan hadir sebagai kekuatan politik yang diperhitungkan. Survei Litbang Kompas di 33 Provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa 5
J.Kristiadi,Mewujudkan Indonesia Sejahtera dengan Membangun Negara dan Bangsa yang Demokratis, Adil, & Beradab, Perspepktif Politik, Makalah disampaikan pada Mukernas PKS, 23 Januari 2011, Yogyakarta. 6 Lihat, Oliver Roy, The Failur of Political Islam, Harvad University Press, Cet 1, 1996. terjemah. Gagalnya Islam Politik, Pen. Serambi, Jakarta, 1996. lihat juga, Hamid Basyaib dan Hanid Abidin, Mengapa partai Islam Kalah? Pen. Alvabet, Jakarta 1999. Hal iii-viii. 7 Lihat, Anis Matta, Perangkat-Perangkat Tarbiyah, Syamil, Solo, 1999. 8 Lihat, Stanley Allen Renshon, Handbook of Political Socialization, The Free Press, A Division of Macmillan Publishing, Co. Inc, New York, 1977. Hal 3-8. Political Socialization merujuk pada pendapat Easton dan Deninis secara umum didefinisikan sebagai “Those development processes through which persons acquire political orientations” atau diartikan sebagai “ the developmental process through which the citizen matures politically”. Lihat juga Richard E.Dawson, Kenneth Prewitt, Karen S. Dawson, Political Socialization, Little Brawn and Company, Canada, 1977. 9 Lihat, Muhammad Syadid, Manhaj Tarbiyah Berbasis Al- Qur’an, Pen. Media Insani, Solo, 2006. Lihat juga Utsman Abdul Mu’iz, Tarbiyah Siyasah ‘Inda Jama’ah Al Ikhwan Al Musli,min, terjemah, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, penerbit Intermedia, Solo, 2000 10 Lihat, Prisma Vol.28. Juni 2009, hal 87-98, khususnya topik tentang” Partai Politik di Persimpangan Jalan ” Hasil survei yang dilakukan oleh LP3ES antara lain menemukan bahwa berbagai jenis partai politik seperti Partai Tradisional, partai dengan idealisme perjuangan,partai tipe organik kontinental yang menganggap masyarakat politik secara keseluruhan sebagai wilayah kerjanya, sudah mulai ditinggalkan masyarakat. 11 Lihat, Kompas 60 Tahun Indonesia Merdeka edisi 16 Agutus tahun 2006, khususnya topik tentang “ Fragmentasi Politik dan Perilaku Parpol, hal 48. 12 Ichasul Amal, Teori-Teori Partai Politik Mutkhir, Tiara Wacana, Yogyakarta,1996: xvi.
bahwa PKS masuk dalam empat besar dalam Pemilu 2009, dengan perolehan suara yang naik menjadi 7,8%. Sebelumnya PKS dalam Pemilu 2004 berhasil meraih 7,3% suara, keluar sebagai pemenang pemilu di berbagai kota yakni; di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Banda Aceh, Kota Medan, Kota Padang, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah (di Provinsi Kalimantan Selatan), dan Halmahera Selatan.13 PKS mencerminkan sebuah kekuatan baru yang mencirikan pluralitas Islam perkotaan. Ia menjadi mosaik yang menghubungkan patahan-patahan dikotomis antara Islam tradisional dan modern, antara Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, merefleksikan karakteristik baru dari wajah politik aliran. Pengkaderan dilakukan melalui eksperimentasi selama beberapa dua dasa warsa. Oleh sejumlah pengamat, proses ini dinilai telah menghasilkan kader yang menandai lahirnya generasi baru Islam politik di Indonesia. Akibatnya PKS tercitra sebagai kekuatan partai Islam pluralis tercermin dari hasil survei nasional Litbang Kompas 20 Februari- 3 Maret 2009. Sebanyak 49,3% dari calon pemilih PKS dalam Pemilu 2009 adalah penganut agama Islam yang tidak terikat dalam salah satu aliran besar (NU atau Muhammadiyah), walaupun pemilih dari latar belakang NU dan Muhammadiyah juga besar.14 Ada cukup kuat keyakinan diantara para aktifis PKS bahwa bentuk pendidikan politik yang dilakukan telah mampu melahirkan kader yang memiliki kualitas tertentu, serta secara kuantitas yang semakin meningkat. Pengaruh partai ini di lembaga legislatif (DPR RI) juga cenderung meningkat sejak Pemilu 1999. Semula (pada Pemilu 1999) hanya meraih 7 kursi, pada pemilu 2004 menjadi 45 kursi. Peroleh kursinya meningkat menjadi 57 kursi pada Pemilu 2009. Terdapat keyakinan bahwa strategi rekruitmen serta bentuk pendidikan politik yang dieksperimenkan oleh PKS telah memberi kontribusi pada PKS pada pencapaian seperti yang diraih pada Pemilu legislatif 2009, berada pada posisi urutan ke-4 perolehan suara nasional. Transformasi ditandai oleh keberhasilan PKS melahirkan kosa kata baru dalam dunia politik yaitu dengan nama “Partai Dakwah”.15 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah Partai Dakwah. Institusi yang bernama ‘partai politik’ diposisikan sebagai instrumen untuk melakukan dakwah sebagaimana umumnya maupun dakwah khusus di bidang politik. Dakwah di bidang politik dimaksudkan untuk mengajak manusia berpolitik sesuai dengan tuntunan Allah (secara
13
Peta Politik PKS Mosaik Pluralitas Muslim Perkotaan, Kompas, 24 Maret ,2009, hal 8 Ibid, Kompas, 24 Maret ,2009, hal 8 15 AD/ART PKS pasal 5 14
islami), yakni berpolitik untuk menegakan keadilan, kebenaran, melakukan aktivitas politik untuk kesejahteraan manusia, mewujudkan masyarakat madani.16 Meskipun serius menempa kader, PKS juga aktif menggalang massa. Jelasnya tapak lain dari transformasi yang berlangsung di tubuh PKS adalah adalah berlangsungnya pergeseran basis massa. Dari sekian banyak partai yang lahir di era reformasi pasca 1998, PKS adalah sedikit dari partai yang terus mengalami peningkatan soliditas basis massa. Sehingga dukungan pemilih partai ini untuk kembali memilihnya tergolong paling tinggi diantara partai-partai lainnya.17 Penelitian yang dilakukan oleh Centre of Strategic for International Studies (CSIS) terhadap loyalitas pemilih menempatkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada posisi teratas.
18
Lebih dari itu, satu-satunya partai yang terus mengalami peningkatan soliditas basis massa tampaknya hanya PKS. Dukungan pemilih partai ini untuk kembali memilihnya tergolong paling tinggi diantara partai-partai lainnya.19 (Kompas, 19 Mei 2008). Selain itu survey dan penelitian juga dilakukan oleh lembaga survey lainnya yaitu Centre of Strategic for International Studies (CSIS) terhadap loyalitas pemilih yang menempatkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada posisi teratas dengan nilai 75%. Sebaliknya, Partai Demokrat mendapatkan posisi paling akhir dengan nilai 18,7%.20 Hasil survey tersebut menyatakan sejumlah 75% pemilih PKS pada Pemilu 2004 tetap menjatuhkan pilihannya kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Pemilu 2009. Faktor penting dari capaian tersebut karena PKS terkenal sebagai partai kader dan memiliki soliditas tinggi. Kekuatan yang menggerakkan transformasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah ideologi. Sebagamana diketahui bahwa ideologi partai diturunkan menjadi platform, visi dan misi partai. Semuanya merupakan preskripsi partai ini, mencakup tentang ide tentang negara dan masyarakat yang dianggap baik yang hendak diperjuangkan perwujudannya. Kekuatan idiologi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa dilihat pada hasil penelitian yang dilakukan oleh litbang Kompas yang menempatkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai yang memiliki idiologi paling kuat dibandingkan partai politik lainnya (lihat tabel 1).
Tabel 1 16
Masyarakat Madani Platform Partai Keadilan Sejahtera, Jakarta, 2008. Lihat juga Nasiwan, Laporan Penelitian Model Pendidikan Politik PKS DPD Sleman Yogyakarta, 2004:19. 17 kompas, 19 Mei 2008 18 www.csis.or.id, 2008 19 Kompas,19 Mei 2008. 20 www.csis.or.id.tgl 15 Juli2008.
Partai dengan idiologi paling kuat No
Nama Partai Politik
%
1
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
23,0
2
Partai Golkar
19,3
3
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
17,3
4
Partai Demokrat
9,2
5
Partai Amanat Nasional (PAN)
3,9
6
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
2,7
7
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
1,9
8
Tidak ada
9
10,5
Tidak tahu/tidak jawab 11,7 Sumber: Litbang Kompas, Senin 19 Mei 2008
Secara tegas PKS menjadikan Islam sebagai ideologinya. Hal ini tertuang dalam Anggaran Dasar pasal 2, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berasaskan Islam dengan tekad bahwa Islam difahami dalam formula baru sehingga tidak terjebak pada formalime. Reformulasi telah bergerak ke arah yang subtantif, terhadap isu-isu bangsa dengan memasukan nilai-nilai Islam sebagai solusinya. Bahkan PKS, yang sebelumnya bernama Partai Kedailan (PK) tetap mempertahankan politik santun, bersih dan peduli, dari sisi pengkaderan dalam derajat tertentu hal tersebut dapat dibaca sebagai berjalannya proses transformasi dari gerakan dakwah tarbiyah menjadi gerakan dakwah politik. Telaah kritis terhadap pembaruan politik yang diusung PKS dilandasi kesadaran bahwa perjuanganya niscaya berhadapan dengan sejumlah dilema, setidaknya dilema antara mempertahankan militansi dan kebutuhan untuk melakukan perluasan dukungan basis massa. Dilema yang dihadapi oleh PKS, sebagaimana juga dialami oleh partai-partai Islam, adalah sebagai berikut. Jika PKS tetap mempertahankan ideologinya yang militan-puritan dalam performen dan kebijakan partai, program, platform partai, maka ada kemungkinan besar sulit untuk memperluas basis dukungan kelas sosialnya. Tetapi jika PKS melakukan moderasi ideologi dan kompromi dengan berbagai kepentingan politik pragmatis, PKS berpeluang juga kehilangan pesona ideologi, kehilangan daya tarik dari pendukung inti partai ini. Dalam jangka
panjang hal tersebut akan membahayakan masa depan partai jika PKS tidak memiliki image dan citra publik yang jelas, PKS akan kehilangan identitasnya sebagai partai Islam.21 Dari pemaparan sebagaimana telah dikemukakan di atas kiranya dapat dinyatakan bahwa pembahasan tentang transformasi yang terjadi pada Gerakan Tarbiyah menarik dan memiliki arti strategis bagi pengembangan ilmu politik. Dari penelitian tentang transformasi berbasis Gerakan Tarbiyah, dapat diambil suatu pelajaran dari keterbatasan dan kelemahan suatu transformasi yang dipandu oleh suatu konsep pendidikan politik “tarbiyah siyasah” yang diimpor atau diadopsi dari luar Indonesia, yang memiliki peluang adanya bias ideologi dan ahistoris. Signifikansi dari penelitian ini dengan melakukan
pembahasan pada dilemma dan berbagai kesulitan yang
dialami dalam melakukan suatu pendidikan politik sebagaimana dieksperimenkan oleh Gerakan Tarbiyah dapat memberi inspirasi untuk lahirnya konsepsi tentang transformasi partai politik khususnya terkait tentang hubungan antara pendidikan politik “tarbiyah siyasah” dengan proses transformasi suatu partai politik yang berasal dari suatu Gerakan Dakwah Islam. B. Rumusan Masalah Pertanyaan dasar yang hendak dijawab melalui penelitian ini adalah bagaimana kelangsungan transformasi dibalik tumbuh dan berkembangnya Partai Keadilan Sejahtera. Dalam rangka menelaah secara kritis ada sejumlah pertanyaan detail: 1. Seberapa jauh tarbiyah siyasah berperan dalam transformasi yang diperjuangkan Partai Keadilan Sejahtera ? Setara dengan pertanyaan tersebut, seberapa jauh tumbuh dan berkembangnya Partai Keadilan Sejahtera diuntungkan oleh perubahan konteks politik di Indonesia ? 2. Apa saja dilema yang dihadapi dan bagaimana dilema tersebut direspon ? C. Keaslian Penelitian Penelitian ini memiliki keaslian karena membahas dilema transformasi yang terjadi pada Gerakan Dakwah Tarbiyah yang pada perkembangan selanjutnya bermetaformasa menjadi partai politik, dari perspektif pendidikan politik (political educatioan). Fokus tulisan ini adalah melihat proses pertumbuhan dan perkembangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berbasis pada Gerakan Tarbiyah dan pengaruh tersedianya peluang politik (political opportunity) melalui momentum reformasi politik di Indonesia tahun 1998. 21
Selain itu berdasarkan penelusuran
Kasus yang menimpa pada Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaaq, yang kemudian populer dengan ‘ skandal suap impor daging sapi’pada akhir tahun 2012 memberikan penegasan betapa PKS sejak mengalami transformasi dari gerakan dakwah tarbiyah ke partai politik, mengadapi suatu dilema antara mempertahankan militansi-ideologi dengan tuntutan untuk bersikap moderat-pragmatis.
pustaka ditemukan sampai saat ini belum ada penelitian yang secara khusus meneliti tentang transformasi berbasis tarbiyah dengan mengambil kasus Gerakan Tarbiyah. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tarbiyah siyasah berperan dalam proses transformasi yang dialami oleh PKS, serta berusaha merekontruksi aktivitas pendidikan politik yang telah dijalankan oleh Partai Keadilan Sejahtera, serta berusaha untuk menjelaskan bagaimanakah pendidikan politik yang dilakukan oleh PKS dan konteks situasi politik di Indonesia memiliki kontribusi bagi terjadinya transformasi dalam tubuh PKS beserta dilemma yang menyertainya. Dalam konteks tersebut penelitian ini juga berusaha untuk menjelaskan bagaimana pendidikan politik ‘tarbiyah siyasah’ berperan dalam melahirkan kader-kader politik baru sebagaimana disimbolkan hadirnya tokoh-tokoh dan kader partai yang dicitrakan memiliki moralitas dalam perilaku politiknya. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi teoritis bagi perkembangan ilmu politik di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan pengembangan konsep pendidikan politik (political education, political socialization). Lebih khusus lagi yang berkaitan dengan peran pendidikan politik pada transformasi partai politik. Dalam pandangan peneliti ikhtiar untuk merumuskan suatu bentuk pendidikan politik yang berangkat dari fenomena politik yang secara emperis hidup di Indonesia merupakan suatu langkah intelektual yang penting
bagi
perkembangan ilmu politik di Indonesia. Hal demikian mengingat selama ini berbagai konsep tentang pendidikan politik yang ditawarkan di Indonesia masih dipengaruhi oleh perspektif Barat, sering kali memiliki relevansi yang lemah dengan kondisi perkembangan dan pertumbuhan kehidupan partai politik di Indonesia. Berangkat dari temuan penelitian ini tentang kelemahan, keterbatasan serta dilemma yang ada pada proses pendidikan politik “tarbiyah siyasah” yang dimiliki oleh PKS yang disebut dengan manhaj tarbiyah 1421. Kelemahan tersebut antara lain terlihat pada orientasi dari pendidikan politik, sosok kader yang menjadi out put dari manhaj tarbiyah 1421, kompitabilitas kader yang dihasilkan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, nilai-nilai yang direproduksi (muwashofat) yang belum mendapatkan dukungan luas dari masyarakat Indonesia, memberi peluang untuk lahirnya suatu konsep pendidikan politik baru. Dari eksperimen pendidikan politik ‘tarbiyah siyasah’ yang dilakukan oleh PKS dapat ditarik suatu pelajaran bahwa konsep pendidikan politik yang diadopsi dari luar Indonesia dalam
kontek ini dari Timur Tengah memiliki peluang untuk gagal dan mendapatkan resistensi dari masyarakat Indonesia. Demikian juga konsep pendidikan politik yang diadopsi dari Barat. Kegagalan tersebut dikarenakan konsep tersebut disusun diatas konstruksi kondisi sosial, politik yang berbeda dengan kondisi sosial-politik masyarakat Indonesia. Pembacaan pada eksperimen pendidikan politik yang dilakukan oleh PKS memberikan peluang untuk lahirnya konsepsi pendidikan politik yang lebih merefleksikan kondisi keindonesian, penulis sebut dengan “Pendidikan politik transformatif”. E. Literature Review Studi tentang dilema dibalik transformasi yang dialami oleh suatu partai politik, dengan titik tekan perhatian pada bagaimana pendidikan politik berperan dalam proses transformasi tersebut, telah dilakukan oleh ilmuwan. Baik yang secara langsung berkaitan dengan dilema transformasi partai politik berbasiskan gerakan tabiyah maupun yang membahas dalam ruang lingkup yang umum tentang dilemma taransformasi partai politik dalam kaitannya dengan seberapa jauh proses pendidikan politik berperan. Berkaitan dengan dilemma dibalik proses transformasi yang dialami suatu institusi, khususnya terkait dengan pertanyaan utama siapakah yang berperan dalam proses transformasi? dalam diskurusus ilmuwan sosial lahir “sengketa” dua kubu. Ada ilmuwan yang berpandangan bahwa perubahan itu terjadi karena jerih payah aktor, termasuk di dalamnya melalui aktivitas pendidikan. Dan pada pihak yang lain ada kubu yang mempercayai bahwa perubahan sebetulnya dikondisikan oleh faktor-faktor struktural. Merujuk pada perspektif strukturasi ( dualitas struktur, menyatakan bahwa komposisi antara para agen dan struktur-struktur bukanlah dua perangkat fenomena tertentu yang saling terpisah atau sebuah dualisme, melainkan mewakili sebuah dualitas. Dalam pandangan dualitas struktur, kelengkapan-kelengkapan struktural dari sistem-sistem sosial adalah sarana (medium) dan sekaligus hasil (outcame) dari praktek-praktek yang terorganisasi secara rutin. 22 Selanjutnya dalam konteks
topik
bahasan keterkaitan pendidikan politik dengan
dilemma transformasi partai politik, menurut pencermatan penulis dapat diklafisikasi pada dua perspektif besar yakni yang berpandangan bahwa pendidikan politik yang diposisikan sebagai suatu instrument bagi suatu gerakan politik “Gerakan Politik Islam” akan mengalami posisi delimatis. Posisi dilematis tersebut terletak pada dua pilihan yang sulit yakni antara pertama memposisikan pendidikan politik sebagai instrument untuk melakukan proses transformasi
22
Giddens, Teori Strukturasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010: 40
politik sebagaimana misalnya dilakukan pada fase awal transformasi dari gerakan dakwah ke gerakan politik atau pilihan kedua memposisikan pendidikan politik ‘tarbiyah siyasah’ menjadi instrument untuk melegitimasi berbagai kebijakan strategis yang dibuat oleh ‘struktur politik’ dalam hal ini partai politik, yang merupakan hasil dari transformasi gerakan dakwah. Studi yang telah dilakukan oleh para sarjana sebelumnya yang terkait dengan topik dilema pendidikan politik dibalik proses transformasi politik, dalam pencermatan peneliti dapat dikelompokan kedalam dua klasifikasi. Pertama studi yang memiliki pandangan bahwa pendidikan politik itu berfungsi untuk mempertahankan nilai-nilai serta struktur sosial dan politik yang sudah ada. Kedua studi yang memiliki pandangan bahwa pendidikan politik itu berfungsi untuk melakukan transformasi sosial, transfomasi politik. Posisi penulis berada pada pandangan bahwa proses pendidikan lebih khusus lagi pendidikan politik bisa berfungsi untuk melakukan transformasi sosial politik. Berikut ini akan diuraikan literatur review terkait dengan dua perspektif tersebut; Perspektif yang melihat bahwa pendidikan adalah lebih merupakan proses pelestarian nilai dapat disimak dari pencermatan yang dikemukakan oleh William F. O’Neil.23 Sebagaimana dapat dibaca dalam karyanya Educational Ideologies: Contemporary Expressions of Educational Philosophies, Study yang dilakukan oleh O’neil ini, antara lain beribicara pendidikan dari perspektif yang normatif khususnya kajian yang terkait dengan ideologi-ideologi yang berada dibelakang kegiatan yang bernama pendidikan. Studi yang dilakukan oleh O’neil tersebut telah mampu membongkar serta memetakan ideologi-ideologi yang bekerja dibelakang kegiatan pendidikan. O’neil berangkat dari asumsi penting yang ingin ditegaskan bahwa kegiatan pendidikan tidaklah selalu berwatak netral dan selalu mengandung kabajikan mulia. Kegiatan pendidikan seringkali terlibat dalam pergumulan politik dan ideologi. Pertanyaan mendasar tentang apakah hakekat pendidikan dan mendidik, dapat dijawab dengan baik yakni sangat bergantung pada kacamata ideologi mana yang dipergunakan. Konsepsi tersebut sangat penting mengingat dunia pendidikan sekarang ini sedang menghadapi ujian dan jawaban yang menyulitkan, yakni apakah dunia pendidikan itu untuk melegitimasi atau melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada ataupun pendidikan harus berperan kritis dalam melakukan perubahan sosial dan transformasi menuju dunia yang lebih adil. Kedua peran pendidikan yang dilematis tersebut hanya bisa dijawab melalui pemilihan paradigma dan ideologi pendidikan yang mendasarinya. Ideologi
