1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra lahir sebagai representasi atas kondisi sosial kemasyarakatan, fenomena-fenomena, ideologi, pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang diolah melalui kreasi imajinatif pengarang. Menurut Teeuw (1980: 11) karya sastra tidak lahir dalam kondisi kekosongan budaya. Dalam penciptaan karya sastra, yakni penciptaan teks baru, pengarang mentransformasikan teks-teks lain ke dalam karyanya dengan pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetiknya sendiri yang ditentukan oleh horison harapannya (Pradopo, 1997: 228). Riffaterre (1978: 23) menyatakan bahwa suatu teks merupakan respons atau jawaban terhadap teks-teks lain sebelumnya. Respons tersebut dapat berupa penentangan atau penerusan tradisi dan dapat pula sekaligus berupa penentangan dan penerusan tradisi. Karya sastra ditulis mencontoh karya yang sudah ada sebelumnya (Pradopo, 2005: 178). Dengan demikian, karya sastra yang terlahir senantiasa memiliki keterkaitan dengan karya-karya yang telah muncul sebelumnya. Keterkaitan antarkarya sastra tidak hanya terbatas pada keterkaitan sejarah saja, dalam arti karya sastra dalam periodisasi tertentu, tetapi juga karya-karya sastra pada berbagai periodisasi. Keterkaitan antarkarya sastra ini terdapat pada karya-karya sezaman dan satu lingkup (tempat atau negara) ataupun sebaliknya. Dugaan keterkaitan tersebut tampak pada novel Primadona karya N. Riantiarno dan novel Memoirs of a Geisha karya Arthur Golden. Dalam hal ini Memoirs of a Geisha diasumsikan memiliki sejumlah kemiripan dengan Primadona.
2
Dengan melihat latar kesejarahan kedua novel tersebut tentu menjadi hal yang menarik bila terdapat keterkaitan karena keduanya merupakan karya lintas negara dari rentang tahun yang cukup lama pula. Memoirs of a Geisha terbit pada dekade 1990 di Amerika Serikat, sedangkan Primadona lahir di Indonesia pada dekade 1980. Bentuk keterkaitan yang terdapat dalam Primadona dan Memoirs of a Geisha dapat berupa persamaan maupun perbedaan atau penentangan. Dugaan awal keterkaitan muncul karena Primadona dan Memoirs of a Geisha sama-sama mengetengahkan problematika kehidupan seorang wanita dalam dunia hiburan. Keterkaitan tersebut diduga terletak pada beberapa aspek, pertama pada alur ceritanya, yaitu dalam hal susunan rangkaian peristiwa. Kedua, dalam hal motif yang memuat keseluruhan motif para tokoh dalam kondisi kehidupan sosial yang nyaris serupa. Ketiga, dalam hal tokoh diduga terdapat kemiripan pada tokoh utama perempuan dan beberapa tokoh pendamping. Ketiga aspek di atas diduga merupakan keterkaitan yang nampak paling dominan. Suatu teks baru dapat dipahami maknanya secara utuh setelah diketahui hubungannya dengan sajak (teks sastra) lain yang menjadi latar penciptaannya (Pradopo, 2005: 229). Menurut Riffaterre (1978; 23), hipogram adalah teks yang menjadi latar belakang penciptaan teks lain. Oleh karena itu, berlaku prinsip bahwa untuk memberikan makna penuh sebuah teks harus dibicarakan dalam kaitannya dengan teks yang menjadi hipogramnya (Pradopo, 2005: 229). Dalam hai ini, berdasarkan kemunculannya yang lebih dahulu Primadona diduga sebagai hipogram Memoirs of a Geisha.
