BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan kebutuhan alami manusia. Tingkat kebutuhan dan kemampuan masing-masing individu untuk menegakkan kehidupan berkeluarga berbedabeda, baik dalam hal kebutuhan biologis (gairah seks) maupun biaya dan bekal yang berupa materi. Dari tingkat kebutuhan yang bermacam-macam ini, para ulama mengklasifikasikan hukum perkawinan dengan beberapa kategori. Ulama Mazhab asySyafi‘i mengatakan bahwa hukum asal menikah adalah boleh (mubah). 1 Akan tetapi bentuk pernikahan banyak macamnya diantaranya nikah wisata yang saat ini masih menjadi bahan pembicaraan, nikah wisata kerap terjadi di daerah pariwisata seperti di cisarua (puncak) Bogor Jawa Barat, kawasan Puncak bogor begitu populer di kalangan orang Arab (Timur Tengah).
Orang-orang Timur Tengah itu
biasanya datang ke Cisarua pada Bulan Juni sampai Agustus, ini berkaitan dengan masa liburan anak-anak sekolah di negaranya. Pada bulan-bulan ini jumlah wisatawan Timur Tengah yang datang ke kawasan Cisarua bisa mencapai angka seribu orang lebih. Belakangan kehadiran orang-orang Timur Tengah ke Indonesia (khususnya kawasan Puncak), mengalami pergeseran. Mereka tidak lagi hanya untuk berwisata, melainkan memiliki tujuan lain, yaitu “seks” (kawin kontrak). Jika semula mereka datang ke kawasan Cisarua itu bersama keluarganya, kini mereka datang ke tampat ini hanya seorang diri, karena memang memiliki tujuan yang “berbeda”, tidak lagi untuk berwisata menikmati pemandangan alam yang indah di kawasan Puncak. 2 Namun demikian jumlah 1
Pendapat ini dapat dilihat di ‘Abd ar-Rahman Al-Jaziri Kita b al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al- ’Arba‘ah,
IV : 8 2
http://blog.wahyu-winoto.com/2010/07/3-fatwa-haram-mui-yang-terbaru.html google.com. diakses : Maret 2011
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
para Pelancong dari Timur Tengah yang datang ke kawasan Puncak dengan tujuan “nikah wisata” prosentasenya hanya sekitar 10 persen saja. Kawin kontrak atau lebih dikenal nikah wisata menjadi satu-satunya pilihan bagi para turis Arab (Timur Tengah) yang datang ke kawasan Puncak. Dari pada melakukan zinah, lebih baik melakukan nikah, baik secara resmi maupun nikah yang tidak resmi (kawin kontrak). Adanya UU pernikahan adalah bertujuan untuk penyeragaman pada hukum pernikahan yang sebelumnya sangat beragam itu. Memahami sebuah undang-undang, ada baiknya kita juga menoleh undang-undang lain yang terkait denganyaa; yang ada di negara indonesia ini. Kita sebagai bangsa indonesia yang besar karena memiliki jumlah lebih dari 220 juta jiwa terbesar di sejumlah pulau dengan adat budaya dan lingkungan yang bervariasi dan berbeda.3 Dalam perspektif perempuan, Undang-undang No 1 tentang Perkawinan misalnya mengatur tentang sahanya perkawinan
dijelaskan pada pasal 2 ayat 1 & 2 yang
menyebutkan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaanya. Sementara pada ayat 2 yang menyebut-kan: ‘tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundangan-undangan yang berlaku. Kalau kita telaah dua ayat di atas, sebenarnya mempunyai satu makna yaitu bahwa sahnya perkawinan adalah dilakukan sesuai dengan agama juga harus dicatatkan. Akan tetapi, masyarakat pada umumnya memahami bahwa perkawinan itu sah kalau sudah dilakukan berdasarkan hukum agama meskipun tidak dicatatkan. Karena masyarakat kita Indonesia yang hampir 90 % muslim dan bermazhab Syafii meyakini bahwa sahnya perkawinan itu bila telah memenuhi lima syarat yaitu ada dua mempelai, ijab qabul, saksi, wali dan mahar. Dari sini memang tidak disebutkan kata ‘pencatatan’,
3
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemperdayaan Perempuan, Jakarta : el-Kahfi, 2008,
hlm, 385
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
