BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan terdekat anak yang dapat memfasilitasi tumbuh kembang potensi unik yang dimiliki oleh setiap anak. Melalui pengasuhan, perlindungan, dan pendidikan yang diberikan oleh orang tua anak mempelajari berbagai hal dalam kehidupannya, karena kehidupan sosial pertama yang ditemui anak ketika terlahir kedunia adalah keluarga. Keluarga juga merupakan sekolah pertama bagi anak tempat membentuk jati diri dan kepribadian. Pengalaman seorang anak diperlakukan oleh orang tuanya merupakan bekal bagi anak mempersepsi lingkungan sekitar, sadar atau tidak baik secara langsung maupun tidak langsung perlakuan orang tua akan membentuk sikap dan perilaku anak di kemudian hari. Anak-anak akan mengamati semua yang ada di sekelilingnya untuk belajar, mengalami dan tumbuh. Mereka bermain, bergembira, berfantasi, mengeksplorasi, dan percaya dunia adalah tempat yang aman dan bersahabat (Djiwandono, 2003: 1). Pada masa anak, kebutuhan yang sangat mendasar adalah adanya pola hubungan orang tua anak yang sehat, seperti yang diungkapkan oleh Brown dan Swanson (Huraerah, 2006: 27) bahwa kebutuhan umum anak adalah perlindungan (keamanan), kasih sayang, pendekatan, perhatian dan kesempatan untuk terlibat dalam pengalaman positif yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan mental yang sehat. Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut akan berdampak negatif terhadap perkembangan anak baik fisik, mental, sosial maupun intelektual. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sunaryo Kartadinata (Nurnengsih, 1995: 1) tentang keluarga sebagai tempat
pertama seorang anak mempelajari segala hal yang merupakan pondasi bagi terbentuknya pribadi anak. Setiap yang dialami individu dalam keluarga memberi kesan tertentu yang akan terus melekat, sekalipun tidak selamanya disadari pada kehidupan individu dan kesan tersebut mewarnai pola perilaku yang terpancarkan dalam interaksinya dengan lingkungan. Apabila hal ini dikaitkan dengan kemungkinan masalah yang timbul dan dihadapi individu ini berarti bahwa kehidupan keluarga merupakan sumber terjadinya.
Berkenaan dengan hal-hal apa saja yang didapat seorang anak di keluarganya, Sarlito Wirawan (Nurnengsih, 1995: 2) mengemukakan: Seseorang bisa senang, tertawa, takut, cemburu, dan lain sebagainya karena ia belajar dari orang-orang dewasa yang mendidiknya sejak kecil karena itulah orang-orang yang tidak mendapatkan perhatian di waktu kecilnya berkembang menjadi orang yang miskin emosi.
Pendapat tersebut menguatkan bahwa pengalaman masa kecil anak akan berpengaruh kuat terhadap perkembangan selanjutnya (Yusuf, 2002: 12) kebahagiaan pada masa ini yaitu masa anak-anak akan menimbulkan kebahagiaan pada periode berikutnya (Hurlock, 1980: 178). Sehingga menjadi tanggung jawab orangtua agar anak mengalami kebahagiaan dengan jalan diterima, dicintai, dan dipenuhi hak-haknya. Pada kenyataannya sebuah fenomena mengemuka tentang persoalan yang sedang dihadapi dunia anak saat ini, yaitu kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua. Tindakan kekerasan merupakan salah satu bentuk penelantaran dan pengabaian orang tua terhadap hak-hak anak. Seperti peristiwa yang terjadi di awal tahun 2006, dua balita kakak beradik dibakar ibunya di kecamatan Serpong, Tangerang. Di kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, gadis usia tujuh tahun yang sering dianiaya, dibunuh ibu tirinya setelah diperkosa pamannya sendiri. Gadis usia delapan tahun disetrika kakinya oleh ayah kandungnya karena dituduh mencuri uang (http://www.mail.archive.com).
