BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Skripsi ini hadir dengan tunjuan untuk menjawab pertanyaan mendasar
tentang apa makna yang terdapat dibalik penggunaan simbol-simbol dalam gaya busana komunitas Punk.Ketika melihat penamiplan Punk, baik sebagai sebuah kawanan maupun sebagai seorang individu, pastinya tercetus berbagai macam prasangka dan rasa penasaran atas gaya busana yang dikenakan. Punk memilih untuk menciptakan fesyen mereka sendiri sebagai respon atas kondisi faktual yang mereka fahami dalam kehidupan sehari-hari, dan gaya yang mereka pilih sering kali bertentangan dengan konstruksi normalitas dalam tatanan sosial masyarakat. Beranjak dari situ, muncul gagasan untuk menelaah lebih jauh wacana tersebut untuk dapat menunjukkan bahwa pakaian juga merupakan salah satu media representasi yang signifikan keberadannya dalam ranah kajian ilmu politik.Seiring perkembangannya, pakaian tidak lagi hanya dijadikan pemenuh kebutuhan sandang yang berfungsi sebagai penutup tubuh dan penghangat badan saja.Pakaian kini juga menjadi alat manifestasi dan representasi politik seseorang atau sekelompok orang, seperti yang dilakukan oleh komunitas Punk.Bagi Punk hal-hal terdekat di sekitar pun bisa menjadi media untuk menyuarakan aspirasi, seperti halnya busana yang mereka kenakan. Hal tersebut sangat berarti ketika ideologi dan eksistensinya telah tersampaikan pada siapapun yang (tertarik) melihat penampilan dan gaya busana yang mereka kenakan. Seperti apa yang
4
dituturkan oleh Guy Debord bahwa “gangguan-gangguan dengan asal usul yang paling sepele pun pada akhirnya dapat mengguncang tatanan dunia” (Heath & Potter, 2009:09). Komunitas Punk memiliki keyakinan bahwasannya apapun tujuan yang hendak dicapai, mereka bisa memulainya dengan diri dan komunitas mereka sendiri. Menurut Umberto Eco (1976), “pakaian merupakan alat semiotika, mesin komunikasi”. Pakaian yang dikenakan oleh orang-orang seolah-olah menunjukan siapa diri mereka sejak pertama kali orang lain melihatnya. Seperti halnya kita dapat mengetahui pilihan politik seorang simpatisan hanya dengan melihat kaos partai yang dipakainya, atau ketika kita meilhat seorang konglomerat dari pakaian mewah yang membalut tubuhnya.Dalam ranah yang lebih rendah, komunitas juga menggunakan pakaian sebagai penanda keanggotaan seseorang dalam komunitas tertentu. Seperti komunitas Punk yang memiliki definisi tersendiri terhadap cara berpakaian mereka. Dengan cara berpakaian tertentu mereka dapat mengetahui identitas komunalnya meskipun sama sekali tidak saling mengenal satu dengan yang lainnya. Kajian ini menjadi menarik dan penting untuk dikaji dengan sudut pandang politik mengingat masih minimnya pengetahuan publik terhadap reproduksi dan penggunaan pakaian dalam mendefinisikan identitas politik untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Bagi kalangan komunitas dan pergerakan, hasil temuan dari penelitian ini nantinya dapat dijadikan salah satu rujukan dan mungkin alternatif lain untuk mengganti kekerasan sebagai cara penyaluran
5
aspirasi ketika kata-kata dan pena tak lagi dapat menjawab kebutuhan tersebut. Bagi kajian politik identitas, temuan yang didapat nantinya diharapkan dapat menjadi acuan dalam menyikapi adanya representasi identitas melalui simbolsimbol
tertentu
mempertanyakan
seperti
pakaian.Selain
kembali
tentang
itu
penelitian
keberadaan
identitas
ini
juga
hendak
seseorang
atau
sekelompok orang yang mungkin saja identitas tersebut merupakan identitas komunal palsu yang dimanfaatkan untuk mendapat keuntungan semata. Sebelumnya memang telah ada penelitian atau buku yang telah membahas tentang masalah-masalah yang terkait dengan Punk, namun kebanyakan hanya berkutat pada ranah kajian budaya populer yang diadopsi dari barat. Maka dari itu penelitian ini akan menyajikan sesuatu yang berbeda dari penelitian yang telah ada sebelumnya. Selain akan mengkaji fesyen dari sudut pandang politik, juga nantinya akan memaparkan tentang pemaknaan atas simbol-simbol identitas tersebut sesuai dengan konteks dan kondisi faktual di lingkungan sekitarnya.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana pakaian direkonstruksi sebagai simbol perlawanan oleh komunitas Punk?