sehingga seringkali kita jumpai di tengah-tengah masyarakat adanya perkawinan yang tidak dicatatkan seperti ‘kawin siri atau kawin bawah tangan’. Sebab masyarakat pada umumnya menganggap ‘sudah sah’ yang penting ada lima syarat tersebut sesuai dengan ajaran agama. Arti atau makna perkawinan dalam definisi figh adalah ‘aqdun lit tamlik’ (akad kepemilikan), bisa juga sebagai aqd lil ibahah (akad kewenangan). Kedua makna perkawinan (nikah) menurut pengertian figh ini cenderung memposisikan perempuan sebagai objek dari kepentingan laki-laki. “Akad pemilikan” artinya perempuan telah dimiliki oleh laki-laki sebagai suaminya, pemilikan hak untuk menikmati tubuh perempuan. Meskipun perempuan memiliki hak yang sama untuk menikmati tubuh lakilaki sebagai suaminya, akan tetapi hak tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam definisi perkawinan. Selama pemaknaan ini berlangsung sedemikian rupa, tanpa melihat konsekunsi dari pemaknaan itu, maka akan sulit mencapai nilai-nilai kesetaraan dan keadilan dalam sebuah keluarga. Sementara firman Tuhan dengan tegas menyatakan, dalam surat al Baqarah/2:187 Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteriisteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. Perkawinan sebenarnya sebagai ikatan yang kuat yang dalam bahasa al Qur’an sebagai ikatan mithaqan ghalidzan (ikatan yang kuat); diungkapkan pada saat akad nikah antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri’ atas dasar sama suka dan atau rela, yang disaksikan Yang Maha Mengetahui dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Tujuan dasar dalam perkawinan adalah membangun sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmmah sebagaimana diadakannya perkawinan yang dikehendaki Tuhan Allah swt di dalam surat ar Rum/21: 31 yaitu keluarga yang tentram, tenang, damai bahagia dan bebas dari tekanan atau kekerasan dan diskriminasi. Oleh itu, maka dasar perkawinan adalah monogami. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya satu bentuk formulasi yang mengatur dan mendasari hubungan relasi antara anggota keluarga baik suami, isteri maupun anak-anak. Di Indonesia perkawinan diatur melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1974; terdiri dari 14 bab dan 67 pasal. Untuk implementasi peraturan pelaksanaannya dilengkapi PP (Peraturan Pemerintah) No. 9 Tahun 1975 dan dinyatakan berlaku efektif Oktober 1975. UU ini merupakan UU pertama di Indonesia yang mengatur perkawinan secara nasional. Karena sebelumnya urusan perkawinan dan yang berkaitan dengannya diatur melalui beragam hukum, misalnya hukum adat bagi warga negara Indonesia asli, hukum Islam bagi warga Indonesia asli yang beragama Islam, Kitab UU Hukum Pedata (BW) bagi warga Indonesia keturunan Eropa dan Cina, Peraturan Perkawinan Campuran dan demikian seterusnya. Undang-undang ini selama 32 tahun menjadi pedoman atau panduan perkawinan di Indonesia; sebagai satu-satunya sumber hukum yang mengatur perkawinan dengan http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
segala macam aturan di dalamnya. Di era global dan pembangunan negara Indonesia saat ini, membutuhkan adanya kemitra sejajaran relasi laki-laki (suami) dan perempuan (isteri), masihkah dalam undang-undang tersebut memposisikan satu lebih tunggi dari yang lain? Sejauh manakah efektivitasnya dalam mengatur perilaku masyarakat (dalam perkawinan), sejauhmana UU ini sebagai sumber hukum yang diberlakukan di Indonesia? Kini, di era pemerintahan yang memiliki visi pembangunan yang berkesetaraan dan berkeadilan gender, masihkah Undang-undang ini memenuhi sasaran dan target sesuai diadakanya perkawinan menurut Tuhan? Yaitu membangun keharmonisan sakinah mawaddah wa rahmah?4 Berdasarkan permasalahan itulah, maka penulis ingin membahasnya dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi, sebagai tugas akhir kami sebagai mahasiswa di lingkungan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan jurusan Syari’ah (Akhwalus Syakhsiyyah) dengan judul “NIKAH WISATA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”.
