BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuannya tidak dapat dilepaskan dari peran pemimpinnya. Dalam suatu perusahaan, seorang pemimpin bukan semata-mata sebagai obyek dalam pencapaian tujuan, tetapi sekaligus menjadi subyek atau pelaku. Peran penting seorang pemimpin dalam pencapaian tujuan perusahaan ini ditegaskan oleh Gibson (2003), bahwa keberhasilan perusahaan sangat ditentukan oleh efektivitas keberhasilan pemimpin dan karyawan dari semua divisi dalam perusahaan. Pendapat Gibson ini mempunyai konsekuensi adanya suatu tuntutan kepada perusahaan untuk lebih memperhatikan aspek-aspek kritis yang merupakan faktor penentu keberhasilan kinerja seorang pemimpin, sehingga karyawan dapat meraih kepuasan kerja. Penilaian kepuasan kerja karyawan yang bermanfaat bagi perusahaan, hendaknya dilakukan dan ditargetkan oleh seorang pemimpin. Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan pengembangan sebagai proses penilaian yang dapat dilakukan antara lain dengan evaluasi faktor situasional kepemimpinan, dan adalah dengan menghubungkannya dengan penilaian kerja pada karyawannya (Robbins, 2000). Kepuasan kerja yang tinggi akan memperbesar kemungkinan tercapainya produktivitas dan kinerja yang tinggi pula. Karyawan yang tidak puas cenderung sering mengeluh, tidak mematuhi peraturan, mencuri aset
1
perusahaan dan mengelakkan diri dari tanggung jawab pekerjaannya (Robbins, 2000). Kondisi demikian jika tidak mendapat perhatian dan penanganan dari pihak atasan jelas akan mengganggu jalannya proses pencapaian tujuan perusahaan. Oleh karena itu seorang pemimpin dituntut mampu memadukan dan mengkombinasikan berbagai sumber kekuasaan yang dimilikinya untuk mendorong kinerja bawahan. Berhasil atau tidaknya akan tergantung pada perilaku pemimpin tersebut, bagaimana ia mengenali situasi dan kondisi diri pribadi dan lingkungannya karena akan memegang peranan penting dalam efektivitas kepemimpinannya. Peranan dan tanggung
jawab pemimpin sangat besar terhadap
karyawan, apabila seorang pemimpin kurang mampu melihat keadaan para karyawan dan lingkungan sekitarnya akan mengakibatkan penolakan terhadap perintah atasan, pembangkangan, keadaan acuh tak acuh terhadap keberadaan pimpinan dan kurang hormatnya pada pimpinan, sampai pada penurunan motivasi kerja dan akhirnya penurunan kinerja karyawan (Nurmianto, 2003). Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Faktor Situasional Kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Blora”.
1.2 Rumusan Masalah Dalam penelitian ini penulis ingin meneliti: Apakah faktor situasional kepemimpinan yang meliputi hubungan pimpinanbawahan, struktur tugas, dan kekuatan posisi pemimpin secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan ?
2
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mengetahui pengaruh faktor situasional kepemimpinan terhadap kepuasan kerja karyawan pada Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Blora.
1.4 Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan berkontribusi bagi pihak-pihak : 1. Bagi Penulis Penelitian dilakukan agar dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam menerapkan teori-teori yang telah diterima di bangku kuliah.
2. Bagi Perusahaan Penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan karyawan, khusus Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Blora pada saat ini maupun dimasa yang akan datang terutama yang berhubungan dengan kinerja individualnya.
3. Bagi Pembaca Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan pembaca dalam memahami kepemimpinan dan kepuasan kerja individual karyawan, secara khusus perawat.
3
1.5 Batasan Penelitian Karena penulis memiliki keterbatasan dan kemampuan, maka penelitian dibatasi pada : 1. Penelitian hanya dilakukan pada Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Blora.. 2.
Responden adalah Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Blora.
3. Profil Responden adalah: a. Jenis kelamin b. Usia c. Tingkat Pendidikan d. Lama bekerja 4. Variabel yang diteliti terdiri dari: Faktor situasional kepemimpinan yang diukur dalam hal ini adalah menurut Fiedler. Menurut Fiedler yang dimaksud faktor situasional efektivitas kepemimpinan adalah kepemimpinan yang dihubungkan dengan faktor situasional berupa hubungan pimpinan-bawahan, struktur tugas, dan kekuatan posisi pemimpin. Kepemimpinan itu sendiri adalah suatu proses dimana individu mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan umum (Jiewell & Siegel., 1998). Faktor yang diukur adalah: a. Hubungan pimpinan dan bawahan. Faktor hubungan pimpinan-bawahan mengacu pada derajat keyakinan, kepercayaan, dan rasa hormat yang dimiliki pengikut terhadap pemimpinnya. Variabel situasional ini mencerminkan penerimaan terhadap pemimpin. Pengaruh pemimpin sebagian tergantung pada
4
penerimaan dari pengikutnya. Atau suatu faktor dalam model kontingansi
Fiedler
yang
mengacu
pada
derajat
keyakinan,
kepercayaan, dan rasa hormat yang didapatkan pemimpin dari pengikut-pengikutnya.
