BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Penelitian ini berangkat dari dua ‘kegelisahan akademik’ peneliti melihat
fenomena perkembangan gerakan Salafi di Cirebon. Pertama, kembalinya para alumni Timur Tengah terutama dari Arab Saudi dan Yaman pada dekade 1990-an. Kedatangan mereka membuat umat Islam Cirebon yang tenteram dan nyaman dalam menjalankan ibadah sebagaimana diajarkan dalam pesantren-pesantren yang ada, dianggap salah dan banyak mengandung unsur syirik dan bid’ah, misalnya: istighasah, tawasul, ziarah (nyekar) kubur, membaca al-barzanji dan asyraqal badru ‘alaina, serta dzikir berjamaah. Tidak hanya itu, mereka juga mulai mengkritisi dan menyalahkan tradisi dan budaya lokal Cirebon, seperti: Rebo wekasan (hari Rabu terakhir di bulan Safar), muludan (memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW), ngunjung (memperingati ulang tahun desa), mapagsri (menyambut masa panen padi), dan nadran (pesta laut). Kegiatankegiatan tersebut di atas dianggap sia-sia dan tidak ada manfaatnya. Sementara dalam hal berpakaian, kalangan laki-laki memakai jubah panjang (jalabiyah), pantalon yang panjangnya hanya sampai mata kaki (isbal), dan memelihara jenggot (lihyah), sedangkan di kalangan perempuan mengenakan pakaian longgar warna hitam yang menutupi seluruh tubuh (niqab) dan bercadar di ruang-ruang publik yang tidak populer. Hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang asing dan janggal bagi masyarakat Muslim Cirebon.
1
2
Kedua, kehadiran yayasan dan pondok pesantren ber-manhaj Salaf di tengah-tengah masyarakat yang menganut pemahaman tradisional serta mengikuti praktik Islam kultural dan pengamal tarekat. Mayoritas Muslim Cirebon mengikuti pemahaman Islam tradisional yang sangat menentang ajaran-ajaran Wahabi. Hal ini dibuktikan dengan beberapa hal. (a) Sebagian besar pondok pesantren yang berkembang di Cirebon bermadzhab Ahlussunnah wal Jamaah li Nahdliyyah dan Islam kultural, antara lain: Pondok Pesantren Dar al-Tauhid alIslamy Arjawinangun, pernah menjadi tempat tabayyun (meminta penjelasan) K.H. Abdurrahman Wahid mengenai konsep pribumisasi Islam yang kemudian dikenal dengan istilah Islam Nusantara pada 8-9 Maret 1989 oleh sekitar 200 kiai; Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, pernah menjadi tuan rumah Musyawarah Besar Kaum Muda Nahdlatul Ulama pada 21-22 Juni 2009; Pondok Buntet Pesantren, pernah menjadi tempat pertemuan para kiai Nahdlatul Ulama mengenai penunjukan K.H. Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU periode 1984-1999, menjadi presiden RI ke-4; Pondok Pesantren Kempek, pernah menjadi tempat Musyawarah Besar Alim Ulama dan Konferensi Nasional Nahdlatul Ulama pada 14-17 September 2012 dan desa dimana Ketua Umum PBNU sekarang, K.H. Said Aqil Siradj, lahir dan dibesarkan. (b) Masyarakat Cirebon masih membaca barzanji, maulid diba’, ratib al-Haddad, dan asyraqal badru dalam acara-acara tertentu, misalnya: malam Jum’at, tasyakuran, dan peringatan hari besar Islam. (c) Masyarakat Cirebon masih membaca talqin, tahlil, dan surat Yasin ketika ada kerabat dan tetangga yang meninggal dunia. (d) Masyarakat Cirebon masih menyelenggarakan tabligh akbar dalam rangka memperingati hari besar Islam,
3
misalnya: peringatan Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi Muhammad SAW, Tahun Baru Hijriah, dan Nuzulul Quran. (e) Masyarakat Cirebon masih mempertahankan ziarah kubur sebagai tradisi turun temurun, terutama ziarah ke Makam Sunan Gunung Jati pada malam Jumat Kliwon. Mereka juga masih melaksanakan tawasul (berdoa kepada Allah melalui perantara yang dianggap sangat dekat dengan Allah) dan istighasah (berdoa secara bersama-sama di tempat umum dengan tujuan dan maksud yang sama). (f) Mayoritas masjid mengumandangkan dua kali adzan dalam shalat Jumat. Bahkan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan Cirebon, adzan pertama dalam shalat Jumat dikumandangkan oleh tujuh orang muadzin. Sementara itu, ada beragam penyebutan yang berkembang di masyarakat mengenai kelompok ini, antara lain: Wahabi, Salafi, dan Assunnah. Pertama, Wahabi. Penyebutan ini di-nisbat-kan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab yang merupakan pendiri gerakan pembaharuan Islam dan pemurnian tauhid Abad XVIII di Arab Saudi. Istilah ini dikenal di kalangan Nahdliyin dan pengikut tarekat. Kedua, Salafi. Penyebutan ini di-nisbat-kan kepada salaf al-ṣalih yaitu orang-orang yang teguh memegang al-Quran dan Sunnah. Istilah ini dikenal di kalangan ustadz, santri, dan jamaah Pondok Pesantren Assunnah dan Pondok Pesantren Dhiya’us Sunnah serta yang bermitra dengan keduanya. Bahkan, adapula yang melebarkan dan mengembangkan ‘julukan’ Salafi kepada orangorang yang berpikiran radikal, bertindak anarkis, hingga pelaku teroris. Ketiga, Assunnah. Penyebutan ini di-nisbat-kan kepada ‘Assunnah’ yang merujuk pada dua hal, yaitu: (a) diambil dari kata sunnah atau hadis yang menjadi rujukan
4
utama dan slogan dakwah, serta (b) Yayasan Assunnah Kalitanjung yang merupakan lembaga pertama pengusung gerakan Salafi di Cirebon. Bahkan, masyarakat umum menamakan ‘Assunnah’ kepada siapapun yang berjenggot, bercelana cingkrang, dan memakai cadar. Pula terhadap pesantren lain yang memiliki kesamaan ciri-ciri tersebut. Istilah ini banyak digunakan di masyarakat umum. Penyebutan ‘Assunnah’ ini pernah membuat peneliti bingung saat ngojek menuju Pondok Pesantren Dhiya’us Sunnah Dukuh Semar. Dalam pikiran peneliti bahwa Assunnah itu berada di Kalitanjung, sementara yang hendak dituju adalah Dhiya’us Sunnah Dukuh Semar yang berdiri sendiri dan tidak ada hubungannya dengan Assunnah Kalitanjung. Setelah ditanya kepada tukang ojek, ternyata ia menyebut semua pesantren yang para ustadznya berjenggot dan bercelana cingkrang serta perempuannya berpakaian longgar warna hitam dan bercadar dengan satu sebutan yaitu ‘Assunnah’. Adapun yang dibedakan hanya desa atau kecamatannya saja, misalnya: Assunnah Kalitanjung, Assunnah Dukuh Semar, Assunnah Gunung Jati, dan lain-lain. Klaim ‘merasa paling Islami’ dari para pengusung doktrin Salafi membuat masyarakat Cirebon resah. Mereka berusaha untuk menyebarkan ajaranajaran Salafi dengan menggunakan tindakan-tindakan yang dapat memicu konflik dengan masyarakat. Adapun alasan mereka melakukan tindakan tersebut karena didorong oleh keinginan untuk membersihkan Cirebon dari unsur-unsur yang mengandung bid’ah, khurafat, dan syirik. Berikut beberapa insiden yang dilakukan oleh pengikut ‘Assunnah’, antara lain: memecahkan kaca musholla di
5
Grogol, merusak bedug masjid di Setu, dan membuang salah satu perlengkapan kegiatan muludan di Gegesik. Hal ini sengaja dilakukan karena dalam pandangan Salafi bahwa jihad yang paling utama yaitu memerangi ahli bid’ah (mubtadi’) daripada berperang melawan kaum kafir karena kerusakan yang dilakukan oleh pelaku bid’ah lebih berbahaya. Membantah pelaku bid’ah serta menjelaskan bahaya aqidahnya merupakan sebuah kewajiban untuk membersihkan ajaran, manhaj, dan syariat Allah dari unsur-unsur bid’ah. Adapun kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari praktik bid’ah dan syirik hanya dapat diketahui oleh para ulama (Ayyub, 2015: 107). Di kalangan Salafi bahwa sebutan ahli bid’ah, pelaku bid’ah, atau mubtadi’ adalah penyebutan yang paling kasar dan menyakitkan karena dianggap sebagai orang yang telah keluar dan menyimpang dari aturan-aturan al-Quran dan sunah Rasulullah. Pengakuan sebagai pemberantas bid’ah dan syirik serta mengikuti perilaku salaf al-ṣalih menjadi ciri khas gerakan Salafi di Cirebon. Klaim ini menandakan bahwa mereka adalah pembela ajaran-ajaran Salafiyah yang berbeda dengan sebutan Salafiyah yang telah berkembang selama ini melalui pondok pesantren tradisional. Klaim lainnya yang memicu konflik yaitu merasa sebagai kelompok paling benar sehingga sibuk mengingkari, membantah, atau mencela kesesatan orang lain dengan alasan berjihad membela Islam, dan yang paling fatal adalah bersikap fanatik terhadap ulama dan kelompoknya.