23
Educational Ideologies: Contemporary Expressions of Educational Philosophies, karya William F. O’neill, terjemah, Ideologi-Ideologi Pendidikan, penerbit. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
pendidikan memiliki implikasi pada teori pendidikan yang dianut oleh penyelenggara pendidikan, pilihan tehnik proses belajar mengajar.24 Perspektif yang senada tentang faktor pendidikan, melihat bahwa proses pendidikan adalah merupakan instrumen bagi suatu pemerintahan untuk melakukan intervensi dalam mempengaruhi masyarakat dapat dicermati dari karya M. Sirozi.25 Dalam kaitannya dengan posisi kegiatan pendidikan Sirozi menyatakan bahwa dunia pendidikan bukan suatu wilayah yang netral. Ada hubungan antara politik dan pendidikan, kontrol negara terhadap pendidikan. Untuk konteks Indonesia wilayah pendidikan bukanlah suatu area yang netral dari fungsi dan pengaruh kekuatan-kekuatan politik yang ada pada masyarakat Indonesia. Pada satu sisi dunia pendidikan dikontrol oleh negara baik orientasi, kurikulum, anggaran, ideologi pendidikan yang dianut namun disisi yang lain dunia pendidikan juga bisa menjadi wahana untuk terjadinya transformasi sosial. Demikian juga untuk konteks masyarakat Islam antara pendidikan dan politik juga memiliki hubungan yang erat, dinyatakan bahwa kedudukan politik di dalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat untuk menjalankan syariat. Umat tidak akan mengerti syariat tanpa pendidikan. Bila politik kekuasaan berfungsi mengayomi dari atas maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah. Dalam masyarakat Islam perkembangan kegiatan-kegiatan pendidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan dukungan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaannya mereka. Menurut Sirozi, setidaknya ada dua alasan penting mengapa para penguasa Islam terlibat langsung dalam persoalan pendidikan. Pertama, karena Islam adalah agama yang bersifat totalitas, jam’i, mencakup semua aspek
kehidupan seorang muslim. Untuk mengetahui
kehidupan yang islami maka seorang muslim mesti terlibat dalam kegiatan pendidikan. Kedua, karena adanya motivasi politik, sebab di dalam Islam antara politik dan agama sulit untuk dipisahkan. Para penguasa muslim sering menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk menanamkan paham-paham keagamaan. Dengan kekuasaan mereka menanamkan ideologi negara dengan tujuan lahirnya kesamaan ide antara penguasa dan masyarakat umum sehingga memudahkan pengaturan masalah-masalah kenegaraan.26
24
Lihat, Mansour Fakih, Ideollogi dalam Pendidikan, Pengantar dalam buku Ideologi-Ideologi pendidikan, Pen. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. hal x-xxi. 25 M. Sirozi, Politik Pendidikan, Grafindo Persada, Jakarta, 2007. 26 M. Sirozi, Politik Pendidikan, Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan menjalankan sejumlah fungsi politik yang signifikan. Diantara fungsi yang terpenting adalah lembaga pendidikan menjadi agen-agen sosialisasi politik. Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat dimana individu-individu,terutama anak-anak dan generasi muda, mempelajari sikap-sikap dan perasaan tentang sistem politik dan sejenis peran politik yang diharapkan dari mereka. Institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran, terutama kurikulum dan bahan-bahan bacaan, sering kali diarahkan
pada
kepentingan politik tertentu. Secara lebih luas, sosialisasi politik melalui proses pendidikan dapat mempengaruhi stabilitas dan transformasi sistem politik. Pengaruh dapat dilihat dari beberapa transformasi politik yang besar dimana perhatian utama para pemimpin untuk mempertahankan ideologi dan agenda politiknya adalah dengan mengontrol sistem pendidikan.27 Dari perspektif yang dikemukakan dalam pembahasan Sirozi, untuk keperluan pembahasan tema penelitian ini dapat memberikan eksplanasi teoritis bahwa pendidikan dalam arti yang umum sebagaimana juga pendidikan politik yang dieksperimenkan oleh gerakan dakwah tarbiyah memiliki fungsi disatu sisi untuk mempertahankan dan pewarisan nilai-nilai Islam serta dalam derajat tertentu mampu menjadi faktor yang ikut mempengaruhi terjadinya transformasi gerakan tersebut. Sementara dalam perspektif Greg Fealy (2012) berkaitan dengan proses pendidikan (tarbiyah) yang terjadi pada PKS dalam konteks sistem politik Indonesia menyatakan PKS berangkat dari pemahaman bahwa porses Islamisasi politik dan kemudian negara hanya dapat dicapai jika masyarakat mau menerima pandangan dan perilaku agama. Karena itu dakwah dan pendidikan mendahului politik. Dua unsur terkait telah mendominasi pemikiran Tarbiyah –PKS sejak 1980-an: Keharusan mengislamkan secara utuh baik aspek kehidupan individu maupun masyarakat dan politik; dan kedua pemahaman bahwa perubahan membutuhkan pendekatan bertahap dan jangka panjang. Agenda sosial dan politik yang lebih luas tampak jelas dalam literatur Tarbiyah, dimana grup Usrah dijadikan unsur dasar untuk membangun masyarakat Islam yang taat. Menurut Greg Fealy, di dalam tubuh Gerakan Tarbiyah-PKS berkembang pandangan bahwa strategi Islamisasi akan bergantung pada kondisi sosial dan politik yang lebih luas yang membutuhkan kesabaran dan kehati-hatian. Pada fase awal Gerakan Tarbiyah ketika rezim Soeharto melarang setiap tanda aktivisme Islamis, para anggota Gerakan Tarbiyah fokus untuk 27
M. Sirozi, Politik Pendidikan, Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
tampil tidak berlebihan, aktivitas keagamaanya dibuat berguna ketimbang mengambil sikap oposisi terhadap Orde Baru. Dengan strategi ini Tarbiyah mampu tumbuh cepat dan menjadi gerakan Islam baru yang paling sukses semasa 1980-an hingga 1990an. Kemudian ketika Otoritas Soeharto mulia melemah pimpinan gerakan Tarbiyah berekasi cepat dengan membentuk KAMMI. Organisasi ini kemudian terbukti mampu menyulut semangat perubahan di kampus dan di masyarakat dalam rangka mengerahkan perlawanan terhadap Soeharto. Pada akhirnya pada era reformasi gerakan
Tarbiyah mampu memanfaatkan momentum tersebut untuk
memuluskan dirinya mereka ulang
menjadi partai politik, memlalui tiga fase yakni pertama,
fase penyebaran gagasan sejak tahun 1970-an, kedua fase aktivitas organisasi dan ketiga fase pergerakan ke politik praktis 28 Pada bagian berikut ini akan diketengahkan literature review yang memiliki pandangan bahwa kegiatan pendidikan (politik) dapat dipakai sebagai media untuk melakukan transformasi sosial, nilai-nilai serta transformasi politik. Hasil studi dan penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti yang berpandangan bahwa pendidikan politik adalah merupakan insturmen atau media yang dapat dipakai untuk melakukan transformasi dalam masyarakat baik itu transformasi yang terkait dengan struktur sosial, transformasi nilai serta transfomrasi politik antara lain; Pertama, studi yang dilakukan oleh studi Ruslan,
29
yang kemudian dibukukan dengan judul,
Tarbiyah Sasiyah ‘Inda Jama’ah Al Ikhwan Al Muslimin, telah menunjukan bahwa pendidikan politik bagi anggota
gerakan keagamaan Islam (Ikhwanul Muslimin)
yang kemudian
bertransformasi menjadi partai sangat penting dilakukan untuk meningkatkan wawasan, kesadaran, pengetahuan, dan seterusnya terkait dengan dunia politik dalam konteks yang luas. Studi ini telah memberi suatu gambaran umum mengenai pendidikan dalam arti yang komprehensif bagi anggota partai politik. Dalam banyak hal, PKS terinspirasi (mengadopsi) model pendidikan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin (IM), hanya saja Gerakan Dakwah Tarbiyah yang kemudian berubah menjadi PKS tidak seluruhnya menjadikan tradisi pendidikan IM sebagai core pendidikan mereka. Mengingat studi ini mengambil konteks Mesir dan fokus studi ini hanya berbicara mengenai pendidikan politik IM, maka studi tersebut tidak menyentuh aspek transfromasi gerakan dari jami’yyah ke partai politik. Oleh karena itu, studi tersebut tidak dapat merefleksikan apa yang menjadi obyek dalam penelitian. Namun demikian studi yang dilakukan dengan mengambil tema pendidikan politik pada Gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) 28
Greg Fealy, PKS dan Kembanranya Bergiat Jadi Demokrat di Indonesia, Mesir dan Turki, Komunitas Bambu, Jakarta, 2012; 49, 58. 29 Lihat buku Tarbiyah Sasiyah ‘Inda Jama’ah Al Ikhwan Al Musli,min, karya Dr. Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, terjemah, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, penerbit Intermedia, Solo, 2000
telah memberikan inspirasi jalan untuk melakukan studi yang terkait dengan ‘Bentuk Pendidikan Politik’ yang dilakukan oleh PKS. Sekalipun studi
yang dilakukan oleh Ruslan, tentang Tarbiyah Siyasah memiliki
keterbatasan dari sisi waktu karena penelitian tersebut dilakukan pada era sebelum berakhirnya abad ke 20, dari sisi struktur politik pada saat dilakukannya studi tersebut memiliki beberapa kesamaan dengan situasi politik yang melatarbelakangi kelahiran gerakan dakwah Tarbuyah di Indonesia, yakni sama-sama lahir dari rahim regim politik yang represif. Konsep yang dapat dipinjam untuk kepentingan studi dalam penelitian tetang bentuk pendidikan politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah yang terkait dengan tujuan pendidikan politik, prinsip-prinsip pendidikan politik, perangkat-perangkat dalam pendidikan politik. Terkait dengan konsepkonsep tersebut kiranya dapat dinyatakan bahwa model pendidikan politik PKS banyak mendapatkan inspirasi atau bahkan mengadopsi dari konsep yang digagas oleh Ikhwanul Muslimin. Kedua, studi yang dilakukan oleh Ali Abdul Halim Mahmud,30 tentang Tarbiyah Siyasah. Studi yang dilakukan oleh Ali Abdul Halim Mahmud, memiliki keterbatasan dari sisi waktu dan fokus kajiannya. Studi tersebut dilakukan pada saat gerakan Ikhwanul Muslimin masih dalam tahapan konsolidasi untuk memperkuat loyalitas serta militansi ketika berada dalam tekanan regim yang otoriter sedangkan pada saat sekarang ini diawal abad ke 21 gerakangerakan keagamaan termasuk didalamnya Ikhwanul Muslimin (IM) ada keenderungan untuk mengalami moderasi ideologi dan strategi gerakannya. Demikian juga dengan Gerakan Dakwak Tarbiyah yang akan menjadi objek penelitianya ini dalam derajat tertentu dilihat dari isu yang diangkat, iklan kampanye, kecenderungan koalisi memiliki kecenderungan untuk menuju kearah yang lebih moderat. Walaupun studi yang dilakukan oleh Ali Abdul Halim Mahmud memiliki beberapa perbedaan titik tekan serta keterbatasan dalam derajat tertentu dalam pandangan peneliti memiliki keterkaitan tema, yakni membicarakan tentang bentuk pendidikan politik. Penelitian yang dilakukan penulis memberikan titik tekan pada bentuk pendidikan politik yang memungkinkan terjadinya transformasi sedangkan titik tekan Ali Abdul Halim Mahmud adalah untuk menumbuhkan soliditas dan militansi ideologi dan gerakan. Walaupun demikian dari pembahasan yang disampaikan dalam buku tulisan Ali Abdul Halim Mahmud, ada konsepkonsep penting yang dapat dipakai untuk menjelaskan ataupun membaca dinamika fenomena yang terjadi pada gerakan dakwah tarbiyah serta transfomarsi yang terjadi pada gerakan ini,
30
Wasailut Tarbiyah ‘inda Ikhwanul Muslimin, Dirasah Tahliliyah Tarikhiyah, terjemah. Perangkat-Perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin, karya Ali Abdul Halim Mahmud, Intermedia, solo, 2005.
dengan lebih dalam mengetahui definisi tarbiyah yang dipahami oleh komunitas gerakan ini, demikian juga secara khusus perangkat –perangkat yang digunakan dalam mencapai tujuan dari jamaah ikhwanul Muslimin. Ketiga, Studi yang dilakukan oleh Paulo Friere,31 sebagaimana dapat dibaca pada buku The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation dan
buku Pedagogy of the
Oppressed32. Studi yang dilakukan oleh Paulo Friere dilakukan pada konteks masyarakat yang sebagaian besar menganut agama katolik dibawah pengaruh penguasa yang dekat dengan ideologi kiri, sebagaimana umumnya negara Amerika Latin. Berangkat adari konteks seperti ini maka tepatlah ketika Paulo Friere mengusulkan gagasan suatu model pendidikan alternatif. Yakni suatu model pendidikan yang tidak hanya untuk memberikan dukungan bagi regim yang berkuasa namun lebih dari itu kegiatan pendidikan adalah berfungsi untuk melakukan proses penyadaran. Dalam Studi tersebut Paula Friere antara lain dikemukakan antaralain ada hubungan yangn erat antara kegiatan pendidikan dengan kekuasaan. Pendidikan dalam pandangan Paulo Friere, kegiatan pendidikan tidak sekedar upaya pemberantasan buta huruf, tetapi juga buta huruf politik, kegiatan untuk menumbuhkan proses kesadaran (konsientisasi), berlangsung dalam suasana yang bebas. Pendidikan juga merupakan proses untuk memproduksi kebudayaan. Konteks sosial politik serta keagamaan pada penelitian yang dilakukan oleh Paulo Freire memiliki perbedaan yang tajam dengan penelitian ini. Penelitian tentang bentuk pendidikan politik yang akan dilakukan berlangsung pada masyarakat Indonesia yang sebagaian besar memeluk agama Islam dan lebih dari itu dalam banyak hal model pendidikan politik baik dalam oreintasinya, struktur materi serta media yang digunakan sangat dipengaruhi oleh doktrin ajaran Islam. Dengan terlebih dahulu melakukan klarifikasi, dapat dipinjam suatu perpspektif bahwa melalui kegiatan pendidikan alternatif, seperti halnya yang dilakukan oleh komuniatas jamaah Tarbiyah melalui kegiatan Tarbiyah secara konseptual sebagaimana dipraktekan di Amerika Latin dapat melahirkan suatu produksi values yang baru. Dalam batas tertentu ada titik temu perspektif antara pandangan Paulo Freire bahwa kegiatan pendidikan bisa menjadi wahana untuk melahirkan values dan budaya serta basis masssa baru suatu komunitas. Dengan demikian penelitian yang dilakukan tentang model pendidikan politik PKS, memiliki konteks dan titik tekan fokus yang berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Paulo Freire.
31
Buku The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation, tulisan Paulo Friere, diterjemahkan. Politik Pendidikan, Kebudayaan, kekuasaan dan Pembebasan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004. 32 Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, Continuum- New York, 30th Annsversary Edition, 2000.
Keempat, karya Sayid Qutuhb,33 sebagaimana dapat dibaca pada buku Ma’aalimu fith Thoriq, Penulis buku ini Sayyid Quthb sebagai salah seorang ideolog dari Gerakan Islam Ikhwanul Muslimin. Posisi Sayid Qutuhb dari sisi pemikirannya dapat dikelompokan dalam barisan yang memilih untuk berpandangan radikal berpikir dalam pola hitam-putih atau halalharam, berbeda dengan para pemikir lainnya yang berpikir moderat. Dalam pandangan Qutuhb pendidikan berfungsi untuk merekonstruksi masyarakat yang terkena jahiliyah modern menuju masyakat Islam. Kelima,
Sa’id Wawwa34 melalui karyanya sebagaimana dapat dibaca dalam buku,
Tarbiyatuna al Ruhiyyah, ini memberikan titik tekan bahwa untuk menghasilkan kader Islam yang berkualitas, ummat Islam memerlukan suatu pendidikan yang tidak hanya memerhatikan aspek pemikiran maupun fisik tetapi juga aspek ruhani. Sa’id Hawwa menekankan pentingnya pendidikan yang mengarahkan ummat Islam ada keseimbangan antara aspek fiqih dan tasawuf. Keenam ,Analisis Ramadhan Al-Buthy, sebagaimana dikemukakan dalam bukunya,35 Fiqhus Sirah: Dirasat Manhajiah Ilmiah li Siratil
Musthafa ‘alaihish Shalatu was Salam,
mengetengahkan perspektif yang kritis atas sejarah politik nabi. Karya ini memberikan tawaran konsep tentang bagaimana Nabi Muhamaad Saw membangun masyarakat melalui model pembinaan, pengkaderan, pendidikan yang dilakukannya sebagaimana dapat dilihat dalam episode perjalanan hidupnya (Siroh nabi); Ketujuh, Intelegensia Muslim dan Kuasa, Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Penelitian Yudi Latif ini,36 sesuai dengan judulnya buku ini mengetengahkan pembahasan tentang asal-usul intelegensia Muslim di Indonesia. Pelacakan tersebut ditelusuri semenjak dari akar pendidikan Barat yang ada di Indonesia, kemudian akar pendidikan Islam. Konsep yang menarik yang ditawarkan dalam karya ini antara lain bahwa model pendidikan yang diikuti oleh suatu fase generasi Muslim, apakah itu model pendidikan Barat ataukah model pendidkan Islam ataukah perpaduan antara dua model pendidikan tersebut memiliki pengaruh yang kuat pada orientasi serta afiliasi politik yang dipilih oleh generasi intelegensia Muslim di Indonesia. Disamping itu afiliasi serta orientasi politik intelegensia Muslim juga dipengaruhi oleh jenis 33
buku Ma’aalimu fith Thoriq, penulis Sayiid Quthb, terjemah, Petunjuk Jalan, Penerbit, Gema Insani, Jakarta, 2001 34 Tarbiyatuna al Ruhiyyah, terjemahan, Pendidikan Spiritual, karya, Sa’id Hawwa, Mitra pustaka, Yogyakarta, 2006. 35 Fiqhus Sirah: Dirasat Manhajiah Ilmiah li Siratil Musthafa ‘Alaihish Shalatu was Salam, diterjemah, Sirah Nabawiyah analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah Saw, karya Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al- Buthy, Rabbani Press, Jakarta, 2009. 36 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Penerbit Mizan, Bandung, 2005.
rezim yang memerintah di Indonesia, ketika rezim bersifat represif artikulasi Cendekiawan Muslim cenderung mengarah pada sifat pasif-tenggelam seperti diperlihatkan pada masa penjajahan Belanda maupun pada masa demokrasi terpimpin serta rezim Orde Baru, sedang jika rezim yang berkuasa itu memberikan ruang untuk artikulasi aspirasi politik cendekiawan Muslim baru komunitas ini berani muncul kepermukaan dan terlibat dalam kehidupan politik di Indonesia. Yudi Latief juga melalkukan pelacakan asal usul sejarah kemunculan cendekiawan Muslim di Indonesia, semenjak awal abad ke 20 sampai kemunculan KAMMI, serta munculnya gerakan tarbiyah yang kemudian mengalami metaphorofoasis menjadi Partai Keadilan Sejahetera (PKS). Dari buku ini dapat dipinjam konsep tentang pengaruh pendidikan khususnya model pendidikan politik pada transformasi gerakan sosial keagamaan ke gerakan politik. Serta secara lebih
rinci pengaruh pendidikan terhadap polarisasi politik yakni munculnya cendekiawan
nasionalis sekuler dan nasionalis Islam, serta fragmentasi yang terjadi di dalam tubuh cendekiawan Muslim misalnya antara yang dekat dengan tradisi cendekiawan muslim tradisionalis dengan yang lebih dekat pada cendekiawan muslim modernis. Kedelapan, Pendidikan Politik dalam Islam, karya Abu Ridha,37
Karya Ridha ini
memberikan suatu uraian tentang keterkaitan antara dakwah, pendidikan politik (tarbiyah siyasah), pendidikan politik Islam (tarbiyah siyasiyah Islamiyah), serta peranan partai dalam melakukan proses pendidikan politik. Titik tekan pembahasan adalah menunjukkan betapa pentingnya ummat Islam melakukan suatu pendidikan politik untuk mewariskan nilai-nilai yang dianggap baik kepada generasi muda Islam untuk melanjutkan dakwah Islam di segala bidang termasuk dakwah siyasah (dakwah dalam ranah politik). Namun perhatian Ridha tidak pada pertanyaan pokok bagaimana suatu model pendidikan politik itu dapat menjadi faktor penting untuk terjadinya transformasi gerakkan. Karya Ridha ini lebih memberikan perhatian serius pada persoalan terjadinya keterpinggiran peran Ummat Islam dalam dunia politik di Indonesia yang menurutnya dikarenakan ummat Islam ini tidak mendapatkan pendidikan politik yang memadai sehingga kurang memiliki pengetahuan politik serta kurang memiliki kesadaran politik. Lebih dari itu sebagai akibat tidak berjalannya proses pendidikan politik dalam masyarakat Islam telah menyebabkan terfragmentasinya pemikiran umat Islam dalam masalah politik ada yang memilih bersifat sekuler sebagaian kecil memilih menjadi pendukung aktivis Islam, sebagaian lagi apatis.
37
Lihat Pendidikan Politik dalam Islam, karya Abu Ridha, penerbit PT Syammil Cipta Media, Bandung, 2002.