B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, maka yang diteliti adalah bagaimana hukum nikah wisata menurut syari’at Islam?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hukum nikah wisata menurut syariat Islam.
4
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemperdayaan Perempuan, Jakarta : el-Kahfi, 2008,
hlm, 383
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
D. Kegunaan penelitian Secara Teoritis hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi awal guna mengetahui lebih lanjut tentang hukum nikah wisata dalam syariat Islam. Di samping itu dapat memberikan wacana baru kepada kaum muslim tentang nikah wisata. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan dalam praktik pembinaan dan pengembangan bidang hukum Islam kepada masyarakat pada umumnya dan kepada pelaku nikah wisata pada kususnya.
E. Tinjauan Pustaka 1. Kerangka Teori Nikah mut’ah adalah pernikahan yang bersifat sementara, seperti nikah satu hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya. Nikah seperti itu tidak memerlukan wali dan saksi, dan wanita dapat menikahkan dirinya sendiri dengan pria calon suaminya. Namun ada beberapa perbedaan antara nikah biasa dengan nikah mut’ah. Pada nikah mut’ah mahar atau maskawin harus disebut dengan tegas ketika pernikahan berlangsung akad nikah dan harus dibayar tunai, tidak boleh dicicil dengan nikah biasa. Kemudian pada nikah mut’ah waktunya dibatasi dan perceraian terjadi dengan sendiririnya setelah habis waktu yang telah ditetapkan. Pada perceraian akibat nikah biasa wanita harus menjalani masa iddah (menunggu) selama tiga kali suci / menstruasi, Sedang pada nikah mut’ah hanya dua kali. Nikah mut’ah yang sangat gampang itu seolah mirip dengan zina, tetapi sesungguhnya sangat berbeda. Pada kedua insan yang berlainan jenis kelamin melakukan hubungan seksual secara bebas. Sedang pada nikah mut’ah perkawinan hanya dapat dilakukan seorang pria dengan seorang wanita yang halal di nikahi seperti yang berlaku pada pernikahan biasa. Selaian itu anak hasil zina, menurut sebagian ulama, tidak memiliki ayah yang sah dan tidak boleh mewarisi harta ayahnya, sedang pada nikah mut’ah anak yang lahir mempunyai ayah yang sah dan boleh mewarisi harta ayahnya, dan kalau anak itu adalah seorang gadis, maka ayahnya berhak menjadi wali ketika menikahkan anak gadisnya itu.5 5
Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2003, hlm. 51.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
Ibrahim Muhamad aljamal dalam bukunya Fiqh Muslimah membahas masalah nikah dalam risalahnya yang mana pada dasar pernikahan adalah untuk mencapai mawadah warohmah, dalam kaitanya nikah wisata yang lebih identik dengan nikah mut’ah adalah salah satu bentuk pernikahan yang dilarang dan merupakan budaya yang batil, sebagaimana pendapat para mujtahid bahwa nikah mut’ah dalam hal ini disepakati haram kecuali pada kalangan syi’ah. Salah satu perbedaan yang paling populer antara Ahlussunnah dan Syiah Itsna ‘Asyariah adalah dalam hal pernikahan. Syiah Itsna ‘Asyariah mengenal dua macam pernikahan, yaitu : Pernikahan Mutlak tanpa batas waktu yang ditetepkan. Ini sama dengan Ahlussunah. Dan Pernikahan Mut’ah, yaitu pernikahan dengan batas waktu yang ditetapkan. Pernikahan macam kedua ini tidak dibenarkan oleh Ahlussunah, walaupun Rasulullah saw pernah mengizinkanya dan sahabat-sahabat Nabi pun banyak yang melakukanya. Tapi menurut Ahlussunah izin tersebut telah dibatalkan kendati mereka berbeda pendapat kapan dan siapa yang membatalkanya. Syiah Itsna ‘Asyariyah tidak mengakui adanya pembatalan