6
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari ulasan latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk meneliti
gerakan Salafi di Cirebon khususnya di era reformasi. Adapun penelitian ini terfokus pada pertanyaan-pertanyaan berikut: 1)
Mengapa gerakan Salafi dapat masuk ke Cirebon?
2)
Mengapa gerakan Salafi masih bertahan di Cirebon?
3)
Mengapa
konflik
horizontal
antara
pengikut
Salafi
dengan
para
pengkritiknya tidak meluas menjadi konflik nasional?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan Penelitian Secara akademis, penelitian ini bermaksud untuk mengetahui fenomena
gerakan Salafi di Cirebon era reformasi, terutama fokus pada pembahasan konflik dan tantangan kelompok Salafi dalam menyebarkan ajaran serta strategi dalam mempertahankan eksistensinya. Guna mendukung kajian yang dimaksud, penelitian ini dilakukan dengan beberapa tujuan. Pertama, menjelaskan alasan penyebab masuknya gerakan Salafi ke Cirebon. Kedua, menjelaskan alasan kelompok Salafi dalam mempertahankan doktrin ajarannya. Ketiga, menjelaskan alasan pengikut Salafi dalam menyelesaikan konflik dengan masyarakat Cirebon sehingga tidak menjadi konflik nasional.
7
2.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini yaitu: (a) sebagai bahan kajian akademis
atas gerakan Salafi di Cirebon, (b) sebagai pijakan dan sumber referensi dalam penelitian serupa, dan (c) sebagai pengembangan atas kajian komunikasi dan konflik gerakan Salafi di Cirebon.
D.
Tinjauan Pustaka Sudah banyak penelitian yang fokus mengenai gerakan Salafi-Wahabi
dengan beragam pendekatan. Peneliti memetakannya menjadi enam pendekatan. Pertama, pendekatan hermeneutika yaitu menginterpretasikan hasil pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab atas teks-teks agama dan perdebatan-perdebatan yang berkembang dalam ajarannya, misalnya: bid’ah, tauhid, kafir, muslim, syirik, ṭaghut, dan lain-lain. Pendekatan ini menekankan akan pentingnya suatu penafsiran atas sebuah teks. Adapun teks yang dimaksud yaitu teks yang diturunkan langsung dari Tuhan melalui utusan-Nya atau yang biasa dikenal dengan wahyu atau al-Quran, dan teks yang berasal dari hasil pemahaman seseorang tentang wahyu tersebut yaitu kitab tafsir dan kitab hadis. Teks yang kedua ini berupa hasil pemikiran dan gagasan yang kemudian dikenal dengan penafsiran dan ijtihad. Teori penafsiran yang berkembang sekarang ini yaitu teori hermeneutika, yang mana seseorang berhak untuk menafsirkan ayat-ayat suci al-Quran dan hadis sesuai dengan kemampuan akal, kaidah-kaidah dalam penafsiran, dan ilmu pengetahuannya masing-masing. Hasil dari penafsiran kemudian diterima oleh
8
pengikutnya atau ditolak oleh kelompok lain. Adapun alasan diterima atau ditolaknya hasil pemikiran tersebut karena seseorang diberi kebebasan untuk mengkaji ulang pemikiran Ibn Abdul Wahhab sesuai dengan kemampuan akal dan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya serta lingkungan yang ditempati dan kelompok yang dimasukinya. Penolakan dan penerimaan atas suatu teks akan melahirkan sebuah konsep pro dan kontra atas perkembangan ajaran yang dalam hal ini adalah ajaran Wahabi. Konsep pro (mendukung) atas pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab diutarakan oleh al-Allamah Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh (2009) dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (2004, 2012) dalam mengulas tentang dalil-dalil yang digunakan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam menyebarkan pemikirannya kepada umat Islam. Dengan menggunakan analisis deskriptif-naratif yang mana keduanya menjabarkan ide-ide yang dikembangkan oleh pendiri Wahabi. Sementara konsep kontra (menolak) atas pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab dilakukan oleh Syekh Ja’far Subhani (2007) dan Abu Salafy (2009). Dengan menggunakan critical studies, keduanya mengoreksi argumen-argumen yang dikeluarkan oleh Ibn Abdul Wahhab dalam kitabkitabnya, seperti: Kitab al-Tauhîd dan Kasyfu al-Syubhât. Adapun pendekatan yang mencoba melihat pemikiran Ibn Abdul Wahhab dari sisi akademik dilakukan oleh Nur Khalik Ridwan (2009). Sebagai seorang akademisi, ia berusaha melihat perkembangan ideologi Wahabi di Indonesia secara objektif dan ilmiah yang mana referensinya diambil dari berbagai sumber termasuk kelompok yang mendukung dan menolak pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab
9
beserta
para
pengikut
Wahabinya.
Abdullah
Saeed
(2006:
147-148)
mengelompokkan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab ke dalam kategori puritan teologis karena fokus pada ‘purifikasi keyakinan’. Kedua, pendekatan fenomenologi yaitu perkembangan dan dinamika pemikiran Wahabi dalam kehidupan keagamaan di suatu wilayah tertentu. Implikasi dari pemahaman tersebut menjadikan seseorang atau sekelompok umat Islam tertentu akan bertindak sesuai dengan ajaran yang diyakininya, yang kemudian mendirikan lembaga pendidikan, yayasan, dan organisasi berbasis keislaman atau mengimplementasikannya dalam sebuah peristiwa-peristiwa tertentu. Dalam kategori ini menekankan pada pelaksanaan dan kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang sesuai dengan ajaran Islam yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran. Di sini terlihat ritual ibadah dan kesehariannya sehingga peneliti dapat mengklasifikasikan mereka. Penelitian Deliar Noer (1996) merupakan penelitian awal yang fokus pada pembahasan gerakan Islam Indonesia, telah memetakan kelompok Islam di Indonesia menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok Islam tradisional dan kelompok Islam modern. Islam tradisional diwakili oleh Nahdlatul Ulama, sedangkan Islam modern diwakili oleh Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Benih kelompok Islam modern berasal dari gerakan pembaharuan Islam yang dilakukan oleh para pengikut Ibn Taimiyah, Ibn Abdul Wahhab, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha. Dalam penelitiannya, Deliar Noer tidak spesifik membahas tentang Wahabi di Cirebon, baik dari segi sejarah maupun dari
10
segi lainnya. Ia hanya fokus pada dikotomi Islam Indonesia yang dibuatnya sendiri. Sementara
penelitian
Burhanuddin
Daya
(1995)
mengulas
perkembangannya dengan mengambil fokus penelitian pada Sumatera Thawalib. Adapun penelitian yang fokus pada tokoh pembaharuan, misalnya: Tuanku Rao, diulas oleh Mangaradja Onggang Parlindungan (2007) dan Abdul Karim Amrullah oleh M. Djamal (2002). Hasil dari penelitian Parlindungan kemudian mendapatkan
kritik
keras
dari
sahabatnya,
Hamka.