Kesembilan, Dilema PKS Suara dan Syariah, karya Burhanudin Mubtadi38Karya ini membahas kemunculan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dilakukan pelacakan faktor-faktor yang mempengaruhi kelhairan Jemaah Tarbiyah yang kemudian bertransformasi menjadi Partai Politik (Partai Keadilan). Dari karya ini peneliti memperoleh perspektif teori kesempatan politik, mobilisasi sumber daya serta pembingkain aksi kolektif. Burhanudin dengan menggunakan perspektif teori “ the double track of political opportunity structures” ( gerak dua arah struktur kesempatan politik), menemukan bahwa kelahiran Jemaah Tarbiyah yang kemudian bertransformasi menajdi partai politik ( dari gerakan sosial yang memiliki ciri lebih informal ke gerakan politik yang lebih formal yakni partaqi politik) dipengaruhi oleh
faktor politik
internasional juga faktor politik domestik Indonesia. Bertemunya dua faktor tersebut menurut Burhanudin yang telah mendorong Jemaah Tarbiyah melakukan ijtihad politik untuk memlih metode gerakan apolitis- non konfrontatif, mengodopsi prinsip
siryyat al- Tandzim wa
Alamiyyat al –Dakwah, selama rezim Orde Baru yang represif terhadap Islam politik dan restriksi sistematis gerakan terhadap mahasiswa di kampus. Melalui kombinasi perspektif gerak dua arah struktur kesempatan politik dengan perspektif ressource mobilisation serta colective action frames. Diketahui bahwa transformasi yang terjadi pada Gerakan Jemaah Tarbiyah dari Gerakan Sosial yang informal- apolitis-nonkonfrontasi ke gerakan politik yang lebih formalterbuka-politis bisa lahir karena perpaduan antara tersedianya kesempatan politik dan kemampuan Jemaah Tarbiyah untuk memobilisasi sumber daya yang ada serta pembingkaian kegiatan kolektif dalam bingkai teologis – Islam. Akan tetapi penelitian Burhanudin tidak secara mendalam membahas peran pendidikan politik sebagai basis transformasi dan dilema yang meyertainya. Dilema yang dianalisis oleh penelitian Burhanudin adalah dilema antara memilih sebagai partai ideologis partai elektoralis? Dua pilihan ini secara teoritis sulit untuk dikompromikan, mengapa? Karena jika PKS memilih sebagai partai ideologis dalam logika representasi sosial, perilaku politik PKS harus dilandaskan pada upaya-upaya sistematis untuk menyerap dan mengagregasi kepentingan bais sosial Jemaah Tarbiyah sebagai bagian dari gerakan Islam yang memiliki basis sosial yang khas: terdidik, muda, kota, dan memiliki pandangan keagamaan konservatif. Sedangkan jika menguikuti logika kompetisi elektoral, perilaku politik PKS lebih didorong oleh motivasi untuk meraih kemenangan dalam pemilu, untuk meraih dukungan ceruk pemilih seluas seluasnya, disinilah dilemanya ceruk pemilih itu 38
Burhanudin Mubtadi, Dilema PKS Suara dan Syariah, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2012, karya ini berasal dari sub tesis di The Australian National university (ANU) Cambera dengan judul “ Thingking Globally, Acting Locally: Analyzing the Islamist Activism of Indodnesia’s Prospereous Justice Party (PKS) from a Social Movement Theory Perspective”..
tidak tersedia di basis sosial Jemaah Tarbiyah yang kurang lebih hanya mampu memberikan dukuangn suara 2%. Mencermati perdebatan konseptual tentang transformasi lebih khusus lagi tentang dilema transformasi Jemaah Tarbiyah, posisi peneliti pada satu sisi sepekat dengan perspektif teoritis yang menyatakan bahwa transormasi Gerakan Jemaah Tarbiyah dipengaruhi oleh faktor kesempatan politik serta pada sisi yang lain dipengaruhi oleh faktor kemampuan sumber daya internal yang dimiliki oleh Jemaah Tarbiyah. Namun peneliti menambahkan faktor peran pendidikan politik ( tarbiyah siyasah) sebagai faktor yang memiliki pengaruh besar pada dilema transformasi dari Gerakan Jemaah Tarbiyah ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sejalan dengan itu posisi penulis juga pada dataran terntentu sepakat dengan temuan penelitin Burhanudin, bahwa dilema PKS terletak pada pilihan sulit PKS antara Suara dan Syariah. Antara harus memilih logika kompetesi electoral dan logika representasi sosial. Akan tetapi pemulis memiliki pandangan bahwa akar problema dapat ditelusuri- dilacak lebih mendasar pada
manhaj
pendidikan politik yang diyakini dan dipraktekan oleh PKS, yang memiliki indikasi merupakan hasil adaptasi dan impor dari Ikhwanul Muslimun (IM). Dilemanya terkait dengan doktrin pemikiran Islam, model Gerakan Islam, Gerakan politik yang dipilih oleh PKS serta cara melakukan sosialisasi yang lebih bercorak indoktrinasi pada para anggota dan simpatisan gerakan Jemaah Tarbiyah, yakni dengan melakukan pembingkaian kegiatan pendidikan politik dengan bingkai teologis ( colective action frames). Dari tinjauan terhadap karya terhadulu sebagaimana telah dikemukakan di atas, menurut pengetahuan peneliti belum ada karya atau penelitian yang secara khusus memberikan perhatian pada tema ‘ Dilema Transformasi Berbasis Gerakan Tarbiyah Studi tentang Perkembnagan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Oleh karena itu peneliti berpandangan bahwa penelitian yang dilakukan terkait tema tersebut, sangat menarik perhatian serta minat peneliti serta memiliki arti penting dari sisi akademis, sebagai sebuah ikhtiar untuk merekonstruksi suatu model pendidikan politik yang memiliki kekuatan transformatif. Selain karya-karya sebagaimana telah dikemukakan di atas, ada karya lain
yang
membahas asal usul perkembangan Gerakan Tarbiyah serta kelahiran dan perkembangannya di Indonesia yang kemudian seiring bergulirnya keterbukaan politik yang dipicu oleh reformasi politik tahun 1998 berubah menjadi Partai Keadilan (PKS). Diantara karya tersebut antaralain penelitian Yon Machmudi,
Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and
the
Prosperous Justice Party (PKS)39, Ali Said Danamik, Fenomena Partai Keadilan Sejahtera, 2001.40 Penelitian M. Imdadun Rahmat,2008,41 tentang Ideologi Politik PKS dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen dan Imdadun Rahmat, 200542, Arus Baru Islam Radikal Transmisi Islam Timur Tengah ke Indonesia. Pada karya – karya tersebut penulis mendapatkan perspektif bahwa karakteristik
transformasi Gerakan Tarbiyah dilihat dari latar historisnya memiliki
koneksi dengan perkembangan Gerakan Islam yang ada di Timur Tengah lebih khusus lagi yang terjadi di Mesir yakni Ikhwanul Muslimin. Gerakan Tarbiyah dari awal kelahirannya sudah memiliki karakteristik sebagai sebuah Gerakan Dakwah Islam yang kental dengan agenda perjuangan politik. Dari perspektif ini maka metamorfosa dari Gerakan Dakwah ke Parta Politik adalah merupakan persoalan menunggu faktor kesempatan politik (political opportunity). Hasil karya dan penelitian yang memberikan perspektif tentang keterkaitan antara Islam dengan Demokrasi, termasuk di dalamnya respon Gerakan Islam pada demokrasi antara lain diwakili oleh penelitian untuk disertasi S3 Saiful Mujani,2007.43 tentang Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Penelitian M Zaki Mubarok, 2008,44 tentang Genealogi Islam Radikal di Indonesia Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi. Tulisan L. Carl Brown, tahun 2000,45Religion and State : The Muslim Approach to politic. Karya Abdul Munir Mulkan46 tentang Politik Santri, tahun 2009. Tulisan Lili Romli47 berjudul Islam Yes Partai Islam Yes, 2006. Tulisan John L. Eposito,48 tentang Islam: The Straight Path,1998. Pemikiran Yusuf Qardhawi49 tentang Legalitas Politik, Dinamika Perspektif Nash dan Asy-Syariah, 2008. Tulisan Rizal Sukma dan Clara Joewono50 tentang
39
Yon Machmudi, Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS) Publisheb by ANU E Press, The Australian National University, 2008: 10-12. 40 Ali Said Danamik, Fenomena Partai Keadilan Sejahtera, diterbitkan oleh Teraju, tahun 2001 41 M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta tahun 2008. 42 Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal Transmisi Islam Timur Tengah ke Indonesia, diterbitkan oleh Erlangga, Jakarta tahun 2005 43 Saiful Mujani tentang Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, diterbitkan Gramedia Pustaka Utama tahun 2007. 44 M Zaki Mubarok, Genealogi Islam Radikal di Indonesia Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, diterbitkan oleh LP3ES, Jakarta, tahun 2008. 45 L. Carl Brown, Religion and State: The Muslim Approach to politic, Columbia University Press, tahun 2000. 46 Abdul Munir Mulkan, Politik Santri, diterbitkan oleh Impulse Kanisius, Yogyakarta, tahun 2009. 47 Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta tahun 2006 48 John L. Eposito, Islam: The Straight Path, Oxford University Press,Inc, 1998. 49 Yusuf Qardhawi, Legalitas Politik, Dinamika Perspektif Nash dan Asy-Syariah, diterbitkan oleh Pustakasetia Bandung, tahun 2008. Yusuf Qardhawi tentang Legalitas Politik, Dinamika Perspektif Nash dan Asy-Syariah, diterbitkan oleh Pustakasetia Bandung, tahun 2008. 50 Rizal Sukma dan Clara Joewono, Gerakan dan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer, diterbitkan oleh CSIS, Jakarta tahun 2007
Gerakan dan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer, 2007. Penelitian Zainal Abidin Amir51, tentang Peta Islam Politik Pasca Soeharto, tahun 2003. Tulisan Ahmad Syafii Maarif52, tentang Islam dalam Bingkai Keindonesian dan Kemanusian Sebuah Refleksi Sejarah, tahun 2009, Sedangkan karya –karya yang memberikan perspektif umum tentang keterkaitan antara pendidikan dan peluang terejadinya transformasi antara lain diwakili oleh tulisan berikut ini, Zamroni,53 tentang Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi,tahun 2007. Tulisan Azyurmardi Azra,54 tentang Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, tahun 2000. Penelitian Disertasi S3, Mansour Fakih55 tentang Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta, tahun 1996. Dari berbagai penelitian dan studi yang telah dilakukan oleh para peneliti sebagaimana dikemukakan di atas, kiranya dapat dinyatakan bahwa proses transformasi yang terjadi pada berbagai gerakan Islam baik yang mengambil pilihan sebagai gerakan Islam kultural maupun Islam politik, secara langsung maupun tidak dipengaruhi oleh aktivitas yang disebut sebagai proses penyadaran atau pendidikan politik dengan berbagai variasinya. Kebenaran pernyataan tersebut diperkuat oleh indikasi yang dialami oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), bahwa partai ini
mengalami transformasi dari Gerakan Tarbiyah ke partai politik antara lain karena
dipengaruhi oleh bentuk pendidikan politik ‘tarbiyah siyasah’ yang dimiliki PKS, serta perubahan peluang politik yang ada dengan runtuhnya rezim Orde Baru.
F. Kerangka Teori: Pendidikan Politik Sebagai Proses Transformasi. Dilema yang dialami oleh PKS bersumber dari pembentukan partai ini yang menggunakan konsep intifa yakni memanfaatkan berbagai gerakan dakwah dan Herakan Islam yang sudah ada—dengan caa merecrut para aktivis dan tokohnya --yang memiliki berbagai oreintasi ideologi yang kompleks dan beragam, kemudian disatukan dalam satu wadah Jamaah Tarbiyah. Jemaah ini belum pernah benar-benar menjadi suatu kesatuan sebagai sautu unity, di dalam terus hidup 51
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, diterbitkan oleh LP3ES Jakarta, tahun 2003. Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesian dan Kemanusian Sebuah Refleksi Sejarah, diterbitkan oleh Mizan, Bandung tahun 2009 53 Zamroni, Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi, diterbitkan oleh PSAP, Jakarta, tahun 2007 54 Azyurmardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, diterbitkan oleh Logos, Jakarta, tahun 2000. 55 Mansour Fakih Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta, tahun 1996. 52
faksional, perbedaan corak pemikiran, faksi-friksi bahkan konflik internal.56 Proses pendidikan politik “tarbiyah Siyasah’ atau disebut juga indoktirnasi politik yang dilakukan oleh PKS dengan Manhaj 1412, hingga gerakan ini mengalami transformasi menjadi sebuah partai politik, belum berhasil memproduksi “basis nilai “ruh” ideology gerakan yang otentik karena kebutuhan mendesak untuk segera memperluas basis dukungan. Jika dirumuskan ada dilema di satu sisi ada
kebutuhan untuk mempertahankan otensisitas
manhaj gerakan dan di sisi yang lain
kebutuhan inclusivitas. Dengan kata lain PKS “gagal” memproduksi nilai (ideologi) yang mampu mempertemukan berbagai elemen yang ada pada PKS. Gerakan ini
dari awal
terbentuknya belum memiliki basis massa yang otententik, bahkan dalam perkembangannya PKS juga gagal mempertahankan bais massa dan nilai-nilai yang disepakati bersama “ muwashofat”, menjadi dasar panduan nilai yang hidup dipraktekan dalam kehidupan partai secara konsisten. Dilema Transformasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kiranya dapat dirumuskan bahwa dilema transformasi PKS secara subtansial dipengaruhi manhaj tarbiyah siyasah, konsepsi PKS tentang tarbiyah siyasah, khsususnya terkait dengan persoalan bagaiaman para simpatisan dan pendukung partai disosialisasikan ke dalam pemahaman tentang faham dan gerakan ke Islaman yang mereka perjuangkan, apa yang tantangan yang dihadapi oleh PKS dalam melakukan sosialisasi faham dan gerakan ke- Islaman yang mereka impor dan adopsi dari Ikhwanul Muslimun, serta strategi yang telah disiapkan oleh PKS menghadapi tantangan tersebut. Terkait dengan manhaj tarbiyah siyasah ( pendidikan politik) PKS, dilemanya terletak pada adanya suatu kenyataan bahwa doktrin yang diyakini oleh Gerakan Jemaah Tarbiyah (PKS) tentang doktrin pemikiran Islam Islam Kaafah, tidak ada pemisahan antara Islam dan politik, tidak semuanya sejalan dengan realitas kehidupan politik di Indonesia, padahal doktrin itulah yang menjadi inti dari keyakinan Gerakan Jemaah Tarbiyah. Dilema
pada aras doktrin
berpengaruh pada aras proses sosialisasi politik, serta strategi yang disiapkan ( dikonsepsikan oleh PKS) menghadapi berbagai dilema. Jika Gerakan Jemaah Tarbiyah (PKS) merubah doktrin keyakinan politiknya maka gerakan ini berpeluang lehilangan ruh atau inti nilai, yang menjadi basis kelahiran dan eksistensi, serta perkembangan Gerakan Jemaah Tarbiyah (PKS). Strategi yang dilakukan oleh PKS adalah melakukan double strategi, yakni penididikan politik untuk internal partai dengan tetap merujuk pada manhaj dan doktrin yang orisinil sedangkan untuk
56
Ahmad Norma Permata, Regime Change, Democracy and Islam The Case of Indonesia, A Study of The Internal Dynamics of The Justice Welfare Party (PKS) and Jama’ah Tarbiyah 2013, University Leiden, hal. 269-271.
pendukung dan sinmpatisan pendidikan politik yang diterapkan menyesuaikan manhaj tarbiyah siyasah dengan tuntutuan konteks kondisi politik di Indonesia. PKS belum menyiapkan secara sistematis sebuah strategi yang tepat menghadapi berbagai tantangan, terkait dengan terjadinya perubahan –dinamika dalam kehidupan politik di Indonesia. 1. Pendidikan politik Bentuk pendidikan politik yang dieksperimenkan oleh partai politik --yang lahir dari rahim Gerakan Islam – memungkinkan partai tersebut melakukan
transfomarsi diri dan
melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan politik (political oppurnutiy structure)57. Bentuk pendidikan politik (tarbiyah siyasah) yang mempengaruhi terjadinya transformasi
dalam derajat tertentu mampu untuk
gerakan – dari
‘gerakan dawah tarbiyah’, social
movement kemodel political movement—Transformasi ini berlangsung dengan memanfaatkan momentum dan peluang politik yang ada (reformasi tahun 1998) hal ini dapat dibaca dengan jelas pada kelahiran dan perkembangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).58 Sebelum sampai pada bagian konsepsi teori kiranya perlu terlebih dahulu dikemukakan maksud terminologi ‘Bentuk aatau Model Pendidikan Politik’ yang dipakai dalam pembahasan penelitian ini. Istilah bentuk atau model pendidikan politik dalam tulisan ini dipakai untuk melakukan penyederhanaan pada serangkain kegiatan, yang dilakukan dalam proses pendidikan politik. Unsur-unsur penting yang akan dielaborasi dalam bentuk pendidikan politik adalah meliputi; pertama, tujuan (orientasi) dari pendidikan politik; kedua, struktur materi yang disampaikan dalam kegiatan pendidikan politik;
ketiga strategi yang digunakan dalam
pendidikan politik. Strategi disini berkaitan dengan persoalan apakah pendidikan politik tersebut menempuh strategi moderat atau radikal,untuk mencapai
out put
dari proses pendidikan
59
politik.
Bentuk atau model pendidikan politik tarbiyah dalam pembahasan ini diposisikan sebagai suatu serangkain kegiatan yang didalamnya, ada serangkaian proses kegiatan pendidikan politik tersebut secara langsung maupun tidak langsung memberikan embrio kesadaran, kapasisitas 57
Oliver Roy, Channging Patterns among Radical Islamic Movement, The Brown Journal of World Affairs, Vo. VI Issue 1 ( Winter/pring, 1999). 58 Ali Said Danamik, Fenomena Partai Keadilan, Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, Teraju, Bandung 2002:215-161). Lihat juga, M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta tahun 2008. 59 Lihat, Manhaj Tarbiyah Partai Keadilan Sejahtera, Media Insani Press, Solo, 2005. Lihat juga Ismatu Ropi, Membangun ‘Masyarakat Islami’ dan Ideologisasi Gerakan Tarbiyah di Indonesia, dalam buku Gerakan dan Pemikirann Islam Indonesia Kontemporer, ditulis oleh Rizal Sukma dan Clara Joewono, CSIS, Jakarta, 2007. hal 139-157.
pengetahuan, hasanah intelektual bagi terjadinya proses transformasi bagi gerakan tarbiyah yakni yang sebelumnya
berbentuk sebagai sebuah gerakan dakwah (informal movement)
menjadi sebagai sebuah gerakan politik yang berbentuk partai politik Islam yakni partai Keadilan Sejahtera (PKS) . Perspektif tentang pendidikan politik “political education” diperlukan dalam penelitian ini, antaralain untuk menjelaskan kegiatan yang dilakukan oleh Gerakkan Dakwah Tarbiyah. Penegasan tentang urgensi pendidikan politik political education antara lain disampaikan oleh Amy Gutmann60 “ ... we can conclode that political education -- the cultivation of the virtues, knowledge, and skills necessary for political participation--has moral primacy over others pusposes of public education in a democratic society. Political education prepares citizens to participate in consciously reproducing their society and conscious social reproduction is the ideal not only of democratic education but also of democratic politics" Disamping terminologi political education dikenal juga terminiologi lain yang perlu diklarifikasi, yakni term sosialisasi politik. Term political socialization dan Political Education menurut pandangan John J. Patrick, adalah merupakan term yang berbeda. Menurut John J. Patrick “ Political socialization refers to the process by which people learn to adopt the norms, values, attitudes, and behaviors accepted and practiced by the ongoing system, political socialization refers to the individual’s acquisition of his society’s political culture or norms for managing “the authoritative distribution of advantages and disadvantages”. The end towards which this process functions is the development of individuals who accept approved motives, habits, and values relevant to the political system of their society and who transmit these norms to future generations.61 Pendapat lainya, Ben Rosemond, tentang Political socialization as the process or the set of processes, through which people learn about politics and acquire political values. There is much dispute about which processes are significant and about whwn in the life cycle the most important socialisation takes place.62
60
Lihat Amy Gutmann, Democratic Education, Princeton University Press, Princeton New Jersy,1999:287-291. Stanley Allen Renshon, Handbooks of Political socialization Theory and Research, The Free Press a division of Macmillan Publishing Co.. Inc. London, 1977: 191. 62 Ben Rosamond, Politics: an introduction second edition, Routledge, London, 2002:58 61
Sementara itu sarjana lain Bay menyatakan bahwa political education lebih luas daripada political socialization, lebih lanjut dia menyatakan; “as with all education, political science education must aim at liberating the student from the blinders of the convensional wisdom, from political totems and taboos, so that may make the basic choice of how to live and of political ideals as an independent person with optimal critical powers.”63 Sedangkan menurut Pranger, menyatakan bahwa “a broad political education emphasizes the artificiality of political order and the citizen as creative actor within this order.” Pandangan yang senada dikemukakan oleh Entwistle, ia berpendapat bahwa “political education, in contrast to socialization, should help youngsters learn to question basic assumptions of their polity and to consider alternative answers.64 Perbedaan makna antara political socialization dengan political education sebagaimana dikemukakan di atas memiliki implikasi pengembangan kurikulum dan disain instruksional, antara political socialization dengan political education. Menurut John J Patrick, letak perbedaanya adalah bahwa student of political socialization should be concerned primarily with question about the maintenance of political systems, about the transmission of political orthodoxy. Tey should ask how individuals learn to confrom to the sociopolitical status qou so that political norms are observed and established political roles are performed. Sedangkan pendidikan politik (political education) memiliki perhatian yang lebih luas. Pendidikan politik tidak hanya membatasi idinvidu untuk belajar mendukung tatatan politik yang berlaku, tetapi juga meminta individu untuk belajar menciptakan dan merubah tatatan politik. (They should ask not merely how individuals learn to confrom so that political orders endure; but they also should ask how individuals learn to create and to change political orders).65 Menurut pendapat Freed I. Greenstein, study tentang political socialization memiliki tempat dalam study ilmu politik di Amerika Serikat dimulai tahun 1968. Dari pelacakan yang dilakukan oleh Greenstein di kalangan para sarjana ilmu politik terdapat beragam pendapat
63
Louis J. Cantori, Andrew H. Ziegler, Jr. Political socialization a Note on the Ambiguity of Political socialization: Defenitions, Cruticims, and Strategics of Inquiry, dalam Comparative Politics. P.191-192. 64 Louis J. Cantori, andrewH. Ziegler, Jr. Political socialization a Note on the Ambiguity of Political socialization: Defenitions, Cruticims, and Strategics of Inquiry, dalam Comparative Politics. P.191-192 65 Stanley Allen Renshon, Handbooks of Political socialization Theory and Research, The Free Press a division of Macmillan Publishing Co.. Inc. London, 1977.
tentang definisi dari political Sicialization. Menurutnya paling tidak ada empat perhatian tentang variasi definisi political socilization; 1. The study of Children’s political socialization orientations. To define the study of political socialization as “ the political study of Children.”Nevertheless, just as “anthropology” is usually defined formally in abstract intelectual terms (as the study of “culture” or of “social structure”) but tends informally to mean “the study of nonliterate populations.” Politycal socializations also has a mundane operational definition; “the study of pre-adult orientations to the adult politycal process.” 2. The study of the acquisition of prevailing norms. Sometimes the phrase is used to apply quite narrowly to studies of the way the prevailing norms of a poliltical system become the norma of the new members of that system. Here the usage paralelles one of the meanings sociologists give to the more general term “socialization.” The political subset of socialization is also sometimes called “politicization.” In any event, the focus is on the acquisition of norm-consistent behavior. 3. Sometimes “political socialization” is used more broadly to refer to the study of any political learning what soever of conformity or deviance, and at any stage in the life cycle.” 4. Finally,”political socialization” sometimes refers to actual observations of socialization processes, in any of the above senses, taking into account both the socialized and the agents of socialization.66 Dalam konteks pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik kepada warga negara dimaknai sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul, nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun.67 Pendidikan politik dalam konteks kegiatan pemilu dapat diartikan sebagai suatu kegiatan terencana, dengan sadar untuk memberikan penyadaran kepada warga negara yang sudah berhak memilih. Sementara itu Good merumuskan bahwa pendidikan politik adalah pengembangan kesadaran generasi terhadap berbagai problematika kekuasaan dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik.68 Rumusan lain dikemukakan oleh Ustman, pendidikan politik adalah upaya-upaya
yang
dicurahkan oleh lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal yang berusaha membentuk dan menumbuhkan kepribadian politik yang sejalan dengan kultur politik pada setiap warga negara, membentuk dan menumbuhkan kesadaran politik dengan segala tingkatannya, kemampuan berpartisipasi politik secara aktif dalam memecahkan persoalanpersoalan umum masyarakatnya dengan segala bentuk partisipasi yang memungkinkan 66
Louis J. Cantori, Andrew H. Ziegler, Jr. Political socialization a Note on the Ambiguity of Political socialization: Defenitions, Cruticims, and Strategics of Inquiry, dalam Comparative Politics. P.191-192 67 Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1986:235 68 Dictionary of Education,1973: 67
mengantarkan kepada perubahan menuju yang lebih baik.69 Dalam konteks penelitian ini perlu dikemukakan bahwa kegiatan Tarbiyah siyasah “political education” berlangsung semenjak awal gerakkan ini berdiri sampai perkembangan terakhir ketika gerakkan ini telah mengalami metamorfose menjadi suatu partai politik. Gambar 1 Kontinum Fase-Fase Transformasi Gerakan Tarbiyah
Konsep sistem pendidikan politik (tarbiyah siyasah) sebagaimana telah dikonsepsikan oleh para sarjana politik seperti Stanley,Davis Easton, Powel serta banyak sarjana lainnya secara subtansial adalah merupakan suatu proses untuk menumbuhkan kesadaran politik warga negara pada system politik. Melalui proses pendidikan politik ‘tarbiyah siyasah’ dapat dilakukan dua hal sekaligus disatu sisi terjadinya proses pewarisan nilai-nilai, ideology yang sudah disepakati oleh suatu masyarakat dan pada sisi yang lain juga dapat dilakukan untuk proses melakukan kritik pada system politik yang sedang berlaku. Kritik pada system politik yang sedang berlaku dilakukan ketika system politik yang ada dinilai tidak lagi mempunyai kapasitas untuk memenuhi kebutuhan serta tidak lagi mampu memberikan solusi pada problem-problem yang muncul di tengah
masyarakat politik. Dengan kata lain melalui proses pendidikan
politik’tarbiyah siyasah’ dapat, menjadi media untuk persemaian tumbuhnya pemikiran, 69
Lihat juga Utsman Abdul Mu’iz, Tarbiyah Siyasah ‘Inda Jama’ah Al Ikhwan Al Muslimin, terjemah, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, penerbit Intermedia, Solo, 2000.
