BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang. Sejak bayi lahir atau bahkan sejak dalam kandungan orang tua telah
mencita-citakan agar anaknya kelak menjadi orang yang berguna dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kedua orang tuanya. Apakah keinginan orang tua itu kelak terwujud atau tidak tergantung kepada perkembangan dan lingkungan, yang jelas begitu bayi lahir ayah ibunya menimang-nimang agar kelak anaknya menjadi dokter, insinyur, jendral, gubernur, dan sebagainya.1 Anak merupakan salah satu aset pembangunan nasional yang patut dipertimbangkan dan diperhitungkan juga dari segi kualitas atau mutu dan masa depannya. Tanpa kualitas yang handal dan masa depan yang jelas bagi anak tersebut, dikhawatirkan pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib bangsa akan sulit pula dibayangkan. 2 Khususnya di negara Indonesia kedudukan anak menjadi bagian utama dalam sendi kehidupan keluarga, agama, bangsa, dan negara, baik dalam menumbuh kembangkan intelegensi anak maupun mental spiritual, hal ini dilandasi dengan ciri khas kepribadian bangsa Indonesia sendiri yang memiliki sistem hukum yang berasal dari sendi-sendi hukum adat dan ras. Di dalam tataran realitas tersebut bangsa Indonesia telah menempatkan anak selain sebagai aset
1 2
Djoko Widagdho, 2010, Ilmu Budaya Dasar, Bumi Aksara, Jakarta, Hal.127. Bunadi Hidayat, 2010, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, Alumni, Bandung, Hal.1.
Universitas Sumatera Utara
masa depan dan pelanjut estafet pembangunan, tetapi juga menempatkan anak pada tempat yang seyogyanya mampu melakukan tugas perkembangannya.3 Seorang anak dalam menjalani proses kehidupannya pasti akan melalui banyak fase atau tahapan kehidupan. Salah satu fase yang akan dilalui oleh anak adalah fase remaja dan adolescent, yang dimaksud dengan fase tersebut adalah suatu proses transisi atau masa-masa perpindahan dari fase anak-anak menuju fase dewasa, di mana mereka akan menunjukkan tingkah laku anti sosial yang potensial dan disertai banyak pergolakan hati atau kekisruhan hati yang membuat anak remaja/adolesens kehilangan kontrol dan pada akhirnya jika mereka tidak dapat mengendalikan emosinya, emosi tersebut akan meletup dan menjadi bumerang baginya. Apabila dibiarkan tanpa adanya pembinaan dan pengawasan yang tepat, cepat serta terpadu oleh semua pihak, maka gejala kenakalan anak ini akan menjadi tindakan-tindakan yang mengarah kepada tindakan yang bersifat kriminalitas. 4 Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain karena adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup, sebagian orang tua telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan, dan pembinaan dalam 3
Arifin, 2007, Pendidikan Anak Berkonflik Hukum Model Konvergensi Antara Fungsionalis dan Religious, Alfabeta, Bandung, Hal.18. 4 Wagiati Sutedjo, 2008, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, Hal.16.
Universitas Sumatera Utara
pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya. Pendidikan yang baik akan mengembangkan kedewasaan pribadi anak tersebut. 5 Akhir-akhir ini, dapat diketahui bahkan dilihat di berbagai surat kabar yang memuat tentang kejahatan atau perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak yang secara kuantitatif dan kualitatif, semakin meningkat dari tahun ke tahun yang membuat keresahan dilingkungan masyarakat. Seperti yang dikutip dalam harian online Bisnis, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjelaskan bahwa jumlah anak sebagai pelaku dalam kasus kejahatan semakin meningkat. Pada tahun 2014, tercatat 67 kasus anak yang menjadi pelaku kekerasan. Sementara pada tahun 2015 menjadi 79 kasus, selain itu, anak sebagai pelaku tawuran mengalami kenaikan dari 46 kasus di tahun 2014 menjadi 103 kasus pada 2015. 6 Harian online Sindo juga menyebutkan bahwa, sebanyak 107 anak di kota Depok sepanjang tahun 2014 terjerat berbagai kasus hukum mulai dari korban hingga menjadi pelaku. Menurut Wakapolres Depok AKBP Irwan Anwar, jika dihitung berdasarkan rata-rata hariannya, setiap tiga hari terdapat satu kasus anak
5
Ravel Daniel Rondonuwu, 2015, Proses Persidangan Perkara Tindak Pidana Pencurian Dilakukan Oleh Anak, Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015, diakses dari ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/viewFile/7014/6519, Hal.189, diakses tanggal 14 Maret 2016 pukul 13.00 WIB. 6 www.m.bisnis.com/lifestyle/read/20160102/236/506440/catatan-akhir-tahun-kpai-anaksebagai-pelaku-kejahatan-meningkat diakses tanggal 14 Maret 2016 pukul 13.50 WIB.