Dari data yang berhasil dihimpun Komnas Perlindungan Anak (KPA) melalui hotline services pengaduan masyarakat dan pemantauan Pusdatin Komnas PA terhadap 10 media cetak, selama tahun 2003 terdapat 481 kasus kekerasan. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus pada tahun 2004, dan menjadi 736 kasus di tahun 2005. Pada awal tahun 2006 sudah terjadi 4 kasus tindak
kekerasan
yang
tidak
tanggung-tanggung
sampai
merenggut
nyawa
anak
(http://www.pikiran-rakyat.com). Data yang terhimpun di Komnas PA dari 736 kasus kekerasan yang terjadi pada tahun 2005 tersebut 327 diantaranya kekerasan seksual, 233 kasus perlakuan salah secara fisik, 176 kasus kekerasan psikis, sedangkan jumlah penelantaran sebanyak 130 kasus. Laporan yang disampaikan psikolog Elly Yuliandari (Sri Esti, 2005; 80) menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga menduduki kedudukan terbesar dalam kasus kekerasan yang menimpa anak-anak pada rentang umur 3-18 tahun di Indonesia. Sebanyak 80% kekerasan atau penyiksaan yang menimpa anak-anak dilakukan oleh keluarga mereka, 10% di lingkungan pendidikan dan sisanya oleh orang yang tidak dikenal. Kekerasan pada anak merupakan bentuk-bentuk perlakuan yang tidak wajar secara fisik, emosi, maupun seksual, atau tidak adanya perhatian dan penelantaran yang dapat menyebabkan luka fisik atau kerusakan emosional terhadap anak. American School Counselor Association (ASCA) mendefinisikan kekerasan pada anak sebagai hukuman yang secara sengaja ditujukan kepada fisik dan dapat membahayakan tubuh anak, pengrusakan psikologis secara terus menerus, atau penolakan terhadap kebutuhan emosi (Muro and Kotman, 1995; 329). Segala perlakuan orang dewasa terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kondisi yang merugikan baik fisik dan atau mental bisa disebut penganiayaan anak (child abuse). Penganiayaan bisa terjadi dalam bentuk penganiayaan fisik maupun mental.
Kekerasan yang menimpa anak akan menimbulkan dampak fisik maupun dampak psikologis, hal ini dikarenakan tindakan kekerasan merupakan suatu bentuk pengalaman yang bersifat traumatis pada anak. Beberapa dampak yang bisa timbul akibat tindak kekerasan ini meliputi trauma berkepanjangan, pendiam, agresif, menarik diri dari lingkungannya, serta bisa menjadi anak jalanan. Namun, yang lebih memprihatinkan dampak psikologis akibat kekerasan bisa membuat anak depresi dan akhirnya mengambil jalan pintas yakni bunuh diri. Secara umum dampak yang ditimbulkan baik secara fisik maupun emosional akibat tindakan kekerasan adalah: luka fisik hingga cacat tubuh, kesulitan belajar, konsep diri yang buruk, rendah diri, tidak percaya kepada orang lain, dan anak meyakini bahwa menyakiti orang lain boleh-boleh saja (Modul Yayasan Matahariku, 2003: 17). Dalam beberapa kasus, kekerasan dapat mengakibatkan gangguan-gangguan kejiwaan seperti depresi, kecemasan berlebihan, atau gangguan identitas disasosiatif, dan juga bertambahnya resiko bunuh diri (Huraerah, 2006: 46). Menurut Seto Mulyadi (2006) anak yang mengalami tindakan kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Agresi psikologis ini bisa membuat anak sulit beradaptasi, menjadi kurang percaya diri, atau sebaliknya menjadi pemberontak. Perilaku tersebut akan mengganggu perkembangan anak. Pada dasarnya, setiap kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa pada anak, sebentar atau sesering apapun akan meninggalkan luka emosional yang permanen (Saleha, 2005). Penelitian terhadap 960 siswa Sekolah Dasar di Amerika membuktikan kekersan fisik dapat menyebabkan anak menjadi agresif, dikarenakan ketika anak mendapat hukuman fisik level adrenalin pada tubuhnya meningkat. Anak yang sering mendapat hukuman serupa, tingkat adrenalin sulit turun sehingga menjadikan anak mudah marah dan sulit mengontrol emosi.
