1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kekayaan sastra nusantara sungguh tidak dapat diragukan lagi keberadaannya. Akan tetapi, masyarakat umum cenderung terjebak pada istilah sastra pada bentuk sastra modern saja. Padahal, khazanah sastra nusantara tidak hanya sastra modern, tetapi juga sastra tradisional yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke. Banyak genre karya sastra tradisional yang sangat menarik untuk diteliti, puisi rakyat salah satunya. Puisi rakyat umumnya memiliki bentuk kalimat yang terikat (fix phrase). Ungkapan tradisional (peribahasa), pertanyaan tradisional (teka-teki), mantra merupakan macam-macam bentuk puisi rakyat. Danandjaja (2007: 46) menyatakan bahwa puisi rakyat pada umumnya terdiri dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama. Ciri-ciri puisi rakyat ini terdapat di dalam beberapa sastra kidung yang berasal dari tanah Sunda. Sastra kidung sebagian besar lahir pada masa kerajaan Majapahit. Bahasa yang digunakan pada umumnya adalah bahasa Jawa Pertengahan. Robson mengemukakan bahwa bahasa Jawa Pertengahan tersebut adalah bahasa Bali-Kawi. Bahasa Jawa Pertengahan itu tidak lain adalah bahasa Bali-Kawi. Istilah Kawi adalah suatu sebutan terhadap bahasa yang digunakan dalam karya sastra klasik, baik karya kakawin, kidung, maupun parwa-parwa. Jadi istilah kawi
2
mencakup bahasa Jawa Kuna atau Jawa Pertengahan (Robson dalam Sukartha, 1996:70). Zoetmoelder dalam Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang (1983) menyebutkan bahwa bahasa Jawa Pertengahan bukanlah sumber atau bahasa proto dari bahasa Jawa Baru. Bahasa Jawa Pertengahan dan bahasa Jawa Baru merupakan bahasa umum selama periode Hindu Jawa sampai runtuhnya Kerajaan Majapahit. Bahasa ini kemudian tumbuh dan berkembang di Bali. Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan oleh I Gusti Ketut Ranuh (dalam Sukartha, 1996:70) yang menyatakan bahwa bahasa Jawa Pertengahan tumbuh dan berkembang di Jawa pada zaman Majapahit. Bahasa Jawa Pertengahan ini kira-kira berada di antara bahasa Jawa kuna dan bahasa Jawa Baru. Singkatnya, bahasa Jawa Pertengahan merupakan kelanjutan dari bahasa Jawa Kuna. Bahasa ini kemudian berkembang menjadi bahasa Bali Dataran (Kepara). Secara
singkat
Sukartha
(1996:72)
mengemukakan
bahwa
secara
konvensional sastra kidung menggunakan bahasa Jawa Pertengahan sebagai media pengantar, “Bahasa Jawa Pertengahan yang merupakan kelanjutan bahasa Jawa Kuna di Bali merupakan konvensi dari bahasa sastra kidung (Sukartha, 1996:72)”. Penggunaan bahasa Jawa Pertengahan sebagai media pengantar dalam sastra kidung, menjadikan kidung sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan ritual budaya Bali, ritual keagamaan Hindu khususnya. Lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa di Bali fungsi kidung adalah sebagai pengiring upacara ritual selain kakawin.
3
Di Bali, kidung biasanya dinyanyikan atau dibacakan untuk mengiringi upacara keagamaan di samping kakawin, upacara agama Hindu di Bali yang sering diiringi dengan kidung seperti Upacara Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Resi Yadnya, dan Bhuta Yadnya, (Sukartha, 1996:74). Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa kidung memang merupakan karya sastra klasik yang lahir pada masa kerajaan Majapahit. Akan tetapi, ternyata sastra kidung juga terdapat di Sunda. Hal ini diperkirakan karena Majapahit secara khusus pernah menciptakan sebuah kidung bagi kerajaan Sunda pasca meledaknya perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda di Bubat, yang dikenal dengan nama Perang Bubat. Perang itu terjadi karena pikiran Gadjah Mada yang menganggap persetujuan Raja Sunda untuk menikahkan puterinya (Dyah Pitaloka) dengan Hayam Wuruk adalah sebuah bentuk takluknya Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Majapahit. Padahal, niat Hayam Wuruk melalui pernikahan itu untuk mempererat tali persaudaraan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda. Hal itu dilakukannya karena Raden Wijaya yang merupakan pendiri Majapahit juga merupakan keturunan Sunda. Ia merupakan anak Rakeyan Jayadarma (Raja Kerajaan Sunda) dari Dyah Lembu Tal. Hal ini juga tercatat dalam “Pustaka Rajyatajya I Bhumi Nusantara”. Dalam “Babad Tanah Jawi”, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jajaka Susuruh dari Pajajaran. Kidung yang bernama Kidung Sunda tersebut, diserahkan kepada Kerajaan Sunda. Melalui rangkaian peristiwa seperti itulah diperkirakan sastra kidung masuk ke dalam kebudayaan Sunda.