Universitas Sumatera Utara
yang terjadi di Depok. Kasus yang dialami anak-anak ini berbagai macam seperti, pencabulan, penganiayaan, bahkan anak juga terlibat dalam kasus pembunuhan.7 Berbagai kasus tindak pidana yang telah dilakukan oleh anak diatas, penulis merasa tertarik dengan tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anak. Pembunuhan berencana itu sendiri merupakan suatu perbuatan yang merampas nyawa orang lain, atau membunuh, dimana dilakukan perencanaan terlebih dahulu mengenai waktu atau metode atau cara, dengan tujuan memastikan keberhasilan si pelaku atau untuk menghindari penangkapan. Pembunuhan berencana dalam hukum umumnya merupakan tipe pembunuhan yang paling serius, dan pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup. Tentu saja tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anak jelas dipandang sangat terlarang dan tidak wajar dilakukan oleh anak, karena anak seharusnya menjadi tunas bangsa dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang bukan menjadi pembawa keresahan di dalam lingkungan masyarakat. Kemampuan anak yang masih sangat terbatas, labil dan tidak sesempurna orang dewasa dalam proses pencarian jati diri serta kondisi yang ada di luar diri anak inilah yang kerap kali menjadi penyebab seorang anak melakukan tindak pidana, oleh karena itu masalah penegakan hukum harus benar-benar diperhatikan dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak. Terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana tersebut selanjutnya pasti akan dilakukan tindakan hukum atau proses penegakan hukum, dimana 7
www.metro.sindonews.com/read/944884/31/107-anak-di-depok-terlibat-kasus-hukum1420114823 diakses tanggal 14 Maret 2016 pukul 14.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
dalam proses penegakan hukum tersebut, penanganan Terdakwa anak tersebut lebih mengedepankan pada aspek perlindungan hak-hak anak didalam tiap tingkat pemeriksaannya. Berdasarkan hal tersebut, masalah penegakan hukum ( law enforcement ) dengan pembaruan/ pembangunan hukum ( law reform and development ) merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan, karena penegakkan hukum merupakan bagian (subsistem) dari keseluruhan sistem atau kebijakan penegakan hukum pidana nasional yang pada dasarnya juga merupakan bagian dari sistem atau kebijakan pembangunan nasional. Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy) baik dalam arti penegakan in abstracto dan in concreto, merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan sistem penegakan hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang kebijakan pembangunan nasional (national development policy). Atas dasar hal itu, agar kebijakan dalam sistem pemidanaan
anak
sejalan
dengan
pembangunan
nasional,
maka
perlu
memperhatikan rambu-rambu yang telah ada dari seluruh kebijakan pembangunan hukum nasional.8 Panjangnya proses peradilan yang dijalani oleh anak tersangka pelaku kejahatan, sejak proses penyidikan di kepolisian sampai selesai menjalankan hukuman di lembaga pemasyarakatan merupakan sebuah gambaran kesedihan seorang anak. Kejadian selama proses peradilan tentunya akan menjadi
8
Nandang Sambas, 2010, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak Di Indonesia. Graha Ilmu, Bandung, Hal.195. (Selanjutnya disebut Buku 1)
Universitas Sumatera Utara
pengalaman tersendiri bagi kehidupan anak yang sulit terlupakan. Pengalaman demikian akan membekas dalam diri mereka. 9 Di dalam proses hukumnya aspek perlindungan hak-hak anak harus tetap diperhatikan dalam sistem peradilan, maka tentunya proses hukum yang diberikan kepada Terdakwa anak harus berbeda perlakuannya dengan proses hukum yang diberikan kepada Terdakwa dewasa, begitu juga dengan penjatuhan pidana, tentunya sangat tidak adil jika penjatuhan pidana yang diberikan untuk Terdakwa dewasa sama dengan Terdakwa anak mengingat bahwa anak adalah penerus generasi bangsa, maka harus memperhatikan kepentingan dan masa depan anak. Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Tujuan sistem peradilan pidana dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah untuk menjaga harkat dan martabat anak, dimana anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan, oleh karena itu Sistem Peradilan Pidana Anak tidak hanya ditekankan pada penjatuhan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana saja, melainkan juga difokuskan pada pemikiran bahwa penjatuhan sanksi dimaksudkan sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana tersebut.10 Berdasarkan uraian tersebut, hal ini menunjukkan bahwa Peradilan Pidana Anak yang adil memberikan perlindungan terhadap anak, baik sebagai tersangka,
9
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Refika Aditama, Bandung, Hal.12. (Selanjutnya disebut Buku 1). 10 Lilik Mulyadi, 2014, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Alumni, Bandung, Hal.102.
Universitas Sumatera Utara
terdakwa, maupun sebagai terpidana/narapidana, sebab perlindungan terhadap anak ini merupakan tonggak utama dalam Peradilan Pidana Anak dalam negara hukum karena penjara bukan untuk anak, sebab yang dibutuhkan anak adalah pendidikan, yang dibutuhkan anak adalah bantuan, dan yang dibutuhkan anak adalah bimbingan. Pemenjaraan terhadap anak adalah pembunuhan masa depan anak karena dengan labelisasi dan stigma bahwa dia sebagai narapidana, dia akan terhukum sepanjang hidup dan menjadi catatan pada setiap meja birokrasi. 11 Berkaitan dengan hal tersebut yang dalam kenyataan hakim dalam menjatuhkan putusan kadang-kadang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Akhirnya dapat merugikan bagi diri si pelaku, terutama dalam menjatuhkan putusan terhadap anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan perhatian khusus untuk terus tumbuh dan berkembang sebagai generasi penerus bangsa, dalam konteksnya sering dianggap tidak adil bagi anak. Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang perlindungan hukum dan pertimbangan hakim terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak, untuk itu penulis mengangkat skripsi dengan judul : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 1/Pid.Sus.Anak/2015/PN–STB) B.
