BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kasava merupakan salah satu tanaman pangan berkarbohidrat tinggi yang banyak dikonsumsi dan diproduksi setelah beras dan jagung. Dalam industri pangan, kasava umumnya diolah menjadi tepung yang digunakan sebagai bahan baku pensubstitusi berbagai produk pangan. Namun tepung kasava yang ada masih memiliki kelemahan sifat fisik dan kimia sehingga menyebabkan penggunaannya pada industri pangan terbatas (Witono, 2008). Fermentasi kasava merupakan salah satu cara untuk memperbaiki kelemahan sifat fisik dan kimia pada tepung kasava. Fermentasi kasava diketahui dapat memperbaiki aroma dan tekstur pada produk yang dihasilkan, mengawetkan produk dan menghasilkan sifat pengembangan pada proses baking karena adanya peranan asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat selama fermentasi. Pada fermentasi kasava segar tidak dilakukan proses sterilisasi pada kasava yang digunakan karena akan menambah proses sehingga fermentasi kasava menjadi tidak efisien. Namun hal tersebut menyebabkan mikrobia tumbuh secara tidak terkendali selama fermentasi karena selain bakteri asam laktat, mikrobia lain dapat tumbuh seperti bakteri pembusuk, bakteri patogen, yeast, dan kapang. Pertumbuhan mikrobia yang tidak terkendali dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri asam laktat dan produksi asam laktat yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu dibuat starter bakteri asam laktat yang bertujuan untuk mendominasi pertumbuhan bakteri
asam laktat dan menghambat pertumbuhan mikrobia lain pada fermentasi kasava segar yang tidak disterilkan. Starter yang dibuat diharapkan memiliki jumlah bakteri hidup yang tinggi, aktif saat digunakan dalam fermentasi, dan bebas kontaminan (Tamime, 1981 dalam Laksmi dkk., 1997). Starter
yang umum dibuat adalah starter kering dan starter basah.
Starter kering membutuhkan waktu adaptasi yang lama pada media fermentasi sehingga produksi asam lebih lama dihasilkan selama fermentasi. Adanya proses pengeringan juga menyebabkan terjadinya penurunan viabilitas sel karena banyaknya sel yang mati dan membutuhkan biaya yang mahal (Motavali et al., 2011 dalam Arisanti, 2012). Oleh karena itu perlu pembuatan starter yang penyiapannya lebih sederhana dan cepat beradaptasi dengan media fermentasi sehingga starter memiliki jumlah bakteri hidup yang tinggi dan asam lebih cepat dihasilkan selama fermentasi. Starter basah diketahui memiliki kelebihan dibandingkan dengan starter kering, yaitu mudah dibuat, lebih murah, dan adaptasi dengan media fermentasi lebih cepat. Penggunaan starter basah bakteri Lactobacillus plantarum pada fermentasi silase alfalfa diketahui lebih cepat menurunkan pH, produksi asam laktat dan jumlah bakteri asam laktat lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan starter kering (Whiter and Kung, 2001). Pada proses fermentasi pati kasava selama 48 jam dengan menggunakan starter basah Lactobacillus plantarum B9 terjadi penurunan pH dari 6,0 menjadi 3,23 dan peningkatan total asam sebesar 1,59 % (Putri dkk., 2013). Pada pembuatan starter sering ditambahkan bahan pembawa berupa
gelatin, gum arab, alginat, dan pati (Lian et al., 2002). Tujuan penambahan bahan pembawa ini adalah untuk mendukung pertumbuhan mikrobia target dan mempertahankan populasi mikrobia yang diinginkan selama jangka waktu tertentu (Stephens and Rask, 2000). Menurut Okafor et al. (1999) bahan pembawa dapat mempertahankan kehidupan mikrobia yang terlibat pada fermentasi dalam waktu yang lama sehingga memudahkan transportasi mikrobia tersebut. Bahan pembawa yang digunakan dalam pembuatan starter mempertimbangkan juga ketersediaan, konsistensi kualitas dan biaya. Tapioka merupakan bahan pembawa yang terbuat dari kasava