4
Karakteristik kidung Majapahit adalah berbahasa Jawa Pertengahan, dituturkan, dan digunakan dalam ritual agama Hindu. Karakteristik kidung tersebut memiliki banyak perbedaan dengan karakteristik Kidung Sri Lima (selanjutnya disebut KSL) yang dikaji dalam penelitian ini. KSL merupakan puisi rakyat yang berasal dari Kampung Cipining-Bogor. Kampung yang terletak di Bogor bagian barat ini berada di kawasan perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dengan Banten. Secara geografis, lokasi asal KSL memang masuk dalam wilayah Jawa Barat, tetapi secara antropologis budaya masyarakatnya lebih dekat dengan budaya masyarakat Banten. Hal inilah juga yang kemudian menyebabkan KSL berbeda dengan kidung yang lahir pada masa Kerajaan Majapahit. Dilihat dari segi bahasanya, KSL menggunakan bahasa Sunda dengan dialek Banten sebagai media pengantarnya. Sementara itu, kidung-kidung pada masa kerajaan Majapahit menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Secara struktur pun berbeda. Kidung-kidung yang lahir di masa kerajaan Majapahit, seperti “Kidung Sorandaka”, “Kidung Sunda”, “Kidung Ranggalawe”, “Kidung Sudamala”, merupakan karya sastra klasik yang terdiri dari beberapa pupuh, sedangkan KSL merupakan teks berbentuk puisi rakyat yang terdiri dari lima bait dengan pola penuturan yang tidak terikat pupuh. Selain itu, karena faktor perbedaan kelahiran waktu dan lokasi, KSL dan kidung-kidung Majapahit berbeda dalam hal isi. Yurnaldi dalam Kompas.com edisi 1 Desember 2008, menyebutkan bahwa kidung-kidung yang lahir di istana Majapahit
5
merupakan karya orang-orang di dalam istana (kerajaan), biasanya yang menciptakannya adalah seorang pemuka agama kerajaan. Sementara itu, KSL merupakan produk masyarakat pemiliknya secara kolektif. Kidung-kidung Majapahit umumnya menceritakan tentang kejadian-kejadian di tanah Jawa. Hal ini lebih dispesifikasikan dengan kejadian di lingkungan keraton Jawa sendiri dengan suasana khas Jawa (baca:Majapahit) saat itu. Ini sangat berbeda dengan apa yang tersirat dalam KSL. KSL merupakan puisi lima bait yang menyiratkan keadaan masyarakat pemiliknya yang saat itu sangat membutuhkan sebuah pertolongan, dalam hal ini kesuburan untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Atas hal tersebut, tujuan dituturkannya teks adalah sebagai sebagai sebuah persembahan bagi dewi kesuburan, Dewi Sri. Dalam mitologi masyarakat Sunda, Dewi Sri dikenal sebagai dewi padi. Heryana mengemukakan bahwa Dewi Sri merupakan asal-muasalnya tumbuhan padi. Dewi Sri dipercayai oleh masyarakat Sunda sebagai cikal bakalnya padi yang menjadi makanan pokok dan penunjang utama kehidupan. Tanpa padi, sulit rasanya bagi mereka untuk melangsungkan hidup, sungguh pun ada tumbuhtumbuhan lain yang sesungguhnya bisa dijadikan sebagai bahan makanan (Heryana, 2006:65). Nama Dewi Sri sendiri dalam kepercayaan masyarakat Sunda memiliki banyak nama, di antaranya Nyi Pohaci Sanghyang Sri, Nyi Pohaci Sanghyang Asri, Pohaci Sanghyang Asri, dan Nyi Dangdayang Tresnawati (Heryana, 2006:37). Dalam teks KSL ini, nama yang digunakan adalah Sri (merujuk pada Dewi Sri). Edi S. Ekadjati
6
(2005:62-63) menerangkan bahwa Nyi Pohaci Sanghyang Asri tinggal di sebuah lapisan teratas (lapisan alam) dari 18 lapisan yang letaknya di antara Buana Nyungcung (tempat Hyang Keresa) dan Buana Panca Tengah (tempat manusia berdiam). Pohaci merupakan pelaksana perintah Sunan Ambu ke bumi manusia di Pancatengah (kuartinitas horizontal) untuk menjaga dan memelihara kebutuhankebutuhan manusia (Soemardjo, 2003:239). Dewi Sri menjadi pusat tujuan pemujaan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Sunda, terutama mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pertanian. Hal tersebut karena masyarakat Sunda Lama menganggap Padi merupakan simbol kemakmuran. Berbagai upacara yang dilakukan oleh masyarakat agraris tidak lepas dari penghormatan atau pemujaan kepada Sanghyang Sri Pohaci. Bagi orang Sunda, pemujaan tersebut merupakan bentuk penghormatan bagi yang diupacarai (Rozak, 2005:91).