Rumusan Masalah.
11
Hadi Supeno, 2010, Kriminalisasi Anak, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal.119.
Universitas Sumatera Utara
1. Bagaimana perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia ? 2. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana pembunuhan berencana dalam Putusan
Pengadilan
Negeri
Stabat
Nomor
1/Pid.Sus.Anak/2015/PN-STB ? C.
Tujuan dan Manfaat Penulisan. 1. Tujuan Penulisan, yaitu : a. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia. b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana pembunuhan berencana. 2. Manfaat penulisan, yaitu : a. Manfaat secara teoritis. Secara teoritis diharapkan dapat memberi masukkan terhadap perkembangan ilmu Hukum Pidana, sekaligus pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan “ Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak dari Perspektif Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”. b. Manfaat secara praktis
Universitas Sumatera Utara
Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi pemikiran kepada Aparat Penegak Hukum, Pelaku Tindak Pidana, Masyarakat dan Pemerintah. D.
Keaslian Penulisan. Judul Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku
Tindak Pidana
Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 1/Pid.Sus.Anak/2015/PN–STB) ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini asli merupakan hasil karya penulis sendiri. Penulis menyusun skripsi ini dari referensi perpustakaan serta bantuan dari berbagai pihak, dan jika dikemudian hari ditemukan Judul dan Perumusan Masalah yang sama maka penulis akan bersedia menerima sanksi akademik yang dijatuhkan Universitas. E.
Tinjauan Kepustakaan.
1. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur – Unsur Tindak Pidana. a. Pengertian Tindak Pidana. Istilah tindak pidana dikenal dengan istilah straafbar feit, akan tetapi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak ditemukan definisinya, begitupula dengan KUHP yang tidak menjelaskan secara rinci pengertian dari straafbaar feit tersebut. Strafbaar feit berasal dari bahasa belanda yang dibagi atas dua kata yaitu straafbaar yang berarti dapat dihukum dan feit memiliki pengertian
Universitas Sumatera Utara
sebagian dari suatu kenyataan, sehingga makna harfiah perkataan strafbaar feit adalah sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.12 Penjelasan mengenai strafbaar feit tidak ditemukan di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami, guna untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak. 13 Kemudian istilah tindak pidana juga menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku atau gerak-gerik jasmani seseorang, hal-hal tersebut menunjukkan kepada seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Berdasarkan hal teresebut, timbul satu aturan mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat, yang di dalam undang-undang ditentukan pada Pasal 164 KUHP, dimana ketentuan dalam pasal ini mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila akan timbul suatu kejahatan, namun pada nyatanya dia tidak melaporkan, karena perbuatannya yang tidak melaporkan itu, maka dia dapat dikenai sanksi. 14 Profesor Teguh Prasetyo, memberikan pandangannya mengenai pengertian tindak pidana, menurutnya tindak pidana itu merupakan perbuatan yang melanggar hukum, dimana perbuatannya itu jelas merupakan suatu kesalahan 12
P.A.F Lamintang, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,, Bandung, Hal.181. (Selanjutnya disebut Buku 1). 13 Mohammad Ekaputra, 2013, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press, Medan, Hal.74. 14 Teguh Prasetyo, 2013, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab dan pelaku tersebut diancam dengan pidana.15 Simons juga mendefinisikan kata “straafbar feit” sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum,16 hal tersebut didasarkan kepada : a. Adanya suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, kemudian pelanggaran tersebut dapat dinyatakan sebaga suatu tindakan yang dapat dihukum. b. Tindakan tersebut memenuhi unsur delic yang telah dirumuskan undangundang. c. Merupakan tindakan melawan hukum. Penggunaan kata Strafbaar feit mengalami kendala saat diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, karena dalam menerjemahkan kata tersebut para ahli memiliki pandangan yang berbeda, adapun istilah yang muncul saat kata Strafbaar Feit diterjemahkan yaitu : Tindak Pidana, Delik, Perbuatan Pidana, Peristiwa Pidana. 17 Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
15
Ibid, Hlm.217 P.A.F Lamintang, Buku 1, Op.cit, Hal.185. 17 Tongat, 2002, Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press,Malang, Hal.101. (Selanjutnya disebut Buku 1). 16
Universitas Sumatera Utara
dimana pernjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.18 b. Unsur-unsur tindak pidana Secara umum, unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan kedalam dua macam, yaitu: 1. Unsur Obyektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yang dapat berupa: a. Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak berbuat. Contoh unsur obyektif yang berupa “perbuatan” yaitu perbuatanperbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang. Perbuatanperbuatan tersebut dapat disebut antara lain perbuatan-perbuatan yang dirumuskan di dalam Pasal 242, 263, 362 KUHP. Di dalam ketentuan Pasal 362 misalnya, perbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang adalah perbuatan mengambil. b. Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materil. Contoh unsur obyektif yang berupa suatu “akibat” adalah akibat-akibat yang dilarang dan diancam oleh undang-undang dan sekaligus merupakan syarat mutlak dalam tindak pidana antara lain akibat-akibat sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 351, 338 KUHP.