3
Memoirs of a Geisha diterbitkan kali pertama pada 1997 dan hingga saat ini telah mengalami beberapa kali cetak ulang dalam berbagai bahasa serta tersebar luas pada banyak negara di dunia. Memoirs of a Geisha telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan pada Januari 2002 untuk pertama kalinya diterbitkan di Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama. Selanjutnya Memoirs of a Gheisha diadaptasikan ke dalam sebuah film dengan judul sama yang dirilis pertama kali pada 5 Juni 2005. Film tersebut disutradarai oleh Steven Spielberg dan diproduksi Columbia Pictures. Memoirs of a Geisha ditulis oleh Arthur Golden dan merupakan novel pertamanya. Arthur Golden lahir dan dibesarkan di Chattanooga, Tenessee. Ia lulusan Harvard College tahun 1978 dari Jurusan Sejarah Kesenian Jepang. Pada tahun 1980 mendapatkan gelar MA bidang sejarah Jepang dari Columbia University dan pada tahun 1988 ia memperoleh gelar MA bahasa Inggris dari Boston University. Pada perkembangan kesusastraan Indonesia dekade 2000-an muncullah Primadona yang sama-sama mengetengahkan kisah hidup seorang perempuan dengan cerita perjalanan hidupnya yang diduga menunjukkan berbagai kemiripan dengan kisah yang ditampilkan Memoirs of a Geisha. Primadona merupakan sebuah novel yang diterbitkan pada tahun 2005 oleh Gramedia Pustaka Utama. Primadona ditulis pada periode 2001 hingga 2005. Meskipun terbit pada pada tahun 2005, novel Primadona sesungguhnya merupakan adaptasi naskah Opera Primadona yang kali pertama dipentaskan oleh Teater Koma pada 24 Maret hingga 1 April 1988 dan telah dipentaskan pada banyak pertunjukan opera atau drama. Primadona merupakan buah karya N. Riantiarno. N. Riantiarno lahir di Cirebon, 6 Juni 1949. Aktif berteater sejak 1965. Tamat SMA pada 1967 dan melanjutkan kuliah
4
di ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia). Ia merupakan salah satu pendiri Teater Populer dan pada 1 Maret 1977 mendirikan Teater Koma. Hingga saat ini telah menggelar lebih dari seratus produksi panggung dan televisi. Sebagian besar karya pentasnya, antara lain, Trilogi Rumah Kertas (1977), Maaf, Maaf, Maaf (1978), Trilogi Opera Kecoa (1990), Sampek Engtai (1989), Suksesi (1991), Rumah Sakit Jiwa (1994), Semar Gugat (1996), Opera Sembelit (2000), Republik Bagong (2001), dan Tanda Cinta. Beberapa drama saduran yang telah dipentaskan, antara lain karya George Buchner, Bertolt Brecht, William Shakespeare, Aristophanes, George Orwell, Arthur Miller, Beaumarchaise, dan Moliere. Selain drama, N. Riantiarno juga banyak menghasilkan karya prosa, antara lain, Percintaan Senja, Cermin Merah (2004), Fiksi Di Ranjang Bayi (2005), Cermin Bening (2005), dan Cermin Cinta (2006). N. Riantiarno dengan karya-karyanya telah meraih berbagai penghargaan. Beberapa di antaranya, yaitu, Jakarta-Jakarta meraih Piala Citra FFI (Festival Film Indonesia) 1978, Karina meraih juara Sayembara Penulisan Naskah Drama Kesenian Jakarta (19721973-1974-1975-1998), dan Jujur Itu... memenangkan Sayembara Naskah Drama Anak-Anak Departemen P&K 1978. Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa alasan mengapa tulisan ini mengambil Memoirs of a Geisha dan Primadona sebagai objek penelitian, yaitu. 1. Primadona diduga merupakan hipogram bagi Memoirs of a Geisha 2. Primadona dan Memoirs of a Geisha sama-sama mengetengahkan permasalahan yang serupa, yaitu problematika kehidupan tokoh utama perempuan sebagai primadona dalam dunia hiburan.