Hasil penelitian terdahulu Novi Cahyani (2006) mengemukakan bahwa anak yang mengalami kekerasan fisik dan kekerasan emosional dari orang tua sering mengalami rasa takut, panik, cemas, marah, sedih, jengkel serta emosi-emosi negatif lainnya yang tidak dapat diungkapkan. Akibat-akibat buruk tersebut akan sangat mempengaruhi dan mengganggu kehidupan serta tumbuh kembang anak pada periode selanjutnya. Di sekolah, anak yang mengalami tindak kekerasan dari orang tua akan mengalami kesulitan belajar dan kesulitan berinteraksi dengan lingkungan teman sebaya, jika ini dibiarkan tentu akan berdampak pada masalah intelektual anak serta masalah sosialnya. Hal ini berimplikasi pada penanganan dan perhatian guru terhadap anakanak tersebut. Guru tidak hanya memberikan pengajaran materi pelajaran semata tetapi memperhatikan juga aspek pertumbuhan dan perkembangan setiap anak didiknya termasuk masalah dalam dimensi psikologisnya. Masalah-masalah yang terjadi pada anak (siswa) jarang mendapat perhatian yang khusus dari guru-guru di sekolah, guru menganggap kenakalan yang ditimbulkan oleh anak merupakan hal yang wajar. Meskipun kasus anak yang mengalami tindak kekerasan dari orang tua sulit diungkap, tetapi anak yang mengalami hal ini jelas memerlukan penanganan (treatment). Konselor (guru pembimbing) merupakan tenaga profesional yang dapat memfasilitasi individu berkembang ke arah yang positif. Melalui proses konseling, individu yang mengalami masalah dapat dibantu memperoleh pemecahan-pemecahan berbagai jenis masalah pribadi (Erman Amti, 1992: 4). Jika diterapkan pada konseling anak, fokusnya akan membantu anak mengatasi rintangan yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan secara sehat (Djiwandono, 2005: 159).
Memberikan bantuan terhadap anak berbeda dengan melakukan intervensi terhadap orang dewasa. Karena anak memiliki bahasa, fantasi, dan cara mengekspresikan diri yang khas sehingga diperlukan pendekatan yang sesuai dengan karakteristik perkembangan anak. Anak belum dapat mengatakan sesuatu secara verbal dan seringkali mengutarakan sesuatu secara simbolis. Bantuan yang dapat dilakukan adalah konseling melalui pendekatan dunia anak yaitu bermain. Dalam membangun hubungan konseling dengan anak McFadeen menegaskan diperlukan banyak teknik tidak hanya berbicara dan mendengarkan, disarankan untuk menggunakan situasi permainan baik yang terstruktur maupun yang tidak terstruktur, penggunaan musik, boneka, membaca cerita, atau bermain peran adalah cara yang dapat digunakan sebagai pendekatan untuk membangun
hubungan
dengan
anak-anak
yang
mengalami
tindakan
kekerasan.
(http://www.ericdigests.org/pre-9214/abused.htm) Konseling bermain merupakan pendekatan yang sesuai untuk melakukan konseling dengan anak, karena bermain adalah hal yang alami bagi anak. Melalui manipulasi mainan, anak dapat menunjukkan bagaimana perasaannya mengenai dirinya sendiri, dan orang-orang penting serta peristiwa dalam hidupnya secara lebih memadai melalui kata-kata (Ginott dalam VanFleet, 2001: 24). Dari pemaparan di atas, konseling bermain merupakan suatu cara yang dapat digunakan untuk melakukan konseling dengan anak-anak yang bermasalah, termasuk anak yang mengalami masalah perkembangan yang disebabkan oleh tindakan kekerasan orang tua. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti dengan mengobservasi aktivitas anak-anak jalanan di daerah Simpang-Dago Bandung terdapat fakta beberapa anak yang mengalami tindak kekerasan dari orang tua. Maka peneliti bermaksud mengkaji penggunaan
konseling bermain untuk anak-anak yang mengalami tindak kekerasan orang tua dengan fokus penelitian di sekolah tempat mereka belajar, yaitu SD Al Falah Ci Situ.