kesadaran untuk melakukan koreksi pada berbagai kelemahan system politik yang sedang berjalan. Salah satu institusi politik yang memiliki fungsi untuk melakukan proses pendidikan politik “ political socilization’ adalah partai politik. Diantara partai–partai politik yang tumbuh di era reformasi yang memiliki perhatian pada masalah pendidikan politik adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sistem pendidikan politik ‘tarbiyah siyasah’ yang dilakukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam konteksnya dengan system politik Indonesia, merujuk pada perspektif teoritis di atas dapat dikemukakan bahwa disatu sisi proses pendidikan politik yang dilakukan juga berfungsi untuk melakukan proses pewarisan nilai-nilai yang dianggap baik oleh pemerintah yang sedang berkuasa dan yang dianggap baik oleh ummat Islam ‘ aktivis Islam’. Serta pada sisi yang lain
Sistem Pendidikan Politik PKS juga dapat berfungsi untuk
menyemaikan pemikiran dan kesadara kritis tentang berbagai persoalan politik dan problem yang dihadapi oleh system politik Indonesia. Kemampuan Sistem pendidikan politik PKS ‘tarbiyah siyasah’ untuk mampu menghasilkan kader partai yang disatu sisi mampu menyerap nilai-nilai yang dianggap baik yang diwariskan oleh generasi sebelumnya baik yang berasal dari komunitas Islam maupun komunitas yang berbasis abangan (nasionalis) serta kemampun untuk melahirkan kader yang memiliki kesadaran kritis, akan sangat berpengaruh pada eksistensi dan perkembangan PKS di masa yang akan datang. Sistem pendidikan politik yang semula lahir untuk kepentingan memproduk kader-kader dakwah ketika masih dalam fase gerakan dakwah tarbiyah sesuai dengan konteks kelahirannya memiliki keterbatasan dan kelemahan, perlu semacam adapatasi ketika model pendidikan ini akan difungsikan untuk melahirkan kader yang memiliki kapabilitas untuk berkiprah ketika gerakan ini sudah berada pada fase ke gerakan politik. Dengan kata lain transformasi gerakan ini dari gerakan dakwah ke gerakan politik membutuhkan adaptasi pada sistem/bentuk pendidikan politiknya. Adaptasi pada aspek orientasi, struktur materi, strategi pendidikannya, media pendidikannya, agen, untuk menyebut beberapa hal penting. Keterkaitan antara kegiatan
Tarbiyah Siysah dengan mobilitas vertikal kader dapat
diilustrasikan pada bagan berikut ini Bagan 1 Pendidikan Politik ’Tarbiyah”
dan Sumber Recruitment POSISI KADER DI STRUKTUR PARTAI
Terstrukutur Internal (direct)
Wajihah Syabi KAMMI,ROIS(KAPPI) LDK,Majelis Taklim, Usroh
Tidak terstrukur (indirect)
ENAM LEVEL KADER PKS 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Anngota Pedukung Anggota Muda Anggota Madya Anggota Dewasa Anggota Ahli Anggota Purna
Muhammadiyah, NU HMI,PMII,PII, Organisasi profesional
AKTIVITAS PENDIDIKAN POLITIK
GAMBAR 2 MARHALAH PENDIDIKAN POLITIK GERAKAN DAKWAH TARBIYAH PKS Dari Fase 1-5 selalu ada aktivitas Tarbiyah
Untuk keperluan pembahasan masalah utama penelitian ini sebagaimana dirumuskan dalam rumusan masalah yakni tentang dilema kelangsungan transformasi yang dialami oleh PKS serta peran pendidikan politik dibalik tumbuh dan berkembangnya PKS, diperlukan suatu perspektif sebagai pijakan untuk melakukan analisis. Pesrpektif teoritik yang akan dipinjam untuk membantu melakukan analisis antara lain yang berkaitan dengan; pertama tentang konsep gerakan Islam; kedua, konsep tentang pendidikan politik Islam; ketiga konsep tentang gerakan sosial dan jaringan sosial (social network). Konsep –konsep yang dipakai oleh peneliti sebagaimana disebutkan di atas kiranya dapat dirumuskan dalam suatu proposisi yang memiliki kebenaran secara rasional, dapat dibangun suatu konstruksi hubungan yang logis dengan mengambil point-point penting dari argumen yang termuat dari konsep-konsep itu. Berikut ini dipaparkan proposisi yang dipinjam dari serngkaian konsep tersebut, lebih khusus lagi tentang keterkaitan tentang hubungan antara Gerakan Islam yang menjadikan pendidikan politik sebagai instrument untuk melakukan transformasi sosial, serta kemungkinan dilemma-dilema yang dihadapi oleh gerakan terssebut. Konsep tentang Gerakan Islam keterkaitannya dengan pendidikan politik (tarbiyah siyasah) pada dasarnya memiliki konsepsi bahwa Islam diposisikan tidak hanya sebagai agama tetapi juga sebagai idiologi politik, yang dengan jalan itu negara Islam atau setidak-tidaknya masyarakat Islam dibangun. Dalam banyak pengalaman empiris yang dialami oleh berbagai Gerakan Islam menunjukkan bahwa keberhasilan ataupun kegalalan untuk merealisasikan tujuan utama dari
gerakan Islam, yakni memposisikan Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai ideologi politik melalui instrumen negara ataupun mayarakat, sangat dipengaruhi oleh strategi dan model pendidikan politik yang dijalankan oleh Gerakan Islam tersebut. Dalam kaitan ini dapat dinyatakan bahwa ketika suatu Gerakan Islam melalui media pendidikan politik dapat melakukan gerakan penyadaran pada para pendukungnya ‘jamaah’ bahwa Islam itu bukan hanya sebagai agama ritual tetapi juga membangkitkan kesadaran bahwa Islam juga memiliki konsepsi tetang ideologi politik, memiliki nilai-nilai yang harus diperjuangkan serta berhasil menjadikan pendukungnya memiliki mimpi kolektif tentang model mayarakat yang akan dibangun. Gerakan Islam tersebut memiliki kemungkinan lebih besar untuk merealisasikan tujuannya. Demikian sebaliknya jika Gerakan Islam gagal untuk melakukan penanaman kesadaran melalui aktivitas pendidikan politik, maka Gerakan Islam akan mengalami kesulitan dalam merealisasikan tujuannya. Mengapa demikian? Karena melalaui aktivitas pendidikan politik sebuah Gerakan Islam memperoleh banyak keuntungan, antara lain; pertama, Gerakan Islam dapat memproduksi kader yang militan yang akan menjadi peyangga utama kelangsungan Gerakan Islam; kedua Gerakan Islam melalui altivitas pendidikan politik dapat menyebarluaskan ideologi gerakannya dengan cara damai; ketiga Gerakan Islam melalui aktivitas pendidikan politik dapat melakukan kaderisasi, menyiapkan kader-kader gerakan sesuai dengan kebutuhan organisasi; keempat melalui pendidikan politik, Gerakan Islam juga dapat melakukan seleksi atas kader-kader yang memiliki kualifikasi untuk ditempatkan pada tempat-tempat yang srategis di berbagai posisi jabatan publik; kelima melalui aktivitas pendidikan politik, Gerakan Islam juga dapat menjaga kemurnian ideologi dari berbagai infiltrasi dan kontaminasi berbagai ideologi dan pemikiran yang berkembang dalam masyarakat. Konsep tentang Gerakkan Islam bermanfaat juga untuk menjelaskan mengapa Gerakan Dakwah Tarbiyah pada akhirnya berubah menjadi Gerakkan Politik Islam yang memilih bentuk partai politik. Dari perspektif Gerakkan politik Islam maka dapat dipahami mengapa pada akhirnya Gerakkan Dakwah Tarbiyah yang secara umum memandang tidak ada pemisahan antara Islam dan politik ketika ada kesempatan gerakkan ini akan memanfaatkan struktur politik yang tersedia untuk memperkuat pertumbuhan gerakan, serta pada ujungnya untuk mewujudkan cita-cita gerakkan. Dari perspektif teori gerakan Islam kiranya dapat dijelaskan dengan memadai pertanyaan mendasar mengapa Gerakan Dakwah Tarbiyah yang sudah mulai masuk Indonesia
tahun 1980-an, akhirnya ketika muncul peluang
politik mengalami metaphorfosis menjadi
sebuah partai politik yang bernama Partai Keadilan Sejahtera. Gerakan Dakwah Tarbiyah yang merupakan varian dari gerakan politik Islam, dari awal kelahirnya sudah mempunyai orientasi serta kesadaran politik, memiliki semacam frame of thingking bahwa wilayah politik adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari media untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam. Kesadaran politik yang dimiliki oleh para aktivis Gerakan Dakwah Tarbiyah nampaknya baru dapat direliasasikan ketika datang momentum reformasai politik yang telah memberikan political opportunity struktur kepada Gerakan Tarbiyah untuk mengimplementasikan cita-ciatanya yang dipendam selama berlangsungnya regim otoriter Orde Baru. Faktor bertemunya antara kesadaran politik serta perangkat intelektual ideologi yang dimiliki oleh komunitas Gerakan Dakwah Tarbiyah dengan momentum peluang politik yang telah memungkinkan Gerakan ini untuk merubah dirinya menjadi sebuah partai politik. Perubahan menjadi partai politik disatu sisi dapat dilihat sebagai bagian dari grand strategi Gerakan Tarbiyah untuk memberikan jalan agar para kadernya yang telah mengikuti proses pendidikan politik (tarbiyah siyasah) dapat melakukan mobilitas horisantal dan mobilitas vertikal, yang dengan mobilitas tersebut nilai-nilai Islam dapat ditransmisikan ke wilayah yang lebih luas ke sektor publik (eksekutif, parlemen,yudikatif dll). Serta pada sisi yang lain juga dapat dilihat sebagai terjadinya semacam fase-fase perkembangan dalam tubuh Gerakan Dakwah Tarbiyah, yakni ada tiga fase perkembangan Gerakan Dakwah Tarbiyah, seperti daapt dilihat pada (gambar 1). Sedangkan konsep jaringan sosial (social network) dalam konteks penelitian ini akan digunakan
untuk
penyebarluasan
menganalisis,
bagaimana
proses
pertumbuhan,
perkembangan
dan
ideologi politik yang diperjuangkan oleh Gerakan Islam itu terjadi. Daya
jangkau dan daya tahan ideologi Gerakan Islam ikut dipengaruhi oleh network yang dimiliki oleh Gerakan Islam tersebut. Dalam kaitan ini kiranya dapat dinyatakan bahwa jika suatu Gerakan Islam memiliki net work yang luas maka daya jangkau dan daya tahan ideologi Gerakan Islam dimungkinkan akan lebih baik. Demikian juga dengan berbagai jenis net work yang dimiliki oleh Gerakan Islam, baik personal net work ataupun institusional network. Jika network yang dimiliki oleh Gerakan Islam semakin luas maka kemungkinkan Gerakan Islam untuk memperluas basis dukungan semakin besar. Dengan melalui analisis dari
perspektif teori
network perkembangan serta perluasan dukungan Gerakan ini dapat dipahami lebih baik.
Perkembangan Gerakan Tarbiyah yang pada awalnya pada dekade 1980-an lebih merupakan organisasi politik informal (informal movement) kemudian memanfaatkan era keterbukaan politik paska tahun 1998 bermetaforposa menjadi organisasi formal dalam bentuk partai politik yakni Partai Keadilan dapat dianalisa lebih tajam. Konsep teori jaringan (network) bermanfaat juga untuk menjelaskan bagaimana Gerakkan Dakwah Tarbiyah ini memperluas basis dukungan sosialnya melalui berbagai aktivitas diantaranya yang utama adalah melalui kegiatan Tarbiyah dengan berbagai variasinya. Perluasan basis dukungan Gerakan Tarbiyah dalam grand strateginya dilakukan dengan mobilitas horisontal dan mobilitas vertikal pada tiga sektor yakni sektor privat, sektor publik dan third sektor.70 Dengan meminjam kerangka logika teori jaringan dapat dijelaskan bagaiamana Gerakan Tarbiyah ini melakukan perluasan basis dukungan selama tiga dekade sejak 1980-2009. Perluasan basis dukungan tersebut secara empiris dapat dikonfirmasi melalui capaian suara yang meningkat dari tiga Pemilu yang telah diikuti oleh PKS. Peningkatan perluasan dukungan dapat dilihat dari data bahwa pada Pemilu 1999 PKS (dullu bernama Partai Keadilan) hanya mendapatkan dukungan 1,3% suara dala Pemilu legislatif, kemudian meningkat menjadi 7,3% pada Pemilu 2004 dan meningkat sedikit
menjadi 7,8% pada Pemuilu 2009. Walaupun
perolehan suara obsolute dalam Pemilu Legislativ tahun 2009 mengalami penuruan lebih dari 200.000 suara. Penelitian ini sebagaimana telah dipaparkan disamping akan meminjan konsep Gerakan Islam, konsep pendidikan politik, konsep social network. Konsepsi tentang Islam politik dan Islam kultural – yang diposisikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari konsepsi Gerakan Islam- dipinjam dalam pembahasan penelitian ini, diperlukan untuk memberi kemungkinan lebih dalam memahami karakterisitik serta dinamika dan dilemma transformasi yang terjadi pada Gerakan Tarbiyah. Dengan bantuan konsep Islam kultural dan Islam politik dapat memperkuat dan mempertajam konsep Gerakan Islam. Jika dari konsep Gerakan Islam diketahui bahwa Islam itu tidak hanya sekedar agama ritual tetapi juga bisa dijadikan basis nilai ideologi politik maka melalui konsep Islam kulutaral dan Islam politik, peneliti akan memiliki kemungkinan untuk dapat memjelaskan pilihan strategi yang dipakai oleh Gerakan Islam apakah melalui strategi Islam politik atau melalui strategi Islam kultural atau bahkan dengan menggabungkan dua strategi tersebut sekaligus. Dalam kaitan ini fenomena yang terjadi pada PKS yang 70
Lihat,Memperjuangan Masyarakat Madani, MPP Partai Keadilan Sejahtera,Jakarta, 2008: hal 37-43.
memnempuh dua jalur sekaligus yakni melalui jalur politik melalui kendaraan partai kemudian masuk ke parlemen dan eksekutif pada satu sisi serta pada sisi yang lain juga melakukan kegiatan sosial, seni, dakwah, kesehatan, advokasi petani dan buruh,penerbitan serta pendidikan kiranya dapat dijelaskan dengan memimjam Konsep Islam kultural dan Islam politik. Kerangka berfikir berikut ini berikhtiar untuk menjalin jalinan konsep yang dipinjam secara eklektik dari berbagai perspektif teori yang teleh penulis kemukakan di atas, kemudian dirangkai dalam satu perspektif sebagai berikut; perspektif yang penulis pakai adalah melihat Dilema Transformasi yang terjadi pada tubuh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari perspektif konsep Gerakan Islam. Point penting dari perspektif ini adalah memandang bahwa PKS sebagai sebuah isntrumen politik ‘sayap politik’ dari sebuah Gerakan Jemaah Tarbiyah. Dengan kata lain PKS adalah merupakan kelanjutan atau metamorfasa dari suatu Gerakan Jemaah Tarbiyah yang memiliki pandangan dasar bahwa wilayah politik ‘siyasah’ adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam itu sendiri yang bersumber pada suatu doktirn ‘syumuliyatul Islam’. Sedangkan dari perspektif pendidikan politik dapat mendapatkan penjelasan penyebab PKS mengalami dilemma dalam melakukan prooses transformasi. Hal tersebut dikarenakan pendidikan politik yang dilakukan oleh PKS mengalami pergeseran orientasi dan peran dari yang semula pada fase Gerakan Dakwah, Pendidikan politik yang semula berfungsi untuk melakukan reproduksi nilai,
kemudian bergeser lebih berfungsi sebagai
legitimasi dan
rasionalisasi kebijakan-kebijakan partai (elit partai). Lebih dari itu pendidikan politik yang dipakai oleh PKS mengadopsi pendidikan politik dari suatu Gerakan Islam yang bernama Ikhwanul Muslimin, yang berasal dari Timur Tengah ‘Mesir’, yang memiliki peluang untuk terjadinya peluang ahistoris dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia. Dari perspektif teori net work, dilema yang dialami oleh PKS dalam melakukan transformasi mendapatkan penjelasan bahwa PKS di satu sisi mengalami kesulitan untuk mempertahankan net work yang sudah dimiliki serta pada sisi yang lain mengalami kesulitan untuk memperluas net work partai dalam berbagai aspek kehidupan, hal tersebut antara lain ditandai oleh perolehan suara PKS yang tidak mengalami peningkatan signifikan antara Pemilu 2004 dengan Pemilu 2009, yakni masih pada kisaran angka 7% hasil suara secara nasional. PKS mengalami semacam kebuntuan dalam perluasan basis dukungan dan net work.71
71
Lili Romli, Evaluasi Pemilu Legislatif 2009, Penerbit LIPI Press, Jakarta 2009 hal 3, 180-185
Dari perspektif Islam Kultural dan Islam Politik, dilema transformasi yang dialami oleh PKS dalam pertumbuhan dan perkembanganya, misalnya dapat dibaca melalui kasus perluasan basis dukungan massa. PKS dalam memperluas basis dukungan massa ‘konstituen’ mendapatkan protes dan resisten dari Muhamaadiyah dan NU. Keberatan dari Organisasi Kemasyarakatan Muhammadiyah dan NU terhadap cara dan strategi yang ditempuh oleh PKS dalam memperkuat dan memperluas basis dukungan memberikan suatu indikasi bahwa suatu partai politik yang berbasis pada Gerakan Dakwah Islam berpeluang untuk mengalami berbagai dilemma. Dilema tersebut antara lain bersumber dari pilihan pada srtategi perjuangannya yang tidak memilih secara tegas apakah menempatkan dirinya dalam kategori Islam Politik atau memilih jalur dari Islam kultural. Dalam konteks ini PKS memposisikan dirinya untuk mengkombinasikan antara strategi Islam Kultural dan Islam politik. Pilihan strategi yang dieksperimenkan oleh PKS, pada satu sisi memberikan peluang PKS untuk memiliki basis dukungan massa yang genuine dan militant namun dalam realitasnya hal tersebut telah dianggap mengganngu keutuhan basis massa yang ada di Muhammadiyah dan NU. Dari perspektif Gerakan Dakwah Tarbiyah, perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi pada tubuh PKS adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu rangkaian proses tarbiyah, yang di dalamnya ada ‘tarbiyah siyasah’. Dalam konteks ini kelahiran PKS adalah merupakan repoduksi dari hasil proses tarbiyah siyasah. Dilema yang kemudian muncul dalam perjalanan dan perkembangan selanjutnya dari PKS menjadi salah satu kekuatan politik di Indonesia yang memiliki pengaruh dan bisa memasuki baik wilayah legisltif (DPR), eksekutif, dan sektor-sektor srtategis lainya, sering kali harus melangkah dengan menggunakan logika yang tidak sejalan dengan values atau garis ideology perjuangan yang diajarkan ‘dijadikan manhaj’ dalam tarbiyah siyasah. Manhaj tarbiyah siyasah tidak memberikan perangkat berpikir ‘frame work ‘yang rinci dan siap pakai untuk dijadikan panduan ketika gerakan dakwah ini sudah memasuki wilayah Negara ‘daulah’. Para aktivis PKS belum bisa bekerja dan mengelola Negara dengan menggunakan manhaj sebagaimana digariskan dalam ideology perjungannya, terjadinya semacam discontinuitas antara manhaj tarbiyah dengan realitas praktis para aktivis partai ini menjalankan tugasnya di wilayah Negara. 2. Perspektif Politik - Gerakan Islam Dalam penelitian ini teori Gerakan Islam dipakai untuk memahami karakter Gerakan Tarbiyah yang kemudian melakukan transformasi menjadi partai politik (PKS). Fenomena
transformasi dijelaskan sebagai manifestasi dari gerakan Islam atau revivalism, Islamisme, sebagaimana akan diuraikan berikut ini. Dalam literatur” politik Islam” digunakan sebagai suatu istilah payung yang bisa dipertukarkan dengan istilah ”Islamisme.” Ia menjadi alternatif terhadap istilah ”fundamentalisme”, yang berasal dari tradisi kristen dan kental dengan nuansa keagamaan. Para sarjana secara umum menerapkan istilah ”Islam politik” terhadap wacanawacana dan kegiatan-kegiatan para aktivis yang mengonsepsikan Islam tidak hanya sebagai agama tetapi juga sebagai ideologi politik, dengan jalan mana negara Islam atau
setidak-