6
C.
Tujuan Penelitian
1.
Untuk membongkar makna atas simbol yang digunakan oleh komunitas
Punk sebagai penanda ideologis. 2.
Memaparkan gagasan dan ideologi pokok yang berada dibalik simbol yang
digunakan oleh komunitas Punk. 3.
Memaparkan dinamiki perkembangan Punk di Indonesia sebagai salah
satu budaya yang diadopsi dari barat. 4.
Ditujukan sebagai persyaratan untuk meraih gelar sarjana di Jurusan
Politik dan Pemerintahan.
D.
Landasan Teori D.1. Pakaian sebagai Representasi
“Simbol merupakan suatu media yang menyampaikan makna diluar media tersebut, fungsi simbol hadir ketika ekspresi membawa sebuah makna tertentu diluar ekspresi tersebut” (Eco, 2009: 69-74).Seperti halnya lampu merah dijalan raya yang bukan menitik beratkan pada warna melainkan pada arti yang hendak disampaikan oleh warna tersebut, bahwa merah bukan berarti representasi warna tetapi merah berarti berhenti. Charles Pierce (1916) juga menerangkan bahwa, “tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berfungsi sebagai wakil dari sesuatu yang lain dalam hal atau kapasitas tertentu”.
7
Peran simbol hadir ketika kata-kata tidak cukup mampu menyampaikan maksud tertentu, seperti halnya pakaian.Pakaian telah menjadi salah satu wujud simbol yang tak dapat dipisahkan dari tren sosial maupun pergerakan politik (Danesi, 2010: 210). Pakaian dapat menjadi simbol kemewahan, kemakmuran dan wibawa bagi golongan tertentu namun disisi lain pakaian juga dapat menjadi sebuah simbol kehinaan, dan kesengsaraan. Tanpa diberitahu pun, kita akan dapat mengetahui bahwa seseorang adalah polisi dari seragam yang dikenakannya. Kita akan dapat mengetahui seorang wanita yang belum pernah kita temui sebelumnya adalah seorang muslim karena dia memakai jilbab dan pakaian yang tertutup. Dan tidak lupa, kita bisa mengetahui bahwa seseorang adalah pelaku tindakankriminal ketika dia memakai baju tahanan.Pakaian telah menjadi jembatan untuk menyampaikan situasi dan kondisi tertentu terhadap pemakainya. Meski demikian, peran pakaian sebagai simbol tidak hadir dengan begitu saja. Butuh proses produksi dan identifikasi tersendiri untuk dapat menjadikan pakaian sebagai simbol, selain itu juga butuh penempatan serta penyesuaian terhadap situasi dan kondisi tertentu. Memakai pakaian untuk alasan yang bersifat sosial merupakan ciri universal dalam budaya manusia (Danesi, 2010: 211).Foucault (2001: 67) juga menyatakan bahwa, "hal tersebut bukan dikarenakan manusia memiliki semua tanda yang memungkinkan, melainkan karena tidak pernah ada tanda hingga ada kemungkinan yang diketahui tentang tanda.Tanda tidak menunggu dalam diam atas kedatangan manusia, melainkan dapat dibentuk dan diciptakan hanya dengan sebuah tindakan dan kesadaran. Beberapa orang akan mengenakan setelan dan gaun mewah pada acara pesta demi
8