B. Fokus Telaahan Kekerasan yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan segala bentuk perbuatan yang dilakukan terhadap anak yang mengakibatkan perasaan tidak nyaman bagi jiwa dan fisik anak. Bentuk kekerasan terhadap anak dapat berupa kekerasan fisik yang menyebabkan luka ringan bahkan kematian. Kekerasan lain dapat berbentuk guncangan psikologis yang diakibatkan oleh rasa takut dan membuat jiwa terguncang, dari hal yang mudah dilupakan sampai hal yang menimbulkan dendam. Richard J. Gelles (Huraerah, 2006: 36) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional yang meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orangtua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak. Jadi sekecil apapun perlakuan yang diterima anak, yang dapat menimbulkan rasa sakit dan merugikan serta menimbulkan perasaan tidak nyaman dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan. Penelitian ini difokuskan pada bentuk kekerasan fisik dan kekerasan emosional. Kekerasan fisik meliputi pemukulan dengan benda tumpul maupun benda keras, menendang, menampar, menjewer, dan tindakan-tindakan lain yang dikenakan langsung pada fisik anak. Kekerasan emosional atau kekerasan verbal misalnya dilakukan dalam bentuk memarahi,
mengomel, membentak dan memaki anak dengan cara berlebihan dan merendahkan martabat anak, termasuk mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas didengar oleh anak. Tindak kekerasan yang diterima anak dapat menimbulkan masalah psikologis. Jacinta F. Rini (2001) menggambarkan lebih jelas mengenai dampak kekerasan terhadap anak yaitu mereka akan mengalami masalah relasional, emosional, kognisi, dan perilaku. Untuk menangani anak yang mengalami tindak kekerasan ini peneliti menggunakan konseling bermain yang merupakan seperangkat prosedur yang digunakan untuk melakukan konseling dengan anak melalui penggunaan secara sistematis dari metode bermain, permainan, dan alat permainan. Penelitian dilakukan terhadap siswa kelas V & VI SD Al Falah Cisitu, pertimbangan pemilihan objek penelitian didasarkan pada kondisi sosiologis siswa-siswi yang sekolah di SD Al-Falah Cisitu merupakan siswa yang berasal dari keluarga menengah ke bawah dan prasejahtera. Data ini ditunjang dengan fakta dilapangan terdapat beberapa siswa sekolah SD Al Falah yang menjadi anak jalanan di daerah Simpang Dago Bandung. Pemilihan kelas tinggi didasarkan pada kemampuan kognitif dan kemampuan verbal anak dalam memahami peristiwa yang dialami. Anak pada usia rata-rata 10 sampai 11 tahun berada pada masa operational concret, artinya anak sudah dapat membentuk operasi-operasi mental atas pengetahuan yang mereka miliki. Operasi mental yang dimiliki memungkinkan anak dapat memecahkan masalah secara logis, serta memudahkan peneliti untuk mengkomunikasikan perlakuan yang akan diberikan. C. Rumusan Masalah
Aspek yang dikaji dalam penelitian ini adalah penggunaan konseling bermain untuk siswa yang mengalami tindak kekerasan orang tua. Permasalahan tersebut dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah gambaran umum bentuk tindak kekerasan orang tua yang dialami oleh siswa kelas V dan VI SD Al-Falah Cisitu? 2. Bagaimanakah masalah psikologis siswa kelas V dan VI yang mengalami tindak kekerasan orang tua di SD Al Falah Cisitu? 3. Bagaimanakah efektifitas penggunaan konseling bermain untuk siswa kelas V dan VI yang mengalami tindak kekerasan orang tua di SD Al-Falah Cisitu?
D. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui efektifitas penggunaan konseling bermain untuk siswa yang mengalami tindak kekerasan orang tua di SD Al Falah Cisitu. Adapun secara rinci penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menemukan bentuk tindak kekerasan yang dialami siswa kelas V dan VI SD Al Falah Cisitu. 2. Mendeskripsikan masalah psikologis siswa kelas V dan VI yang mengalami tindak kekerasan orang tua di SD Al Falah Cisitu. 3. Mengetahui efektifitas konseling bermain untuk siswa kelas V dan VI yang mengalami kekerasan orang tua di SD Al Falah Cisitu.
E. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan teori konseling dan psikoterapi. b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangn bimbingan konseling pada anak atau siswa SD. 2.
Manfaat Praktis Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pihak-pihak berikut: 1. Bagi konselor, pendamping anak atau guru di sekolah, penelitian ini menghasilkan gambaran mengenai penggunaaan bermain sebagai media untuk mereduksi masalah psikologis yang muncul pada anak yang mengalami tindak kekerasan orang tua. 2. Bagi anak, penelitian ini memberikan upaya reduksi terhadap masalah-masalah psikologis yang ditimbulkan oleh tindak kekerasan. 3. Bagi institusi atau lembaga pemerhati anak, hasil penelitian ini dapat dijadikan model dalam memberikan layanan bantuan kepada anak yang mengalami masalah psikologis. 4. Bagi orang tua, penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai kondisi psikologis anak-anak yang mengalami kekerasan serta alternatif penanganannya. 5. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat memberikan gambaran efektifitas penggunaan konseling bermain untuk menanganai masalah anak sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan dan penyempurnaan.
F. Asumsi Penelitian Beberapa asumsi yang mendasari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Anak yang mengalami tindak kekerasan umumnya mengalami sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Perilaku tersebut akan mengganggu perkembangan anak. 2. Anak yang mengalami tindakan kekerasan perlu layanan bantuan bagi pemulihan kondisi psikologisnya. 3. Anak-anak belum dapat mengekspresikan diri secara tepat pada tingkat verbal, sehingga perlu media untuk menjembataninya. 4. Konseling bermain merupakan pendekatan yang sesuai untuk melakukan konseling dengan anak, karena bermain adalah hal yang alami bagi anak. 5. Konseling bermain merupakan seperangkat teknik dan metode dalam proses konseling dengan menggunakan mainan dan aktivitas bermain sebagai medianya.
G. Kerangka Acuan Konseptual 1. Kekerasan Pada Anak American School Counselor Association (ASCA) mendefinisikan kekerasan pada anak sebagai hukuman yang secara sengaja ditujukan kepada fisik dan dapat membahayakan tubuh anak, pengrusakan psikologis secara terus menerus, atau penolakan terhadap kebutuhan emosi (Muro and Kotman, 1995; 329). Segala perlakuan orang dewasa terhadap anak, yang mengakibatkan anak mengalami kondisi yang merugikan baik fisik dan atau mental bisa disebut penganiayaan anak (child abuse). Secara umum kekerasan pada anak dapat diartikan sebagai segala perbuatan yang dilakukan terhadap anak yang mengakibatkan perasaan tidak nyaman bagi jiwa dan fisik anak (Modul Yayasan Matahariku, 2003: 2). Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh salah
seorang anak dalam konsultasi mengenai kekerasan terhadap anak (2005: 7) bahwa menurut anak-anak, kekerasan merupakan tindakan yang menyebabkan seseorang merasa dirugikan dan disakiti. Kekerasan pada anak dapat berbentuk kekerasan atau penganiayaan secara fisik maupun kekerasan psikologis. Penganiayaan fisik merupakan
perlakuan keras orang dewasa yang
diarahkan pada tubuh anak sehingga anak mengalami luka atau cacat fisik. Bentuk perlakuannya meliputi pemukulan dengan benda tumpul maupun benda keras, menendang, menampar, menjewer, dan tindakan-tindakan lain yang dikenakan langsung pada fisik anak. Sedangkan penganiayaan mental atau kekerasan emosional merupakan perlakuan yang salah dari orang dewasa terhadap anak yang membuat anak berada dalam kondisi jiwa sangat tertekan, seperti sangat takut, dan terhina. Kekerasan emosional atau kekerasan verbal misalnya dilakukan dalam bentuk memarahi, mengomel, membentak dan memaki anak dengan cara berlebihan dan merendahkan martabat anak, termasuk mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas didengar oleh anak. Tindakan kekerasan dapat menimbulkan dampak pada anak yaitu anak menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Agresi psikologis ini bisa membuat anak sulit beradaptasi, menjadi kurang percaya diri, atau sebaliknya menjadi pemberontak. Jacinta F. Rini (2001) menggambarkan lebih jelas mengenai dampak kekerasan terhadap anak. Anak-anak yang mengalami tindakan kekerasan akan mengalami masalah-masalah relasional, emosional, kognisi, dan perilaku. a. masalah relasional
anak akan mengalami kesulitan menjalin dan membina hubungan atau pun persahabatan, merasa kesepian, kesulitan dalam membentuk hubungan yang harmonis, sulit mempercayai diri sendiri dan orang lain, menjalin hubungan yang tidak sehat, misalnya terlalu tergantung atau terlalu mandiri, sulit membagi perhatian antara mengurus diri sendiri dengan mengurus orang lain, mudah curiga, terlalu berhati-hati terhadap orang lain, perilakunya tidak spontan, kesulitan menyesuaikan diri, lebih suka menyendiri dari pada bermain dengan kawankawannya, suka memusuhi orang lain atau dimusuhi, lebih suka menyendiri, merasa takut menjalin hubungan secara fisik dengan orang lain, sulit membuat komitmen, terlalu bertanggung jawab atau justru menghindar dari tanggung jawab.