dari Nabi, sehingga mereka masih membolehkanya hingga kini, walaupun dalam praktiknya sudah sangat kurang. Dalam hal ini, mereka berkata: Ijma’ (persekepakatan) kaum muslim menyatakan bahwa kawin mut’ah itu pernah disyariatkan dan telah dilakukan, hanya saja mereka yang menghalangi pelaksanaanya berkata bahwa perkawinan semacam itu telah dibatalkan dan diharamkan setelah pernah diperbolehkan. Dalam hal ini terdapat perbedaan riwayat dan perselisihan pendapat dikalangan mereka (Ahlussunah); perbedaan yang tidak dapat menghasilkan dugaan apalagi keyakinan. Sedang seperti dimaklumi dalam kaidah hukum, bahwa ketetapan bersifat pasti (dalam hal ini pernikahan mut’ah) tidak dapat dibatalkan oleh ketetapan yang tidak bersifat pasti (dalam hal ini pembatalanya). Alasan lain yang dikemukakan oleh ulama syiah adalah bahwa menetapkan bolehnya pernikahan tersebut membantu kaum Muslimin yang dalam perjalanan panjang, baik pelajar-pelajar maupun tentara yang masih muda belia, apalagi yang dapat terjerumus kelembah perzinahan. Sementara orang menduga bahwa pernikahan mut’ah sama dengan perzinahan. Namun ulama syiah tidak dapat menerima persamaan tersebut, karena dalam pernikahan ini syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pernikahan biasa (ala sunnah) harus juga dipenuhi,seperti keharusan adaya iddah, ijab, dan qabul, keharusan mahar, serta wali, perbedaanya dengan pernikahan
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
biasa hanyalah dalam pembatasan waktu, walaupun waktu yang ditetapkan bersama itu dapat diperpanjang.6 Pernikahan dalam islam adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh Yang ditegakkan diatas landasan niat untuk bergaul antara suami-istri dengan abadi, supaya dapat memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam alQur’an, yaitu ketentraman, kecintaan dan kasih sayang. Sedang tujuanya yang bersifat duniawi yaitu demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan jenis manusia. Adapun nikah mut’ah adalah ikatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam batas waktu tertentu dengan upah tertentu pula. Nikah mut’ah ini pernah diperkenankan oleh rosulullah saw sebelum stabilnya syariah Islamiah, yaitu diperkenankanya ketika dalam bepergian dan peperangan, kemudian diharamkanya untuk selama-lamanya. Rahasia dibolehkanya nikah mut’ah waktu itu, ialah karena masyarakat islam waktu itu masih dalam suatu perjalananyang kita istilahkan dengan masa transisi, masa peralihan dari jahiliyah kepada islam. Sedangkan masa jahiliyah merupakan satu hal yang bisa dan terbesar dimana-mana. Maka islam datang dan menyerukan kepada pengikutnya untuk pergi berperang, dan jauhnya mereka dari istri merupakan suatu penderitaan yang cukup berat. Sebagian mereka ada yang imanya kuat dan ada pula yang lemah. Yang imanya lemah, akan mudah untukberbuat zina sebagai suatu perbuatan yang keji dan cara yang tidak baik.7 Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah yang Shahih. Ibrahim Muhamad aljamal dalam bukunya Fiqh Muslimah membahas masalah nikah dalam risalahnya yang mana pada dasar pernikahan adalah untuk mencapai mawadah warohmah, dalam kaitanya nikah wisata yang lebih identik dengan nikah mut’ah adalah salah satu bentuk pernikahan yang dilarang dan merupakan budaya yang batil, sebagaimana pendapat para mujtahid bahwa nikah mut’ah dalam hal ini disepakati haram kecuali pada kalangan syi’ah. 2. Hasil Penelitian Yang Relevan
6
M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, jakarta: Lentera Hati, 2007, hlm. 251. 7 Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal Dan Haram Dalam Islam, Bina Ilmu. hlm. 256.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
