BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Kehidupan umat manusia tidak lepas dari kebutuhan material dan non-
material. Kebutuhan material meliputi kebutuhan pokok, sekunder dan tersier. Sedangkan dalam upaya memenuhi kebutuhan non-material, manusia dapat melakukan berbagai macam cara, salah satunya dengan karya sastra. Sastra dianggap sebagai karya seni tulis yang dinilai dapat memenuhi keinginan manusia. Sehingga keberadaan dan kelahiran sastra merupakan dorongan dasar manusia untuk mencapai kebutuhan non-materialnya. Oleh karena itu, sastra muncul sebagai ekspresi sang pengarang dalam mengungkapkan apa yang diinginkannya kepada pihak lain berupa reaksi atau kritik atas kondisi yang ada saat itu. Karya sastra merupakan ungkapan ekspresi pengarang sebagai respon terhadap realitas yang terwujud dalam bentuk imajinasi (Sangidu, 2007:1). Lebih tegas lagi disampaikan oleh Wellek dan Austin Warren (1990:3 via Sangidu, 2007:34), bahwa sastra dapat dikatakan sebagai kegiatan kreatif sebuah karya tulis yang indah (estetika sastra yang dapat dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional) (Semi, 1993:1). Sastra juga mengandung nilai seni dalam berbahasa, sastra bukan sematamata permainan kata atau kalimat, tetapi juga sebuah cara bagi pengarangnya untuk memaparkan masalah budi, imajinasi dan emosi yang diperlihatkan tokohtokohnya (Semi, 1993:1). Melalui peran tokoh itulah pengarang menyampaikan
1
2
banyak pesan kepada orang lain yang tentunya secara tidak langsung, termasuk juga keinginan diri pengarang itu sendiri sebagai upaya memuaskan diri. Tokoh dalam karya sastra fiksi hanya rekaan (bukan pelaku yang sebenarnya). Kendati hanya rekaan atau imajinasi pengarang, penokohan merupakan bagian penting dalam membangun sebuah cerita. Tokoh dalam cerita yang biasanya lebih dari satu orang, tidak hanya berfungsi untuk menghubungkan cerita, tetapi juga untuk menyampaikan ide, motif, alur dan tema. Oleh karena itu, kemampuan pengarang dalam menggambarkan karakter tokoh cerita yang diciptakan sesuai dengan tuntutan cerita dapat pula dipakai sebagai indikator kekuatan sebuah karya fiksi (Fananie, 2002:86-87). Karakter tokoh dapat dilihat atau dianalisis dari sisi apa yang dikatakan dan dilakukan tokoh tersebut (Abrams, 1981:20 via Fananie, 2002:87). Identifikasi ini didasarkan pada konsistensi dalam beberapa hal, misalnya, moralitas, perilaku, pemikiran dalam memecahkan sesuatu, memandang dan bersikap dalam menghadapi setiap peristiwa. Sehingga, untuk melihat karakter tokoh dalam suatu cerita tidak mungkin terlepas dari alur cerita sesuai dengan fungsinya dalam cerita (Frye, 1973:52 via Fananie, 2002:87). Penyampaian yang dituturkan atau pun tindakkan yang dilakukan oleh tokoh dalam cerita sesungguhnya terdapat pesan yang ingin disampaikan pengarang terhadap pembaca karya sastranya. Oleh karena itu, pengarang dalam menulis cerita yang baik tentu akan merancang pesan yang terarah agar mengena atau efektif. Sehingga dalam sebuah karya sastra tema menjadi sesuatu yang sangat penting. Tema merupakan ide dasar, gagasan bahkan pandangan hidup
3