Masyarakat
pemilik
KSL
merupakan
masyarakat
agraris
yang
menggunakan sistem ladang (huma) dalam mengelola tanah. Jakob Soemardjo dalam Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda (2003:347) menspesifikasikan wilayah geografis masyarakat ladang di kebudayaan Sunda, yakni berada di kawasan Bogor, Banten, dan Kanekes. Hal ini karena faktor kondisi geografis wilayah tersebut didominasi oleh daerah perbukitan yang lebih cocok dikembangkan budidaya padi huma. Sebenarnya seluruh kawasan Sunda pernah menerapkan sistem berladang dalam kegiatan bercocok tanam padi. Akan tetapi, budaya tersebut berangsur-angsur hilang seiring dengan runtuhnya pusat-pusat Sunda, pada tahun 1575 digantikan oleh
7
kerajaan Islam dengan tata nilai Jawa yang juga menerapkan sistem budaya sawah dalam bercocok tanam. Dalam proses penciptaannya, kidung sangat erat dengan kegiatan spiritual dan sistem religi kepercayaan masyarakat saat itu. KSL merupakan sebuah perwujudan bagaimana para leluhur Sunda Lama memahami alam, lingkungan, dirinya, dan zat di luar dirinya (dewa). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pemilik teks saat itu telah mengalami evolusi religi tingkat kedua, di mana gerak alam disebabkan oleh adanya ruh. Mereka telah mempercayai bahwa aliran sungai, air terjun, gunung meletus, gempa bumi, serta tumbuhnya tumbuh-tumbuhan disebabkan oleh suatu kekuatan alam, yang oleh manusia kemudian dipersonifikasikan sebagai makhlukmakhluk yang memiliki kepribadian, kehendak, dan akal. Makhluk-makhluk halus yang berada di belakang gerak alam itu kemudian menjelma sebagai dewa-dewa alam (EB. Taylor dalam Koentjaraningrat, 2002:192). Beberapa penelitian mengenai kidung telah dilakukan baik oleh peneliti dalam negeri maupun luar negeri. Penelitian mengenai kidung diawali oleh Berg yang mempergunakan bahan sastra kidung untuk tesisnya mengenai tradisi historis Jawa Pertengahan pada tahun 1926. Berg juga menyunting beberapa kidung Majapahit, di antaranya “Kidung Harsawijaya’ (1932), “Kidung Ranggalawe” (1931), dan “Kidung Sunda” dalam dua versi yang berbeda yakni pada tahun 1927 dan tahun 1928. S.O. Robson pun pernah menerbitkan telaahnya mengenai “Wangbang Wideya”, Kidung panji pertama yang pernah diterbitkan dan kidung pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Edisi-edisi kritis disertai terjemahan mengenai dua syair Jawa
8
pertengahan yang ditulis di Jawa Timur pernah diterbitkan sebagai tesis yaitu “Kidung Sudamala” oleh P. Van Stein Callenfels (1932) dan “Kidung Sri Tanjung” oleh Prijono pada tahun 1937. Peneliti dalam negeri juga pernah meneliti beberapa kidung dalam Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah pada tahun 1980. Salah satunya adalah Haksan Wirasutisna yang menerjemahkan “Kidung Sunda”. Pada tahun 2008, penelitian sejenis mengenai kidung telah dilakukan oleh Agus Aris Munandar pada Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Penelitiannya berjudul “Kajian Integratif Pengembangan dan Perlindungan Situs Peninggalan Majapahit di Trowulan”. Akan tetapi, penelitian terhadapa Kidung Sri Lima belum ditemukan. Penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya didominasi oleh penelitian mengenai terjemahan teks dan edisi teks dalam rangka inventarisasi. Hal tersebut berbeda dengan apa yang dilakukan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini kidung diteliti tidak sebatas pada kegiatan terjemahan saja, tetapi juga menelusuri berbagai aspek kidung. Mulai dari struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, hingga fungsi. Atas dasar beberapa hal di atas, timbul ketertarikan peneliti untuk mengetahui secara mendalam mengenai KSL yang merupakan bagian dari sastra lisan nusantara, yang lahir dan tumbuh melalui lisan ke lisan. Maka, pada penelitian ini, peneliti memberi judul “Analisis Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan, dan Fungsi Kidung Sri Lima sebagai Sastra Lisan di Kampung Cipining-Bogor”.