18
J Munthe, 2014, Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Yang Disebabkan Pengaruh Minuman Keras Yang Terjadi Di Kabupaten Sleman, diakses dari ejournal.uajy.ac.id/5980/1/JURNAL%20HK10030.pdf, dikases tanggal 30 Maret 2016 pukul 17.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya di dalam ketentuan Pasal 338 KUHP, unsur obyektif yang berupa “akibat” yang dilarang dan diancam dengan undang-undang adalah akibat yang berupa matinya orang. c. Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh undang-undang adalah keadaan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 160, 281 KUHP. Misalnya didalam ketentuan Pasal 282 KUHP unsur obyektif yang berupa “keadaan” adalah di tempat umum. 2. Unsur Subyektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri si pelaku (dader) yang berupa: a. Hal yang dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan ( kemampuan bertanggungjawab ) b. Kesalahan atau schuld. Berkaitan dengan masalah kekampuan bertanggungjawab di atas, persoalannya adalah kapan seseorang dapat dikatakan mampu bertanggungjawab apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat, yaitu: 1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga mengerti akan nilai dari akibat perbuatannya itu. 2. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
Universitas Sumatera Utara
3. Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan mana yang tidak dilarang oleh undang-undang.19 Menurut P.A.F Lamintang, unsur-unsur suatu tindak pidana itu adalah: a. Unsur Subjektif 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); 2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; 4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; 5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain yang terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. b. Unsur Objektif 1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid; 2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; 3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyatan sebagai akibat. 20 Menurut Moeljatno, unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah : a. Kelakuan dan akibat (dapat disamakan dengan perbuatan). b. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan. c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. d. Unsur melawan hukum yang objektif. e. Unsur melawan hukum yang subjektif. 21
19
Tongat, 2003, Hukum Pidana Materiil, UMM Press, Malang, Hal. 4-5. (Selanjutnya disebut Buku 2). 20 P.A.F Lamintang, Buku 1, Op.cit, hlm 193-194. 21 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 69.
Universitas Sumatera Utara
2. Penjatuhan Pidana/ Pemidanaan dan Teori-Teori Pemidanaan. a. Pengertian Pemidanaan. Berbicara masalah pidana tentu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pemidanaan. Di dalam hal ini, menurut Prof. Sudarto mengatakan bahwa : “Perkataan pemidanaan sinonim dengan istilah ‘penghukuman’. Penghukuman sendiri berasal dari kata ‘hukum’, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumannya (brechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya dalam lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh karena istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerapkali sinonim dengan pemidanan atau pemberian atau penjatuhan oleh hakim. Berdasarkan pendapat Sudarto tersebut, dapat diartikan bahwa pemidanaan merupakan penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Tahap pemberian pidana dalam hal ini terdapat dua arti, yaitu dalam arti luas dan arti konkret. Arti luas yang menyangkut pembentuk undang-undang yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana, sedangkan dalam arti konkret, yang menyangkut berbagai badan yang mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana tersebut.22 Professor
Jerome
Hall
memberikan
batasan
konseptual
tentang
pemidanaan yang dianggap membawa kemajuan besar dalam konsep pemidanaan, lebih lanjut ia memberikan deskripsi mengenai konsep pemidanaan, yaitu: 1. 2. 3. 4.
Pemidanaan merupakan kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup; Ia memaksa dengan kekerasan; Ia diberikan atas nama Negara; Pemidanaan mensyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya, dan penentuannya yang diekspresikan dalam putusan;
22
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, Hal.33. (Selanjutnya disebut Buku 2).
Universitas Sumatera Utara
5. Ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika; 6. Tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan yang dapat diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas atau kepribadian dari si pelanggar, motif serta dorongannya.23 b. Teori-Teori Pemidanaan. 1. Teori Absolut/Retributif. Teori ini menjelaskan bahwa, apabila seseorang yang dalam hal ini merupakan subjek hukum terbukti melakukan suatu tindak pidana yang kemudian dengan itu ia harus mendapat sebuah hukuman akibat dari perbuatan yang dilakukannya dan hukuman itu dijatuhkan sebagai suatu bentuk balas dendam/pembalasan. Teori ini berfokus pada hukuman ataupun pemidanaan yang merupakan suatu tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan (vergelding) terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan jahat. Selanjutnya dikatakan oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan pada si korban, maka harus diberikan pula penderitaan sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat, jadi penderitaan harus dibalas dengan penderitaan. 24 Teori pembalasan ini terbagi lima lagi, yaitu : 1) Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari etika Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak dari kesusilaan (etika) terhadap seorang penjahat yang telah merugikan orang lain. 23
M. Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hlm.70 24 Marlina, Buku 2, Op.cit, Hlm 41.