Dalam seripsi yang ditulis oleh Handoko yang berjudul Nikah Mut’ah Dalam Hukum Islam, menyimpulkan bahwa : 1. Di Indonesia Pernikahan Mut’ah tidak sah, hal ini sesuai dengan Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Bab I tentang Dasar Perkawinan pasal 2 ayat 1 dan 2. Hal ini juga diperkuat oleh Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Bab II tentang Dasar-dasar Perkawinan Pasal 4. Sedangkan Pernikahan Mut’ah hanyalah didasarkan pada perjanjian sesaat (kontrak). Dan hal tersebut merugikan pihak wanita dan keturunannya karena status hukumnya kurang jelas. 2. Bahwa Nikah Mut’ah akan menimbulkan akibat hukum terhadap isteri, anak dan harta kekayaan baik selama masa kontrak maupun setelah berakhirnya masa kontrak. a. Isteri Mut’ah juga wajib melayani segala keperluan suami mut’ah nya sebagaimana layaknya isteri pada umumnya, tanpa hak untuk meminta apalagi menuntut nafkah bagi dirinya. Jika batas waktu yang telah disepakati berakhir, berakhir pula pernikahan itu tanpa ada talak.b. Anak yang diperoleh dari pernikahan mut’ah, baik laki-laki maupun perempuan, mengikuti garis keturunan ayahnya dan bernasab kepadanya. Ia memperoleh warisan dari ibunya, dan memperoleh segala hal yang berkaitan dengan hubungan anak, ayah dan ibu. c. Nikah Mut’ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami isteri.8 Dalam penelitianya Gatiningsih yang berjudul perkawinan sirri, uu no.1 tahun 1974 tentang perkawinan, menyimpulkan bahwa nikah sirri berakibat ada yang pihak yang dirugikan
yaitu pihak istri dan anak, karena hak dan kewajibannya tidak
dilindungi oleh Undang-Undang.9
8
http://etd.eprints.ums.ac.id/3794/. Handoko, Karya Ilmiah (Skripsi), nikah mut’ah. Diakses November 2011 9
http://etd.eprints.ums.ac.id/6266/ Gatiningsih, Karya Ilmiah (Skripsi) perkawinan sirri, uu no.1 /tahun 1974 tentang perkawinan,ums. Diakses november 2011
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
Dalam penelitianya Patrick Kluivert yang berjudul perkawinan beda agama perkawinan beda agama menyimpulkan bahwa secara peraturan per-UU-an, UU No. 1 Tahun 1974 tidak membolehkan ataupun melarang perkawinan jenis ini. Karena UU itu memang tidak ada mencantumkan kalimat "perkawinan beda agama", menurut yurisprudensi atau putusan MA bahwa UU itu malah tidak membahas. Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974, menyebut bahwa perkawinan harus berdasarkan agama dan kepercayaannya yg kerap diinterpretasi untuk melarang.10 Mengutip pendapat Mustopa Husien Serie,dalam skripsi Maimuna yang berjudul,”Kawin Lari di Daerah Kayu Agung ditinjau dari Hukum Pidana” bahwa, kawin lari bergubalan adalah: Suatu perkawinan yang didahului oleh tindakan si bujang melarikan gadis kerumah sendiri atau kepala kampung setempat . Tindakan ini sering diambil disebabkan pihak orang tua gadis tidak mensetujui calon menantunya atau pihak si bujang tidak mampu memenuhi permintaan orang tua gadis , sedangkan kedua merpati itu sedang dialun asmara. Maka
mengambil
jalan
bergubalan
/
lari
tersebut.
Akibat dari tindakan bergubalan tersebut menurut Maimuna terdapat dua kemungkinan; Orang tua gadis dan kadang-kadang juga orang tua bujang karena dianggap menghina keluarga ,mereka tidak mencampuri terhadap perkawinan anak anak mereka,sehingga perkawinan tersebut dilakukan oleh penguasa secara sederhana. Timbulnya peyelesaian dari pihak orang tua gadis atau bujang ,maka persoalan mereka
diselesaikan
melewati
perkawinan
rasa
tua.