dan sering digunakan pada pembuatan starter untuk fermentasi produk berbahan dasar kasava seperti gari dan kivunde (produk makanan dari fermentasi kasava di Afrika). Tapioka merupakan bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh serta memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi (Linders et al., 1997). Karbohidrat merupakan salah satu nutrisi utama yang dapat dimanfaatkan untuk proses pertumbuhan dan mendukung viabilitas bakteri asam laktat (Nisa dkk., 2008). Hasil penelitian Arisanti (2012) dengan menggunakan bahan pembawa tapioka pada starter kering Lactobacillus plantarum Argentoratensis NBRC 106468 memiliki viabilitas sel sebesar 2,5 x 109 cfu/g dan mampu mempertahankan viabilitas sel yang lebih tinggi selama penyimpanan 10 minggu yaitu 1,5 x 108 cfu/g dibanding dengan bahan pembawa tepung beras yaitu 1,6 x 107 cfu/g. Pada penelitian Okafor et al. (1999), tapioka yang digunakan sebagai bahan pembawa pada starter kering Lactobacillus coryneformis untuk pembuatan garri (produk makanan dari fermentasi kasava
di Nigeria) dapat mempertahankan viabilitas sel selama penyimpanan 16 minggu. Penggunaan tapioka sebagai bahan pembawa pada starter basah diharapkan dapat mempertahankan jumlah sel bakteri asam laktat yang hidup pada starter dan lebih memudahkan adaptasi starter pada kasava sehingga dapat mempercepat pembentukan asam selama fermentasi. Oyewole and Odunfa (1990) melaporkan bahwa Lactobacillus plantarum merupakan bakteri asam laktat yang dominan setelah tiga hari fermentasi kasava. Penggunaan Lactobacillus plantarum RR 182 dalam fermentasi kasava untuk memproduksi foofoo menunjukkan hasil bahwa Lactobacillus plantarum RR 182 menjadi mikrobia yang dominan dalam fermentasi, memiliki pertumbuhan yang tinggi dan stabil selama 96 jam fermentasi serta menghasilkan asam laktat yang lebih tinggi dan pH yang lebih rendah dibandingkan mikrobia yang lain (Henshaw and Ikpoh, 2009). Pada penelitian Arisanti (20012), penggunaan Lactobacillus plantarum Argentoratensis NBRC 106468 selama fermentasi kasava dapat menekan pertumbuhan mikrobia lain selain bakteri asam laktat. Sementara pada penelitian Rosida dan Enny (2007), Lactobacillus plantarum yang digunakan pada fermentasi produk terasi dapat menurunkan pertumbuhan bakteri patogen Staphylococcus aureus. Penggunaan Lactobacillus plantarum UA3 yang diisolasi dari growol pada fermentasi pati kasava selama 48 jam ditemukan memiliki pertumbuhan yang tinggi, menghasilkan asam laktat yang tinggi dan memberikan sifat baking expansion yang cukup baik dibandingkan pada fermentasi pati kasava secara spontan (Putri, 2011). Dengan demikian
Lactobacillus plantarum UA3 memiliki potensi untuk digunakan sebagai starter dalam fermentasi kasava segar. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka tapioka berpotensi sebagai bahan pembawa pada starter basah Lactobacillus plantarum UA3 untuk fermentasi hancuran kasava segar yang tidak disterilkan.
1.2.Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengevaluasi pertumbuhan bakteri asam laktat pada pembuatan starter basah Lactobacillus plantarum UA3 yang dibuat dengan bahan pembawa tapioka. 2. Mengevaluasi kemampuan starter
basah
Lactobacillus plantarum UA3
yang dibuat dengan bahan pembawa tapioka terhadap produksi asam, pertumbuhan bakteri asam laktat, dan pertumbuhan mikrobia bukan penghasil asam selama fermentasi hancuran kasava segar yang tidak disterilkan.
1.3. Manfaat Penelitian Memberikan informasi mengenai fermentasi hancuran kasava segar yang tidak disterilkan dengan menggunakan starter basah Lactobacillus plantarum UA3 yang dibuat dengan bahan pembawa tapioka untuk meningkatkan produksi asam dan menekan pertumbuhan mikrobia bukan penghasil asam selama fermentasi.