Universitas Sumatera Utara
2) Pembalasan bersambut Teori ini dikemukakan oleh Hegel, yang menyatakan bahwa hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan. Menurut Hegel untuk mempertahankan hukum yang merupakan perwujudan dari kemerdekaan dan keadilan, kejahatan-kejahatan secara mutlak harus dilenyapkan dengan memberikan pidana kepada penjahat. 3) Pembalasan demi keindahan dan kepuasan Teori ini dikemukakan oleh Herbart, yang mengatakan bahwa pembalasan merupakan tuntutan mutlak dari perasaan ketidakpuasan masyarakat, sebagai akibat dari kejahatan, untuk memidana penjahat, agar ketidakpuasan masyarakat terpulihkan kembali. 4)
Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan (agama)
Teori ini dikemukakan Sthal (termasuk juga Gewin dan Thomas Aquino) yang mengemukakan bahwa kejahatan adalah merupakan pelanggaran terhadap prikeadilan Tuhan dan harus ditiadakan. Karenanya mutlak harus diberikan penderitaan kepada penjahat demi terpeliharanya pri keadilan Tuhan. Cara mempertahankan prikeadilan Tuhan ialah melalui kekuasaan yang diberikan Tuhan kepada penguasa Negara. 5)
Pembalasan sebagai kehendak manusia
Teori ini dikemukakan oleh J.J. Rousseau, Grotius, yang mendasarkan pemidanaan juga sebagai perwujudan dari kehendak manusia. Menurut ajaran ini adalah merupakan tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan, dia
Universitas Sumatera Utara
akan menerima sesuatu yang jahat.25 Manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan, artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina si pelaku kejahatan. 26 2. Teori Relatif atau Teori Pencegahan. Teori ini lahir sebagai reaksi terhadap teori retributif, yang bertujuan untuk tidak mengadakan pembalasan dari suatu kejahatan melainkan untuk menjaga ketertiban yang ada di dalam masyarakat, jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang melakukan kejahatan melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan atau sebagai prevensi/pencegahan. Teori ini menjelaskan bahwa, dalam mencapai tujuan pencegahan atau perbaikan dari si pelaku tindak pidana, tidak boleh hanya dipandang secara negatif bahwa si pelaku tindak pidana harus dijatuhkan pidana, tetapi juga harus dipandang secara positif dianggap baik, bahwa pemerintah mengambil tindakan yang tidak bersifat pidana. Tindakan ini misalnya berupa pengawasan si pelaku tindak pidana atau menyerahkan kepada suatu lembaga swasta dalam bidang
25
Adatua Simbolon, 2014, diakses dari digilib.unila.ac.id/5332/8/BAB%20II.pdf, diakses tanggal 30 Maret 2016 pukul 19.30 WIB 26 H.Usman, 2012, Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana, diakses dari online journal.unja.ac.id/index.php/jih/article/download/54/43, diakses tanggal 20 Maret 2016 pukul 15.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
sosial, untuk menampung orang-orang tersebut yang perlu didik menjadi anggota masyarakat yang berguna (bevalligings-matrelegen). Ilmu pengetahuan hukum pidana, membagi teori ini menjadi dua bagian, yaitu: a. Prevensi umum (General Preventie); b. Prevensi khusus (Speciale Preventie). Menurut Vos bentuk teori prevensi umum yang paling lama berwujud pidana yang mengandung sifat menjerakan/menakutkan dengan pelaksanaannya di depan umum yang mengharapkan suggestieve terhadap anggota masyarakat lainnya agar tidak berani melakukan kejahatan lagi, perlu diadakan pelaksanaan pidana yang menjerakan dengan dilaksanakan di depan umum, pelaksanaan yang demikian menurut teori ini memandang pidana sebagai suatu yang terpaksa perlu “noodzakelijk”, demi untuk mempertahankan ketertiban masyarakat.27 Berbeda dengan prevensi umum, mengenai prevensi khusus, Van Bemmelen menyatakan masyarakat yang beranggapan bahwa pidana merupakan pembenaran yang terpenting dari pidana itu sendiri. Bertolak dari pendapat bahwa manusia (pelaku suatu tindak pidana) di kemudian hari akan menahan diri supaya jangan berbuat seperti itu lagi, karena ia mengalami pembelajaran bahwa perbuatannya menimbulkan penderitaan. Jadi pidana akan berfungsi mendidik dan memperbaiki. 28 Berdasarkan hal tersebut, prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan 27 28
Marlina, Buku 2, Op.cit, Hal.57. Ibid, Hal.58.
Universitas Sumatera Utara
penjahat karena dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. Teori prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar narapidana jangan mengulangi perbuatannya lagi, dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna.29 3. Teori Gabungan. Teori gabungan merupakan gabungan antara teori absolut dan teori relatif.. Teori gabungan ini juga bertujuan selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini muncul sebagai reaksi terhadap kedua teori sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai teori pemidanaan. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu : a. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan. b. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan
29
H.Usman, Op.cit, Hal.71.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan. 30 Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu : 1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat; 2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. 31 Indonesia sendiri menganut teori pemidanaan gabungan dimana teori ini merupakan gabungan dari teori absolut (teori pembalasan) dan teori relatif (teori tujuan). Sanksi yang dijatuhkan mengandung unsur pembalasan bagi pelaku kejahatan dan peringatan juga kepada orang lain untuk tidak melakukan kejahatan. Contohnya di dalam Lembaga Pemasyarakatan para narapidana tidak hanya sebatas dihukum saja tetapi juga diberikan pendidikan dan keterampilan agar menjadi manusia yang berguna di masyarakat saat narapidana tersebut bebas. Menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam penjatuhan pidana terhadap seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu sanksi tindakan bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
30
Ibid, Hal.73. Rahman Amin, 04 Mei 2015 “Teori-Teori Pemidanaan Dalam Hukum Pidana” diakses dari http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/2015/05/teori-teori-pemidanaan-dalam-hukum.html, diakses tanggal 4 April 2016 pukul 16.00 WIB. 31
Universitas Sumatera Utara
Anak), dan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas. a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak): 1. 2. 3. 4. 5.