Dapat dipahami bahwa tidak jarang terjadi kawin lari bergubalan tersebut atas anjuran orang tua si bujang atau si gadis demi untuk menghindari adat yang membutuhkan biaya yang besar itu.Sedang mereka tidak mampu atau mengnggap adat tersebut 10
http://old.nabble.com/Skripsi-Saya-Tentang-Perkawinan-Beda-Agama---Oleh-Patrick-Kluiverttd28999202.html. Diakses November 2011
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
sudah tidak perlu dipertahankan lagi.Di sini bergubalan hanya merupakan taktik belakang.11 Berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut, dalam penelitian ini penulis membahas tentang nikah wisata, dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hukum nikah wisata menurut syariat Islam. F. Kerangka Pemikiran Nikah wisata adalah pernikahan yang dilakukan oleh wisatawan muslim untuk jangka waktu selama ia dalam perjalanan wisata. Pernikahan yang dimaksudkan adalah bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan namun pernikahan itu diniatkan untuk sementara saja. Melakukan pernikahan waktu terbatas di sini (Indonesia). Setelah itu pulang, Seorang wisatawan asing mengambil keputusan bahwa akan menikah untuk jangka waktu tertentu selama masih dalam berwisata. Segi lainnya lagi ialah bahwa dalam pernikahan wisata, mereka lebih bebas menetapkan ketentuan dan persyaratan menurut kehendak mereka. “Nikah wisata atau biasa dikenal dengan nikah mu’aqqat hukumnya haram. Pernikahan seperti ini adalah akal-akalan laki-laki dan faktor kemiskinan dari keluarga perempuan atau ladang sex bagi wanita pemuas sex ia hanya mengharapkan kenikmatan atau materi sesaat, padahal pernikahan itu adalah suatu pertalian yang kokoh untuk membentuk keluarga bahagia, sejahtera dan kekal. Pernikahan semacam ini adalah perzinahan yang dianggap halal oleh orang-orang yang dikuasai oleh syahwat, mereka mengakali syariat Allah untuk melakukan hal-hal yang Allah perintahkan untuk meninggalkannya. praktek pernikahan seperti ini juga menjadi ajaran di agama Syiah.
11
http://budayanusantara.blogsome.com/2009/03/31/budaya-kawin-lari-di-sumatera-selatan. Diakses November 2011
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
Namun yang perlu dicermati bahwa kebolehan nikah kontrak ketika itu berlaku tidak untuk semua orang. Tapi kondisi tertentu yang sangat mendesak. rahasia diperbolehkan nikah kontrak pertama kali zaman Nabi saw, ketika itu umat berada pada “masa transisi” dari dunia jahiliyah ke dunia Islam. Di mana pada zaman jahiliyah perzinaan merupakan budaya yang sudah menyebar luas. Ketika islam mewajibkan kepada semua kaum untuk pergi berjihad, mereka sangat berat tinggal jauh dengan istriistri mereka. Diantara kaum yang ikut berjihad dengan rasulullah saw, diantaranya ada yang memiliki iman kuat dan ada sebagian yang lemah. Mereka yang sangat lemah takut terjurumus pada perzinaan, maka diperbolehkan melakukan nikah mut’ah. Sedangkan mereka yang kuat imanya bersikeras menghilangkan nafsu mereka dengan cara mengebiri. Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa nikah kontrak pada zaman Nabi saw: 1. Merupakan keringanan hukum (rukhshah) untuk memberikan jalan keluar dari problematika yang dihadapi oleh kedua kelompok orang ang imanya kuat dan imanya lemah. Dan sifatnya adalah ‘kasuistik’. 2. Sebagai langkah perjalanan hukum Islam menuju ditetapkanya kehidupan rumah tangga yang sempurna untuk mewujudkan tujuan pernikahan yaitu melestarikan cinta kasih sayang dan memperluas pergaulan dan silaturahmi melalui ‘perbesanan’. Nampaknya langkah pengharaman mut’ah dalam Islam dilakukan secara periode sebagaaimana proses pengharaman khamar (minuman keras). Rasulullah saw membolehkan nikah kontrak dalam kondisi tertentu (darurat), kemudian pada perkembanganya rasul saw, mengharamkan nikah kontrak sebagai bentuk pernikahan.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