tidaknya masyarakat Islam - yang ditandai oleh penghormatan dan ketaatan tertinggi terhadap syari’ah -dibangun.72 Islam politik adalah suatu proyek politik keagamaan yang berupaya untuk menempatkan Islam tidak hanya direpresentasikan di dalam negara tetapi juga ditetapkan sebagai suatu sistem yang komprehensif yang mengatur semua aspek kehidupan. Ia dipahami sebagai suatu bentuk interaksi antara agama dan politik.73 Islam politik merupakan fenomena kontemporer yang terjadi di dunia Islam. Ia berawal sebagai gerakan pemikiran yang antara lain diperkenalkan Hasan al Banna (1906-1948), pendiri Ikhwanul Muslimin, di Mesir, dan Abu A’la al Maududi (1903-1978) pendiri Jama’at Islam di Pakistan. Dua pemimpin ini melakukan upaya untuk mendefinisikan Islam terutama sebagai sistem politik, berdampingan dengan ideologi-ideologi utama abad ke-20. Gagasan–gagasan mereka berkembang menjadi gerakan-gerakan yang luas, yang sepanjang dekade-dekade terakhir memberikan tantangan terhadap dominasi Barat maupun rezim-rezim penguasa di dunia Islam. Tantangan-tantangan ini pada dasarnya adalah reaksireaksi yang lahir karena kegagalan rezim-rezim penguasa di banyak negara muslim untuk mengikuti model-model pembangunan sekutu Barat mereka. Dari latarbelakang seperti itu munculnya slogan ”Islam adalah solusi” lahir dan memperoleh landasannya. Isu-isu kunci dalam politik Islam, disebut sebagai revivalism, reassertion, reflowering. Kajian yang dilakukan oleh Eickelman dan Piscatori, John Esposito, Hussin Mutalib, Daniel Pipes, Voll telah membicarakan tentang kuasa Islam dan bagaimana mereka dapat menjadi alternative dalam politik dan pemikiran. Kebangkitan Islam yang berlaku di seluruh dunia dengan pelbagai teori sebab-sebab kebangkitannya juga telah menerima kesannya yang nyata dalam konteks di Indonesia. Minat untuk mengkaji kesan-kesan kebangkitan Islam terutamanya 72
Quintain Wiktorowicz, Islamic Activism, Indiana University Press, Bloomington & Indianpolis, USA, 2004. Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad, Islam, militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca Orde Baru, LP3ES, KITLV, Jakarta, 2008: 18-19. 73
dari segi politik telah menarik pengkaji-pengkaji Barat seperti Barraclough, Milne and Mauzy, Judith Nagata, Nash, Kessler, Gordon Means, Von der Mehden. Begitu juga pemikir-pemikir lain yang telah membahas tentang fenomena ini seperti yang dilakukan oleh Chandra Muzaffar, Husin Mutalib, Mohammad Abu Bakar, Muhammad Nur Manuty, Fadzillah Jamil, Syed Ahmad Hussin, Muhammad Syukri Salleh, Mohamed Redzuan Othman dan lain-lain lagi. 74 Perkembangan Politik Islam dapat dilihat dari berbagai sudut. Pertama ialah bagaimana peranan Islam dapat berkembang di dalam suasana berkembangnya gerakan nasionalisme sebuah negara. Aspek kedua
dapat pula dilihat dari
sudut bagaimana Islam berperanan dalam
mendefinisikan sejak awal dalam proses perlembagaan sebuah negara. Ketiga ialah peranan yang dimainkan oleh gerakan dakwah yang mempengaruhi aksi politik yang memihak kepada Islam dalam konteks keindonesiaan. Aspek keempat ialah bagaimana program Islamisasi dilaksanakan oleh pihak ormas-ormas Islam dan khususnya oleh partai Islam. Hal tersebut sejalan
dengan apa yang disebutkan oleh
John L. Esposito (1987:11)75
ketika Esposito
mempertanyakan “How is Islam present in the public life (government, national ideology, law political parties and actors)... In what ways does Islam influence domestic politics as well as the foreign policies of Muslim countries today? Osman Bakar (2004:17) mendefinisikan politik Islam “as the aspect of Islam that has to do with political ideas, values, practices, and culture including institutions”. Politik menurut Osman Bakar jelas menunjukkan bahwa dalam proses Islamisasi dan juga pendekatan politik Islam, pemikiran dan idea serta strategi kepemimpinan adalah penting bagi menyusun alur proses Islamisasi tersebut. Aspek pemikiran kepimpinan adalah diantara yang terpenting untuk mensukseskan pembinaan dasar dan pendekatan Islam dalam politik dan pentadbiran sebuah negara. Bagi beliau, politik Islam masih kekal sebagai penentu yang kuat dalam negara seperti disebutkan sebagai “political Islam will remain an influential force in the country.”76
74
John L Esposito (2006) “Malaysia” dalam Greg Fealy and Virginia Hooker, Voices of Islam in Southeast Asia : A Contemporary Sourcebook, Institute of Southeast Asian Studies ISEAS, Singapore, Pg. 58 75 John Funston, (2006):. 58 Md. Shukri Shuib, (2007), Islamisasi dan Demokrasi Dalam Politik Islam di Malaysia. dalam Mohd Izani Mohd Zain, Demokrasi dan Dunia Islam : Perspektif Teori dan Praktik, Penerbit Universiti Malaya : Kuala Lumpur. A. Ezzati, Gerakan Islam, sebuah Analisis, (Terj. Agung Sulistiadi), Pustaka Hidayah, Jakarta, 1981. 76 Md. Shukri Shuib, (2007), Islamisasi dan Demokrasi Dalam Politik Islam di Malaysia. dalam Mohd Izani Mohd Zain, Demokrasi dan Dunia Islam : Perspektif Teori dan Praktik, Penerbit Universiti Malaya : Kuala Lumpur. Hal 226. www.gama-network.com. Seminar Internasional Indonesia Malaysia update 2008 di UGM 27-29 Mei 2008
Gerakan Islam sendiri didefinisikan oleh A. Ezzati77 adalah sesuatu dimana unsur-unsur Islam terdapat dalam aktivitas spiritual maupun duniawi baik secara individual maupun masyarakat. Oleh karena itu Gerakan Islam dapat bersifat ideologis seperti adanya Mu’tazilah, Asyiariah maupun gerakan puritanisme atau fundamentalisme lainnya. Ia dapat juga berupa gerakan politik, gerakan ekonomi maupun gerakan pembebasan dari kolonialisme. Adapun ciri-ciri yang dapat diidentifikasi sebagai gerakan Islam diantaranya adalah 1) bersifat Islami, 2) Ia tidak harus merupakan ekspor dari satu negara muslim atau kegiatan ekstra kurikuler negara muslim lainnya. 3) wataknya bersifat anti penindasan dan gerakan merupakan tugas keagamaan 4) tidak bersifat rasisme, nasionalisme, sistem kelas, sekuler dan materialisme 5) gerakannya bersifat global yang melebihi waktu dan ruang. 6) gerakan Islam bersifat revolusi massa. 7) gerakan ini adalah gerakan positif yang berporos pada diri sendiri 8) gerakan didasarkan pada ideologi revolusioner 9) karena gerakan Islam merupakan gerakan ummah semesta maka musuh-musuhnya juga bersifat global seperti kapitalisme internasional, zionisme, materialisme atau atheisme.78
78
A. Ezzati, ibid. hal. 20-22.
Kiranya perlu dinyatakan bahwa kajian dalam penelitian ini akan mengadopsi cara pandang Gerakan Islam. Perspektif Gerakan Islam, dipandang relevan untuk mengkaji PKS yang menyebut dirinya sebagai kekuatan politik Islam dengan instrumen kendaraan partai. Melalui pemaparan beberapa konsep dan teori gerakan Islam ini dimaksudkan untuk dapat memahami fenomena dinamika transformasi Gerakan Da’wah Islam (Tarbiyyah) ke Gerakkkan Politik Islam (PKS). Meminjam perspektif teori di atas, kiranya dapat dipahami lebih baik. PKS yang sebelumnya adalah berasal dari Gerakan Dakwah Tarbiyah adalah merupakan bagian dari gerakan Islam yang berciri modern, bisa menerima demokrasi, oleh karenanya bersifat moderat. Gerakan ini menginginkan perubahan agar Indonesia menuju kearah masyarakat yang lebih Islami (madani) dengan jalan damai. Fenomena dan upaya membentuk Partai Politik Islam yang nampak pada awalnya adalah sebagai Gerakan Da’wah Islam (Tarbiyah) yang dari masyarakat, pada perjalanan selanjutnya akhirnya menjelma menjadi kekuatan politik formal yakni sebagai partai politik, yang kemudian juga ikut masuk dalam parlemen, kabinet (eksekutif), serta lembaga-lembaga pulbik lainnya. Perspektif tentang Islam politik dan Islam kultural dipandang penting untuk dikemukakan karena dengan menggunakan pespektif ini akan memungkinkan untuk memahami fenomena yang terjadi pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berbeda dengan partai-partai lainya. PKS sebagaimana dinyatakan dalam dokumen tertulis yang dikeluarkan oleh institusi partai yang berwenang menyatakan bahwa partai ini mengkombinasikan pendekatan kultural sekaligus pendekatan struktural (Islam politik).79 Terminologi Islam politik dan Islam kultural berkaitan dengan strategi pejuangan politik Islam. Dalam diskursus tentang politik Islam khsusnya di Indonesia dijumpai beberapa terminologi untuk menggambarkan berbagai varian dari strategi gerakkan Islam di Indonesia. Dalam berbagai literatur di jumpai istilah Islam politik, Islam struktural, Islam kultural. Untuk melakukan klarifikasi Term tersebut, dapat dilakukan dengan cara membedakan dua karakteristik perspektif Islam, yaitu pertama, sosialisasi dan institusionalisasi ajaran Islam, termasuk dalam konteks tranformasi sosial dan pembentukan sistem nasional. Dalam konteks ini Islam kultural mengandung pengertian bahwa sosialisasi dan institusionalisasi ajaran Islam dilakukan melalui upaya-upaya yang menekankan pada perubahan kesadaran dan tingkah laku ummat (masyarakat) tanpa keterlibatan negara dan tanpa perubahan system nasional menjadi system Islami. 79
Lihat, Memperjuangkan Masyarakat Madani, MPP PKS, Jakarta tahun 2008: hal 37-43.
Sedangkan Islam Struktural, menekankan upaya-upaya ini melalui penetapan sistem nasional maupun kebijakan publik yang Islami. Upaya semacam ini tidak harus dan hanya dapat dilakukan melalui partai politik Islam, bisa melalui media non-partai politik Islam. 80 Kedua, ialah karakteristik Islam dilihat dari sisi gerakan Islam yang dikelompokan pada Islam kultural dan Islam politik. Gerakan Islam kultural adalah aktivitas ummat Islam untuk memperjuangkan aspirasinya melalui aktivitas-aktivitas yang bersifat non-politik, seperti melalui organisasi massa, aktivitas dakwah, lembaga-lembaga sosial. Sedangkan pengertian gerakan Islam politik ialah aktivitas Islam melalui partai politik Islam, yang bisa diidentifikasikan melalui penggunaan nama, asas, tujuan ataupun simbol Islam.81 Dengan demikian strategi perjuangan Islam yang memilih model Islam struktural bisa melalui Islam politik (partai politik Islam) maupun malalui model Islam kultural. Sedangkan yang memilih model Islam kultural memilih untuk tidak menggunakan model Islam struktural, tetapi bisa dipadukan melalui Islam politik (melalui partai politik) atau juga bisa tidak memakai partai politik. Sebagai ilustrasi Gus Dur, seorang tokoh yang sejak lama lebih memilih model perjuangan melalui Islam kultural, namun setelah era Reformasi Gus Dur juga menggunakan partai politik (PKB) sebagai alat perjuangannya yang berarti juga menggunakan Islam politik (partai politik). Dengan kata lain Gus Dur menggabungkan antara model Islam kultural dan Islam politik. Sedangkan seorang tokoh yang lain Nurcholish Majdid, memilih untuk tetap konsisten dengan model perjuangan Islam kultural. Sedangkan untuk kasus Amien Rais yang semula berorientasi Islam struktural kini setelah di era reformasi sudah bergeser tidak sepenuhnya menggunakan lagi Islam struktural maupun Islam politik. Hal tersebut setidak-tidaknya tercermin didalam platform PAN, partai yang pendiriannya dimotori oleh Amien Rais dan sekaligus menjadi Ketua Umum I dan periode 2000-2005. Berikut ini untuk memudahkan perbedaan antara Islam kultural dan Islam struktural dapat dilihat pada tabel berikut:
Bagan 2 Perbandingan Strategi Perjuangan ummat Islam kultural dan Struktural82 Indikator
80
Perbedaan strategi
Masykuri Abdillah, “Islam Politik dan Islam Struktural” , 1999, h. 4. Masykuri Abdillah, Ibid, h.4. 82 Suwarno, Muhammadiyah, Islam,dan Runtuhnya Orde Baru (Study tentang Perubahan Perilaku Politik Muhammadiyah Periode 1995-1998), Yogyakarta, UGM, 2000:33. 81
Kultural
Struktural
Ciri pokok
Substantif/inklusif
Formalistik/skriptualistik/ Ideologis
Sifat
Horisontal-kemasyarakatan
Vertikal-elitis
Arah/tujuan Sasaran
Mempengaruhi perilaku Sosial/cara berfikir masyarakat
Mempengaruhi/mengubah Struktur (legislatif, eksekutif)
Metode
Penyadaran dan moral force
Pemberdayaan dan aliansi
Sarana
Simposium,seminar,diskusi, ceramah, da’wah, lobi, penerbitan media massa, Lembaga Pendidikan
Sarana politik/struktur teknis, berupa birokrasi, lembagalembaga, partai-partai dan semua usaha yang mempengaruhi padapengambilan keputusan politik
Titik berat pada individu keperluan jangka panjang
Mobilitas kolektivitas untuk keperluan jangka pendek
Jangkauan
Untuk konteks Indonesia sehubungan dengan penggunaan istilah Islam politik dan Islam kultural, sebagaimana juga sering dipakai oleh Kunto, sebenarnya masih menyisakan pertanyaan, sejauh manakah keabsyahan dikotomisasi, “Islam politik” dan “Islam kultural”? Hal ini dikarenakan, sekalipun istilah “Islam politik” digunakan di Timur Tengah, akan tetapi model penghadapan “Islam politik” dan “Islam kultural”, hampir tidak dijumpai dalam wacana politik Islam di wilayah-wilayah lain dunia Muslim, khususnya di Timur Tengah, kecuali di Turki.83 Kenyataan tersebut terutama berkaitan dengan pandangan dunia yang dianut oleh kaum Muslimin, yang pada umumnya masih memegangi suatu perspektif bahwa melihat bahwa antara agama (dien) dan negara (dawlah) atau politik (siyasyah) memiliki hubungan yang erat, bahkan sebagiannya melihatnya sebagai suatu kesatuan. Sekalipun pandangan ini mengalami banyak gugataan
dan tantangan pada masa modern dari sistem politik sekuler,84 tetapi pengaruh
sekularisasi politik di dunia Muslim memang ditemukan dalam kadar yang minimal.85 Perspektif yang lain tetapi masih dalam konteks Islam di Timur Tengah, memandang bahwa “Islam politik” adalah refleksi dari gerakan kebangkitan Islam, dan identik dengan fundamentalisme Islam. Dalam pandangan perspektif ini Islam politik yang merupakan bagian 83
Gulalp, Halil, “Political Islam in Turkey :The Rise and Fall of The Refah Partay”, The Muslim World, Hartford:Hartford Seminary, Vol.89, No.1. 84 Azyumardi Azra, “Islam Politik dan Islam Kultural: Islam Masa Pasca Soeharto”, dalam Indonesia Dalam Transisi Menuju Demokrasi, Jakarta, LSAF, 1999:76. 85 Dawam Rahardjo, “Indonesia Dalam Era Transisi Menuju Demokrasi Sebuah Pengantar”, dalam Indonesia Dalam Transisi Menuju Demokrasi, Jakarta, LSAF, 1999:xv-xvi.
dari fundamentalisme Islam adalah merupakan ideologisasi Islam jadi bukan keyakinan Islam itu sendiri.86 Perjalanan Islam politik, yang direpresentasikan keberadaannya melalui partai-partai politik Islam, serta Islam kultural sebagai lawan dari Islam politik yang biasa melakukan aktivitasnya melalui saluran non politik. Indikator yang digunakan untuk melihat posisi Islam politik ialah dilihat dari simbol Islam, doktrin Islam, lembaga Islam, policy, aktor Islam. Dinamika Islam politik, menunjukan proses pasang naik pada awalnya ketika dimulai demokrasi parlementer, kemudian mengalami proses surut ketika dimulai jaman pemerintahan Orde Lama atau demokrasi terpimpin. Proses surut tersebut terus berlanjut ketika memasuki jaman pemerintahan Orde Baru, bagi Islam politik ada waktu jeda proses pasang naik yakni antara 1971–1977, namun setelah rentang waktu tersebut karena berbagai persoalan intern partai dan kebijakan depolitisai Islam (deislamisasi partai), perkembangan selanjutnya Islam politik mengalami proses surut hingga sampai ketitik nadir, pada tahun 1985, yakni dengan diberlakukannya kebijakan depolitisasi Islam dan deislamisasi partai politik. Dengan ditandai keluarnya lima paket undangundang bidang politik. Masa surut dari Islam politik ini terus berlanjut hingga jatuhnya pemerintahan Orde Baru, setelah jatuh pada tanggal 20 Mei 1998, kemudian berganti dengan pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan Habibie, Islam politik mulai menunjukkan proses pasang naik. Hasil Pemilu Tahun 1999 dan Pemilu 2004 serta prediksi Pemilu 2009, dilihat secara simbolik, ideologis dan aktor telah menunjukkan adanya kebangkitan kembali Islam politik di Indonesia. Perjalanan Islam politik ini berbeda dengan proses pasang surut dan naiknya Islam kultural, dapat dikatakan bertolak belakang. Islam kultural mengalami proses pasang naik justru ketika Islam politik sedang mengalami proses surut Dalam perspektif Robert W Hefner, dengan merujuk pada proposisi yang dikemukakan oleh Alexis de Tocqueville, agama bisa memegang peranan sentral dalam proses demokratisasi. Agama tidak harus dipisahkan dari politik. Yang diperlukan bukanlah separation of religion and state, tetapi suatu penolakan terhadap subordinasi agama kepada politik untuk kepentingan penguasa. Sumbangan agama dalam proses demokratisasi paling efektif adalah ketika organisasi agama bergerak dari luar negara di wilayah yang disebut civil society. Dengan keadaan seperti 86
Bassan Tibi, The Challenge of Fundamentalisme :Political Islam and the New World Disoder (terjh) Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Islam, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2000:35.Lihat juga, Bassan Tibi, Islam and the Cultural Acomodation of Sicial Change (terjh) Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2000: 199, 204, 212.
ini, pasukan agamis menjadi bagian dari kontrol terhadap negara daripada menjadi bagian dari power elit, organisasi agama dalam masyarakat sipil membatasi kekuasaan negara
dan
memperkuat balance of power yang diperlukan untuk sebuah demokrasi dan masyarakat sipil. 87 Tesis utama dari perspektif Hefner bahwa semua masyarakat modern mengalami dilema struktural serupa bila dan ketika mereka menetapkan untuk melakukan demokratisasi. Pada saat yang sama -- dan ini merupakan paradoks utama globalisasi yang disebut demokratisasi ini -sumber daya kultural yang digunakan untuk mencapai demokrasi beragam dari masyarakat yang satu ke msyarakat yang lain. Tidak ada jalan tunggal -- menuju demokratisasi, paling tidak yang spesifik dan diciptakan untuk semua zaman di Barat. Demokratisasi baru berhasil yang diarahkan pada tujuan yang serupa jika ia secara aman didasarkan pada organisasi lokal dan makna-makna kultural. Bahkan di Barat pun, jalan ke demokrasi begitu beragam. Pemerintahan lokal yang partisipatif dan Jema-at Protestan kota kecil yang dilihat sarjana Perancis, Alexis de Tocqueville, sebagai landasan kultural bagi demokrasi abad ke-19 di Amerika misalnya, tidak memiliki bandingan langsung di Perancis. Di Perancis
demokratisasi memiliki dorongan
sekuralis yang lebih kuat yang membatasi atau bahkan merobohkan lembaga-lembaga keagamaan. Bahwa hal ini tidak terjadi di Amerika
Serikat adalah tanda pengingat yang
membantu bahwa agama publik yang kuat tidak mesti tidak sesuai dengan demokrasi. Di tempat-tempat seperti Amerika Serikat lembaga-lembaga keagamaan terus memberikan sumbangan bagi budaya demokrasi. Karenanya klaim teori modernisasi bahwa kemajuan ekonomi dan demokrasi mensyaratkan privatisasi agama bersifat etnosentrik dan secara empiris keliru. 88 Namun tidaklah setiap jenis organisasi keagamaan sama akrabnya dengan demokrasi. Tatanan keagamaan yang mendukung kemajuan demokrasi adalah tatanan yang memperkuat dan melegitimasi pluralisme dan sama pentingnya dengan (serta sesuai dengan perintah alQur’an bahwa tidak ada paksaan dalam beragama), melakukan yang terbaik yang bisa mereka lakukan untuk menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam urusan agama. Sebagaimana pendapat Max Weber, negara adalah sebuah lembaga yang memonopoli kekerasan di dalam masyarakat. Akibatnya satu-satunya jalan untuk menjamin bahwa tidak ada kekerasan dalam urusan keagamaan adalah dengan membangun organisasi agama yang kuat yang lebih berfungsi 87
Robert W Hefner, Islam Pasar Keadilan, Yogyakarta, LKIS, 2000:41. Robert W Hefner, Islam, Pasar, Keadilan, Yogyakarta, LKIS, 2000:xviii-xix.Lihat juga, Robert W. Hefner, Muslims and Democratization in Indonesia Civil Islam, Princetion University Press, 2000:214-222. 88
sebagai
kontrol – (check),
ketimbang
sebagai penopang kekuasaan monopoli negara.