sang pengarang yang melatarbelakangi terciptanya karya sastra. Karena sastra yang diciptakan merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangat beragam seperti persoalan moral, etika, agama, sosial-budaya, bahkan politik dan ekonomi yang semua itu terkait dengan masalah kehidupan (Fananie, 2002:84). Terkait dengan pesan tidak sedikit pengarang karya sastra menyampaikan pesan yang bersifat moral. Secara umum, moral menyarankan ajaran tentang baikburuk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya; budi pekerti, susila (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:929). Dalam cerita, moral biasanya dimaksudkan sebagai sarana yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil atau ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan dengan kepentingan pembaca (Kenny, 1966:89 via Nurgiyantoro, 1998:321). Perlu digarisbawahi, jenis ajaran moral bersifat tidak terbatas dalam arti moral dapat mencakup seluruh persoalan dalam kehidupan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Secara garis besar, persoalan hidup dan kehidupan manusia dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial, hubungan manusia dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya (Nurgiyantoro, 1998:323-324). Cerpen menjadi salah satu jenis karya sastra yang cukup diminati banyak pembaca. Menurut Allan Poe (via Stanton, 2007:79) paparan cerpen yang ringkas, dapat langsung selesai sekali dibaca dan langsung sampai pada pesan yang hendak disampaikan pengarang. Sedangkan menurut Sumardjo, cerpen merupakan karya
4
fiksi pendek yang cepat mempunyai efek untuk pembacanya (1997:184). Jika tidak cermat memahami, maka tidak mudah bagi pembaca untuk menganalisis sejumlah unsur yang ada dalam cerpen, baik fakta-fakta ceritanya (karakter, alur dan latarnya) dan tema atau pesan yang hendak disampaikan pengarang. Jika gagal memahami unsur-unsur yang ada, maka pembaca hanya dapat memahami pesan intrinsik secara sekilas dan tidak mendalam. Seorang cerpenis yang baik harus cermat dalam menyajikan tokoh, alur, latar dan tema yang jelas. Dalam mengeksplorasi ide cerita, sang cerpenis harus cermat dalam memilih kata dan tidak boleh bermain-main pada kata-kata indah semata, sehingga padat dan kaya dengan makna yang tersirat. Sikap ini diperlukan karena ruang dalam cerpen sangat terbatas. Sastrawan Jepang yang mampu menghasilkan berbagai macam karya sastra termasuk cerpen yang berhasil menyampaikan pesan atau ajaran moral, salah satunya adalah Dazai Osamu. Salah satu cerpen yang mendapatkan apresiasi adikarya adalah Hashire Merosu. Cerpen yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1940 ini, pernah dibuat beberapa versi dengan judul yang sama, misalnya versi dramanya oleh NHK pada tahun 1955, versi animasi yang ditayangkan di Fuji TV pada tahun 1981 dan versi film animasi pada tahun 1992. Terdapat pula beberapa animasi yang menggunakan judul yang berbeda namun masih mengadaptasi dari cerpen Hashire Merosu, antara lain, Akai Tori No Kokoro: Nihon Meisaku Douwa Shiriizu Hashire Merosu. Animasi ini
5
ditayangkan di stasiun TV Asahi pada tahun 1979 dan terebi ehon1 yang berjudul Hashire Merosu yang disutradarai Yamamoto Taro pada tahun 2006. Cerpen Hashire Merosu menceritakan tentang seorang penggembala domba bernama Melos yang dihukum oleh Raja Dionysus karena kelancangannya memasuki istana kerajaan. Tujuan kedatangannya ke istana untuk menyelidiki kebenaran informasi masyarakat tentang kekejaman sang raja. Tetapi, misi penyelidikannya gagal, karena dia tertangkap akibat dirinya membawa senjata tajam. Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui tema dan fakta cerita yang terdapat dalam cerpen, ingin mengetahui keterkaitan antara tema dan fakta cerita, dan ingin mengetahui ajaran moral dalam cerpen Hashire Merosu, yang tersirat melalui tema dan fakta cerita. Pesan yang tertuang dalam cerpen Hashire Merosu cukup menarik, apalagi fakta di berbagai belahan dunia saat ini menunjukkan bahwa kejujuran terasa demikian
mahal
dan
langka.