Hamka
(1974)
mengungkapkan sisi-sisi kesalahan sejarah dengan mengutarakan data-data valid yang dapat membantah argumentasi dari sahabatnya. Ketiga, pendekatan diffusionisme yaitu sebuah kajian yang fokus pada mata rantai keilmuan atau keterikatan antara guru dengan murid. Dalam kategori ini dapat terungkap pengaruh seorang guru kepada murid melalui proses pembelajaran atau aktivitas kesehariannya. Dengan menggunakan pendekatan ini, penelitian Azzyumardi Azra (1994) berhasil mengungkap jaringan keilmuan ulama-ulama Indonesia. Terungkap pula silsilah keilmuan Muhammad bin Abdul Wahhab dengan guru dan muridnya bahkan hingga sampai ke ulama Indonesia. Keempat, pendekatan critical studies yaitu melihat sebuah objek penelitian secara kritis dengan mengutarakan argumen-argumen ilmiah sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian. Sifat kritisnya tidak serta merta mengungkap sisi negatif dari sebuah objek semata, namun juga mengungkap sisi positifnya. Penelitian Stephen S. Schwartz (2003) membagi kelompok Islam menjadi dua wajah, yaitu: wajah yang santun dan penuh kasih sayang dengan
11
wajah yang garang dan kejam. Tariq Ali (2004) mencermati satu sisi, yaitu perbedaan ‘sumir’ antara ajaran agama dan praktik para penganutnya. Sementara Natana J. Delong-Bas (2004) mengklasifikasikan ajaran Wahabi sesuai dengan displin ilmu keislaman, yaitu: tauhid, fiqih, feminisme, dan jihad. Adapun Khaled Abou el Fadl (2005) dan David Commins (2006) fokus pada perkembangan gerakan Wahabi di Arab Saudi. Hal ini dikarenakan, Arab Saudi merupakan ‘tempat lahir’ sekaligus ‘kiblat’ dari gerakan Wahabi yang berkembang di berbagai negara, termasuk Indonesia. Penelitian Delong-Bas dan Abou el Fadl membantu peneliti dalam memahami perkembangan gerakan Wahabi di masamasa sekarang. Abou el Fadl begitu cermat mengikuti perkembangan gerakan Wahabi yang kemudian berubah menjadi gerakan Salafi. Ia begitu kritis melihat perubahan penyebutan tersebut dan sukses membawa wacana baru dalam kajian pemikiran Islam tentang Wahabi menjadi Salafi. Sementara penelitian Delong-Bas merupakan pedoman awal dalam memahami pemikiran-pemikiran Ibn Abdul Wahhab dalam menyikapi fenomena dunia Islam yang semakin kompleks ini. Kelima, pendekatan teori pemikiran dan gerakan Islam yaitu metode untuk melihat perubahan pemikiran menjadi gerakan. Munculnya beragam gerakan dan kelompok bermula dari sebuah gagasan, pemahaman, dan perbedaan dalam menyikapi sebuah teks. Dalam memetakan tren pemikiran Islam kontemporer, Abdullah Saeed (2006: 142-154) membaginya menjadi lima kelompok. (a) Tradisional legal yang mengikuti ketentuan madzhab fiqih dan teologi modern, misalnya: Yusuf al-Qaradawi, seorang pemikir fiqih tradisional. (b) Islam politis yang fokus pada perkembangan sosial-politik Islam dalam
12
masyarakat Muslim, misalnya: Abu A’la Maududi (w. 1979), seorang pemikir politik Islam. (c) Muslim sekuler yang berusaha memisahkan antara urusan agama dengan individu dan menolak hukum Islam sebagai hukum formal, misalnya: Ali Abd Raziq dan Abdullahi Ahmed an-Naim. (d) Puritan teologis yang berusaha meluruskan praktik-praktik yang dianggap menyimpang (bid’ah) dan tasawuf, misalnya: Ibn Taimiyah, Ibn Abdul Wahhab, dan Ibn Shalih al-Utsaimin. (e) Ekstrim militan yaitu pemikiran yang menentang Barat dan kolonialismenya, misalnya: Osama bin Laden. Sejak
reformasi
bergulir,
banyak
bermunculan
gerakan
Islam
kontemporer yang mewarnai pertumbuhan paham Islam transnasional di Indonesia membuat Ahmad Syafi’i Mufid (2009) melakukan sebuah pemetaan. (a) Yang berpaham Salafi, misalnya: Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jamaah (FKAWJ), (b) Front Pembela Islam (FPI), (c) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), (d) Ikhwanul Muslimin Indonesia (IMI), (e) Jamaah Tabligh, dan (f) Syiah. Hal senada juga dilakukan oleh Mambaul Ngadhimah (2010), Rubaidi (2011), dan As’ad Said Ali (2012). Penelitian Mambaul Ngadhimah (2010) mengambil benang merah perbedaan tersebut dan menyatukannya dalam bingkai toleransi, kearifan dalam berdialog, dan saling menghormati dan menghargai atas perbedaan pendapat dan persepsi yang muncul di tengah-tengah umat Islam. Sementara penelitian Rubaidi (2011) mengungkapkan bahwa pengelompokan kaum Muslim ke dalam gerakan Islam politik, radikalisme Islam, fundamentalisme Islam, dan terorisme Islam merupakan hasil dari keterkaitan sejarah dengan Timur Tengah yang kemudian
13
menjelma menjadi ormas-ormas Islam transnasional. Pemetaan yang lebih detail diulas oleh As’ad Said Ali (2012), dengan membagi kepada Islam mainstream dan Islam nonmainstream. Dengan menggunakan metode gerakan ideologi sosialpolitik, As’ad memetakan taksonomi gerakan Islam Indonesia menjadi: Islam modernis, Islam tradisionalis-konservatif, transformisme Islam, dan Islam fundamental. Dengan berbekal dari pengalamannya sebagai wakil ketua Badan Intelejen Nasional (BIN), ia begitu detail, jelas, dan berani memetakan organisasiorganisasi Islam dan orang-orang yang memiliki semangat untuk mendirikan Negara Islam Indonesia, baik melalui dakwah, pendidikan, maupun kaderisasi. Penelitian Nuhrison M. Nuh (2009) mengkaji perkembangan radikalisme seiring dengan perkembangan paham transnasionalisme yang kian pesat. Faktorfaktornya yaitu: adanya krisis ijtihad; krisis kepemimpinan umat Islam; dan merebaknya kegiatan tahayul, mistis, dan khurafat; ditambah lagi beberapa faktor terkait lainnya, misalnya: faktor ideologi, politik, sosial, budaya, solidaritas, dan faktor doktrin teologis. Adapun Noorhaidi Hasan (2008) mengulas fenomena perkembangan Laskar Jihad pasca lengsernya orde baru. Sebuah paramiliter yang banyak mendapatkan perhatian bagi orang-orang yang meneliti ormas Islam di Indonesia. Kemunculannya merupakan imbas dari meletusnya perang antar agama di Maluku. Penelitian ini merupakan penelitian awal dalam kajian akademik yang fokus pada gerakan Salafi di Indonesia. Ia begitu konsisten mengungkap semua dinamika dalam gerakan Salafi secara spesifik melalui organsiasi Laskar Jihad
14