Pengembalian kepada orang tua/Wali; Penyerahan kepada seseorang; Perawatan di rumah sakit jiwa; Perawatan di LPKS; Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; 6. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau 7. Perbaikan akibat tindak pidana. b. Sanksi Pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak): Pidana Pokok terdiri atas: 1. Pidana peringatan; 2. Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan; 3. Pelatihan kerja; 4. Pembinaan dalam lembaga; 5. Penjara. Pidana Tambahan terdiri dari: 1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau 2. Pemenuhan kewajiban adat. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial
Universitas Sumatera Utara
Profesional mengambil keputusan untuk: (Pasal 21 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak) a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan. 3. Tinjauan Umum Tentang Anak. a. Pengertian anak. Terdapat beberapa pengertian anak menurut peraturan perundangundangan begitu juga menurut para ahli, namun tidak ada keseragaman mengenai pengertian anak tersebut, berikut ini merupakan beberapa pengertian anak dalam peraturan perundang-undangan. a. Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dikatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. b. Menurut Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dikatakan bahwa anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Universitas Sumatera Utara
c. Menurut Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Sedangkan apabila ditinjau batasan umur anak sebagai korban kejahatan ( BAB XIV ) adalah apabila berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun. d. Menurut pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditetapkan juga bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin. e. Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Convention on the Right of the Child (CRC) atau KHA menetapkan defenisi anak: “Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undangundang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. f. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dikatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut Nandang Sambas, bahwa pengertian anak dapat dikaji dari perspektif sosiologis, psikologis dan yuridis. a. Perspektif sosiologis dalam hal ini diartikan dengan kriteria seorang anak, bukan semata-mata didasarkan pada batas usia seseorang, akan tetapi dipandang dari segi mampu tidaknya seseorang untuk dapat
Universitas Sumatera Utara
hidup mandiri menurut pandangan sosial kemasyarakatan dimana ia berada. b. Perspektif psikologis, berarti pertumbuhan manusia mengalami fasefase perkembangan kejiwaan yang masing-masing ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Untuk menentukan kriteria seorang anak, disamping ditentukan atas dasar batas usia, juga dapat dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang dialaminya. c. Perspektif yuridis berarti kedudukan seorang anak menimbulkan akibat hukum. Di dalam lapangan hukum keperdataan, akibat hukum terhadap kedudukan seorang anak menyangkut kepada persoalanpersoalan hak dan kewajiban, seperti masalah kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak, penyangkalan sahnya anak, perwalian, pendewasaan, serta masalah pengangkatan anak dan lain-lain, sedangkan dalam lapangan hukum pidana yaitu menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.32 b. Pengertian anak nakal/juvenile delinquency. Anak sebagai pelaku tindak pidana sering disebut dengan istilah kenakalan anak atau juvenile delinquency. Istilah juvenile delinquency berasal dari juvenile artinya young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat khas
pada
masa
muda,
dan
delinquency
artinya
wrong
doing,
terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial,
32
Nandang Sambas, 2013, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak serta Penerapannya, Graha Ilmu, Yogyakarta, Hal.1-4. (Selanjutnya disebut Buku 2).
Universitas Sumatera Utara
kriminal, pelanggar aturan, dursila dan lain-lain. 33 Dengan demikian Juvenile delinquency ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda ataupun anak cacat sosial yang merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.34 Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak nakal adalah: 1) Anak yang melakukan tindak pidana, atau 2) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, istilah anak nakal tidak dikenal lagi tetapi digunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum.
Pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 35
33 Nashriana, 2012, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, Hlm. 25. 34 Kartini Kartono, 2014, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal.6. 35 Maidin Gultom, 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, Hal.68.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan istilah Anak untuk menggantikan Anak Nakal tersebut hanya sebagai penghalusan bahasa (eufemisme) agar tidak memberikan stigma negatif. Di dalam perspektif labeling memang bisa dipahami penggunaan istilah Anak untuk menggantikan istilah Anak Nakal karena jika disebut Anak Nakal, Anak Pidana, Anak Negara, Anak Sipil maka akan selalu memberikan stigma negatif (label) yang secara kriminologis akan mendorong pengulangan tindak pidana pada anak yang terlanjur mendapat label. 36 c. Sebab-sebab timbulnya kenakalan anak. Masa anak-anak adalah masa yang sangat rawan dalam melakukan suatu tindakan, karena masa anak-anak merupakan suatu masa yang sangat rentan dengan berbagai keinginan dan harapan untuk mencapai sesuatu ataupun melakukan sesuatu. Seorang anak dalam melakukan suatu tindakan tidak ataupun kurang menilai akibat akhir dari tindakan yang dilakukannya, sebagai contoh anak yang suka mencoret-coret dinding, pagar atau tembok orang, dan melempar batu. Perbuatan tersebut secara hukum dilarang dan dikenakan sanksi pidana. Anak yang telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum tersebut harus diperbaiki perilakunya dan diberi arahan agar jangan dikorbankan masa depan anak dengan memasukannya dalam proses sistem pengadilan pidana dan menerima hukuman yang berat atas perbuatannya tersebut.37 Pelaku kenakalan anak adalah korban. Memang, mungkin anak terbukti melakukan tindak kenakalan yang melanggar hukum positif, karena kelakuannya 36
Evan Tjiang, 2014, Sistem Sanksi Pidana Dalam Hukum Pidana Anak Di Indonesia, Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014, Hal.64, diakses dari ejournal.unsrat.ac.id › Home › Vol 3, No 4 (2014) › Tjiang , diakses tanggal 29 Maret 2016 pukul 19.00 WIB. 37 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, 2012, Refika Aditama, Bandung, Hal.60. (Selanjutnya disebut Buku 3).