Terlebih
lagi,
Dazai
Osamu
berhasil
mengkonstruksikan cerita secara apik. Hal ini menambah nilai keunggulan karya Dazai Osamu dan hal itu pula yang membuat penulis tertarik untuk menelitinya lebih jauh. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
yang diteliti. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut: 1. Apakah tema besar yang ada dalam cerpen Hashire Merosu? 1
Terebi ehon adalah program televisi pendidikan milik stasiun televisi NHK yang membacakan cerita anak (jenisnya cerita yang populer). Program ini tertuju untuk anak-anak di sekolah taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Sumber dari http://www.dfx.co.jp/wp/works‐en/terebi‐ehon.
6
2. Bagaimanakah fakta cerita yang terdapat dalam cerpen Hashire Merosu? 3. Bagaimanakah keterkaitan antara tema dan fakta cerita pada cerpen Hashire Merosu? 4. Pesan atau ajaran moral apakah yang terkandung di dalam cerpen Hashire Merosu, yang tersirat melalui tema dan fakta cerita? 1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktik.
Secara teoritis, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik berupa tema dan fakta cerita dari cerpen Hashire Merosu dengan menggunakan teori struktural Robert Stanton, serta keterkaitan antar unsur tersebut. Selain itu, untuk mengetahui ajaran atau pesan moral yang terdapat dalam cerpen tersebut. Secara praktis, penulis berusaha memperkenalkan karya sastra Jepang modern khususnya karya Dazai Osamu kepada khalayak pembaca di Indonesia dalam memahami karya sastra secara ilmiah dan memberi apresiasi sastra dengan menggunakan analisis tema dan fakta cerita. 1.4
Tinjauan Pustaka Sejauh pengetahuan penulis, sudah ada penelitian yang menggunakan
cerpen Hashire Merosu sebagai objek penelitiannya, yaitu “Cerpen Hashire Merosu Karya Dazai Osamu: Analisis Struktural” yang ditulis oleh Afifah Tri Afiyanti (2001). Afiyanti, dalam meneliti cerpen Hashire Merosu, menggunakan teori struktural. Afiyanti memfokuskan penelitiannya hanya pada struktur cerita dan ia tidak memasukan teori tentang moral di dalam landasan teorinya sehingga tidak mengkaji lebih lanjut mengenai ajaran moral yang terkandung dalam cerpen
7
Hashire Merosu. Dari hasil penelitiannya, Afiyanti hanya menuturkan secara garis besar amanat yang terdapat pada cerpen tersebut tanpa melakukan analisis terlebih dahulu. Berikut ini amanat yang terdapat dalam penelitian Afiyanti yaitu prasangka buruk yang berlebihan akan merugikan diri sendiri maupun orang lain, berpikir positif akan membuat hidup kita terasa lebih indah, serta tidak berputus asa dan percaya diri sendiri adalah kunci keberhasilan (2001:55). Penelitian ini berbeda dengan penelitian Afiyanti. Pada penelitian Afiyanti tidak memasukan teori tentang moral di dalam landasan teori penelitiannya, dan tidak membahas lebih lanjut tentang ajaran moral. Dalam penelitian ini, penulis memasukan teori tentang moral di dalam landasan teori dan ingin membahas lebih dalam ajaran moral apa saja yang terkandung dalam cerpen Hashire Merosu melalui tema dan fakta cerita. 1.5
Landasan Teori Pada penelitian ini penulis menggunakan teori struktural Robert Stanton
untuk tema dan fakta cerita. Sedangkan dalam meneliti ajaran moral penulis menggunakan konsep dari Nurgiyantoro. 1.5.1
Tema Menurut Stanton, tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan
“makna” dalam pengalaman manusia merupakan sesuatu yang menjadikannya selalu diingat (Stanton, 2007:36). Sebagai pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan, sehingga nantinya akan muncul nilainilai tertentu yang melingkupi cerita. Dengan tema, cerita menjadi lebih fokus, menyatu, mengerucut dan berpengaruh (Stanton, 2007:37). Oleh sebab itu, dengan
8
adanya tema, cerita yang dibangun bisa memberikan koherensi dan makna pada fakta-fakta cerita (Stanton, 2007:39). Jadi, tema adalah makna yang dapat merangkum semua elemen dalam cerita dengan cara yang paling sederhana (Stanton, 2007:41). Untuk mengenali tema dapat dimulai dengan gagasan-gagasan murni, terkait karakter, situasi dan alur cerita. Tetapi, cara yang paling efektif untuk mengetahui tema adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalam cerita. 1.5.2
Fakta Cerita Karakter, alur dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini
berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Ketiga elemen tersebut dijadikan satu, maka dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual’ cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita yang menyoroti dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22). 1.5.2.1 Karakter Dalam teorinya, Stanton menggunakan istilah utama yaitu karakter. Karakter itu sendiri terbagi menjadi dua konteks. Pertama, karakter sebagai individu-individu
yang
muncul
dalam
cerita.