Merupakan keringanan hukum (rukhshah) untuk memberikan jalan keluar dari problematika yang dihadapi oleh kedua kelompok orang ang imanya kuat dan imanya lemah. Dan sifatnya adalah kasuistik. Sebagai langkah perjalanan hukum Islam menuju ditetapkanya kehidupan rumah tangga yang sempurna untuk mewujudkan tujuan pernikahan yaitu melestarikan cinta kasih sayang dan memperluas pergaulan dan silaturahmi melalui perbesanan. Cirri-ciri khas perkawian perlunya undang-undang mengenai perkawian seperti itu, serta tidak cukupnya perkawinan permanen untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan umat manusia, terutama di zaman sekarang, telah menjadi pokok kajian kita. Sekarng kami hendak mengemukakan, sebagaimana adanya, sisinya yang lain. Kita akan melihat kerugian apa yang dapat dihindarkanya. Diantara semua pokok masalah, problema, topik, dan bahan-bahan pembicaraan yang pernah ada dan sekarang ada bagi manusia, tidak ada pokok atau lapangan pembicaraan, dimana saja pun, yang nyaris sama rumit dan membingungkanya seperti sejarah ilmu pengetahuan, kepercayaan, adat istiadat, tradisi, perlakuan manusaia.dan inilah sebabnya mengapa manusia telaah lebih banyak bicara omong kosong tentang pokok-pokok ini dari pada tentang topik lain manapun, dan dalam subyek-subyek inilah, lebih dari pada dalam topik manapun, manusia mempunyai suatu gairah yang tak terkendalikan untuk mengungkapkan pandangan-pandanganya. Salah satu perbedaan yang paling populer antara Ahlussunnah dan Syiah Itsna ‘Asyariah adalah dalam hal pernikahan. Syiah Itsna ‘Asyariah mengenal dua macam pernikahan, yaitu : Pernikahan Mutlak tanpa batas waktu yang ditetepkan. Ini sama dengan Ahlussunah. Dan Pernikahan Mut’ah, yaitu pernikahan dengan batas waktu yang ditetapkan. Pernikahan macam kedua ini tidak dibenarkan oleh Ahlussunah, walaupun Rasulullah saw pernah mengizinkanya dan sahabat-sahabat Nabi pun banyak yang melakukanya. Tapi menurut Ahlussunah izin tersebut telah dibatalkan kendati mereka berbeda pendapat kapan dan siapa yang membatalkanya. Syiah Itsna ‘Asyariyah tidak
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
mengakui adanya pembatalan dari Nabi, sehingga mereka masih membolehkanya hingga kini, walaupun dalam praktiknya sudah sangat kurang. Dalam hal ini, mereka berkata: Ijma’ (persekepakatan) kaum muslim menyatakan bahwa kawin mut’ah itu pernah disyariatkan dan telah dilakukan, hanya saja mereka yang menghalangi pelaksanaanya berkata bahwa perkawinan semacam itu telah dibatalkan dan diharamkan setelah pernah diperbolehkan. Dalam hal ini terdapat perbedaan riwayat dan perselisihan pendapat dikalangan mereka (Ahlussunah); perbedaan yang tidak dapat menghasilkan dugaan apalagi keyakinan. Sedang seperti dimaklumi dalam kaidah hukum, bahwa ketetapan bersifat pasti (dalam hal ini pernikahan mut’ah) tidak dapat dibatalkan oleh ketetapan yang tidak bersifat pasti (dalam hal ini pembatalanya). Alasan lain yang dikemukakan oleh ulama syiah adalah bahwa menetapkan bolehnya pernikahan tersebut membantu kaum Muslimin yang dalam perjalanan panjang, baik pelajar-pelajar maupun tentara yang masih muda belia, apalagi yang dapat terjerumus kelembah perzinahan. Sementara orang menduga bahwa pernikahan mut’ah sama dengan perzinahan. Namun ulama syiah tidak dapat menerima persamaan tersebut, karena dalam pernikahan ini syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pernikahan biasa (ala sunnah) harus juga dipenuhi,seperti keharusan adaya iddah, ijab, dan qabul, keharusan mahar, serta wali, perbedaanya dengan pernikahan biasa hanyalah dalam pembatasan waktu, walaupun waktu yang ditetapkan bersama itu dapat diperpanjang.12 Pernikahan dalam islam adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh Yang ditegakkan diatas landasan niat untuk bergaul antara suami-istri dengan abadi, supaya dapat memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam al-Qur’an, yaitu ketentraman, kecintaan dan kasih sayang. Sedang tujuanya yang bersifat duniawi yaitu demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan jenis manusia. Adapun nikah mut’ah adalah ikatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam batas waktu tertentu dengan upah tertentu pula. Nikah mut’ah ini pernah diperkenankan oleh rosulullah saw sebelum stabilnya syariah Islamiah, yaitu diperkenankanya ketika dalam bepergian dan peperangan, kemudian diharamkanya untuk selama-lamanya. Rahasia dibolehkanya nikah mut’ah waktu itu, ialah karena masyarakat islam waktu itu masih dalam suatu perjalananyang kita istilahkan dengan masa transisi, 12