5
3. Diduga terdapat keterkaitan berupa kemiripan pada beberapa aspek cerita dominan yang ada dalam Primadona dan Memoirs of a Geisha, yaitu dari aspek alur, motif, dan tokoh. 4. Belum pernah dilakukan penelitian intertekstual yang mengaitkan kedua novel tersebut, sehingga dari segi objek terdapat kebaruan dan layak untuk diteliti. Dengan demikian, telah disebutkan beberapa asumsi yang mengindikasikan adanya kemiripan-kemiripan antara Primadona dengan Memoirs of a Geisha. Asumsiasumsi inilah yang mendorong penulis untuk menganalisis kedua novel tersebut dengan pendekatan intertekstual. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah keterkaitan berbagai aspek berupa kemiripan dan penentangan yang terdapat dalam novel Memoirs of a Geisha dan novel Primadona yang diduga merupakan hipogramnya. Kemiripan dan penentangan tersebut ditinjau dari isi tahapan alur, motif-motif, dan tokoh melalui analisis intertekstual. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini memiliki dua tujuan pokok, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah mendapatkan hasil analisis intertekstual novel Primadona dan Memoirs of a Geisha yang berupa analisis alur, motif, dan penokohan. Selain itu, penelitian ini juga mencoba memberikan makna terhadap kedua novel sebagai identitas dari kajian intertekstual. Tujuan praktis penelitian ini adalah untuk menambah pemahaman masyarakat dalam menilai makna yang terkandung dalam novel Primadona dan Memoirs of a
6
Geisha sehingga dapat meningkatkan apresiasi terhadap karya genre prosa pada khususnya serta karya sastra pada umumnya. 1.4 Tinjauan Pustaka Sebatas pengamatan penulis, hingga saat ini telah cukup banyak penelitian atau tulisan mengenai Memoirs of a Geisha baik berupa laporan penelitian maupun resensi. Untuk pembahasan mengenai Primadona hingga saat ini masih minim, lebih khusus lagi pembahasan yang mengaitkan antara Memoirs of a Geisha dengan Primadona dalam hubungan intertekstual. Salah satu pembicaraan mengenai Memoirs of a Geisha terdapat dalam tesis Titiek Suyatmi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret, yakni Kajian Intertekstual dan Nilai Pendidikan antara Novel Memoirs of A Geisha Karya Arthur Golden dengan Novel Kembang Jepun Karya Remy Sylado. Penelitian tersebut mendeskripsikan berbagai aspek, yaitu, pertama, struktur novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun; kedua, unsur-unsur struktur novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun; ketiga, persamaan dan perbedaan unsur-unsur struktur novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun dengan pendekatan intertekstualitas; dan keempat, memaparkan nilainilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Memoirs of A Geisha dan Kembang Jepun. Ulasan lain mengenai Memoirs of a Geisha terdapat pada tulisan Rr. Windhy Prameswari yang berjudul Representasi Budaya Jepang dalam Kimono Geisha; Analisis Semiotik pada Film “Memoirs of A Geisha”. Tulisan ini membahas jenis, gaya, dan
7
penggunaan kimono dalam film Memoirs of a Geisha. Teori yang digunakan adalah semiotika sebagai pendekatan dalam memahami makna film.
Ulasan lain tentang Memoirs of a Geisha yakni makalah yang ditulis oleh Evy Nur Laila dengan judul Representasi Geisha dalam Film Memoirs of Geisha. Tulisan ini membahas tentang sejarah dan perkembangan geisha di Jepang, sinopsis film Memoirs of a Geisha, perspektif geisha dalam kebudayaan Jepang, perspektif geisha dalam film Memoirs of a Geisha, dan mengetengahkan pertanyaan geisha sebagai sebuah kebudayaan ataukah prostitusi.
Selain berupa laporan penelitian, tulisan mengenai Memoirs of a Geisha juga banyak dijumpai di berbagai website dalam bentuk artikel maupun resensi. Tulisantulisan
tersebut
antara
lain,
Sinopsis
Memoirs
of
a
Geisha
dalam
http://sebuahcatatansastra.blogspot.com/2009/01/sinopsis-memoirs-of-geisha.html (Sebuah Catatan Sastra), Memoirs of a Geisha, dan Memoirs of a Geisha (film) dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Memoirs_of_a_Geisha (Wikipedia the free enciclopedia), Pembahasan mengenai Primadona hingga saat ini masih minim dan hanya berbentuk resensi atau tulisan lepas saja. Beberapa tulisan mengenai Primadona antara lain,
“Opera
Primadona”:
Kebencian
Memicu
Kebangkrutan
dalam
http://elokdyahmesswati.com/id-67-1985/opera-primadona.html (The Journey of Elok Dyah Messwati), Primadona; Synopsis (sinopsis) dan Opera Cinta Sang Primadona (resensi)
dalam
http://www.bookoopedia.com/id/book/id-78-1957/roman/sebuah-
roman-primadona.html (Bookoopedia). Selain tulisan-tulisan tersebut, terdapat tulisan yang
berjudul
Dardanella
Opera
Melayu
by
Bataviase
http://bataviase.wordpress.com/2008/06/04/dardanella-opera-melayu/.
Secara
dalam umum
8
tulisan ini tidaklah membahas mengenai Primadona, melainkan hanya sedikit menyinggungnya. Namun, secara khusus menyebut pemuatan nama Dardanella dengan pelopornya yang terkenal saat itu, Pedro di dalam cerita Primadona. Nama Dardanella dan Pedro dijadikan bagian dalam cerita dengan sedikit modifikasi, yaitu Dardanella diubah menjadi Gardanella dan Pedro menjadi Petro. Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian secara terperinci mengenai Memoirs of a Geisha dan Primadona, khususnya membahas hubungan intertekstual antara keduanya sangatlah diperlukan. Hasil penelitian dapat mencapai tingkat pemahaman dan pemaknaan yang lebih baik dari novel Memoirs of a Geisha dan Primadona. Selain itu, penelitian ini juga dapat digunakan untuk melengkapi pembahasan-pembahasan yang telah ada baik mengenai Memoirs of a Geisha, Primadona maupun keduanya.