Kedua,
karakter
sebagai
percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi dan prinsip moral dari individu-individu tersebut (2007:33). Pengertian ini hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh Nurgiyantoro. Dalam teorinya, Nurgiyantoro menggunakan dua istilah utama yaitu tokoh dan penokohan. Tokoh adalah orang, pelaku cerita, watak, perwatakan,
9
dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan adalah penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita (1998:165). Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu karakter utama, yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Biasanya, peristiwa-peristiwa ini menimbulkan perubahan pada diri sang karakter atau pada sikap individu terhadap karakter tersebut (Stanton, 2007:33). Perilaku karakter dalam sebuah cerita tentunya berdasarkan pada alasanalasan tertentu. Alasan seorang karakter untuk bertindak sebagaimana yang ia lakukan dinamakan motivasi. Motivasi spesifik seorang karakter adalah alasan atas reaksi spontan, yang mungkin juga tidak disadari, yang ditunjukkan oleh adegan atau dialog tertentu (Stanton, 2007:33). 1.5.2.2 Alur Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita, biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang berhubung secara kausal. Peristiwa kausal adalah peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik seperti tindakan. Akan tetapi, bisa juga berupa perubahan sikap karakter, pandangan hidupnya, keputusannya dan segala sesuatu yang dapat mengubah jalannya suatu cerita. Sehingga setiap adegan yang dilakukan oleh seorang tokoh akan mempengaruhi hubungannya dengan karakter-karakter lain
10
sehingga pada akhirnya akan menimbulkan reaksi dari karakter-karakter tersebut dan balik mempengaruhinya (Stanton, 2007:26). Alur juga diartikan sebagai tulang punggung cerita. Hal itu disebabkan alur dapat membuktikan dirinya sendiri, meskipun jarang diulas secara panjang lebar dalam sebuah analisis. Alur pun memiliki hukumnya sendiri. Alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis, dapat menciptakan berbagai macam kejutan dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan tersebut (Stanton, 2007:28). Selain itu, berdasarkan urutan waktu, alur dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: alur lurus, alur sorot balik dan alur campuran (Nurgiyantoro, 1998:153-156). Pertama, alur lurus atau progresif merupakan peristiwa-peristiwa yang dikisahkan secara kronologis, runtut dari dimulainya awal cerita (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah cerita (konflik meningkat, klimaks), dan akhir cerita (penyelesaian). Oleh karena itu, biasanya alur lurus menunjukkan kesederhanaan dalam cara penceritaan, tidak berbelit-belit dan mudah diikuti. Kedua, alur sorot balik atau flash-back adalah suatu peristiwa yang urutan kejadiannya tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah atau akhir, barulah setelah itu tahap awal cerita dikisahkan. Alur jenis ini langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik yang belum meruncing atau yang sudah meruncing kepada pembaca. Teknik sorot balik ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti pengarang menyuruh tokoh untuk merenung kembali ke masa lalu, kemudian menuturkannya kepada tokoh lain baik lisan maupun tertulis sehingga tokoh lain yang menceritakan masa lalu
11