Universitas Sumatera Utara
mungkin akan menggangu tertib sosial, karena kenakalannya membuat marah publik, dan karena ulahnya ada pihak yang dirugikan, bahkan karena kenakalannya akan mengakitbatkan kematian atau siksaan bagi orang lain, namun apa pun alasannya sesungguhnya dia adalah korban. Korban dari apa, siapa, dan dari mana? Dia adalah korban dari perlakuan yang salah yang dilakukan orangtuanya, dia adalah korban dari pendidikan gurugurunya, dia adalah korban dari kebijakan pemerintah lokal, dan dia juga adalah korban dari lingkungan sosial yang memberikan tekanan psikis sehingga anakanak melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Bahkan karena ada nilai-nilai yang terinternalisasi sejak usia dini, dia tidak tahu bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah perrbuatan yang melanggar hukum.38 Menurut Romli Atmasasmita, bentuk motivasi kenakalan anak itu ada dua macam, yaitu: motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik. Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai dengan perangsang dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar. Motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak, terdiri dari: 1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari kenakalan anak adalah: a. Faktor intelegensia; b. Faktor usia; c. Faktor kelamin; d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga;
38
Hadi Supeno, Op.cit, hlm 91-92.
Universitas Sumatera Utara
2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik dari kenakalan anak adalah: a. Faktor rumah tangga; b. Faktor pendidikan dan sekolah; c. Faktor pergaulan anak; d. Faktor media masa. 39 Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kathleen Sallen, dikatakan bahwa ada beberapa faktor sosial yang menyebabkan delinquency yaitu: 1. Jenis kelamin dan perilaku delinquency. Anak perempuan lebih sedikit keterlibatannya dengan delinquency dan lebih jarang dalam kejahatan dibanding anak laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak-anak yang dilaporkan melakukan tindak pidana di kepolisian, jumlah kasus perkara pidana yang masuk dan diselesaikan di Pengadilan Negeri Medan dan jumlah anak yang berada dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak. 2. Adanya pengaruh teman bermain anak, anak yang bergaul dengan anak yang tidak sekolah atau berpendidikan dan kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya, maka anak tersebut besar kemungkinan akan melakukan delinquency. 3. Kebanyakan anak yang melakukan kejahatan adalah anak-anak dari kelas ekonomi rendah/lemah. Perilaku kriminal ini disebabkan oleh kekurangan fasilitas untuk bermain dan belajar sesuai dengan masa perkembangan kejiwaan
anak, hal
memerhatikan
39
ini dikarenakan
kebutuhan
orang tua mereka kurang
anak–anaknya
dikarenakan
keterbatasan
Nashriana, Op.cit, Hal.35-36.
Universitas Sumatera Utara
ekonomi, sehingga pada akhirnya anak–anak tersebut harus melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak baik untuk memiliki/memenuhi kebutuhan pribadinya dan menurutnya hal itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Seperti anak melakukan pencurian sandal dan pakaian, anak mengambil mainan temannya, anak mengambil tape mobil, dan sebagainya. 4. Disamping kekurangan ekonomi, kebanyakan anak yang terlibat dalam delinquent adalah anak-anak yang berasal dari keluarga broken home.40 4. Tindak pidana pembunuhan. a. Pengertian pembunuhan Pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain, untuk menghilangkan nyawa orang lain itu, seseorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut.41 Dilihat dari kepentingan hukum yang dilindunginya, tindak pidana ini merupakan jenis tindak pidana terhadap kepentingan hukum yang berupa “nyawa”. Justru karena itulah di dalam KUHP jenis tindak pidana ini berada di bawah bab tentang kejahatan-kejahatan terhadap nyawa orang. Di dalam KUHP tindak pidana pembunuhan diatur dalam Buku II Bab XIX. Tindak pidana ini termasuk delik materiil (material delict), artinya untuk kesempurnaan tindak pidana ini tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan, akan tetapi menjadi syarat juga adanya akibat dari perbuatan itu. 40
Marlina, Buku 3, Op.cit, hlm 62. P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.1. 41
Universitas Sumatera Utara
Timbulnya akibat yang berupa hilangnya nyawa orang atau matinya orang dalam tindak pidana pembunuhan merupakan syarat mutlak. Sebab apabila akibat berupa hilangnya nyawa orang itu belum terjadi, maka belum dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana pembunuhan. Apabila akibat hilangnya nyawa belum terjadi, maka yang terjadi barulah percobaan pembunuhan.42 Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat kita ketahui bahwa unsurunsur tindak pidana pembunuhan, yaitu: a. Unsur obyektif: 1) Perbuatan: menghilangkan nyawa; 2) Obyeknya: nyawa orang lain; b. Unsur subyektif: 1) Adanya wujud perbuatan ; 2) Adanya suatu kematian; 3) Adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain). 43 b. Jenis-jenis tindak pidana pembunuhan Secara umum, tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam KUHP dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu : 1. Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. Tindak pidana ini meliputi beberapa tindak pidana pembunuhan, yaitu:
42
Tongat, 2003, Hukum Pidana Materiil, Djambatan, Jakarta, Hal.3. (Selanjutnya disebut
Buku 3). 43
Adami Chazawi, 2013, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal.57.