1.5 Landasan Teori Untuk menganalisis objek pada penelitian ini digunakan teori intertekstual. Menurut Julia Kristeva (via Culler, 1975; 139) asumsi dasar dari teori intertekstual adalah setiap teks merupakan mozaik kutipan-kutipan, penyerapan, dan transformasi dari teks-teks lain. Masih menurut Kristeva (via Junus, 1985: 87), intertekstualitas adalah hakikat suatu teks yang di dalamnya ada teks lain, atau kehadiran suatu teks pada teks lain. Kehadiran teks lain itu dapat secara fisikal dan dapat pula terbatas pada teks bahasa. Hal itu senada dengan pernyataan Junus (1985: 87-88) bahwa prinsip intertekstual tidak hanya terdapat pada munculnya teks lain dalam suatu teks yang bersifat fisikal, seperti menampilkan judul karya yang serupa, tetapi juga pada munculnya ide-ide yang memberi petunjuk mengenai adanya hubungan persambungan atau pemisahan dengan teks lain yang telah lahir terlebih dahulu.
9
Dengan demikian, fungsi utama dari teori intertekstual adalah untuk membuktikan kehadiran suatu teks dalam teks lain. Namun, menurut Junus (1985: 8889) fungsi teori intertekstual tidak hanya berhenti sampai di sini, penelitian intertekstual harus berlanjut pada, pertama, pencarian fungsi hipogram dalam suatu teks, dan kedua, perlakuan pengarang terhadap teks hipogram dalam teks yang muncul kemudian. Perlakuan ini dapat merupakan pengekalan, perubahan, atau pertentangan yang berupa afirmasi, transformasi, atau negasi. Teeuw (1984: 145-146) menyatakan bahwa setiap teks sastra dapat dipahami berdasarkan latar belakang teks lain sebagai contoh teladan dan kerangka. Dalam menganalisis hubungan antarteks haruslah ditentukan teks yang mendasari penciptaan teks lain, yaitu hipogram. Riffaterre (1978: 11-23) mengemukakan bahwa hipogram adalah sajak (teks sastra) yang menjadi latar penciptaan karya sastra sesudahnya. Riffaterre (1978:87) menambahkan terdapat dua jenis hipogram, yaitu hipogram potensial yang nampak pada bahasanya dan hipogram aktual yang nampak pada karya sebelumnya. Selain itu, menurut Teeuw (1983: 85) wujud hipogram dapat berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan, pemberontakan eksistensi, pemutarbalikkan esensi, dan amanat teks. Napiah (1994: xxiv-xxvi) merumuskan beberapa prinsip yang dapat terjadi dalam intertekstual. 1. Transformasi Transformasi adalah pemindahan suatu teks ke teks lain yang berupa pola, jalan penceritaan, dialog, dan sebagainya. Penerapan unsur ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara formal dan secara abstrak. Secara
10
formal, transformasi adalah pemindahan, penjelmaan, atau pertukaran teks secara keseluruhan atau hampir keseluruhan. Secara abstrak, transformasi adalah pemindahan, penjelmaan, dan penukaran teks dengan hanya sekadar meresap ke dalam teks lain. 2. Modifikasi Modifikasi adalah penyesuaian atau perubahan suatu teks ke teks yang lain. Modifikasi terdiri atas dua tataran, pertama, modifikasi pada tataran struktur kebahasaan, yaitu apabila teks baru merupakan manipulasi kata atau urutan kata dalam kalimat pada teks sebelumnya, dan kedua, modifikasi pada tataran kesusastraan, yaitu apabila teks baru merupakan manipulasi tokoh atau alur pada teks sebelumnya. 3. Ekspansi. Ekspansi adalah perluasan atau pengembangan dari teks yang telah ada sebelumnya. 4. Haplologi. Haplologi adalah pengguguran atau pemotongan bagian dari teks asal untuk menciptakan kesesuaian pada teks yang baru. 5. Eksistensi. Eksistensi adalah kemunculan nyata suatu bagian teks asal ke teks lain. 6. Demitefikasi Demitifikasi adalah penentangan terhadap suatu karya yang telah muncul sebelumnya sehingga menghasilkan teks yang berlawanan.