yang merupakan bagian dari Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah yang menjadi benih lahirnya ideologi Salafi secara organisatoris. Penelitian Ismail Hasani (2011) fokus pada benang merah kasus-kasus kekerasan yang ada di Jawa Barat dan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Gerakan radikalisme agama yang semakin marak membuat toleransi antar umat beragama terganggu. Dalam penelitian ini diungkap selintas faktor dan kejadian kekerasan yang terjadi di Cirebon. Sementara itu, Muhammad Ali Chozin (2013) memetakan strategi dan mekanisme dalam menyampaikan pesan-pesan ajaran Salafi ke umat Islam Indonesia yang belum mengerti tentang ajaran tersebut. Metode dakwah yang paling utama yaitu: halaqah dan daurah. Dari keduanya melahirkan lembaga pendidikan formal dan non-formal, stasiun radio, majalah bulanan, penerbit buku, dan jejaring sosial. Keenam, pendekatan teori konflik, yaitu suatu bentuk pertentangan yang bersifat alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok karena di antara mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai, atau kebutuhan (Liliweri, 2014: 328). Penelitian Zainal Abidin (2009) memfokuskan pada konflik yang terjadi antara pengikut Salafi dan masyarakat Nusa Tenggara Barat. Setidaknya ada beberapa desa yang mengalami konflik, antara lain: Desa Gelogor, Kecamatan Kediri; Dusun Beroro, Desa Jembatan Lembar, Kecamatan Lembar; Dusun Kebun Talo, Desa Labuhan Tereng, Kecamatan Lembar; dan Kecamatan Sekotong Tengah. Akar permasalahannya karena persoalan khilafiyah, seperti: perayaan maulid Nabi Muhammad SAW, dzikir setelah shalat wajib yang
15
dibaca pelan atau keras, dan pelarangan shalat Jumat di masjid-masjid tertentu bagi jamaah dari kelompok Salafi. Kasus serupa juga diteliti oleh Yusuf Tantowi (2009) di Mataram dan Lombok, serta Ahmad Zainul Hamdi (2009) di Ponorogo. Dari ketiganya dapat ditarik kesimpulan bahwa perseteruan antara pengikut Salafi dan non-Salafi yaitu karena perbedaan dari pola dakwah, pemahaman doktrin keagamaan, metode ijtihad, serta cara dan praktik peribadatan sehari-hari. Perbedaan tersebut dikemudian hari melahirkan kecurigaan, kecemburuan, bahkan ketegangan antar berbagai kelompok. Dalam memahami peta konflik internal Salafi, Muhammad Hisyam (2010) memetakan akar-akar konflik tersebut. Munculnya yayasan yang menggunakan kata ‘sunnah’, misalnya: difa’an al-Sunnah, Ihya al-Sunnah, Ihya al-Turats, Assunnah, dan Dhiya al-Sunnah mewarnai perkembangan dakwah Salafi. Ditambah dengan berdirinya Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ‘ibu’ dari Laskar Jihad, pasukan paramililiter yang bergerak dalam jihad di Maluku, yang dicetuskan oleh Ja’far Umar Thalib. Perbedaan orientasi dan metode dakwah merupakan benih dari perseteruan pada 1990-an yang membagi Salafi menjadi Salafiyyah al-Ilmiyyah (academic salafism) dan Salafiyyah al-Jihadiyyah (jihadi salafism). Adapula yang membaginya menjadi Salafi Saudi, Salafi Yamani, Salafi Haraki, dan Salafi Jihadi.
16
E.
Kerangka Teori
1.
Teori Komunikasi dan Media Menurut Onong Uchyana bahwa komunikasi pada hakikatnya adalah
proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Isinya bisa berupa ide, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dalam pikirannya, serta dapat pula berupa keyakinan, kepastian, keraguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, semangat, dan lain-lain yang muncul dari hatinya (Bungin, 2014: 31). Komunikasi dalam masyarakat terbagi menjadi lima jenis. Pertama, komunikasi antar individu atau pribadi. Komunikasi ini terjalin secara langsung antar perorangan dengan bertatap muka atau menggunakan media, seperti: telepon dan surat. Kedua, komunikasi kelompok. Komunikasi dan interaksi antar individu dalam suatu kelompok dengan bahasan meliputi: dinamika kelompok dan tematema lainnya yang berkaitan dengan kelompok. Ketiga, komunikasi organisasi. Pola dan bentuk komunikasi yang terjalin dalam konteks organisasi dengan bahasan meliputi: struktur dan fungsi organisasi serta proses dan komunikasi pengorganisasian lainnya. Keempat, komunikasi sosial. Komunikasi yang terjalin dua arah atau lebih yang bermaksud untuk tujuan sosial kemasyarakatan. Kelima, komunikasi massa. Komunikasi yang berlangsung pada tingkat masyarakat luas. Denis McQuail (1994: 6) menjabarkan ciri-ciri komunikasi massa, antara lain: sumbernya adalah organisasi formal dan pengirimnya adalah profesional, pesannya beragam dan dapat diperkirakan, pesan diproses dan distandarisasikan,
17
hubungan antara komunikan dan komunikator berlangsung satu arah, serta bersifat impersonal, non-moral, dan kalkulatif. Sementara itu, Effendi (2001: 6-9) menguraikan secara detail mengenai ruang lingkup ilmu komunikasi yang terdiri dari unsur-unsur berikut. Pertama, komponen komunikasi yang meliputi komunikator, pesan, media, dan komunikan. Kedua, proses komunikasi berlangsung secara primer dan secara sekunder. Ketiga bentuk komunikasi yang terbagi atas: (a) komunikasi personal meliputi: komunikasi intrapersonal dan komunikasi antarpersonal, (b) komunikasi kelompok kecil seperti: ceramah, diskusi panel, simposium, serta seminar dan komunikasi kelompok besar, (c) komunikasi massa, misalnya: pers, radio, dan televisi, (d) komunikasi media, misalnya: surat, telepon, pamflet, poster, dan spanduk. Keempat, sifat komunikasi dilakukan melalui: tatap muka, menggunakan media, secara verbal dengan lisan dan tulisan, serta secara nonverbal dengan isyarat/bahasa tubuh dan gambar. Kelima, metode komunikasi meliputi: jurnalistik,
hubungan
masyarakat,
periklanan,
pameran,
publisitas,
dan
propaganda. Keenam, teknik komunikasi terdiri atas: komunikasi informatif, persuasif, dan instruktif, serta hubungan manusiawi. Ketujuh, tujuan komunikasi untuk perubahan sikap, pendapat, perilaku, dan sosial. Kedelapan, fungsi komunikasi untuk menyampaikan informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Kesembilan, model komunikasi berupa komunikasi satu tahap, dua tahap, dan multitahap. Kesepuluh, bidang komunikasi yang terdiri atas: komunikasi sosial, manajemen organisasi, perusahaan, politik, internasional, antarbudaya, pembangunan, lingkungan, dan tradisional.