tokoh lain atau pengarang sendirilah yang menceritakan alur sorot balik tersebut. Ketiga, alur campuran merupakan peristiwa-peristiwa dalam cerita yang diceritakan secara progresif, namun terdapat pula beberapa flash-back. Menurut Stanton, yang menjadi unsur dasar dalam membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Stanton mengungkapkan bahwasanya konflik dalam karya fiksi setidaknya memiliki ‘konflik internal’ (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya. Terlebih sebuah cerita, bisa jadi, mengandung lebih dari satu konflik kekuatan, tetapi hanya konflik utama yang dapat merangkum seluruh peristiwa yang terjadi dalam alur (Stanton, 2007:31-32). Sedangkan klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatankekuatan konflik dan menentukan bagaimana pertentangan tersebut dapat terselesaikan (Stanton, 2007:32). Hal yang sama diutarakan oleh Nurgiyantoro. Dalam teorinya, klimaks merupakan titik pertemuan antara dua (atau lebih) hal (keadaan) yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana permasalahan tersebut (konflik) akan diselesaikan. Dengan kata lain, klimaks “nasib” tokoh utama cerita akan ditentukan. Oleh sebab itu, hubungan antara konflik dan klimaks sangatlah erat, logis dan penting dalam alur karena klimaks hanya akan ada bila terjadinya sebuah konflik tetapi tidak semua konflik harus mencapai klimaks, tidak semua konflik harus mempunyai penyelesaian (1998:127). 1.5.2.3 Latar Menurut Stanton, latar merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang
12
sedang berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, tahun), cuaca, atau satu periode sejarah. Meskipun tidak langsung merangkum sang karakter utama, latar dapat merangkum orang-orang yang menjadi penghias dalam cerita (2007:35). Latar juga memiliki daya untuk memunculkan tone dan mood emosional yang melingkupi sang karakter (Stanton, 2007:36). Pengertian di atas hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh Nurgiyantoro. Di dalam teorinya, Nurgiyantoro membagi latar menjadi tiga bagian, yaitu latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Pertama, latar tempat, yang menurut Nurgiyantoro, merupakan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam tempat-tempat dengan nama tertentu, dan mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata. Sedangkan tempat tanpa nama yang jelas biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu (desa, sungai, jalan, hutan, kota dan lain-lain) (1998:227). Kedua, latar waktu adalah berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 1998:230). Dalam karya naratif, masalah waktu dapat bermakna ganda, yaitu: di satu pihak menunjuk pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita dan pihak lain menunjuk pada waktu dan urutan yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita (Genette, 1980:33;35 via Nurgiyantoro, 1998:231). Selain itu, di sejumlah karya fiksi, latar waktu mungkin justru tampak samar, tidak ditunjukkan secara jelas, seperti tidak ditonjolkannya unsur waktu dikarenakan mungkin
13
memang tidak penting untuk ditonjolkan dengan kaitan logika cerita, penekanan waktu berupa pagi, siang dan malam (Nurgiyantoro, 1998:232). Ketiga, latar sosial yaitu hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencangkup berbagai masalah dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan sikap dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas (Nurgiyantoro, 1998:233-234). 1.5.3
Moral Menurut Nurgiyantoro, moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan
pandangan hidup pengarang tentang nilai-nilai kebenaran yang ingin disampaikan kepada pembaca (1998:321). Moral dalam cerita dapat disebut juga sebagai saran yang berhubungan dengan ajaran moral bersifat praktis. Moral bersifat praktis karena petunjuk tersebut dapat ditampilkan di dalam kehidupan nyata melalui sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita. Sehingga pembaca dapat menafsirkan ajaran moral yang terdapat dalam cerita tersebut. Penafsiran tersebut dapat dilakukan dengan melihat petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan (Kenny, 1966:89 via Nurgiantoro, 1998:321). Setiap karya sastra memiliki jenis dan wujud ajaran moral yang berbedabeda. Jenis dan wujud ajaran moral tersebut akan bergantung kepada keyakinan,
14