Bagaimana hal ini dilakukan.? Apa yang dimaksudkan dengan hal ini ialah bahwa orang-orang mukmin harus mendasarkan tindakan dan organisasi mereka terutama pada masyarakat sipil. Melalui tindakan, perdebatan dan contoh yang shaleh mereka bisa berfungsi sebagai jantung dan pikiran warga negara dan menjadi pengimbang monopoli negara terhadap kekuasaan. Dengan kata lain agama memperkuat demokrasi ketika para pemimpin agama menjaga jarak dengan hatihati, dengan tidak pernah membiarkan diri mereka atau ideal-ideal mereka disubordinasikan terhadap tingkah para penguasa atau progam partai.89 Jika melakukan yang sebaliknya, yakni para pemimpin agama tidak hati-hati, tidak menjaga jarak serta menyebabkan nilai-nilai ideal agama menjadi tersubordinasikan, untuk mendorong lembaga-lembaga keagamaan kedalam negara adalah mengundang kemerosotan agama dan subordinasi perintah Ilahi terhadap politik para penguasa dan rezim yang rendah.90 Dalam perspekif Hefner politik sipil Islam bukan sesuatu yang sama dengan “pemisahan agama dan negara” liberalisme Barat. Liberalime Barat, paling tidak secara resmi, menekankan kebijakan agama tidak diijinkan masuk ke wilayah publik dan sebaliknya agama harus tidak lebih dari persoalan keyakinan personal. Baik dalam Islam maupun Kristen, sejarah telah menunjukkan bahwa demokratisasi dan modernitas tidak memerlukan privatisasi seperti itu. Sebaliknya sebagaimana di Amerika Serikat dan di Indonesia, demokrasi bisa diperkuat oleh tindakan-tindakan orang-orang beriman yang berusaha mewujudkan janji-janji mengenai harkat91 dan keadilan dari agama mereka. Dan pada saat yang sama peran publik agama jangan sampai mensubordinasi terhadap progam-progam politik. Muslim di Indonesia telah membuat sumbangan yang tak ternilai harganya bagi politik global dengan menunjukkan
bahwa
demokrasi beresonansi dengan nilai-nilai Islam yang terdalam. Perjuangan mereka telah menunjukkan bahwa pandangan Huntington dan orang lain yang seperti dia yang melihat bahwa antara Islam dan demokrasi itu bertentangan adalah keliru.92 Hefner memiliki pandangan bahwa tidak ada pola tunggal peradaban politik Muslim yang luas itu, yang ada adalah beragam organisasi dan cita-cita yang bersaing. Pembentukan bangsa 89
Robert W Hefner, Islam, Pasar, Keadilan, Yogyakarta, LKIS, 2000:xviii-xix.Lihat juga, Robert W. Hefner, Muslims and Democratization in Indonesia Civil Islam, Princetion University Press, 2000:214-222. 90 Dryzek, John S “Political Inclusion and the Dynamics of Demoratization,” American Political Science Review, Vol, 90 (1), September, 1996. 91 Robert W Hefner, Ibid, hal xx. 92 Robert W Hefner, Ibid, hal xxv.
dan globalisasi pasar era modern hanya meningkatkan kemajemukan dan persaingan politik Muslim, dan sebagai akibatnya benturan kebudayaan yang paling penting saat ini bukanlah antara peradaban yang berbeda, tetapi antara tradisi-tradisi politik yang bersaing di dalam negeri yang sama. Seperti persaingan antara visi-visi Islam yang berbeda yang kini menggantung dalam keseimbangan di Indonesia. Hefner memperkuat perspektifnya dengan meminjam proposisi yang dikemukakan oleh Dale Eickelmen dan James Piscatori,93 bahwa ciri-ciri penting politik muslim diseluruh dunia sekarang ini adalah perebutan penafsiran terhadap simbol-simbol dan penguasaan terhadap lembaga-lembaga yang melahirkan dan mempertahankannya baik formal maupun informal. Ciriciri persaingan yang menonjol adalah apa yang disebut sebagai “objektivikasi” pengetahuan keagamaan dan bersamaan dengan itu terjadi pluralisme wewenang keagamaan. Saat ini pengetahuan dan praktik Islam merupakan objek kepentingan bagi sejumlah orang yang kian meningkat jumlahnya. Pengatahuan Islam tidak lagi dimonopoli oleh sejumlah kecil ulama. Pada saat yang sama
gelombang Kebangkitan Islam
di Indonesia mirip dengan
kebangkitan di negeri-negeri Islam lainya,94 tetapi juga memiliki beberapa ciri yang berbeda. Terutama, progam pendidikan pada masa pemerintahan Soeharto berpengaruh kuat terhadap kebangkitan tersebut. Antara tahun 1965 dan awal tahun 1990-an presentase anak muda melek huruf dasar membubung tinggi dari sekitar 40% menjadi 90%. Peningkatan presentase orang yang menyelesaikan sekolah menengah lanjutan sama dramatiknya, dari kira-kira 4% pada tahun 1970 menjadi lebih dari 30% pada tahun 1994. 95 Namun ada beberapa hal yang berbeda menyangkut hubungan pendidikan massa dengan kebangkitan agama di Indonesia. Pertama, perluasan pendidikan setelah tahun 1966, ketika undang-undang pendidikan nasional menetapkan bahwa semua siswa 93
yang menjalani
Eickelmen Dale F dan James Piscatori, Muslim Politics, Princeton University Press, 1996:5 Perspektif lain tentang ‘Kebangkitan Islam’ misalnya dikemukakan oleh Bassan Tibi dalam The Challenge of Fundamentalisme :Political Islam and the New World Disoder (terjh) Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Islam, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2000:35. John L Esposito, Islam dan Pembangunan, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1992:262, lihat juga KH Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Bandung, PT Alma’arif, 1982.M. Natsir, Dunia Islam dari Masa ke Masa, Jakarta, Panji Masyarakat, 1982. 95 Semenjak dekade 1990-an hingga dasawarsa tahun 2000-an gejala adanya kebangkitan Islam secara permukaan antaralain nampak pada semakin meningkatnya orang Islam menunaikan Ibadah haji, tumbuhnya kesadaran di kalangan wanita Muslim untuk mengenakan Jilbab dengan berbagai modelnya, tumbuhnya lembaga pendidikan Islam Terpadu berupa SDIT, SMPIT, SMAIT, serta lahirnya lembaga keuangan syariah seperti Bank Muamalat, Bank Syariah hampir seluruh Bank konvensional yang ada di Indonesia, lahirnya ICMI, acara ceramah Islam di media TV, membanjirnya buku-buku Islam. 94
pendidikan agama kembali dan dilaksanakan dengan penuh semangat.
Kedua, pengaruh
terhadap kebangkitan tersebut adalah ekspansi lembaga-lembaga Islam yang terjadi pada saat banyak orang Indonesia sedang mencari kerangka moral baru untuk memahami dunia yang begitu cepat berubah, dimana perubahan dalam konsumsi, komunikasi, pendidikan, dan politik pasca 1966 merusak hirarkhi dan nilai-nilai berbasis lokal. Bahkan orang-orang desa di seantero nusantara diperkenalkan dengan gagasan-gagasan politik yang disebarkan secara nasional. Peningkatan kehadiran negara dan matinya pembatasan struktur politik tahun 1950-an yang berbasis partai juga berperan memperlemah struktur patronase dan prestise lokal serta indentitas budaya yang suatu ketika pernah menjadi bagiannya. Ketiga, pengaruh terhadap kebangkitan Indonesia terkait dengan memuncaknya kekuatan negara dan melemahnya tradisi lokal. Pada posisi ini Islam bagi kebanyakan orang Indonesia dilihat sebagai alternatif yang aman bagi struktur politik yang sangat ketat. Sepanjang Orde Baru, masjid-masjid, sekolah-sekolah, dan penerbitan Islam menawarkan kepada orang Indonesia sebagai kesempatan terbaik untuk diskusi-diskusi terbuka mengenai isu-isu publik. pada saat itu Orde Baru memberlakukan pembatasan ketat terhadap semua bentuk partisipasi publik. Meskipun ada campur tangan pemerintah, tetapi organisasi Islam membuktikan dirinya mampu mempertahankan derajat otonomi yang lebih besar vis-a-vis negara daripada kebanyakan organisasi publik. Keempat kebangkitan Islam terkait dengan upaya negara untuk membatasi bentuk-bentuk ekspresi keagamaan. Meskipun kebangkitan Islam di Indonesia menyumbang ”fragmentasi wewenang keagamaan”, seperti terlihat pada banyak negara Islam yang lain, suasana keagamaan juga menunjukkan karakterisitik yang menyatu dan memiliki standar tertentu. Yang terpenting dari hal ini ialah lahirnya kesan yang jelas mengenai kebijakan negara tentang enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Konghuchu) sebagai pilihan yang syah bagi para warga negara.96 Perspektif tentang Gerakan Da’wah Islam dipandang bermanfaat untuk dapat memahami berbagai variasi strategi yang dipilih oleh gerakan-gerakan dakwah Islam yang hidup di Indonesia.97 Dengan memiliki perangkat analisis tentang berbagai varian gerakan dakwah peneliti akan memiliki kemungkinan untuk memahami serta memposisikan dengan benar
96 97
Robert W Hefner, Ibid hal 4-7. Lihat Shalah Shawi, Prinsip-Prinsip Gerakan Dakwah, Pen. Intermedia, Solo, 2002.
Gerakan Dakwah Tarbiyah. Sebagaimana diketahui diluar Gerakan Dakwah Tarbiyah di Indonesia juga hidup Geakan Salafi, Jamaah Tablig, Hizbur Tahir, Majelis Mujahidin, Muhammadiyah, NU, Persis, Al Irsyad, dll. Istilah Gerakan Dakwah dari sisi etimologinya berasal dari kata “gerakan” atau harokah dan
“dakwah”. Kata gerakan memberi makna gerak dan tolakan. Gerakan pada dasarnya
mempunyai tujuan dan arah98. Definisi gerakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa gerakan adalah pergerakan, usaha, atau kegiatan dalam lapangan sosial, politik, dan lain sebagainya.99 Sedangkan dakwah dakwah (ad-da’wah) secara lughot atau bahasa berarti mengajak dan menganjurkan untuk melakukan sesuatu, sementara secara istilah berarti suatu aktivitas menyampaikan sekaligus mengajarkan Islam kepada manusia serta berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.100 Gerakan dakwah
secara esensial dapat
diartikan sebagai upaya secara bertahap untuk melakukat perubahan pada masyarakat (social recontruction), dari masyarakat yang jahiliyah menuju suatu tatanan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah yang diajarkan dalam kitab suci dan sebagaimana dilaksanakan oleh para Nabi.101 Menurut Ummu Yasin, dakwah adalah mengajak manusia kepada Allah dengan hikmah dan nasihat yang baik, sehingga mereka meninggalkan thaghut dan beriman kepada Allah agar mereka keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam.102 Sulthon Ja’far,103 mengemukakan bahwa dakwah pada hahekatnya merupakan proses untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar mereka berubah dari satu kondisi yang kurang baik kepada kondisi yang lebih baik, sehingga dakwah berintikan pada pengertian mengajak manusia untuk berbuat kebajikan dan menghindarkan diri dari keburukan. Ajakan tersebut dilakukan dengan cara yang lemah-lembut dan menyejukkan serta bertujuan demi tegaknya agama Islam dan berjalannya sistem Islam di dalam kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Dakwah (Islam) sebenarnya bertujuan untuk "menghidupkan" atau "memberdayakan", sehingga masyarakat memperoleh momentum untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan serta menimbulkan suasana yang kondusif bagi tegaknya nilai-nilai agama. Dengan demikian 98
Musththafa Manshur, Fiqudda’wah, Syamil, Jakarta, 2001.h. 74 KBBI, 1991: 312 100 Materi perkuliahan Fiqh Dakwah TTs Sleman, 3 Maret 2006). 101 Muhammad Nuh, Metode Dakwah bil Hikmah, Bandung, Robbani Press, 1997. 102 Ummu Yasin, Materi Tarbiyah Panduan Kurikulum Da’i dan Murabbi, 2002, h. 210 103 (http://www.amanah.or.id/detail.php?id=745/4 Oktober 2006) 99
dakwah berada pada titik upaya untuk mengembangkan suasana yang mendorong terciptanya rahmah dan kedamaian bagi alam semesta. Sedangkan Ciri-ciri dakwah adalah sebagai berikut: a) Orang yang bernuansa ketuhanan b) Islam sebelum organisasi c) Komprehensif tidak sebagian d) Modern tidak kuno e) Lokal dan internasional f) Ilmiah-memberikan kesadaran Islam g) Pandangan Islami h) Kekebalan Islam (penguasaan teori, moral, dan amal) i) Perubahan total bukan tambal sulam-pembeda haq dan bathil-takwa.104 Sasaran dakwah meliputi empat hal, yaitu: a) Membantu manusia untuk beribadah kepada Alloh SWT dan memiliki komitmen terhadap Islam b) Membantu manusia terjadinya proses saling mengenal diantara mereka yang bertemu dalam dakwah c) Merubah kondisi masyarakat yang tidak islami (jauh dari Islam) menjadi islami d) Mentarbiyah pribadi seorang muslim dengan tarbiyah Islamiah yang benar. Menurut Hasan Al Banna105 mengemukakan bahwa aktivitas dakwah akan melalui tiga tahap, yaitu: tahap pengenalan (ta’rif), tahap pembentukan (takwin), dan tahap pelaksanaan (tanfidz). Sedangkan obyek dakwah (mad’u) adalah pertama, semua umat manusia, tanpa membedakan ras, etnis maupun kebangsaan (ummatan da’wah) dengan tujuan agar mau memeluk Islam serta hidup dalam naungan Islam hingga pada akhirnya bersedia berjuang menegakkan risalah dan din Alloh dalam kehidupan. Kedua, komunitas muslim yang telah menerima Islam sebagai agamanya (ummatan ijabah) yang bertujuan untuk mempertahankan agar komunitas ini semakin kokoh imannya, meningkat amalnya, serta bersama-sama mewujudkan kehidupan yang islami. Pada hakikatnya Islam merupakan sistem hidup yang lengkap dan sempurna yang akan memotivasi setiap muslim untuk memasukinya secara keseluruhan. Kesempurnaan minhaj (pedoman) tersebut meliputi: Pertama, asasnya adalah aqidah (syahadat dan rukun iman). Kedua, bangunan Islam yaitu ibadah (rukun Islam). Ketiga, penyokong/penguatnya adalah jihad atau amar ma’ruf nahi mungkar dan dakwah. Harokah dakwah memiliki urgensi dalam upaya pembinaan masyarakat Islam dibutuhkan harakah (gerakan) Islamiyah yang wa’iyah (sadar), yakni dengan pendirian harakah-harakah
104
Ummu Yasmin, Materi Tarbiyah Panduan Kurikulum Dai dan Murobbi, Solo Media Insani Press, 2002: 218219 105 WAMY, Gerakan-Gerakan Keagamaan, 2002: 12
Islamiyah atas dasar kesadaran Islam yang sahih, universal dengan mengembangkan dakwahnya ke segala lapisan masyarakat sehingga dapat menumbuhkan asas pada aqidah dan syari’at sebagai manhaj (pedoman) dalam kehidupan.106 Gerakan Dakwah menurut Abu Ridha107 “Gerakan ... yang mencita-citakan tegaknya risalah dan din Alloh secara utuh dengan senantiasa memberikan perhatian melalui program pemberdayaan dan pembinaan kader Islam yang memiliki bobot, kualitas, dan nilai kekuatan”. Perubahan yang diinginkan dengan dilakukannya dakwah dalam suatu masyarakat dari sudut pandang dakwah Islam merujuk pada dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya, yang meliputi: perubahan pada aspek pemikiran, orientasi, sikap, perasaan yang berkaitan dengan nilai-nilai, pandangan hidup yang menyangkut hubungan manusia dengan Penciptanya (aqidah), perubahan pada aspek perangai-moralitas masyarakat, baik dalam hubungan antar individu maupun individu dengan masyarakat (akhlaq), perubahan pada struktur lembaga kemasyarakatan serta lembaga pemerintahan, yakni dari struktur yang tiran-lalim ke arah struktur yang lebih memihak kepada keadilan bagi semua warga masyarakat (umat pada umumnya). Selain itu menyangkut pula perubahan lembaga ekonomi, terutama sistem ekonomi riba menjadi sistem ekonomi Islam, perubahan sistem pendidikan, perubahan sistem kebudayaan serta perubahan di bidang militer. Hal tersebut sesuai dengan visi dakwah, yakni melaksanakan perubahan pada masyarakat secara bertahap dalam segala aspek kehidupan sesuai dengan ketentuan Alloh. Diskusi tentang tantangan yang dihadapi oleh ummat beragama termasuk Ummat Islam untuk meningkatkan kualitas hidup, dapat dilihat dari berbagai perspektif. Jika didekati dari perspektif religio politik. --Pilihan pada perspektif ini, antara lain didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk konteks da’wah di wilayah politik108-- (perjuangan untuk meraih, mempertahankan, melestarikan posisi jabatan publik di pemerintahan).109 Dibalik persoalan politik ini, di dalamnya
106
Hasan bin Falah Al-Qoththoni, Pedoman Harokah Islamiyah, Solo, Pustaka Mantiq, 1994: 245 Abu Ridho, Pengantar Pendidikan Politik dalam Islam Syamil Cipta Media, Bandng, 2002. h. 2. 108 Lihat, Abu Ridha, ‘ Amal Siyasi, Gerakan Politik dalam Dakwah, Pen.Syaamil, Bandung, 2004. Lihat juga Abu Ridha, Manusia dan kekhilafahan, Pen.Syaamil, Bandung, 2004 109 Pengertian politik dimaknai sebagai power struggle merujuk pada definisi klasik seperti dikemukakan oleh Harlord Laswell, Politic : Hwo, gets what and how? Ahli yang lain memahami politik sebagai proses pembuatan policy, proses mempengaruhi pembuatan keputusan politik, politik juga dipahami sebagai kebaikan bersama (masalah etik dan moralitas) ada juga yang memahami politik adalah siyasah atau pengaturan persoalan ummat, pendayagunaan seluruh potensi yang Allah berikan kepada manusia untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh Ummat Manusia, untuk tegaknya risalah Allah. Lihat Ustman, Pendidikan Politik Islam, Intermedia, Solo, 2001. 107
ada perebutan sumber-sumber kekuasaan politik yang dapat berupa ekonomi, pertarungan nilai, simbol-simbol, identitas, moralitas, policy, struktur, kultur, serta kompetensi antar aktor. Kegiatan da’wah di wilayah politik di Indonesia sering dipersepsi sebagai kegiatan politik yang menggunakan simbol jubah agama serta dijustifikasi atas nama keyakinan agama. Ada semacam aksioma akan terjadinya politisasi agama, memanfaatkan simbol agama dalam wilayah perjuangan politik. Sekalipun ada fakta emperis bahwa tidak semua keterlibatan symbol agama akan berujung pada politisasi agama. Kegiatan politik yang didasarkan pada nilia-nilai agama, prinsip-prinsip ajaran
agama menjadi panduan dalam kegiatan politik, secara subtantif
dan simbolik. Dalam batas tertentu sebenarnya politisasi agama adalah merupakan warisan dari politik Islam Hindia Belanda yang dibuat oleh Kolinial Belanda dalam rangka menguasai dan mempertahankan kekuasaanya di Indonesia..110 Yang kemudian ternyata model kebijakan politik yang dibuat oleh Belanda, juga diteruskan oleh Pemerintah penggantinya baik oleh Jepang,111 maupun oleh Pemerintahan Orde Lama jaman Soekarno maupun Pemerintahan Orde Baru, dalam derajat tertentu juga diteruskan oleh kebiajakan pemerintahan hasil reformasi politik tahun 1998 hingga memasuki awal abad ke-21.
Demikian juga akibat politik pecah belah yang
dirangkai dengan politik belah bambu112, masih dirasakan akibatnya di Indonesia. Dalam kaitan dengan metaforposa gerakan da’wah Islam ke gerakan politik Islam, penelitian ini, memfokuskan diri pada pembahasan pengaruh bentuk (model pendidikan politik) pada pergeseran strategi gerakan da’wah Islam dari gerakan da’wah tarbiyyah ke gerakan politik (Partai politik Islam), Da’wah secara essensial dapat diartikan sebagai upaya secara bertahap untuk melakukan perubahan masyarakat (social reconstruction), dari masyarakat yang jahiliyah113 menuju suatu tatanan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai yang Allah ajarkan melalui kitab sucinya dan sebagaimana dieksperimenkan oleh para Nabi.114 110
Lihat Hans Scharer, Ngaju Religion The Conseption of God Among South Borneo People, The Hague-Marthinus Nijhoff, 1963:160. Lihat juga Disertasi Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, buku ini secara mendalam membahas kebijakan Pemerintah Hindia Belanda khususnya yang berkaitan dengan kebijakan politik untuk ummat Islam, kebijakan ini terkait langsung dengan upaya Belanda untuk tetap mempertahankan kekusaanya di Indonesia dengan melakukan politik devide et impera, termasuk memecah belah umat Islam dengan etnis tertentu atau dengan hukum adat. 111 Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Pustaka Jaya, Jakarta, 1980:165. 112 Lihat, Ahmad Syafei Maarif, Islam dan Politik Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 Gema Insani Press, 1996, Bandung. 113 Kata Jahiliyah, adalah suatu istilah khusus yang digunakan di dalam al Qur’an untuk menunjuk kepada kebodohan manusia karena kesombongannya menolak aturan, pedoman kehidupan (adienul haq) yang diberikan oleh Allah dan kemudian menggunakan nafsu dan produk pikirannya sendiri yang sangat terbatas kemampuanya,
Perubahan yang diingginkan dari suatu masyarakat yang dilakukan da’wah terhadapnya dari sudut pandangan da’wah Islam merujuk kepada da’wah Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, Saw dan para sahabatnya, yang kemudian diteruskan oleh para ulama adalah meliputi; Perubahan pada aspek pemikiran, orientasi, sikap, perasaan yang berkaitan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, yang menyangkut hubungan manusia dengan pencitanya (aqidah); Perubahan pada aspek perangai-moralitas masyarakat, baik dalam hubungan antara individu dengan individu maupun individu dengan masyarakat (akhlaq); Perubahan pada struktur lembaga kemasyarakatan serta lembaga pemerintahan yakni dari suatu struktur lembaga masyarakat atau pemerintahan yang tiran-lalim dirubah menjadi suatu struktur lembaga masyarakat-pemerintah yang lebih memihak kepada keadilan bagi semua warga masyarakat (ummat pada umumnya). Lembaga-lembaga negara dan masyarakat yang ada bukanlah alat bagi penguasa untuk menundukkan rakyatnya tetapi adalah merupakan instrumen untuk menjamin tegaknya keadilan dan terpenuhinya hak-hak rakyat serta tertunaikannya kewajiban pemerintah. Perubahan struktur masyarakat dan struktur pemerintahan negara serta turunan dari perubahan tersebut adalah juga perubahan lembaga ekonomi dari system ekonomi riba menjadi system ekonomi yang sesuai dengan Islam, perubahan system pendidikan, perubahan system kebudayaan, perubahan ilmu, perubahan dibidang militer. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa visi dari da’wah Islam adalah untuk melakukan perubahan masyarakat, secara bertahap agar masyarakat dalam segala aspek kehidupannya sesuai dengan ketentuan Allah. Adapun yang menjadi sasaran da’wah (mad’u) secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni ummatan da’wah dan ummatan ijabah.115Yang pertama,ummatan da’wah ialah semua ummat manusia adalah menjadi sasaran da’wah Islam, tidak membedakan ras, etnis, kebangasaan, semua manusia menjadi sasaran untuk da’wah Islam dengan tujuan agar mau memeluk agama Islam serta hidup dalam naungan Islam dan pada akhirnya bersedia berjuang mengegakan terwujudnya kehidupan yang damai, selamat sebagaimana Islam ajarkan. Sedangkan ummatan Ijabah adalah komunitas muslim yang sudah menerima agama Islam sebagai agamanya. Da’wah kepada komunitas ini adalah untuk mempertahankan agar komunitas
sehingga berakibat munculnya banyak bencana dimuka bumi, baik dibidang moral, ekonomi, politik, budaya, militer. Jahiliyah termasuk didalamnya tashawwur tertentu dan suluk tertentu yang merupakan derivat dari pandangan yang berujung pada sikap syirik kepada Allah. 114 Lihat Dr. Muh Nuh, Metode Da’wah bil Hikmah, Robbani Press, 1997. 115 Materi Studium General Amien Rais, di Yogyakarta, 1999.