18
Adapun substansi bentuk atau wujud komunikasi ditentukan oleh: (a) pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi (komunikator dan khalayak), (b) cara yang ditempuh, (c) kepentingan atau tujuan komunikasi, (d) ruang lingkup yang melakukannya, (e) saluran yang digunakan, dan (f) isi pesan yang disampaikan (Bungin, 2014: 67). Dalam keterkaitan antara media dengan dakwah, setidaknya ada tiga fungsi media. Pertama, media sebagai saluran. Media dipergunakan sebagai alat penyampai atau transformasi pesan-pesan sebuah ajaran, tempat perekrutan bagi anggota baru, dan juga sebagai ruang halaqah dan daurah. Kedua, media sebagai bahasa. Media dimanfaatkan sebagai tempat memperkenalkan identitas, keberadaan, dan eksistensi dari sebuah gerakan. Ketiga, media sebagai lingkungan. Media difungsikan sebagai ajang berinteraksi dan curahan hati (curhat) antar anggota (Chozin, 2013: 5). Di era modern sekarang ini, setidaknya ada tiga metode dalam menyebarkan ajaran. Pertama, mendirikan lembaga pendidikan dan lembaga sosial. Pendirian lembaga pendidikan dan lembaga sosial sangat efektif dalam menyebarkan sebuah ajaran melalui kegiatan belajar-mengajar dan kegiatan sosial. Dengan mengadakan halaqah dan daurah, mereka leluasa menyebarkan ajaran-ajaran yang dianutnya. Begitu pula dalam pelaksanaan kegiatan bakti sosial masyarakat, menjadikan mereka semakin akrab dengan lingkungan sekitar sehingga proses transformasi ajaran menjadi lebih mudah. Dalam bidang pendidikan, mereka tidak segan-segan untuk menggratiskan orang lain agar mau belajar di pondok pesantren, sekolah, lembaga kursus, dan balai pelatihan yang
19
didirikannya untuk menambah pengikut. Kedua, mendirikan yayasan dan badan hukum.
Meningkatnya
persoalan
sosial
dan
kemasyarakatan
membuat
sekelompok orang berinisiatif untuk membantu dan bekerjasama dengan pihak lain menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Dengan membangun sebuah lembaga bantuan hukum, misalnya, mereka berusaha untuk membantu orang-orang yang tersangkut persoalan hukum dan begitu pula saat mendirikan koperasi, dengan maksud untuk membantu meningkatkan perekonomian masyarakat. Ketiga, mengembangkan media siaran baik media cetak, media sosial, maupun media elektronik. Dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi membuat komunikasi semakin cepat, terutama dalam penyampaian informasi dan gagasan. Koran, media online, selebaran, buletin, stasiun radio, televisi, facebook, twitter, whatsapp, BBM, email, blogspot, wordpress, dan lain-lain merupakan salah satu contoh dari sekian banyak alat dan media komunikasi yang dapat dimanfaatkan untuk transformasi gagasan secara efektif dan singkat. Tanpa harus bertatap muka, sebuah gagasan dan ajaran dengan mudah tersampaikan secara sempurna (Chozin, 2013: 16-22). Kelompok Salafi sangat memanfaatkan instrumen-instrumen media sebagai alat dakwah.
2.
Teori Konflik Konflik adalah suatu keadaan fungsional yang mana ada pihak yang
mendukung tercapainya suatu tujuan dengan harus menghadapi pihak lain yang berusaha secara disfungsional untuk menghambat tercapainya tujuan tersebut (Liliweri, 2014: 328). Adapun Berger dan Luckman (1966: 51-55) mendefinisikan
20
konflik dengan ketidaksesuaian antara kepentingan, tujuan, nilai, kebutuhan, harapan, dan kosmologi sosial atau ideologi. Ideologi konflik berkecenderungan menjadi kedengkian. Adapun faktor penyebab konflik, sebagai berikut: (a) kurang komunikasi. Kegagalan dalam berkomunikasi karena kedua belah pihak tidak dapat menyampaikan pikiran, perasaan, dan tindakan yang mengakibatkan perseteruan di antara mereka. (b) Konflik nilai. Nilai menjadi sebuah dasar, pedoman, tempat pegangan pikiran, perasaan, dan tindakan seseorang. Konflik dapat terjadi apabila salah satu pihak melanggar nilai yang telah disepakati dan telah berlaku. (c) Kepemimpinan yang kurang/tidak efektif dan pengambilan keputusan yang tidak adil. Ketegasan seorang pemimpin dan gaya kepemimpinan seorang ketua dapat mempengaruhi konflik bagi bawahannya dalam suatu organisasi atau negara. (d) Ketidakcocokan
dalam
peran.
Seseorang
yang
tidak
profesional
dan
bertanggungjawab dalam menjalankan perannya akan menimbulkan konflik dengan sesamanya. (e) Produktivitas rendah. Konflik terjadi karena kecurigaan seseorang terhadap input dan output rekannya sehingga tidak mungkin dapat saling bekerjasama. (f) Perubahan keseimbangan. Konflik terjadi karena perubahan keseimbangan yang dialami oleh dua pihak atau lebih. (g) Belum selesainya konflik sebelumnya. Beberapa orang memunculkan konflik lama yang belum selesai karena salah satu pihak masih menyimpan dendam dan kebencian (Liliweri, 2014: 332-333).
21
Tabel 1.1 Tahap-Tahap Terjadinya Konflik (Liliweri, 2014: 337) Konflik menghancurkan
1. Menghancurkan lawan secara terbuka 2. Ancam dengan fisik 3. Ancam dan ultimatum 4. Tantang dengan katakata 5. Pernyataan terbuka menantang pihak lain 6. Pertengakaran kecil atau salah paham
Tidak ada konflik
Konflik berawal dari pertengkaran kecil karena salah paham yang dianggap ringan. Apabila dibiarkan dan berlanjut maka lama kelamaan meningkat menjadi pernyataan terbuka untuk menantang pihak lain dengan kata-kata, ancaman secara fisik maupun psikologis, hingga puncaknya menghancurkan lawan secara terang-terangan. Tabel 1.2 Perilaku Konflik (Liliweri, 2014: 337) Pertarungan a. Kekerasan b. Agresi c. Pemogokan d. Kerusakan e. Perang f. Sabotase g. Konfrontasi
Tingkatan a. Menarik diri b. Menyangkal c. Apatis d. Bermain-main e. Tidak harmonis f. Melawan g. Menarik h. Menertawakan
Sementara perilaku konflik memiliki beberapa tingkatan, mulai dari menertawakan pihak lain, tidak mau bergabung, melawan, acuh tak acuh, menyangkal orang lain, dan terakhir menarik diri. Tingkatan perilaku tersebut
22
mengikuti konflik yang diawali dengan konfrontasi dengan pihak yang bertikai, melakukan sabotase untuk menghambat lawan, hingga puncaknya melakukan tindakan pengrusakan dan kekerasan. Berikut tahap-tahap dalam konflik. Pertama, prakonflik. Sebuah periode yang mana terdapat ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih sehingga timbul konflik. Kedua, konfrontasi. Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Hubungan di antara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi di antara para pendukung di masing-masing pihak. Ketiga, krisis. Ini merupakan puncak krisis ketika ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan putus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihakpihak lainnya. Keempat, akibat. Pada tahap ini, tingkat ketegangan, konfrontasi, dan kekerasan agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian. Kelima, pascakonflik. Situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang, dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua belah pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah penyebab pertentangan antara keduanya tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik (Fisher, 2000: 19).
F.
Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan
teori komunikasi dan media serta teori konflik. Teori komunikasi dan media
23
digunakan untuk menemukan metode komunikasi dan penyebaran ajaran yang dilakukan oleh pengikut Salafi, serta teori media digunakan sebagai sarana dalam berkomunikasi sehingga pesan yang diutarakan tersampaikan kepada orang lain. Sementara teori konflik digunakan untuk menganalisis perseteruan yang terjadi di kalangan pengikut Salafi, baik di internal sesama Salafi maupun dengan para pengkritiknya.