Universitas Sumatera Utara
a. Tindak pidana pembunuhan pada umumnya, yang meliputi tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338, 340, 344, dan 345 KUHP. b. Tindak pidana pembunuhan terhadap bayi pada saat dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan, yang diatur dalam Pasal 341, 342, dan 343 KUHP. 2. Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan tanpa adanya kesengajaan, yang diatur dalam Pasal 359 KUHP. Berdasarkan pengelompokan tersebut tersimpul bahwa tindak pidana pembunuhan dapat terjadi baik karena unsur “kesengajaan” maupun karena unsur “ketidaksengajaan”. Apabila kelompok tindak pidana pembunuhan di atas diurutkan sesuai dengan sistematika dalam KUHP, maka urutannya adalah sebagai berikut: 1. Tindak pidana pembunuhan biasa, diatur dalam Pasal 338 KUHP. 2. Tindak pidana pembunuhan yang dikualifikasi, diatur dalam Pasal 339 KUHP. 3. Tindak pidana pembunuhan berencana, diatur dalam Pasal 340 KUHP. 4. Tindak pidana pembunuhan terhadap bayi atau anak, diatur dalam Pasal 341, 342, dan 343 KUHP. 5. Tindak pidana pembunuhan atas permintaan korban, diatur dalam Pasal 344 KUHP. 6.
Tindak pidana pembunuhan terhadap diri sendiri (bunuh diri), diatur dalam Pasal 345 KUHP.
Universitas Sumatera Utara
7. Tindak pidana pengguguran kandungan, diatur dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. 44 c. Pembunuhan berencana Pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu atau disingkat dengan pembunuhan berencana merupakan pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, hal ini diatur dalam pasal 340 yang rumusannya adalah “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun”. Rumusan tersebut terdiri dari unsur – unsur: Unsur delik Pasal 340 KUHP yang dibuktikan adalah unsur subjektif di mana pembuktiannya lebih sulit daripada membuktikan unsur objektif dari suatu delik, karena membuktikan isi hati seseorang. Apabila dalam membuktikan unsur subjektif dari suatu delik menjumpai kesulitan kita perlu melihat: 1. Ajaran kausalitet untuk mengetahui siapa pelaku tindak pidana. 2. Rangkaian perbuatan yang mengakibatkan timbulnya delik. 3. Perbuatan yang disimpulkan untuk mendapatkan akibat yang paling logis. 45 F.
Metode Penulisan. 1. Jenis Penelitian 44 45
Tongat, Buku 3, Op.cit, hlm 3-4. Suharto, 2002, Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.83.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode penetilitan yuridis normatif, yaitu penelitian dilakukan terhadap peraturan perundangundangan dan norma-norma positif dalam system perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan penulisan ini, menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, penilitian hukum normatif mencakup : a. Penelitian terhadap asas-asas hukum b. Penelitian terhadap sistematika hukum c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal d. Perbandingan hukum e. Sejarah hukum.46 2. Sumber dan pengumpulan data Penulisan hukum yang bersifat normatif selalu menitik beratkan pada data sekunder, data sekunder pada penilitan dapat dibagi menjadi bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier. a. Bahan hukum primer ,yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti KUHP Indonesia dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. b. Bahan hukum sekunder ,yaitu bahan yang memberiikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti media cetak, media elektronik, dan hasil penelitian c. Bahan hukum tertier 46
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2004, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal.15.
Universitas Sumatera Utara
,yaitu bahan yang memberiikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti KBBI, dan kamus hukum. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, yang dimaksud dengan studi kepustakaan adalah suatu penelitian yang dilakukan deengan cara mengumpulkan data dari berbagai sumber seperti bukubuku,peraturan tentang Tindak Pidana, selain itu penelitian terhadap artikel-artikel ilmiah yang dimuat di Koran dan majalah baik dalam bentuk media cetak maupun yang dimuat di internet 3. Analisis Data Data sekunder yang telah diperoleh dan disusun secara sistematik, kemudian dianalasis secara kualitatif, yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada di dalam skripsi ini G.
Sistematika Penulisan Penulisan Skripsi ini diuraikan dalam 4 bab, dan tiap-tiap bab terbagi atas
beberapa sub bab, untuk mempermudah dalam menguraikan dan memaparkan materi dari skripsi ini dapat digambar sebgai berikut: BAB I
: Pendauhuluan , bab ini merupakan gambaran umum yang berisi Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II
: Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia Dari
Universitas Sumatera Utara
Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. BAB III
: Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Ditinjau dari Putusan
Pengadilan
Negeri
Stabat
Nomor
1/Pid.Sus.Anak/2015/PN–STB. BAB IV
: Penutup, Bab terakhir dari seluruh rangkaian bab sebelumnya yang bersisi kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini dan dilengkapi dengan saran-saran.
Universitas Sumatera Utara