ini semakin kokoh imannya, meningkat amalnya dan bersama-sama saling bahu membahu mewujudkan kehidupan yang Islami. Menganalsis tantangan Da’wah didalamnya juga terkait dengan pembicaraan problem yang dihadapi oleh ummat Islam. Perhatian pada problem yang dihadapi oleh Ummat Islam, didorong oleh suatu nilai penting yang berasal dari perinah Nabi Muhammad Saw, “Bukanlah termasuk golongan Umatku, orang yang tidak memiliki ikhtiman ‘perhatian yang serius’ atas persoalan ‘masalah’ yang dihadapi oleh orang Islam’. Telaah terhadap problematika yang dihadapi oleh Ummat Islam, didalamnya mengasumsikan disatu sisi adanya “suatu kondisi ideal Ummat Islam” yang ingin diwujudkan sebagaimana dikehendaki oleh Allah melalui syare’at Islam sementara itu disisi yang lain ada “realitas objektif komunitas Muslim”,116 yang sering kali tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh Syare’at Islam. Persoalan semacam ini sesungguhnyalah secara subtansial telah dirasakan semenjak generasi pertama Islam hinga kehidupan politik modern, yang berbeda adalah tingkat kesulitan persoalan serta kompleksitasnya, yang menuntut pemikiran dan kerja lebih serius. Kesenjangan antara kondisi ideal Islam dengan kondisi real Komunitas Muslim inilah, yang biasanya disebut dengan problema. Keterkaitan antara problematika ummat Islam dengan da’wah Islam - -da’wah, dapat dinyatakan bahwa da’wah oleh para pemikir gerakan Islam diposisikan sebagai salah satu solusi bertahap serta jalan keluar problematika yang dihadapi ummat Islam – disamping ikhtiar yang lain, yang juga satu rangkaian dan kesatuan dengan da’wah Islam. Dengan kata lain da’wah hanyalah sebagaian saja langkah yang harus ditempuh sebagai persiapan untuk menempuh langkah-langkah yang lain. Secara umum ummat Islam setelah hilangnya struktur politik “kekhilafahan Islam” menghadapi persoalan serius didalam menerapkan ajaran Islam. Keruntuhan khilafah Islam yang hukumnya wajib secara syari’ telah menyebabkan pelaksanaan syari’at Islam dibiarkan lepas tidak ada satu kekuasaan politik yang bertanggungjawab mengemban amanah tersebut.117 Keruntuhan kekhilafahan ini menimbulkan masalah-masalah lain yang merupakan derivat dari hilangnya struktur politik ummat Islam tersebut. Kepemimpinan, Keterbelakangan di bidang 116
Lebih lanjut lihat, Muhammad Qutb, Tafsir Islam atas Realitas, Yayasan SIDIK, Studi dan Informasi Dunia Islam Kontemporer, 1996:31-42. 117 Imam Al-Mawaardi, al-ahkamu Sulthoniyah wal wilayatu diniyah, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam takaran Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2000:15-18.
ilmu, kemiskinan, ukhuwah Islmiyah, aqidah ummat, hukum keluarga, perlindungan harta ummat Islam, perlindungan keamanan jiwa ummat Islam, kejernihan nasab orang Islam, kehormatan harga diri ummat Islam, semuanya menjadi terlantar terancam berbagai bahaya, dikarenakan hilangnya struktur politik “khilafah Islam”. Walaupun sebenarnya sebelum keruntuhan lembaga kekhilafahan ini ummat Islam dari dalam telah mengidap berbagai kelemahan, misalnya krisis aqidah yang bercampur dengan pemikiran heleinisme, hidup mewah, perselisihan antara tokoh dan golongan dalam tubuh umat Islam, kemunduran dibidang ilmu pengetahuan, ketinggalan dibidang ekonomi, militer, menurunnya akhlak disebagian kalangan Islam, kemaksiatan semakin terbuka, terpisahnya peran ulama atau bahkan disingkirnya ulama dari masalah pemrintahan di negeri-negeri yang penduduknya beragama Islam. Dengan demikian dalam rumusan yang lain kiranya dapat diterima proposisi yang menyatakan bahwa secara umum demikian juga di Indonesia selalu ada persaingan wacana antara sebagaian ummat Islam yang menginginkan untuk kembalinya struktur religio politik Islam, yang itu dipandang sebagian dari instrumen Gerakan Da’wah Islam dengan komunitas lainya yang tidak mendukung hadirnya kembali struktur religio politik. Baik pada tingkat nasional maupun lokal ada komunitas yang tidak setuju dengan hadirnya kembali struktur religio politik. Dalam derajat tertentu menurut kondisi di Indonesia juga menunjukan kecenderungan yang hampir sama sebagaimana terjadi pada tingkat internasional. Dilihat dari perspektif Gerakan da’wah Islam, kondisi ideal Ummat Islam, keberadaan ummat yang ideal “Khoiro ummat” berhubungan erat dengan aktivitas da’wah, serta sebaliknya munculnya ummat yang lemah, kehancuran ummat disebabkan karena meninggalkan da’wah.118 Pesan ini antara lain dapat dicermati pada firman Allah dalam Surat Ali Imron ayat 110, “Kamu adalah ummat yang utama ‘ khoiro ummat” yang dilahirkan diantara manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah”. Kemudian dalam surat Ali Imron ayat 105, “Hendaklah ada golongan diantara kamu, “ummat’ yang menyeru kepada ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, itulah mereka orang-orang yang sukses”. Dalam konteks persoalan Ummat Islam di Indonesia, wilayah da’wah Islam penting sekali untuk memiliki akses pada pembuatan kebijakan yang berkekaitan dengan kepentingan 118
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dinyatakan , “sesungguhnya kalian menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemunkaran atau ( jika diam) Allah akan memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang jahat ( yang mengendalikan kehidupanmu) lalu orang-orang yang baik dinataramu berdo’a kepda Allah akan tetapi do’anya tidak dikabulkan”.
ummat Islam di Indonesia. Ummat Islam dan khususnya para aktivis gerakan Islam, memaknai firman Allah (teks Alquran) diatas, bahwa syarat penting untuk mewujudkan khoiro ummat, ummat yang sukses adalah mengharuskan adanya da’wah, yaitu yang pada intinya menyuruh orang mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah orang dari berbuat munkar.119 Demikian juga pertolongan Allah akan diberikan kepada orang-orang yang meneggakan da’wah sebagaimana termaktub dalam Surat Al Haj
ayat 40-41. Lengkapnya firman Allah tersebut berbunyi,
“sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong agama-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar maha kuat dan maha perkasa. (Hamba-hamba Allah itu ialah) orang-orang yang jika tegakkan kedudukanya mereka benar-benar mereka mendirikan Sholat, menunaikan zakat, menyuruh yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan kepada Allah kembali segala urusan. Pada hakekatnya da’wah Islam merupakan aktualisasi iman yang dimanifestasikan dalam sautu sistem kegiatan manusia beriman, dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur, untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual (infirodi) serta sosial (jama’i) dalam rangka menegakkan terwujudnya ajran Islam dalam semua segi kehidupan manusia dengan menggunakan cara tertentu.120 Dengan merujuk pada perspektif da ‘wah, sistem da’wah Islam memiliki fungsi; 1. Meletakan dasar ekesistensi masyarakat Islam 2. Menamnamkan nilai-nilai keadilan, persamaan, persatuan, perdaimaian, kebaikan dan kemerdekaan. 3. Sebagai inti penggerak perkembangan masyarakat. 4. Membebaskan individu dan masyarakat dari sistem kehidupan yang zhalim (tiran dan otoriter) menuju sistem yang adil. 5. Menyampaikan kritik sosial atas penyimpangan yang berlaku ddalam masyarakat dalam rangka mengembangkan tugas nahi munkar. 6. Memberikan alternatif konsepsi atas kemacetan sistem sebagai inti penggerak. 7. Memberikan orientasi keislaman kegiatan ilmiah. 8. Merealisasikan sistem budaya yang berakar pada dimensi spiritual yang merupakan dasar ekspresi aqidah. 9. Meningkatkan keislaman masyarakat untuk menegakkan hukum. 10. Mengintegrasikan berbagai kelompok kecil menjadi suatu kesatuan ummat. 11. Merealisasikan keadilan dalam bidang ekonomi lemah.
119
Didin Hafidhuddin, Problematika Sosial dan Da’wah Ummat Solusi Islam atas Problematika Ummat, Gema Insani Press, jakarta, 1998:175-177. 120 Didin Hafidhuddin, Ibid, 1998:176.
12. Memberikan kerangka lingkungannya.121
dasar
keselarasan
hubungan
manusia
dengan
alam
Berkaitan dengan prinsip Gerakan dakwah, kiranya dapat dinyatakan bahwa umumnya di kalangan aktivis dakwah Tarbiyah berpegang pada suatu prinsip bahwa dalam rangka mencari solusi problematika yang dihadapi oleh ummat Islam. Persoalan yang berkaitan dengan da’wah sebagaimana dipaparkan di atas, untuk mempermudah sebenarnya dapat dilakukan klasifikasi kedalam persoalan yang bersifat individu (infirodi) dan persoalan yang bersifat masyarakat (jama’i). Persoalan-persoalan yang bersifat serta memiliki skup individu akan membutuhkan cara pendekatan dan pemecahan persoalan yang berbeda dengan persoalan yang bersifat kemasyarakatan ( sistem). Persoalan-persoalan yang sifatnya individual, misalnya seperti malas beribadah, pemarah, kecenderungan berbuat yang tidak bermanfaat, perasaan yang kasar, tidak mandiri, tidak rajin berlajar, cenderung mengabaikan amanah, malas sholat sunnah. Pendekatan cara penanganan hal tersebut titik beratnya lebih tergantung pada masing-masing individu walaupun dalam batas tertentu memang ada pengaruh lingkungan masyarakatnya. Sedangkan persoalan-persoalan yang bersifat kemasyarakatan (jama’i, sistem) pendekatan dan cara penangannya tidak bisa jika hanya dibebankan
kepada orang-perorang.
Sebagai contoh
pemecahan
masalah
bagaimana
menghentikan peredaran film porno, pemberantasan perjudian, pembelaan kepada orang-orang lemah, menciptakan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam, mempertahankan negeri dari serangan musuh, menciptakan sistem pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam. Sangatlah membutuhkan kerja sama, serta perencanaan yang matang, dibutuhkan organisasi yang kuat. Pendek kata untuk
memecahkan problematikan da’wah yang sifatnya keummatan (jam’ai)
membutuhkan gabungan berbagai sumber daya ummat Islam, baik aqidah, ilmu, dana, organisasi, jaringan, politik dan segala hal yang sekiranya dapat digunakan untuk mendukung terealisasikannya tujuan da’wah.122 Berkaitan dengan wilayah persoalan dakwah yang bersifat individual dan yang bersifat masyarakat, kiranya perlu diberikan catatan bahwa dalam tataran telaah kedua hal ini dapat dibedakan, namun dalam perwujudannya antara kedua hal tersebut merupakan suatu urutan
121
Didin Hafidhuddin, Ibid, 1998:177 Merujuk pada perspektif yang dikemukakan oleh Mustofa Masykur, berkaitan dengan pemecahan problematika Ummat Islam. 122
kontinum yang tidak dapat dipenggal-penggal karena kedua hal terssebut merupakan suatu rangkaian. Artinya pemecahan persoalan da’wah yang sifatnya
kemasyarakatan (ama’i)
sangatlah ditentukan oleh keberhasilan di dalam memecahkan persoalan da’wah yang bersifat individu, demikian juga kerusakan yang dialami oleh seorang individu dalam batas yang jauh juga dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat, dimana individu itu berada, disamping juga karena faktor kelemahan yang berasal dari individu yang bersangkutan. Karena itu sesungguhnya perbaikan masyarakat (menuju khoiro ummat) haruslah didahului oleh pembinaan dan perbaikan masing-masing individu Muslim, yang dibina dalam suatu keluarga Muslim. Setelah dapat diwujudkan kondisi masyarakat yang baik barulah dapat diwujudkan suatu tata dunia baru yang sesuai dengan ajaran Islam.123 Perspektif lain tentang problema dan solusi dakwah Islam yang dikemukakan oleh Yusuf Qordhowi124 adalah berkaitan problema pemahaman Islam, sangatlah penting untuk pertamatama diperhatikan masalah ‘al Fahm’.125 Sementara itu Hassaan al Banna, menyatakan yang dimaksud dengan Faham (pemahaman) adalah bahwa engkau yakin fikroh kita adalah fikroh Islamiyah yang bersih. Hendaknya engkau memahami Islam, sebagaimana kami memahaminya dalam batas-batas ushul al ‘isyrin. Diantara prinsip itu prinsip yang pertama menyatakan, Islam adalah sistem yang menyeluruh, yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara meliputi negara dan tanah air, pemerintah dan ummat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan alam, penghasilan, dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana juga ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih.126 Dari perspektif Gerakan Dakwah sebagaimana diuraiakan kiranya dapat dipinjam untuk memahami bahwa Partai Keadilan Sejahtaera (PKS) yang berasal dari Gerakan Dakwah Tarbiyah, memiliki suatu pemahaman bahwa keterlibatan dalam wilayah politik adalah merupakan bagian dari dakwah dalam kerangka untuk memperbaiki dan menyelesaikan
123
Gagasan model pemecahan prolematika Ummat Islam dengan pentahapan seperti dikemukan dalam tulisan ini biasanya dirujukkan pada tahapan da’wah yang diterapkan oleh Ikhwanul Muslimin, yang kini banyak memberikan inspirasi model gerakkan da’wah diberbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Misalnya lihat buku, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin I, Intermedia, Solo, 1997:33-43. 124 Abdulaziz Othman Altwaijri, Pendahuluan dalam Yusuf Qordhowi, Towards A Sound Awakening, ISESCO, 1418/1977:8. 125 Yusuf Qordhowi, Menuju Kesatuan Fikrah Aktivis Islam, Robbani Press, Tanpa Tahun hal 37. 126 Hassan Al Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin II, Intermedia, Solo, 1977:180-181-
persoalan ummat (qodhoyatul ummat). Aktivitas dan keterlibatan dalam wilayah politik dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wilayah dakwah Islam. 3. Perspektif Gerakan Sosial dan Social Network Perspektif teoritis dari gerakan sosial dan social network dapat dipinjam untuk menjelaskan bagaimana perluasan basis dukungan yang terjadi pada Gerakan Dakwah Tarbiyah sejak mulai lahirnya gerakan ini di Indonesia pada tahun 1980-an. Perluasan basis dukungan Gerakan Dakwah Tarbiyah yang semula berasal dari aktivis dakwah Kampus (komunitas di sekitar kampus, urban, terpelajar) kemudian mengalami proses penyebaran melalui cara mobilitas horisontal dan mobilitas vertikal pada 3 sektor (sektor pivat, publik, dan sektor ketiga). Dalam batas tertentu proses penyebaran ini telah berhasil memperluas basis dukungan Gerakan Tarbiyah
namun pada sisi yang lain perluasan tersebut juga telah menimbulkan
semacam resistensi pada beberapa gerakan keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Dari teori gerakan sosial dan social network juga dapat dijelaskan bagaimana hal-hal melalatarbelakangi baik yang berasal dari internal gerakan ini maupun yang berasal dari eksternal-- khususnya peluang politik dari yang tersedia-- Gerakan Tarbiyah
yang telah
mendorong gerakan ini melakukan transformasi menjadi sebuah partai politik. Dalam kaitan dengan teori gerakan sosial berikut ini dikemukakan beberapa pandangan dari para sarjana tentang perspektif tersebut. Maryjene Osca (2000)127 menyatakatan adanya kritik terhadap teori gerakan sosial kontemporer yang mengandung muatan bias liberal Barat. Bias liberal Barat itu paling tidak terkait dengan dua hal, pertama, asumsi model mobilisasi dan proses politik dalam frame work legal dari negara demokrasi; kedua, basis empiris untuk mengembangkan konsep teoritis karena” kesempatan dan siklus protes muncul dari studi tentang berbagai gerakan dalam demokrasi liberal. Maryjene Osca menyajikan review pustaka
terkini tentang pengaruh format negara
otoriter terhadap outcome dan emergensi gerakan. Point yang dibahas diantaranya perbedaan negara demokrasi dan non demokrasi yang mungkin menjadi sumber perbedaan proses mobilisasi sosial, bukti emperis tentang domain oposisi di negara otoriter. Pengaruh kesempatan politik terhadap gelombang protes dan network, outcome dari setiap gelombang protes adalah 127
Osa Maryjane, Troublemakers and Counter-Revolusionaries: Network Development and Protest Cycles in Authpritarian Regimes, Departement of Government and International Studies University of South California, Columbia, SC, 29208 USA, June 2000.
penindasan karena perbedaan politik dan pembubaran mayoritas organisasi oposisi oleh negara. Walaupun ada perbedaan penting diantara mobilisasi-mobilisasi dalam hal sektor masyarakat terkait resistensi terhadap rejim.128 Sementara itu Shock menyatakan bahwa kesempatan politik di negara nondemokrasi memiliki empat dimensi variabel yang mempengaruhi mobilisasi gerakan: represi, serikat yang berpengaruh, pembagian elit dan kebebasan pers. Dalam kasus Filipina dan Birma, tindak kekerasan negara terhadap rakyat menjadikan rejim delegitimate yang memunculkan rasa ketidakadilan dan mobilisasi. Tapi di Birma, represi dipadukan dengan tiadanya pembagian elit, kurangnya serikat yang berpengaruh dan informasi yang terbatas. Karenanya tindakan negara menjadi efektif dan rejim bertahan. Di Filipina sebaliknya, serikat berpengaruh (termasuk Catholic Church, pemerintah Amerika dan gerakan sosial transnasional), pembagian di kalangan militer, munculnya pers alternatif dan network komunikasi Catholic Church yang tak tersensor memunculkan gerakan untuk menghadapi tekanan koersi negara.129 Kesimpulan Shock untuk kedua kasus itu adalah sebagai berikut. Pertama, kesempatan politik dapat dipakai untuk menganalisis mobilisasi dan outcome di negara nondemokrasi.Selain itu, analisis mobilisasi gerakan di negara otoriter memperkuatnya karena menyoroti dimensi yang hilang karena kurangnya variasi di antara kasus-kasus demokrasi. Misalnya, perubahan kontrol negara terhadap media massa selama pemerintahan Marcos menjadi aspek penting dalam kesempatan politik di Filipina. “Terbukanya kran informasi menurunkan diskrepansi kekuasaan antara penentang dan negara dan ini menyebabkan gerakan penentang. Kebebasan pers...bisa mempengaruhi dimensi kesempatan terkait perlawanan politik”. Point analisis Shock kedua berhubungan dengan konteks internasional dalam bentuk mencari serikat berpengaruh dengan beralih pada gerakan transnasional atau pemerintah asing. Dimensi kesempatan politik berinteraksi dengan banyak cara. Dalam hal ini Shock mengusulkan isu mobilisasi sebagai akibat dari multi sebab tambahan (Shock, 1986).130 Perspektif tentang kesempatan politik dan gerakan sosial dikemukakan oleh Mueller. Ia menyatakan bahwa berdasar data event protes di 4 surat kabar (Barat), Mueller menjelaskan jenis kekecewaan dari kelompok protes dan frekuensi klaim pada siklus protes 1989. Mueller bermaksud meneliti apakah pola claimsmaking di Germani Democratic Republic (GDR) sesuai 128
Osa Marjane, ibid, 2000. 1 T. Skocpol, Bringing the State Back In, Cambridge: Cambridge University Press, 1985,Pp 3-37. 130 T. Skocpol, Bringing the State Back In, Cambridge: Cambridge University Press, 1985,Pp 3-37. 129
dengan model kompetisi Tarrow (1989) tentang radikalisasi klaim di dalam siklus protes. Kesimpulannya adalah: “...dibukanya kesempatan politik menyebabkan sukses awal mobilisasi yang diikuti dengan peningkatan jumlah dan tipe Social Movement Oraganizationas (SMC). Di saat tercapai puncak mobilisasi, dihasilkan klaim dan taktik baru. Setelah mobilisasi menurun, persaingan pendukung dan pengaruh meningkat mengarah pada institusionalisasi dan sekaligus radikalisasi”.131 Mueller juga mendapat hal yang serupa dengan model Tarrow dalam hal tuntutan demonstran Jerman Timur. Misalnya, puncak mobilisasi berkorelasi dengan periode paling tinggi dalam pembentukan klaim. Ini didukung oleh proses difusi berupa inovasi taktik dan kekecewaan. Selain itu, evolusi kekecewaan tidak dapat disebut sebagai bentuk “radikalisasi” gerakan. Menurut Mueller, “penjelasan radikalisasi klaim menurut Tarrow di Italia dan della Porta di Italia dan Jerman didasarkan pada teori tentang kompetisi kelompok yang tidak dapat diterapkan di Republik Demokratik German (GDR)” (Mueller, 1999: 545).
132
Divergensi
menurut Mueller adalah ciri negara Leninis yang mempengaruhi pola mobilisasi. Batasan terhadap aksi kolektif dari rejim Leninis berakibat pada: 1) akumulasi kekecewaan, 2) repertoire aksi bersama yang disepakati, dan 3) sejarah khusus perjuangan yang membentuk budaya politik oposisi. Model-model gerakan sosial umumnya dapat diterapkan pada kasus mobilisasi di negara nondemokrasi. Meskipun terbatas, terdapat studi mengenai mobilisasi di negara nondemokrasi misalnya di Birma, Filipina, Republik Demokratik German dan Czechoslovakia. Dari penelitian Shock (1999), Mueller (1999) dan Glenn (1999) diperoleh 3 isu teoritis. Pertama, model kesempatan politk/proses politik dominan dalam teori gerakan sosial kontemporer dapat diterapkan untuk kasus di negara nondemokrasi; selanjutnya, dua faktor lain yang penting bagi outcome dan munculnya gerakan adalah: 1) level represi negara; dan 2) perubahan kontrol negara terhadap media dan informasi. Sementara itu, Glenn memposisikan network sosial sebagai faktor penjelas tapi dua penulis lainnya menekankan pada network untuk mobilisasi di bawah otoritarianisme. Shock menyatakan pentingnya network komunikasi Katholik di Filipina; Mueller pada demonstrasi di 131
Carol Mueller, “ C;laim Radicalization” The 1989 Protest Cycle in German Democratic Republic, Social Problems. Pp. 525-547. Tarrow, Sidney, Democracy and Disorder, 1989. 219-241. 132 Carol Mueller, “Claim Radicalization” The 1989 Protest Cycle in German Democratic Republic, Social Problems.14,4 (November) Pp. 525-547.