2.
Metode Pengumpulan Data Ada tiga metode yang peneliti lakukan untuk mengumpulkan data-data
primer dan sekunder, antara lain: (a) penelitian pustaka, (b) pengamatan, dan (c) wawancara. Tabel 1.3 Jenis dan Sumber Data Jenis Data
Primer
Sekunder
Penelitian Pustaka a) Buku-buku pelajaran pada lembaga pendidikan di Cirebon b) Arsip dan dokumen resmi yayasan dan ormas c) Website, bulletin, majalah
Jurnal dan penelitian.
hasil
Sumber Data Pengamatan Mengamati dan mempelajari kegiatan dan keseharian dalam lingkungan yayasan, lembaga pendidikan dan sosial, serta ormas Islam di Cirebon yang mengusung gerakan Salafi-Wahabi. Pengikut organisasi massa Islam lain (sebagai pembanding)
Wawancara Pendapat para pengurus lembaga pendidikan dan sosial serta ormas Islam di Cirebon yang telah dikategorikan Salafi-Wahabi Masyarakat, akademisi, dan cendikiawan Muslim di Cirebon
24
a.
Penelitian Pustaka Tujuan dari penggunaan bahan dokumen dalam ilmu sosial yaitu untuk
mendapatkan gambaran yang jelas mengenai proses-proses dan struktur yang umum. Dalam bahan dokumen akan terungkap gejala sosial dari masa ke masa. Dalam penggunaan bahan dokumen disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan fokus penelitian (Kartodirdjo, 1994). Dalam pengambilan bahan dokumen sebagai penelitian pustaka, peneliti membaginya menjadi dua kategori yaitu: penelitian pustaka primer dan penelitian pustaka sekunder. Penelitian pustaka primer dipergunakan sebagai bahan utama dalam penelitian ini. Bahan dokumen yang diambilnya berasal dari buku-buku pelajaran dari lembaga pendidikan, dokumen resmi yayasan dan ormas Islam, website, bulletin, dan majalah yang dikelola oleh orang-orang yang ber-manhaj Salaf. Sementara penelitian pustaka sekunder diambil dari hasil-hasil penelitian yang mengangkat tema-tema Salafi dan Wahabi yang dimuat dalam jurnal dan laporan penelitian. Dengan membaca tulisan-tulisan sebelumnya, peneliti dapat mempelajari apa yang belum diteliti dalam penelitian terdahulu dan juga mempelajari kesimpulan atau hasil penelitiannya. Dengan begitu, penelitian yang dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya dan juga dapat melahirkan sebuah teori atau paradigma baru yang merupakan hasil dari penjabaran penelitian dan/atau temuan baru yang belum dikupas dalam penelitian-penelitian terdahulu.
25
b.
Pengamatan Adapun pengamatan ditempatkan diurutan kedua bertujuan untuk
mempertegas data-data yang didapat dari penelitian pustaka dan keterkaitan antara teks dengan konteksnya. Sebuah pengalaman yang berharga bagi peneliti ketika dapat mencocokkan dan menemukan hubungan antara sumber teks yang didapat dengan kondisi nyata di lapangan. Sementara itu, peran peneliti sebagaimana diungkapkan oleh Buford Junker yaitu: (a) berperan serta secara lengkap, peneliti ikut terjun dan menjadi bagian dari kelompok yang diamatinya. (b) Berperan serta sebagai pengamat, peneliti ikut andil tetapi tidak ikut dalam bagian yang ditelitinya. (c) Pengamat sebagai pemeran serta, peranan peneliti diketahui oleh umum sehingga dianggap mengetahui seluk-beluk yang ditelitinya. (d) Pengamat penuh, peneliti bebas meneliti apa yang menjadi fokus penelitiannya, sementara pihak yang diteliti tidak merasa sedang dalam subjek penelitiannya (Moleong, 2006: 176-177). Dari keempat peran pengamatan, peneliti mencoba menggunakan keempatnya, sehingga proses penelitian dianggap valid dan diharapkan melahirkan sebuah hasil penelitian yang objektif dan tidak mengada-ada.
c.
Penentuan Informan Dalam menentukan informan, peneliti menggunakan dua macam jenis
wawancara. Pertama, wawancara untuk mendapatkan informasi lengkap dan akurat mengenai gerakan Salafi dan perkembangannya di Cirebon dari seorang informan. Informan di sini yaitu orang yang mengkaji dan mengamalkan manhaj
26
Salaf serta menyebarkannya kepada orang lain melalui kegiatan sosial dan pendidikan. Yang termasuk dalam kategori ini yaitu para ustadz yang mengajarkan pemikiran dan manhaj Salaf di sebuah lembaga pendidikan formal dan nonformal, misalnya: para ustadz di Pondok Pesantren Assunnah dan Pondok Pesantren Dhiya’us Sunnah serta lembaga pendidikan lain yang bermitra dengan keduanya. Kedua, wawancara untuk mendapatkan informasi kritis mengenai gerakan Salafi dari seorang pengkritik, responden, atau akademisi sebagai bahan perbandingan. Pengkritik yang peneliti maksud adalah orang-orang yang menentang gerakan Salafi dan berusaha untuk menghalangi perkembangan gerakannya, seperti pengikut Islam tradisional atau Nahdliyin. Sementara responden yaitu masyarakat biasa yang menetap di sekitar lembaga yang didirikan oleh pengikut Salafi. Adapun akademisi yakni ilmuwan atau pemikir yang mengabdikan dirinya pada perguruan tinggi di Cirebon, misalnya: dosen di IAIN Syekh Nurjati, Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC), Universitas Nahdlatul Ulama (UNU), Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), dan lain-lain. Dalam menggali keterangan, peneliti memilih seorang informan pangkal sebagai petunjuk dan pancingan dalam penggalian data yang lebih detail dan lengkap lagi mengenai gerakan Salafi di Cirebon. Peneliti mencari informaninforman pangkal yang sudah menjalani ajaran-ajaran Salafi dalam kesehariannya dan memiliki pengetahuan luas tentang fokus dalam penelitian ini. Informaninforman inilah yang kemudian peneliti kategorikan sebagai informan pokok (key informant) (Koentjaraningrat, 1994: 130).
27
d.
Wawancara Peneliti memposisikan wawancara di urutan terakhir karena wawancara
dianggap sebagai pelengkap dalam pengumpulan data dan juga salah satu teknik validitas data. Peneliti menggunakan dua jenis wawancara yaitu: wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstrukur (Moleong, 2006: 190-191). Pertama, wawancara terstruktur yaitu peneliti menetapkan sendiri masalah-masalah yang diajukan dan bermaksud untuk mencari jawaban atas hipotesis kerja. Sasaran dalam wawancara yaitu tokoh utama atau orang-orang yang berperan besar bagi perkembangan gerakan Salafi di Cirebon. Dengan menggunakan metode ini diharapkan peneliti mendapatkan data yang valid dan otentik mengenai maksud penyebarluasan dan eksistensi gerakan Salafi di Cirebon. Sebelum melakukan wawancara, peneliti sudah menyiapkan beberapa pertanyaan yang akan diajukan kepada narasumber sesuai dengan posisinya. Kedua, wawancara tidak terstrukur. Wawancara ini dilakukan sebagai sumber pelengkap dan pembanding atas informasi yang didapat dari wawancara terstrukur. Hasil wawancara ini menekankan pengecualian, penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali, pendekatan baru, pandangan ahli, atau perspektif tunggal. Sasaran dari wawancara ini yaitu: cendekiawan Muslim, akademisi, dan masyarakat.
28
Tabel 1.4 Pertanyaan dan Jawaban Wawancara Pertanyaan Terstruktur Tidak terstruktur
3.