11
7. Konversi. Konversi adalah pembalikan atau penentangan terhadap suatu teks asal. Konversi tidak menyebabkan perubahan drastis, karenanya konversi tidaklah sama dengan demitefikasi. 8. Ekserp Ekserp adalah paralelisme atau kesejajaran antara teks awal dengan teks yang mengikuti yang berupa intisari sebagian sebagai petikan episode. Dalam penerapannya ekserp mengambil intisari dari sebagian episode, petikan, atau suatu aspek secara sama atau hampir sama dengan teks yang telah ada sebelumnya. Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks (Pradopo, 2005: 141). Oleh karena itu, untuk memahami kompleksitas struktur tersebut perlu diketahui lebih lanjut mengenai analisis struktural. Analisis struktural ini merupakan prioritas sebelum yang lain-lain (Teeuw, 1983: 61), tanpa itu kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri tidak dapat terungkap. Chattman (1980:19-20) menyatakan pandangan strukturalisme bahwa salah satu unsur karya fiksi adalah cerita, isi atau rangkaian cerita. Dalam penelitian ini, aspek-aspek yang akan dibahas mencakup tiga hal, yaitu alur, motif, dan penokohan. 1.4.1
Alur Secara umum, alur dalam sebuah cerita adalah keseluruhan rangkaian peristiwa
dalam suatu cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausalitas saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat
12
diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2007: 26). Soedjiman (1991: 30) menjelaskan bahwa alur adalah urutan peristiwa dalam karya sastra yang bertujuan untuk mencapai efek tertentu dengan memperhatikan hubungan kausal (sebab-akibat). Chattman (1980: 20) menambahkan bahwa alur sebagai urutan peristiwa dalam suatu karya naratif, baik urutan secara normal, flashback atau sorot balik, maupun in medias res. Luxemburg (1984: 150) menyatakan peristiwa-peristiwa adalah peralihan dari keadaan yang satu ke keadaan yang lain. Tasrif (dalam Lubis, 1981:17) mengemukakan bahwa secara umum alur terbagi ke dalam tahapan berikut: 1. Situation, yaitu penggambaran suatu keadaan 2. Generating circumtances, yaitu peristiwa-peristiwa yang bersebab-akibat mulai bergerak 3. Rising action, yaitu peristiwa-peristiwa mulai memuncak 4. Climax, yaitu puncak peristiwa-peristiwa yang telah terjadi 5. Denoument, pemecahan dari semua masalah. Tiap-tiap karya sastra memiliki karakteristik struktur alur yang berbeda-beda. Menurut Panuti Soedjiman (1991: 33-34), terdapat berbagai teknik struktur alur, yaitu flashback (sorot balik), suspense (tegangan), dan foreshadowing (membayangkan sesuatu). Selain itu, masih terdapat teknik struktur alur lainnya, yaitu digresi. Digresi atau lanturan adalah penyimpangan dari tema pokok sekedar untuk mempercantik cerita dengan unsur-unsur yang tidak langsung berkaitan dengan tema (Hartoko dan Rahmanto dalam Nurgiyantoro, 1994: 160). Selain penggunaan teknik struktur alur, unsur penting yang harus ada untuk membangun alur adalah konflik dan klimaks. Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan dua kekuatan yang
13
seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Welleck dan Warren, 1989: 285), sedangkan klimaks adalah saat ketika konflik terasa sangat intens sehingga ending tak dapat dihindari lagi (Stanton, 2007: 32). 1.4.2
Motif Luxemburg (1984: 34) menyatakan bahwa motif adalah kesatuan terkecil dalam
peristiwa yang diceritakan. Menurut Aglo Saxon (dalam Sulastin-Sutrisno, 1983: 128) motif adalah unsur-unsur teks seperti perbuatan, tingkah laku, atau adegan lingkungan yang penting. Motif secara keseluruhan disebut fabel. Menurut Chattman (1980: 20) fabel adalah bahan dasar cerita. Fabel berupa keseluruhan peristiwa yang saling berhubungan dalam cerita. Senada dengan penyataan Chattman, Luxemburg (1984: 34) menjelaskan bahwa fabel atau fabula adalah rangkainan motif dalam urutan kronologis. Motif sangatlah penting karena cerita dapat berkembang karena adanya motifmotif. Motif sebagai bahan dasar cerita yang dirangkai menjadi keseluruhan motif yang saling berhubungan dalam cerita. Hal itu sesuai dengan pernyataan Sulastin-Sutrisno (1983: 128) bahwa motif berfungsi untuk menggerakkan atau mendorong cerita untuk berkembang lebih lanjut. 1.5.3