b. masalah emosional anak yang mengalami tindak kekerasan dari orang tua diantaranya akan merasa bersalah, malu, menyimpan perasaan dendam, depresi, merasa takut ketularan gangguan mental yang dialami orang tua, merasa takut masalah dirinya ketahuan kawannya yang lain, tidak mampu mengekspresikan kemarahan secara konstruktif atau positif, merasa bingung dengan identitasnya, tidak mampu menghadapi kehidupan dengan segala masalahnya. c. masalah kognisi demikian pula dengan kognisinya, anak-anak akan mempunyai persepsi yang negatif terhadap kehidupan, timbul pikiran negatif tentang diri sendiri yang diikuti oleh tindakan yang cenderung merugikan diri sendiri, memberikan penilaian yang rendah terhadap kemampuan atau prestasi diri sendiri, sulit berkonsentrasi dan menurunnya prestasi di sekolah, memiliki citra diri yang negatif. d. masalah perilaku
selain berdampak terhadap emosi dan kognisi, tindakan kekerasan juga pada akhirnya akan berdampak pada perilaku yang dimunculkan seperti perilaku berbohong, mencuri, bolos sekolah, perbuatan kriminal atau kenakalan, tidak mengurus diri sendiri dengan baik, menunjukkan sikap dan perilaku yang tidak wajar, dibuat-buat untuk mencari perhatian, muncul keluhan sulit tidur, muncul perilaku seksual yang tidak wajar, kecanduan obat bius, minuman keras, muncul perilaku makan yang tidak normal, seperti anorexia atau bulimia. 2. Konseling Bermain Konseling bermain merupakan intervensi yang dikembangkan yang berkaitan dengan penggunaan sistematis dari metode bermain oleh seorang konselor untuk membawa peningkatan dalam kemampuan siswa sampai penampilan yang paling optimal di sekolah (Van Fleet, 2001). International Association for Play Therapy (2001) mendefinisikan terapi bermain sebagai penggunaan sebuah model secara sistematis untuk membangun proses interpersonal dalam membantu klien mengatasi kesulitan psikologis dan memperoleh perkembangan optimal dengan cara bermain. Ginnot menegaskan bahwa konseling bermain merupakan seperangkat prosedur yang digunakan untuk melakukan konseling dengan anak melalui penggunaan secara sistematis dari metode bermain, permainan, dan alat permainan. Terapi bermain merupakan pendekatan yang sesuai untuk melakukan konseling dengan anak karena bermain adalah hal yang alami bagi anak. Melalui manipulasi mainan anak dapat menunjukkan bagaimana perasaannya mengenai dirinya sendiri, dan orang-orang yang penting serta peristiwa dalam hidupnya secara lebih memadai daripada melalui kata-kata. Konselor yang menggunakan konseling bermain sebagai intervensinya dimaksudkan untuk:
a. berkomunikasi dengan siswa b. membantu siswa memperoleh keterampilan c. meningkatkan penyesuaian siswa dengan ruang kelas dan lingkungan sekolah d. meningkatkan hubungan dengan teman sebaya e. menghindari berbohong pada siswa, kekerasan di sekolah, dan masalah-masalah serius lainnya f. menentukan kebutuhan-kebutuhan siswa bermasalah g. memindahkan hambatan emosional dan perilaku terhadap pembelajaran. Dalam terapi bermain ada beberapa metode yang digunakan diantaranya: non-directiv atau humanis, directiv, dan behavioral. Pada metode non-directiv, anak diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri seoptimal mungkin dan