Jawaban Lisan Tulisan Terstruktur Terstruktur (structured/pre-coded) (structure/pre-coded) Terbuka (open-ended) Terbuka (open-ended) Sumber: Jacob Vredenbregt, 1981:92
Metode Analisis Data Secara garis besar, metode analisis data merupakan cara untuk
memetakan dan mengelompokkan data agar dapat menentukan keterkaitan antara data yang satu dengan data yang lain (Ahimsa-Putra, 2009). Analisis data juga dapat dikatakan sebagai proses mencari dan menyusun data secara sistematis dari hasil pembacaan literatur, pengamatan, dan wawancara. Ada empat tahapan analisis data. Pertama, reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilah-milah hal pokok, dan mengklasifikasikan sesuai dengan tema pembahasan. Dalam mereduksi data-data pemikiran Islam yang diperoleh, peneliti menggunakan teknik pro-kontra, tema pembahasan, dan analisis kebijakan seseorang dan kelompok umat Islam tertentu dalam menyikapi permasalahan yang dilontarkan atau yang sedang dihadapinya. Dengan begitu, diharapkan peneliti dengan mudah memasukkan data-data sesuai dengan sub-sub bahasan yang disajikan dalam penelitian ini. Kedua, penyajian data. Tahapan dalam proses ini diharapkan untuk membantu dalam melihat temuan dan memahami hasil penelitian secara komprehensif. Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat,
29
bagan, tabel, diagram, struktur organisasi, dan prosedur-mekanisme dalam penyelesaian persoalan Islam dan kemasyarakatan. Ketiga, verifikasi dan analisis data. Tahapan ini untuk menelaah keotentikan data dan mengkategorikan menjadi data primer dan data sekunder. Setelah data diverifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian, maka peneliti akan menganalisis data-data tersebut dengan menggunakan kerangka teori dan paradigma yang telah diuraikan di atas. Dengan begitu terlihat perbedaan atas hasil karya asli peneliti dengan penelitian sebelumnya. Kempat, kesimpulan. Tahap kesimpulan di sini dapat dikatakan sebagai kesimpulan awal dan dapat juga dikatakan kesimpulan akhir tergantung dari datadata yang diperoleh. Apabila data yang diperoleh masih kurang, maka diperlukan pencarian data kembali sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian ini. Namun, jika data dirasa cukup dan bahkan lebih dari cukup, maka peneliti menarik kesimpulan sebagai kesimpulan akhir. Tugas berat bagi peneliti adalah menemukan teori baru dari temuan data-data tersebut. Dengan begitu, pembaca menemukan hal-hal yang baru dari penelitian ini. Dalam memverifikasi keabsahan data, peneliti menggunakan teknik pemeriksaan dengan empat kriteria, yaitu: (a) derajat kepercayaan atau kredibilitas, (b) keteralihan, (c) kebergantungan, dan (d) kepastian.
30
Tabel 1.5 Kriteria Keabsahan Data Kriteria Derajat kepercayaan atau kredibilitas Keteralihan Kebergantungan Kepastian
G.
a) b) c) d) e) f) g)
Teknik Pemeriksaan Perpanjangan keikutsertaan Ketekunan pengamatan Triangulitas Kecukupan referensial Uraian rinci Audit kebergantungan Audit kepastian Sumber: Moleong, 2006:327
Sistematika Pembahasan Garis besar topik penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan dalam penelitian. Bab ini mengulas latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, dan metode penelitian. Bab ini juga mengulas mengenai Cirebon sebagai setting penelitian. Hal ini sangat diperlukan karena pembaca dapat memahami geografis dan kondisi sosial masyarakat Cirebon. Bab II mengenai Salafi dan Wahabi. Bab ini mengulas pengertian Salafi dan Wahabi, pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, pemetaan Salafi, serta persamaan dan perbedaan antara salafiyah dengan tradisionalisme. Bab ini secara khusus mengulas doktrin Wahabisme, Salafisme, dan tradisionalisme serta pengelompokannya. Bab III mengenai sejarah gerakan Salafi di Cirebon. Bab ini diawali dengan pengertian gerakan, kemudian embrio gerakan Salafi di Indonesia,
31
masuknya gerakan Salafi dan perkembangannya di Cirebon. Bab ini dilengkapi dengan jaringan Salafi di Cirebon yang berkembang, yaitu jaringan Assunnah dan jaringan Dhiya’us Sunnah yang diambil dari nama pesantrennya masing-masing. Bab IV mengenai ajaran Salafi di Cirebon. Bab ini mengulas ajaran yang berkaitan dengan tauhid dan fiqih. Kedua bidang keilmuan ini sengaja diulas karena menjadi pokok utama pembahasan di kalangan Salafi Cirebon. Bab V mengenai metode dakwah Salafi di Cirebon. Bab ini mengkaji mengenai dua hal. Pertama, metode dan tipologi dakwah Salafi yaitu dengan halaqah dan daurah, pengajian umum, dan membangun media penyiaran, seperti: stasiun televisi dan radio, lembaga penerbitan, dan jejaring sosial. Kedua, pesantren sebagai tempat dakwah dan kaderisasi dengan mengulas sistem dan kurikulum pesantren, metode dan mekanisme pembelajaran, serta jaringan dan organisasi kepesantrenannya. Bab VI mengenai konflik gerakan Salafi di Cirebon. Bab ini menguraikan pengertian dan faktor penyebab konflik. Peneliti membagi faktor konflik menjadi dua, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Selanjutnya mengulas tantangan gerakan Salafi, faktor yang memungkinkan gerakan Salafi dapat berkembang di lingkungan Nahdliyin, dan solusi bagi eksistensi gerakan Salafi Cirebon. Bab VII merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan di sini yaitu menguraikan secara singkat hasil penelitian sesuai dengan apa yang tertulis dalam rumusan masalah. Adapun rekomendasi yang dimaksud yaitu deskripsi singkat bagi penelitian selanjutnya.
32
H.