keinginan dan minat pengarang (Nurgiyantoro, 1998:323). Jenis ajaran moral bersifat tidak terbatas dalam arti moral dapat mengcakup seluruh persoalan dalam kehidupan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Persoalan hidup dan kehidupan manusia dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial, hubungan manusia dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya (Nurgiyantoro, 1998:323-324). Ajaran moral ada yang berwujud religius (keagamaan) dan kritik sosial. Ajaran moral yang berwujud religius adalah ajaran moral yang menuntut seseorang untuk mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar lahiriah semata. Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani, harkat dan martabat serta kebebasan pribadi yang dimiliki oleh manusia (Nurgiyantoro, 1998:327). Sedangkan ajaran moral yang mengandung pesan kritik ataupun kritik sosial dapat juga disebut sebagai sastra kritik muncul di tengah-tengah masyarakat baik di lingkungan sosial, ekonomi, politik, hukum dan lain-lain. Kritik sosial tersebut disampaikan pengarang melalui karya sastra yang ia ciptakan (Nurgiyantoro, 1998:331). Ajaran moral disampaikan pengarang dengan cara langsung dan tidak langsung. Ajaran moral yang disampaikan secara langsung, ajaran moral yang ingin disampaikan, atau diajarkan kepada pembaca secara langsung dan eksplisit (bersifat komunikatif) sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami ajaran moral yang terkandung dalam karya sastra tersebut (Nurgiyantoro, 1998:335-336). Pengarang
menyampaikan
pesan
moral
dengan
cara
melukiskan
atau
15
mendeskripsikan watak tokoh cerita. Sedangkan, ajaran moral yang tidak langsung merupakan penyampaian pesan yang tersirat dan berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Pengarang tidak secara sertamerta menyampaikan ajaran moral tersebut melainkan disampaikannya melalui karakter dan alur cerita. Hal ini dapat terlihat pada sikap dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa atau konflik yang terjadi (Nurgiyantoro, 1998:339). 1.6
Metode Penelitian Secara harfiah metode dapat diartikan sebagai cara atau jalan menganalisis
(Hassan, 1977:16 via Sangidu, 2007:13). Menurut Sangidu, metode adalah cara kerja yang teratur dan bersistem untuk memulai pelaksanaan suatu kegiatan penelitian guna mencapai tujuan yang telah ditentukan (2007:13). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode objektif, yaitu metode yang memberi perhatian penuh pada karya sastra, melakukan pendeskripsian terhadap fakta dan data dalam teks kemudian dilanjutkan dengan analisis untuk memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya (Ratna, 2004:54 via Putra, 2008:17). Pada penelitian ini penulis meneliti unsur-unsur tema dan fakta cerita dalam cerpen Hashire Merosu. Menurut Stanton, cara tersebut bukan dimaksudkan untuk mengurangi nilai cerita ke dalam abstraksi, juga bukan untuk memotong-motong ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, tetapi untuk menggali ke dalam peristiwa yang disampaikan oleh pengarang (1965:6 via Putra, 2008:17).
16
Langkah-langkah yang ditempuh penulis dalam penelitian ini, antara lain, pertama, menentukan objek penelitian material dan formal. Objek material dalam penelitian ini adalah Cerpen Hashire Merosu, sedangkan objek formalnya yaitu teori struktural Robert Stanton untuk mengungkap tema dan fakta cerita. Kedua, setelah menentukan objek material dan formal, selanjutnya penulis mencari data yang terkait dengan tema penelitian berupa data pustaka dan data yang lain. Ketiga, penulis melakukan analisis data. Keempat, setelah melakukan analisis data penulis menyimpulkan hasil dari analisis dalam bentuk tulisan. 1.7
Sistematika Penyajian Penelitian ini tersusun dalam empat bab. Bab I berisi pendahuluan yang
terdiri dari Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. Bab II berupa riwayat hidup dan karya-karya pengarang. Bab III berupa sinopsis cerpen, analisis tema, dan fakta cerita, serta keterkaitan antara unsur tema dan fakta cerita dalam cerpen Hashire Merosu. Dalam bab ini juga akan dipaparkan mengenai ajaran moral yang terkandung dalam cerpen tersebut. Bab IV adalah kesimpulan.