9
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Bagaimana struktur teks Kidung Sri Lima? 2) Bagaimana proses penciptaan Kidung Sri Lima? 3) Bagaimana konteks penuturan Kidung Sri Lima? 4) Fungsi apa sajakah yang terkandung dalam teks Kidung Sri Lima?
1.3 Tujuan Penelitian Pada penelitian ini, peneliti memiliki beberapa tujuan, di antaranya adalah mendapatkan deskripsi hal-hal yang berkaitan dengan KSL yang merupakan produk masyarakat ladang Sunda Lama. Tujuan-tujuan dalam penelitian ini untuk memperoleh gambaran mengenai hal-hal berikut; 1) struktur teks Kidung Sri Lima; 2) proses penciptaan Kidung Sri Lima; 3) konteks penuturan Kidung Sri Lima; 4) fungsi yang terkandung dalam teks Kidung Sri Lima.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, diharapkan penelitian ini mampu mengisi atau menambah kekayaan penelitian sastra tradisional nusantara yang alangkah kayanya, khususnya penelitian mengenai sastra kidung yang berasal dari tatar Sunda. Karena pada
10
umumnya, masyarakat mengenal sastra kidung sebagai sastra klasik Majapahit. Melalui penelitian ini, masyarakat Sunda, khususnya kalangan akademis, sedikitnya ditambahkan pengetahuan lain mengenai sastra kidung yang terdapat di kebudayaan Sunda dan dituturkan dalam sebuah upacara ritual penanaman padi. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi pribadi sebagai penambah wawasan tentang sastra di nusantara, khusunya tanah Sunda. Bagi peneliti lain, semoga bermanfaat sebagai media penambah informasi sebuah karya masyarakat ladang yang hidup di tanah Sunda.
I.5 Deskripsi Lokasi Penelitian Kidung Sri Lima berasal dari sebuah kampung kecil di barat Kabupaten Bogor, Kampung Cipining Desa Argapura Kecamatan Cigudeg. Cigudeg adalah kecamatan di barat Kabupaten Bogor. Tipografi dearahnya sebagian besar adalah daerah pegunungan. Perbatasan daerah ini sebagai berikut: sebelah barat
: Kecamatan Jasinga,
sebelah timur : Kecamatan Leuwisadeng, sebelah utara
: Kecamatan Parungpanjang, dan
sebelah selatan : Kecamatan Sukajaya. Daerah Cigudeg sebagian besar adalah daerah perkebunan cokelat (dulu), kini adalah daerah perkebunan kelapa sawit dan sedikit perkebunan teh di puncak gunung Cirangsad. Daerah Kampung Cipining, Desa Argapura merupakan daerah sawah yang dikelilingi oleh gunung dan bukit. Desa Argapura berpenduduk 6.039 jiwa, dengan
11
jumlah penduduk perempuan 4.554 jiwa dan jumlah penduduk laki-laki 4.770 jiwa, serta jumlah rumah tangga 998 (Sumber: BPS Podes).
1.6 Definisi Operasional Guna menghindari kesalahan persepsi pada penelitian ini, berikut disajikan beberapa definisi operasional. 1) Kidung Sri Lima adalah sebuah puisi yang dinyanyikan pada saat ritual bercocok tanam padi, berasal dari Kampung Cipining Desa Argapura Kecamatan Cigudeg Kab. Bogor, digunakan sebagai media persembahan bagi Nyi Pohaci Sanghyang Sri (dewi kesuburan). 2) Analisis struktur adalah analisis unsur-unsur intrinsik teks Kidung Sri Lima yang meliputi formula sintaksis, formula bunyi, irama, majas, dan isotopi. 3) Proses penciptaan merupakan proses kreatif bagaimana teks Kidung Sri Lima diciptakan. 4) Konteks penuturan adalah situasi/kondisi, pihak yang terlibat, waktu, tempat, dan susunan pertunjukkan saat teks Kidung Sri Lima dituturkan, meliputi penutur (pelaku), pendengar, waktu, dan setting. 5) Fungsi adalah kegunaan atau manfaat Kidung Sri Lima bagi masyarakat pendukungnya.