b. Struktur tugas. Dimensi ini terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut: Kejelasan tujuan – derajat dimana tugas dan kewajiban dinyatakan secara jelas dan diketahui oleh orang-orang yang melaksanakan pekerjaan. Keragaman jalur tujuan – derajat masalah yang dihadapi dalam pekerjaan dapat dipecahkan dengan berbagai macam prosedur. Suatu kumpulan pekerja lini akan memecahkan masalah dalam suatu kerangka yang sistematis, sementara seorang ilmuwan memiliki banyak cara untuk memecahkan suatu masalah. Dapat dibenarkannya suatu keputusan – derajat “kebenaran” dari pemecahan atau keputusan yang biasa dihadapi dalam suatu pekerjaan dapat didemonstrasikan dengan mengajukan permohonan putusan dari atasan, dengan prosedur-prosedur logis, atau dengan umpan balik. Petugas kendali mutu dapat menunjukkan bagian-bagian yang rusak dan menunjukkan secara jelas
mengapa bagian produk dikirim
kembali untuk dikerjakan ulang. Kespesifikan keputusan–derajat dimana biasanya lebih dari satu pemecahan yang benar. Seorang akuntan yang menyiapkan neraca
5
memiliki beberapa pilihan sementara seorang ilmuwan peneliti mungkin memiliki sejumlah alternatif yang secara potensial benar untuk dipilih. Faktor yang mengacu pada bagaimana terstrukturnya suatu pekerjaan dengan
mempertimbangkan
persyaratan,
alternatif-alternatif
pemecahan masalah, dan umpan balik pada keberhasilan kerja.
c. Kekuatan posisi pemimpin Kekuatan posisi pemimpin dalam model kontingensi mengacu pada kekuasaan inheren dalam posisi kepemimpinan. Untuk menentukan kekuasaan posisi, kita menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah penyelia dapat menyarankan imbalan dan hukuman pada bawahan kepada atasan ?, apakah penyelia dapat menghukum atau memberi imbalan bawahannya atas kehendaknya sendiri ?, apakah penyelia dapat mengusulkan promosi atau penurunan jabatan bawahannya ? Fiedler
bersiteguh
bahwa
pertanyaan-pertanyaan
seperti
itu
memberikan profil dari posisi kekuasaan yang tinggi atau rendah. Tiga faktor situasional yang tampaknya paling penting dalam menentukan kekuasaan dan pengaruh pimpinan adalah: (1) apakah hubungan pimpinan-anggota baik atau buruk; (2) apakah tugasnya relatif terstruktur atau tidak terstruktur; (3) apakah kekuasaan posisinya relatif kuat atau lemah.
6
d. Kepuasan kerja. Kepuasan kerja karyawan terbentuk karena adanya faktor yang melatar belakanginya. Variabel-variabel yang menentukan kepuasan kerja antara lain kerja yang secara mental menantang, ganjaran yang pantas, kondisi kerja yang mendukung (Gibson et al, 2003). Kepuasan kerja adalah suatu efektivitas atau respons emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Kepuasan bukanlah merupakan aspek tunggal, seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau lebih aspek lainnya. Pada suatu negara jumlah orang yang tidak puas akan pekerjaannya bervariasi dengan tingkat pengangguran. Tingkat pengangguran yang tinggi biasanya berarti banyak tenaga kerja yang tidak puas karena lebih sulit untuk berganti pekerjaan dan orang tetap pada pekerjaannya sekalipun mereka tidak menyukainya. Tidak ada rumusan sederhana untuk memperkirakan kepuasan tenaga kerja. Faktor krisisnya adalah apa yang diharapkan tenaga kerja dari pekerjaannya dan apa yang mereka terima sebagai penghargaan dari pekerjaan mereka. Beberapa variabel yang merupakan faktor yang menimbulkan kepuasan kerja: a. Pemenuhan kebutuhan. Kepuasan ditentukan oleh karakteristik dari sebuah
pekerjaan
memenuhi
memungkinkan
kebutuhan-kebutuhannya.
seorang
individu
Kebutuhan
yang
untuk tidak
terpenuhi dapat mempengaruhi kepuasan maupun berhentinya karyawan.
7
b. Ketidakcocokan. Kepuasan adalah hasil dari harapan yang terpenuhi. Harapan yang terpenuhi mewakili perbedaan antara apa yang diharapkan oleh seorang individu dari sebuah pekerjaan, seperti upah dan kesempatan promosi yang baik, dan apa yang pada kenyataannya yang diterima. Pada saat harapan lebih besar daripada yang diterima, seorang akan tidak puas. Sebaliknya, individu akan puas pada saat ia mempertahankan output yang diterimanya dan melampaui harapan pribadinya.
c. Pencapaian nilai. Gagasan yang melandasi pencapaian nilai adalah bahwa kepuasan berasal dari persepsi bahwa suatu pekerjaan memungkinkan untuk pemenuhan nilai-nilai kerja yang penting dari seorang individu (strukturisasi lingkungan kerja penghargaan dan pengakuan yang berhubungan dengan nilai-nilai karyawan).
d. Persamaan. Kepuasan adalah suatu fungsi dari bagaimana seorang individu diperlakukan “secara adil” di tempat kerja. Kepuasan berasal dari persepsi orang bahwa output pekerjaan, relatif sama dengan inputnya, perbandingan yang mendukung output/input lain yang signifikan.
e. Komponen watak/genetik. Secara khusus model watak/genetik didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja merupakan sebagian fungsi dari sifat pribadi maupun faktor genetik. Oleh
8
karenanya, perbedaan individu yang stabil adalah sama pentingnya dalam menjelaskan kepuasan kerja dengan karakteristik lingkungan kerja. Faktor-faktor genetik juga ditemukan secara signifikan dapat memprediksi kepuasan hidup, kesejahteraan, dan kepuasan kerja secara umum.
9