sekehendaknya di ruang bermain. Konselor akan mengamati perilaku anak dan memberikan umpan balik terhadap perilaku yang ditampilkan oleh anak. Pada metode directiv, anak diarahkan oleh konselor dari alat permainan, tema cerita atau tema bermain. Selanjutnya, baru anak akan dipancing untuk dapat mengekspresikan dirinya. Adapun metode behavioral dalam pelaksanaannya akan mengandalkan pemberian reinforcement penguat atau hadiah (http ://www.tabloid-nakita.com) Strategi yang digunakan dalam konseling bermain adalah: permainan boneka, menceritakan cerita, bermain, bermain kelompok, dan permainan pasir. Adapun proses teurapetik meliputi lima tahapan 5 R, yaitu relating (berhubungan) dengan konselor, releasing (melegakan) perasaan, recreating (menciptakan) kembali kejadian-kejadian, reexperiencing (mengalami kembali) perasaan dan pikiran yang kacau, dan resolving (memecahkan) masalah dan konflik dengan mempraktikan tingkah laku baru dalam bermain (Djiwandono, 2005).
H. Pendekatan dan Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2005: 4). 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian tindakan (action research). Yaitu suatu pencarian sitematik yang dilaksanakan oleh para pelaksana program dalam kegiatannya sendiri (dalam pendidikan dilakukan oleh guru, dosen, kepala sekolah, konselor), dalam mengumpulkan data tentang pelaksanaan kegiatan, keberhasilan, dan hambatan yang dihadapi untuk kemudian menyusun rencana dalam melakukan kegiatan-kegiatan penyempurnaan (Syaodih, 2005; 140). Model penelitian tindakan yang dikembangkan oleh Kurt Lewin (Arikunto, 2002: 83) terdiri dari 4 komponen pokok yang juga menunjukkan langkah, yaitu: 1. perencanaan atau planning; 2. tindakan atau acting; 3. pengamatan atau observing; 4. refleksi atau reflecting. Keempat komponen ini dibentuk dalam sebuah ‘siklus’ sehingga penelitian tindakan merupakan kegiatan berkelanjutan berulang. Peneliti bertindak sebagai konselor yang
memberikan konseling bermain kepada siswa yang mengalami tindakan kekerasan sampai masalah yang dialami dapat direduksi. 3. Teknik Penelitian Teknik pengumpulan data dilakukan dengan multi teknik atau multi instrumen. Walcott dalam Nana Syaodih (2005: 151) menyebutkan ada tiga strategi pekerjaan lapangan primer dalam penelitian tindakan yaitu: pengalaman, pengungkapan, dan pengujian. Pengalaman (experiencing) dilakukan dalam bentuk observasi, dalam hal ini yang diobservasi adalah perilaku dan masalah psikologis yang ditampilkan oleh siswa yang mengalami kekerasan. Pengungkapan (enquiring) dilakukan melalui wawancara, pengedaran angket, untuk mengungkap jenis tindakan kekerasan yang diterima oleh siswa serta mengungkap perasaan-perasaan siswa yang mengalami kekerasan. Adapun pembuktian (examinating) dilakukan dengan mencari bukti-bukti dokumenter seperti wawancara dengan guru dan wali kelas.
I. Subjek Penelitian Pemilihan subjek dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu menetapkan sampel sesuai dengan tujuan penelitian (Sudjana, 2002: 96). Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah 5 orang siswa kelas V dan VI SD Al-Falah yang teridentifikasi mengalami tindakan kekerasan orangtua berupa kekerasan fisik dan kekerasan emosional.