M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, jakarta: Lentera Hati, 2007, hlm. 251.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
masa peralihan dari jahiliyah kepada islam. Sedangkan masa jahiliyah merupakan satu hal yang bisa dan terbesar dimana-mana. Maka islam datang dan menyerukan kepada pengikutnya untuk pergi berperang, dan jauhnya mereka dari istri merupakan suatu penderitaan yang cukup berat. Sebagian mereka ada yang imanya kuat dan ada pula yang lemah. Yang imanya lemah, akan mudah untukberbuat zina sebagai suatu perbuatan yang keji dan cara yang tidak baik.13 G. Metode Penelitian Adapun dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut : a. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan kualitatif. Di mana yang menggunakan pendekatan kualitatif berupaya mengembangkan teori secara induksi menggunakan data yang telah dikumpulkan.14 Adapun jenis dari penelitian skripsi ini adalah library Research yaitu suatu bentuk pengumpulan data dan informasi dengan bantuan buku-buku, dokumendokumen dan arsip-arsip yang ada di perpustakaan, dari berbagai macam media seperti media cetak, televise, dan internet15 b. Sumber Data Karena penelitian ini merupakan studi dokumentasi maka untuk mendapatkan data yang relevan dengan obyek kajian digunakan adalah sumber data utama yang akan dikaji berkaitan dengan permasalahan dalam penulisan skripsi ini terutama adalah dokumen-dokumen dan buku-buku yang berkaitan dengan pernikahan baik dari segi perundang-undangan pemerintah maupun secara syari’at Islam. Di samping 13
Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal Dan Haram Dalam Islam, Bina Ilmu. hlm. 256. 14 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 105. 15 Winarno Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Dasar, Metode dan Teknik), (Bandung: Tarsito, tt), hlm. 13.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
itu di gunakan juga sumber data pendukung yang berkaitan dengan permasalahan tersebut baik langsung maupun tidak langsung yaitu buku yang berkaitan dengan judul di atas dan buku-buku umum lainnya. c. Teknik Pengumpulan Data Mengingat jenis penelitian ini adalah penelitian literatur yang bersumber dari buku-buku atau literature maka pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumentasi yakni dengan cara membac, menelaah, memahami inti yang terkandung dalam buku-buku atau literatur yang terkait dengan pembahasan ini. d. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif eksploratif yaitu setelah data terkumpul penulis mengatur data sedemikian rupa untuk diadakan suatu analisis setelah analisis dilakukan maka peneliti melakukan pemaparan secara tertulis sebagai bentuk deskriptif dari hasil eksplorasi dari hasil data yang diperoleh.
H. Sistematika Penulisan Untuk pemecahan permasalahan yang ada sehingga dapat mengantarkan kepada pengertian yang utuh, maka dalam penulisan skripsi ini akan penulis bagi menjadi 3 bagian yaitu bagian pendahuluan, bagian isi dan bagian penutup. Ketiga bagian ini dibagi menjadi lima bab, yaitu : BAB I
: PENDAHULUAN Meliputi : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II
: TINJAUAN UMUM NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
Meliputi : Pengertian, Dasar Hukum dan Syarat Rukun Pernikahan Dalam Islam, Tujuan Pernikaahan, Tata Cara (prosedur) Pernikahan Dalam Islam, Macam-Macam Pernikahan. BAB III : NIKAH WISATA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Meliputi : Pengertian Nikah wisata, Dasar Terjadinya Nikah Wisata, Praktek Nikah Wisata, Akibat Nikah Wisata. BAB IV : HUKUM NIKAH WISATA MENURUT SYARIAT ISLAM. Meliputi : Analisis Dasar Dalam Menetapkan Hukum Nikah Wisata, Metode Analisis Istinbath Dalam Menetapkan Hukum Nikah Wisata, Hukum Nikah Wisata. BAB V
: PENUTUP Meliputi : Kesimpulan dan Saran-saran.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/