Republik Demokratik German (GDR). Fungsi network sosial sebagai fondasi mobilisasi gerakan berperan lebih besar di negara nondemokrasi dengan alasan sebagai berikut. Pertama komunikasi tertulis dan ikatan interpersonal penting untuk terjadinya difusi aksi bersama (Tarrow, 1998a).133 Ketika media dikuasai negara, maka network interpersonal (dan interorganisasional) menjadi satu-satunya cara untuk memunculkan komunikasi yang tidak terkena sensor. Kedua, perkembangan network berhubungan dengan aktivitas protes pada rejim otoriter. Karena baik terbentuknya organisasi independen maupun terjadinya protes dibatasi oleh level represi negara, maka pendirian organisasi dan event protes harus memberikan respon lebih langsung kepada perubahan dalam kesempatan politik. Selain pentingnya network dan perkembangannya terkait mobilisasi dalam konteks otoriter, terdapat penelitian yang menunjukkan eksistensi (atau struktur) aktual dari network oposisi. Sebagai contoh, Glenn (1999) menyebutkan network terkait dengan kelompok Czechoslovakia lain dan memberikan bukti anekdotal tentang kontak interpersonal yang menghubungkan organisasi dan kelompok informal. Tapi jika tidak ada mobilisasi yang terjadi di bawah pemerintahan otoriter tanpa network oposisi maka pasti diperlukan keterangan tentang ada/tidak adanya network. Tanpa data tentang ikatan network maka tidak mungkin dibuat banyak kesimpulan tentang cara network mempengaruhi mobilisasi gerakan di negara nondemokrasi. Telah terbukti bahwa persyaratan untuk perkembangan network dalam rejim Leninis yang stabil, bagaimana perubahan network oposisi dan bagaimana network yang terstruktur berinteraksi dengan kesempatan politik yang berpengaruh pada outcome mobilisasi alternatif.134 Manfaat Konsep teori untuk menjelaskan kelahiran Gerakan Dakwah ’Tarbiyah’ dan Transformasinya Gerakan Politik. Dengan merujuk pada perspektif teoritis yang dikemukakan oleh Osca, Mueller, Shcook, Glenn, dapat dipinjam tentang konsep bahwa dalam regim yang non demokratis –otoriter kemunculan gerakan sosial- gerakan protes dipengaruhi oleh tersedianya kesmpatan politik serta network interpersonal, net work sosial. Perspektif ini dapat dipinjam untuk menjelaskan kelahiran gerakan da’wah Tarbiyah yang lahir pada tahun 1980-an ketika regim otoriter Orde Baru masih berkuasa dan kemudian mengalami transformasi pada tahun 1998 ketika tersedia kesempatan politik serta dimilikinya net work interpersonal dan net 133
Tarrow, Sidney, The State and Opportunities: The Political Structure of Social movement,Pp 41-61. Power in Movement, 2nd ed. Combridge: Combridge University, 1998. Democracy and Disorder, 1989. 43-54. 134 Glenn, John K, Compating Challangers and Constested Outcomes to State Breakdown: The Velvel Revolution in Czecchoslovakia,” Social Force 78, 1 September:187-212.
work sosial. Dengan meminjam perspektif sebagaimana dikemukakan para pemikir gerakan sosial diatas
konteks
proses kelahiran Gerakan Dakwah Tarbiyah dan kemudian
transformasinya meknjadi Gerakan Politik dari sisi study genealogi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dapat didekati, memiliki keterpautan.
G. Metode Penelitian 1. Pendekatan Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. Mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh David Apter, menyatakan bahwa ada enam pendekatan dalam ilmu politik yaitu Filsafat Politik, Institusionalisme, Behavioralisme, Pluralisme, Strukturalisme, Developmentalisme.135Penelitian ini menggunakan pendekatan Strukturalisme. Pendekatan ini merupakan variasi dari Institusionalisme dengan Behavioralisme. Pendekatan ini menekankan teori pertukaran, analisa peranan, analisa kelas menurut kaum Marxis dan analisa Fungsional. Sedangkan lapangan studynya pada kelas dan elit, perubahan, revolusi, ideologi, dam posisi sosial, stabilitas dan integrasi. Pendekatan strukturalis merupakan pendekatan interdisipliner, karena berasal dari Ilmu Bahasa, Antropologi, Filosofi dan Sosiologi. Menurut Apter, analisa politik dengan pendekatan strukturalisme menggunakan dua metode, yaitu kontradiksi dan keseimbangan, yang pertama diperkenalkan oleh kaum Marxian, dan yang kedua oleh Emile Durkheim dan Talcott Parsons. Dalam penelitian menggunakan metode yang berada diantara metode kontradiksi dan metode keseimbangan. Sedangkan perspektif State dan society yang dicangkokan dalam penelitian ini berasal dari teori Negara Organis dan Hegemony Gramsci. Menurut teori ini, state dan society memiliki hubungan yang saling mengalienasi (sesuai dengan metode kontradiksi) akan tetapi juga saling membutuhkan (sesuai dengan metode keseimbangan) sebab dominasi state diperoleh dengan melemahkan society, melemahnya negara dipengaruhi oleh semakin kuatnya masyarakat. 2. Jenis Sumber Data Penelitian Menurut Afan Gaffar,136 dalam penelitian ada tiga jenis data penelitian yaitu data survey, data agregat serta data dokumenter. Dalam penelitian ini digunakan data yang berasal dari data
135 136
David Apter, Pengantar Analisa Politik, Jakarta, LP3ES, 1987:579-688. Afan Gaffar, dalam Jurnal Inovasi No.10 Tahun V-1992 hal 89.
agregat dan data dokumenter disesuaikan dengan data yang akan dicari. Jika dilihat dari sisi asal datanya maka penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder.137 3. Metode dan Analisa Data Sesuai dengan jenis data yang diperoleh, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Motode penelitian ini dapat berakar pada pada tradisonalisme atau fenomenological, keduanya sama-sama mementingkan orang (peneliti) sebagai instrumen penelitian.138 Dalam penelitian kualiatif, para peneliti tidak
mencari kebenaran (dalam artian teleologis) dan
moralitas, tetapi mencari pemahaman (understanding).139 Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif diantara alasannya adalah gejala yang diteliti lebih merupakan gejala sosial yang dinamis, selain itu subject matter (materi) dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan dinamika perilaku politik (politisi Partai Keadilan Sejahrtera PKS), yang terkait dengan proses tindakan yang ditunjukan oleh gejala-gejala berupa pemikiran, aksi-aksi yang dilakukan oleh politisi PKS. Peneleitian ini bekerja berdasarkan prinsip logika induktif, memecahkan masalah dengan menempuh cara berfikir sintetik dalam hal ini pembuktian kebenarannya bersifat apesteriori, cara berfikir sintetik berangkat dari berbagai pengetahuan dan fakta-fakta yang khusus atau peristiwa –peristiwa kongkrit. Kemudian merangkaikan berbagai fakta khusus ini menjadi suatu pemahaman yang bersifat umum. Atau dengan istilah lain, kesimpulan yang ditempuh melalui jalan indkutif, berangkat dari berbagi fakta dan peristiwa yang kongkrit, lalu dari berbagai fakta khusus itu kemudian ditarik generalisasi (pengetahuan yang bersifat umum).140 Dalam konteks penelitian ini, peneliti memiliki pertimbangan subyekitf bahwa peristiwaperistiwa perilaku politik yang terjadi pada PKS, adalah sedemikian kompleks dan baru dapat dipahami dengan baik apabila data dan informasinya dipaparkan secara lengkap dengan mengembangkan kategori-kategori yang relevan, termasuk dengan analisis interpretasinya.141 Penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologis, berusaha memahami makna peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Fenomelogis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Edmund Hussrl, yang menyatakan 137
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 1981, hal 241. Lexy J.Moleong , Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, 1991, hal 15-30,243. 139 Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Introduction to Qualitatif Research Methods, aphenomenological approach to Social Sciences, (John Willey and Sons 1975 ) hal 9.10. 140 Sutrisno Hadi, Metode Penelitian, 2000; 2.42. 141 Carhterine Marshall & Grotchen B Rossman, 1990. 138
bahwa objek pertama bagi filsafat adalah bukan pengertian tentang kenyataan melainkan kenyataan itu sendiri. Pendekatan ini untuk tanpa prasangka dan tidak bertitik tolak dari teori atau pandangan tertentu. Teori dimanfaatkan untuk membantu menghubungkannya dengan data, baik dalam pengumpulan data sampai analisa data.142 Orang-orang yang akan diteliti, dalam pandangan fenomenologi ditekankan pada aspek subyektif dari perilaku orang atau memahami fenomena sosial dari pandangan pelakunya. Peneliti berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para objek yang diteliti sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaiamana suatu pengertian yang dikembangkan (hidup) oleh mereka disekitar peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Atau dengan rumusan lain penelitian ini berusaha memaparkan apa saja tindakan yang dilakukan oleh politisi– aktivis partai (PKS) dan memahami secara personal dorongan dan keyakinan yang mendasari tindakan para aktivis PKS sebagaimana diyakini oleh (politisi PKS) memahaminya. Analisa terhadap data yang menjadi kasus studi ini didasarkan kepada dinamika internal organisasi. Betapapun organisasi yang menghimpun banyak anggota, studi ini memusatkan perhatian pada aktivitas pendidikan politik yang dilakukan oleh PKS dan pengaruhnya pada dilema transformasi dari Gerakan Dakwah Tarbiyah ke
Partai Politik, serta dilema yang
dihadapi oleh PKS. Dalam situasi yang konkrit, yang berfikir dan berbuat pada hakekatnya bukanlah PKS sebagai organisasi yang bersifat abstrak, tetapi “elite-elite pemimpin” yang berbuat, mengendalikan dan mengatasnamakan PKS. Analisa terhadap data dimulai dari persoalan-persoalan yang “dipikirkan”, “dinyatakan” , “dilakukan” oleh elite-elite PKS, artinya bagaimana, mereka memberikan motif dan dorongan untuk memilih suatu tindakan yang dianggap palng sesuai (eletif afiniti) dengan situasi konkret yang terjadi dalam PKS. Pikiran-pikirran dan tindakan-tindakan tertentu bagi elite adalah tindakan yang secara subyektif dianggapnya mengundang “makna” tertentu. Ia bermkna karena secara subyektif tindakan ini dianggap sebagai tindakan yang paling sesuai, dan paling masuk akal untuk dilakukan dalam situasi konkret tertentu.143 Masalah yang berhubungan dengan ‘makna’ ‘kesesuaian’ dan apa yang disebut Berger dan Lucmann sebagai “kemasukakalan” (plauibility) dari tindakan itu harus dikembalikan kepada
142
Anton Bakkaer, 1984, 107-120. Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam Jakarta Paramadina, 1999.
143
maksud subyektif aktor-aktor yang melakukannya.144Mendasarkan sepenuhnya pada makna tersebut, penulis berusaha untuk melakukan analisa secara objektif terhadap makna “ subyektif” dari aktivitas pendidikan poltiik yang dilakukan oleh PKS dan pengaruhnya terhadap transformasi yang terjadi pada Gerakan Dakwah Tarbiyah menjadi Partai Politik serta dilema yang menyertainya. Untuk membantu dalam melakukan analisis yang demikian, selain memahami doktrin teologis yang menjadi dasar pergerakan PKS, maka penting untuk menghubungkan tindakantindakan dengan tipe rasionalitas tindakan sosial Max Weber, yang dibagi ke dalam emapt tipe tindakan yaitu: Pertama, rasionalitas instrumental (Zwekrationalitat); kedua, rasionalitas nilai (wertrationalitat) ; ketiga, afeksi-afeksi atau emosi-emosi; dan keempat, tradisi-tradisi ( tradisional) . Dari keempat tipe rasionalitas tindakan tersebut, maka yang akan dipergunakan dalam studi ini dua tipe rasionalitas. Yaitu Rasionalitas Instrumen (Zwekrationalitat) dan rasionalitas nilai. (wertrationalitat). 4. Metode pengmpulan data Studi ini akan menggunakan sumber data primer dan data sekunder. Data primer yang utama didasarkan pada kepeutusan-keputusan resmi Partai Keadilan Sejahtera (DPP PKS) sebagai lembaga politik, ketentuan organisasi, pernyataan resmi yang diperoleh dari dokumen-dokemen resmi yang disimpan dalam arsip organisasi dan sikap-sikap rsmi PKS, baik dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Semua dokumen dan hasil waancara dimaksud sebagai upaya untuk merekonstruski berbagai kejadian yang berkaitan dengan faktor kausal, kondisioanal. Konteksutal dan berbagai komponen lain yang terkait sehingga memberikan gambaran mengenai kegiatan
pendidikan politik yang dilakukan oleh PKS sekaligus pengaruhnya pada dilema
transformasi dari gerakan dakwah ke partai politik. Studi ini memadukan pendekatan sejarah dan pendekatan kontekstual dengan melakukan kajian terhadap dokumen, notulen sidang, arsip dan penerbitan yang dikeluarkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) (buku-buku, majalah /buletin yang dikelaurkan oleh partai, Bayan Partai), serta melakukan wawancara dengan elit-elit, tokoh Partai Keadilan Sejahtera. Wawancara tidak formal dengan tokoh-tokoh/elit-elit PKS dilakukan untuk memperoleh informasi dan keterangan dari objek studi, artinya wawancara dilakukan untuk keperluan
144
Peter L Berger dan Thomas Luckmann, Social Construction of Reality (New York: Dobbleday, 1967).
mendapatkan keterangan dan data dari individu-individu tertentu untuk keperluan informasi.145 Individu yang menjadi sasaran wawancara disebut informan. Mereka dipilih karena dianggap dapat memberikan informasi atau keterangan tentang hal yang diwawancarakan. Penentuan tokoh-tokoh/elit-elit dari PKS yang akan diwawancarai seperti digambarkan oleh Rober D Putnam dalam kategori kelompok elit posisional, elit reputasional dan elit keputusan.146 Sementara data sekumder diperoleh – terutama dari penerbitan-penerbitan yang memiliki keterkaitan dengan Partai Keadilan Sejahtera Seperti penerbitan yang dilakukan oleh Humas DPP PKS, Majelis Syuro DPP PKS. Data sekumder juga akan dipergunakan dari media umum, hasil-hasil studi para sarjana yang telah diterbitkan, dalam berbagai media massa, jurnal-jurnal, buku-buku, majalah-majalah, makalah-malakah, skrpsi, Tesis dan Disertasi yang sesuai dengan bahan kajian dalam studi ini serta berbagai laporan-laporan lain yang belum diterbitkan. G. Sistimatika Penulisan Sistematika penulisan laporan penelitian ini terdiri dari beberapa Bab mengikuti urutan permasalahan penelitian yang direncanakan akan dibahas dalam penelitian ini. Bab I latar belakang, dalam bagian ini dikemukakan keniscayaan dilema dalam pembaharuan politik, belajar dari transformasi yang dialami oleh PKS.Akar dari dilema yang dialami oleh PKS dalam melakukan suatu pembaharuan ‘transformasi’ mulai dapat dikenali pada pembahasan yang dipaparkan di bab ini. Bab II, Pada bagian ini pembahasan memfokuskan pada perkembangan awal- fase awal- perkembangan dan pertumbuhan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pelacakan latar historis dan asal usul PKS dianggap sangat penting untuk bisa memahami secara benar karakteristik dari PKS dari sisi orientasi pemikiran politiknya, strategi gerakan, dasar-dasar ideology yang menjadi basis dari PKS. Pembahasan pada bab ini berusaha untuk menemukan semacam mata rantai fase-fase perkembangan (transformasi) yang dialami oleh Gerakan Tarbiyah dari sisi tapak kelembagaan serta ide-ide yang diusung oleh institusi-institusi gerakan tersebut. Institusi-institusi gerakan antara lain nampak dalam bentuk forum liqo, Majelis Taklim, lembaga-lembaga studi, Sekolah Islam Terpadu (SDIT), lembaga penerbitan majalah dan buku, Lembaga Dakwah Kampus (LDK), KAMMI, hingga akhirnya menjadi lembaga partai politik (Partai Keadilan). Disamping itu bab ini juga menyajikan pelacakan pada suatu ide pemikiran Islam yang dipersepsi ikut mempengaruhi perkembnagan PKS yaitu 145
asal –usul pemikiran
Kontjaraningrat, metode-metode Penelitian Masyarakat ( Jakarta: Gramedia, 1994) 130. Robert D Putnam,” Studi Perbandingan Elit Politik” dalam Mohtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000, hlm.91. 146
revivalisme Islam. Pembahasan berisi tentang transimsi gerakan revivalisme Islam ke Indonesia, latar historis kelahiran Gerakan tarbiyah,
yang embrionya dimulai dari Gerakan Dakwah
Kampus (LDK) di Indonesia sebagai bagian dari transmisi Gerakan Revivalisme Islam di Timur Tengah. Elemen-elemen (aktor-aktor) gerakan dakwah yang berperan dalam jaringan (network dakwah) bagi kelahiran Jemaah Tarbiyah (Gerakan Tarbiyah). Pembahasan
tentang latar historis kelahiran Gerakan Tarbiyah di Indonesia dalam
keseluruhan penulisan disertasi ini ssangatlah penting. Urgensi bab ini
antara lain dapat
menunjukan adanya mata rantai transformasi yang terjadi pada Gerakan Tarbiyah yang akhirnya berujung pada lahirnya instrument politik yang bernama Partai Keadilan. Dengan tersajikannya pembahasan pada bab ini maka pembahasan pada bab berikutnya tentang dilemma transformasi berbasis tarbiyah menjadi lebih terbingkai pembahasanya. Satu hal yang dapat dicatat dalam bab ini bahwa Gerakan Dakwah Tarbiyah yang kemudian melakukan metamorfosa adalah merupakan suatu’ Gerakan Islam’ yang otentisitasnya dipertanyakan, Gerakan Tarbiyah menujukan kesan yang kuat sebagai suatu gerakan impor. BAB III, berisi pembahasan tentang perkembangan pendidikan politik –indoktrinasi politik konteks situsasi politik yang ada di Indonesia yang megiringi perkembangan Gerakan Tabiyah serta dilema Tarbiyah sebagai basis bagi terjadinya transformasi pada internal Gerakan Tarbiyah dan transformasi pada masyarakat politik Indonesia. Pembahasan pada bagian ini menekankan pada kesulitan dan keterbatasan serta dilema yang dialami oleh Gerakan tarbiyah dalam melakukan proses tranformasi internal maupun transformasi eksternal. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa kekuatan yang dimiliki oleh Gerakan Tarbiyah melalui system pendidikan politiknya yang disebut dengan “Manhaj Tarbiyah 1421” dapat dinyatakan cukup berhasil melakukan transformasi internal pada fase awal gerakannya dari tahun 1980-an hingga dekade 1990-an akhir. Namun belum berhasil secara mantap melakukann proses transformasi baik pada wilayah internal di tubuh Gerakan Tarbiyah maupun pada wilayah eksternal Indonesia, pada fase selanjutnya setelah
masyarakat
menjadi Partai Politik pada era pasca Reformasi.
Gerakan Tarbiyah yang pada fase pertumbuhan berikuatnya berusah menjadi Gerakan Politik (PKS) belum melewati fase-fase kritis, masih terbuka peluang untuk terjatuh menjadi partai politik yang kecil karena kehilangan identitas nilai ideology yang original serta sulit untuk mendaaptkan dukungan massa yang luas. Ada faktor-faktor yang mempengaruhi dan melatarbelakangi terjadinya proses transformasi dari Gerakan Tarbiyah ke partai politik (PKS), transformasi tersebut terjadi setelah terbukanya era demokrasi yang dimulai sejak tahun 1998, serta adanya kesadaran di tubuh
Gerakan Tarbiyah ini untuk meluaskan jangkauan dakwahnya memasuki wilayah politik dengan mendirikan suatu partai politik. Gerakan Tarbiyah ketika belum terbukan adanya peluang politik ‘political opportunity’ pada regim Orde Baru yang represif tetap bertahan sebagai Gerakan Dakwah Tarbiyah, belum melakukan transformasi dalam bentuk kelembagaan sebagai partai politik. Gerakan Tarbiyah selama rezim OrdeBaru tidak melakukan transformasi. Seara ringkas dapat dinyatakan bahwa ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi terjadinya trasformasi dari suatu gerakan dakwah ke gerakan politik. BAB IV pada bagian ini pembahasan difokuskan kemampuan pendidikan politik PKS sebagai isntrumen untuk mereproduksi nilai serta pergeseran kegiatan pendidikan politik yang pada perkembangan selanjutnya tidak ditemukan tidak hanya sebagai instrument untum mereproduksi nilai tetapi juga sebagai media untuk merasionalisasikan dan memberikan legitimasi nilai pada berbagai kebijakan penting yang diambil oleh partai. Pergeseran fungsi dari pendidikan politik dapat dibaca melalui terjadinya pergeseran orientasi dan strategi pendidikan politik PKS yang dalam perkembangannya semakin berorientasi kepada pelanggan ( customar dakwah). Bab ini secara subatansi menggambarkan pergulatan yang terjadi dalam proses pendidikan politik di PKS antara fungsi sebagai reproduksi nilai dan fungsi pragamtis. Bab ini mengantarkan pembahasan pada suatu persoalan yang crusial yakni potensi terjadinya pergeseran dari fungsi pendidikan politik ‘tarbiyah siyasah’ yang pada fase awal kehadiran gerakan Tarbiyah memiliki fungsi pada reproduksi nilai. Tetapi dalam perjalananya terjadi pregeseran bahwa pendidikan politik menjadi berfungsi untuk melakukan rasionalisasi kebijakan partai. Bab V penutup, berisi kesimpulan, saran, refleksi teoritis. Pada bagian ini disampaikan intisari dari seluruh pembahasan yang telah penulis lakukan pada bab-bab sebelumnya, serta refleksi teoritis dari pembahasan yang telah penulis kerjakan.