Penokohan Panuti Sudjiman (1991: 16) menyebutkan definisi tokoh sebagai individu rekaan
yang mengalami peristiwa atau berlakuan pada berbagai peristiwa dalam cerita. Istilah tokoh selalu mengacu pada penokohan, yakni pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahir maupun batinnya (Welleck dan Werren, 1989: 47). Stanton (2007: 33) menyebutkan bahwa penokohan biasanya mengacu pada dua konteks, yaitu karakter yang merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita dan karakter yang
14
merujuk pada percampuran berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan menjadi tokoh atau karakter utama dan tokoh atau karakter tambahan (Nurgiyantoro, 1994: 178). Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu karakter utama yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Biasanya, peristiwa-peristiwa ini menimbulkan perubahan pada diri sang karakter (Stanton, 2007: 33). Keterkatan dengan seluruh peristiwa dalam cerita menunjukkan pentingnya peranan tokoh utama. Berbanding terbalik dengan tokoh utama, tokoh tambahan menunjukkan peranan yang tidak lebih penting atau bahkan kurang penting. Tokoh tambahan hanya dimunculkan sesekali atau beberapa kali dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1994: 178). Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan antagonis (Nurgiyantoro, 1994: 178). Menurut Altenbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 1994: 178) tokoh tertentu yang menimbulkan simpati dan empati, serta membuat pembaca melibatkan diri secara emosional dengan tokoh tersebut disebut tokoh protagonis. Sebuah cerita fiksi harus mengandung konflik dan tegangan yang dialami tokoh protagonis. Konflik dan tegangan tersebut sebagian besar disebabkan oleh tokoh antagonis. Tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi langsung dengan tokoh protagonis, secara langsung ataupun tak langsung, bersifat fisik ataupun batin (Nurgiyantoro, 1994: 179). 1.6 Metode Penelitian Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, digunakan metode dengan pendekatan deskriptif-analitis, yaitu, prosedur penelitian
15
yang mendeskripsikan fakta-fakta untuk kemudian dilanjutkan dengan analisis. (Ratna, 2010: 53). Untuk pemahaman lebih lanjut dipergunakan analisis struktural untuk memperoleh hasil analisis alur, motif, dan penokohan. Kedua, ditindaklanjuti dengan penggunaan metode intertekstual untuk mencapai pemahaman teks dan keutuhan makna. Dengan metode intertekstual akan dilakukan pembandingan untuk mendapatkan kesamaan-kesamaan maupun perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam kedua novel. Oleh karena itu, berlaku prinsip bahwa untuk memberikan makna penuh sebuah teks, harus dibicarakan dalam kaitannya dengan teks yang menjadi hipogramnya (Pradopo, 2005: 229). Penerapan metode di atas dapat dirumuskan sebagai berikut. Pertama dilakukan analisis struktural untuk menganalisis alur cerita, motif-motif yang terdapat pada keseluruhan cerita, dan tokoh yang mendeskripsikan gambaran karakter serta keterkaitan antartokoh. Kedua, ditindaklanjuti dengan penggunaan metode intertekstual untuk mencapai pemahaman teks dan keutuhan makna. 1.7 Sistematika Laporan Penelitian Sistematika penyajian laporan penelitian ini terdiri atas lima bab. Berikut pembagian bahasan dari tiap-tiap bab. Bab I berupa pendahuluan yang mencakup (1) latar belakang penelitian, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) tinjauan pustaka, (5) landasan teori, (6) metode penelitian, dan (7) sistematika laporan penelitian.
16
Bab II berupa analisis alur atau struktur penceritaan Memoirs of a Geisha dan Primadona. Bagian ini memuat pemaparan dan perbandingan urutan peristiwa dari novel Memoirs of a Geisha dan Primadona. Bab III berupa analisis motif sebagai suatu pokok cerita dari Memoirs of a Geisha dan Primadona. Bab IV berupa analisis tokoh. Bagian ini memuat pemaparan dan perbandingan tokoh-tokoh dalam Memoirs of a Geisha dan Primadona. Bab V kesimpulan. Pada bagian akhir akan dilampirkan daftar pustaka sebagai daftar referensi pustaka yang digunakan dalam penyusunan tulisan ini.