Cirebon Sebagai Setting Penelitian Cirebon masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat. Cirebon
terbagi menjadi dua wilayah administrasi, yaitu kabupaten dan kotamadya. Ada perbedaan dalam menentukan hari lahirnya Kabupaten Cirebon dengan Kotamadya Cirebon. Kabupaten Cirebon lahir pada 2 April 1482 M. atau 12 Safar 887 H. sedangkan Kotamadya Cirebon lahir pada 25 Oktober 1445 M. atau 1 Muharram 791 H. (www.cirebonkab.go.id; www.cirebonkota.go.id). Secara geografis, Kabupaten Cirebon berada pada posisi 108040’-108048’ Bujur Timur dan 6030’-7000’ Lintang Selatan. Adapun batas-batasnya yaitu: Laut Jawa di sebelah utara, Kabupaten Indramayu di sebelah barat, Kabupaten Majalengka di sebelah barat laut, Kabupaten Kuningan di sebelah selatan, dan Kabupaten Brebes di sebelah timur. Sementara di tengah-tengahnya berbatasan dengan Kotamadya Cirebon. Luas wilayah administrasinya yaitu 990,36 km2 dengan ketinggian 0-130 mdpl. Sedangkan jarak terjauh dari barat ke timur yaitu 54 km dan dari utara ke selatan 39 km (www.cirebonkab.go.id). Kabupaten Cirebon terdiri atas 40 kecamatan dan 426 desa. Tabel 1.6 Jumlah Penduduk Kabupaten Cirebon Tahun 2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kecamatan Waled Pasaleman Ciledug Pabuaran Losari Pabedilan Babakan Gebang Karang Sembung
Laki-laki 30.215 23.106 32.211 31.355 38.380 19.192 28.200 21.042 22.759
Perempuan 29.839 22.577 31.830 31.132 39.263 18.805 27.202 20.665 21.706
Jumlah 60.054 45.683 64.041 62.487 77.643 37.997 55.402 41.707 44.465
33
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Karang Wareng Lemah Abang Susukan Lebak Sedong Astanajapura Pangenan Mundu Beber Greged Talun Sumber Dukupuntang Palimanan Plumbon Depok Weru Plered Tengah Tani Kedawung Gunung Jati Kapetakan Suranenggala Klangenan Jamblang Arjawinangun Panguragan Ciwaringin Gempol Susukan Gegesik Kaliwedi Jumlah
40.350 39.382 79.732 22.665 22.400 45.065 38.449 36.026 74.475 21.697 21.455 43.152 35.881 32.810 68.691 43.373 42.850 86.223 32.889 31.904 64.793 31.848 31.572 63.420 39.722 39.556 79.278 34.928 31.992 68.850 44.809 45.199 90.008 38.514 38.035 76.549 29.426 29.895 59.321 29.204 28.107 57.311 34. 803 36.956 71.759 26.026 26.008 52.034 20.493 20.707 41.200 38.340 38.728 77.068 41.050 40.772 81.822 22.383 22.499 44.882 33.201 32.162 65.363 33.546 32.188 66.734 14.345 14.265 28.610 19.218 18.555 37.773 15.925 15.459 31.384 20.638 19.714 40.352 28.134 25.853 56.987 23.846 24.147 47.993 29.702 28.599 58.301 27.968 28.436 56.404 21.644 21.253 42.897 1.181.477 1.160.506 2.347.910 Sumber: Dinas PPKB Kabupaten Cirebon
Adapun Kotamadya Cirebon berada pada posisi 108.330 dan 6.410 Lintang Selatan pada pantai utara Pulau Jawa, bagian timur Jawa Barat, memanjang dari barat ke timur 8 km, utara ke selatan 11 km dengan ketinggian 5 mdpl. Dengan demikian, Kotamadya Cirebon merupakan daerah dataran rendah dengan luas wilayah administrasi 37,35 km2 atau 3.735,8 ha. Adapun batasbatasnya yaitu: Sungai Kedung Pane di sebelah timur, Sungai Banjir Kanal di
34
sebelah barat, Sungai Kalijaga di sebelah selatan, dan Laut Jawa di sebelah utara (www.cirebonkota.go.id). Kotamadya Cirebon terdiri atas 5 kecamatan dan 22 kelurahan. Tabel 1.7 Jumlah Penduduk Kota Cirebon Tahun 2015 Kecamatan Harjamukti Lemahwungkuk Pekalipan Kesambi Kejaksan Jumlah
Laki-laki 53.536 27.908 14.787 36.530 21.467 154.228
Perempuan 52.451 26.880 15.226 36.289 22.420 153.226
Jumlah 105.987 54.788 30.013 72.819 43.887 307. 494
Sumber: BPS Kota Cirebon 2016 Masyarakat Cirebon dalam berkomunikasi menggunakan tiga bahasa yaitu: bahasa Cirebon, bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia. Bahasa Cirebon adalah bahasa utama mayoritas penduduk, sementara bahasa Sunda digunakan di desa-desa perbatasan, misalnya: di sekitar perbatasan dengan Kabupaten Majelengka, Kabupaten Kuningan, dan Cirebon Tenggara. Adapun bahasa Indonesia digunakan oleh sebagian kecil masyarakat serta jarang dipergunakan di masyarakat umum sebagai alat komunikasi sehari-hari, dan biasanya dipakai dalam transaksi perdagangan. Dahulu, bahasa Cirebon digunakan sebagai alat komunikasi dalam perdagangan di pesisir Jawa bagian barat karena Cirebon sebagai pelabuhan utama khususnya pada Abad XV hingga XVII. Bahasa Cirebon dipengaruhi pula oleh budaya Sunda karena keberadaannya yang berbatasan langsung dengan wilayah kultural Sunda, khususnya Sunda Kuningan dengan Sunda Majalengka dan juga dipengaruhi oleh budaya Cina, Arab, dan Eropa.
35
Sementara dalam menyebutkan organisasi Islam dan sosial yang berkembang di Cirebon, peneliti memetakan menjadi enam kategori. Berikut pengelompokkan organisasi beserta ciri dan karakternya. Tabel 1.8 Organisasi Masyarakat di Cirebon Kategori Ciri dan Karakter Organisasi Islam a) Berdiri sebelum kemerdekaan Nasional Indonesia. b) Tokoh pendirinya yaitu pribumi Mainstream atau keturunan dan menetap di Indonesia. c) Berperan serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. d) Dianut oleh mayoritas kaum Muslim Indonesia. Organisasi Islam a) Didirikan bukan di Indonesia Transnasional dan pendirinya bukan orang Indonesia. Non-mainstream b) Masuk ke Indonesia dibawa oleh orang asing. c) Ajaran dan pemikirannya mengikuti ulama-ulama negara asalnya. d) Dianut oleh beberapa kaum Muslim Indonesia. Organisasi Islam a) Didirikan di Indonesia. Nasional Non- b) Tokoh pendirinya pribumi atau keturunan dan menetap di mainstream Indonesia. c) Dianut oleh beberapa kaum Muslim Indonesia. d) Keras terhadap orang-orang yang berbeda pemahaman dengan kelompoknya. Organisasi Islam a) Mengikuti pemikiran Salafi pembaharuan dan purifikasi Ibn Taimiyah, Ibn Qayyum, dan Ibn Abdul Wahhab. b) Menolak Pancasila dan UUD 1945.
Organisasi Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, alIrsyad al-Islamiyah, Persatuan Islam, Persatuan Umat Islam, Mathlaul Anwar, dan al-Washliyah.
Hizbut Tahrir Indonesia, Jamaah Tabligh, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, dan Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia
Front Pembela Islam dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia
Dewan Islamiyah Lembaga Kampus, Mujahidin Jamaah
Dakwah Indonesia, Dakwah Majelis Indonesia, Ansharut
36
c) Menginginkan penerapan syariat Islam dan mengikuti ajaran salaf al-ṣalih. d) Bersikap kaku dan tekstual e) A-politik. Organisasi Islam a) Menentang keras pemerintahan Radikal Lokal yang fasiq dan zalim. b) Sering melakukan sweeping dan penjegalan. c) Susunan kepengurusan hanya bersifat lokal. d) Boleh bertindak kasar dan keras dalam berdakwah. e) Sangat keras dalam memahami jihad. f) A-politik.
Organisasi Islam a) Lahir dari proses akulturasi dan budaya lokal budaya dan sinkretisme agama . b) Tumbuh dan berkembang hanya di Cirebon. c) Tidak melakukan tindakan kekerasan. d) Menjunjung tinggi kearifan lokal. e) Ajarannya terinspirasi oleh doktrin Islam.
Tauhid, Laskar Mujahidin Indonesia, Jamaah Islamiyah, Ikatan Remaja Masjid, Kerohanian Islam, dan Negara Islam Indonesia Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan, Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat, Gerakan Anti Maksiat, Gerakan Reformasi Islam, Forum Silaturahmi Kota Wali, Silaturahmi Antar Umat Manusia, Kelompok Ashabul Kahfi, dan Aliansi Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Syahadatain, Ma’rifat Syahadatain, Islam Sejati, Hidup Dibalik Hidup, Surga Aden, Gagak Hitam, Gagak Emas, Gagak Lumayung, Muhdi Alfa Ahim, Eyang Sukma, Sim Lam Ba, Aliran Keagungan Ilahi, Sai Saidi, Walimatullah Kutub Robbani, Almaghfurlah, Tarkum, Kejawen Wowon, Warjan, Pargo, Sarmun, dan Pejambon.