memunculkan citra dan derajat kemapanan yang lebih tinggi. Dan sebagian menghindari memakai baju tidur di pusat perbelanjaan besar karena akan membuat mereka terlihat konyol. Maka dari itu, penggunaan pakaian sebagai simbol juga harus disesuaikan dengan kondisi sekitar jika ingin makna yang tersirat sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Dari situlah pakaian memiliki peran penting dalam proses manifestasi gagasan dan bahkan identitas. Stuart Hall memaknai identitas sebagai suatu produksi yang bersifat dinamis, berproses, dan terwujud dalam suatu representasi (Hall dalam Woodward (ed.), 1997:51).Identitas dianggap sebagai sesuatu yang tidak bersifat mutlak dan tunggal.Setiap orang –secara sadar maupun tidak – pasti memiliki multi-identitas, meskipun dalam kondisi-kondisi tertentu identitas yang satu lebih dominan daripada yang lainnya. Meski demikian, tiap orang memiliki kecenderungan untuk lebih menonjolkan salah satu identitasnya dihadapan orang lain dengan upayaupaya yang dikatakan sebagai politik identitas. Politik identitas bisa diartikan sebagai politik pembeda dan penyama antara individu atau kelompok yang satu dengan
yang
lainnya
dengan
menggunakan
ekspresi-ekspresi
simbolik
(Woodward (ed.), 1997:8-15). Seperti setiap orang yang berusaha untuk menunjukan siapa dirinya dan bahwa dia memiliki sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Atau mungkin sekelompok orang yang memiliki beberapa persamaan dan ingin menunjukannya sebagai sebuah identitas komunal.
9
Menurut Laclau dan Mouffe, identitas orang-orang (baik kolektif atau individu) merupakan hasil dari proses dan perjuangan yang bersifat kewacanaan (Jorgense & Phillip, 2007:64). Seperti halnya komunitas Punk yang membentuk identitasnya dengan serangkaian konstruksi wacana pemberontakan ideologis hingga gaya busana dan gaya hidup. Identitas tersebut akhirnya direpresentasikan pada simbol-simbol yang menyampaikan makna-makna tertentu.Seperti pakaian yang digunakan dalam keseharian mereka sebagi wujud perlawanan atas kondisi yang mereka lihat dan yakini sebagai sesuatu yang keliru. Pakaian adalah salah satu simbol perlawanan atas doktrin dan kondisi sosial yang dianggap ‘membosankan’ dan sebagai sebuah pergerakan, komunitas punk berupaya memunculkan identitas yang ‘bersuara’, bukan hanya sekedar gaya. Identitas adalah suatu esensi yang dapat dimaknai melalui tanda-tanda selera, kepercayaan, sikap dan gaya hidup (Chris Barker, 2011: 174). Dan salah satu penanda utama dari identitas adalah pakaian.Marcel Danesi (2010: 207-208) mendefinisikan pakaian sebagai tanda yang memperluas makna dasar tubuh dalam konteks budaya.Oleh karena itu pakaian dan tubuh yang ditutupinya selalu diselubungi oleh signifikansi moral, sosial dan estetis. Seperti halnya semua sistem buatan manusia, pakaian akan selalu memperoleh selingkupan konotasi dalam latar sosial. Konotasi ini dibangun berdasarkan pada berbagai dress code yang membentuk kesadaran tentang bagaimana seharusnya mereka berpakaian dalam berbagai situasi sosial.
10
Identitas bukanlah merupakan suatu fungsi kepemilikan materi pada setiap orang, tetapi sebaliknya, identitas dihungungkan dengan wujud simbolis dan cara orang dirasakan oleh orang lain (Berger, 2010: 125). Tidak semua identitas cukup disampaikan dengan kalimat dan kata-kata, maka dari itu identitas butuh penanda (simbol) untuk menandainya seperti yang dilakukan komunitas Punk di Yogyakarta.Komunitas tersebut menjadikan pakaian sebagai penanda identitas individu maupun komunal dari kelompoknya.Dalam hal ini, pakaian dapat menunjukan banyak hal dalam diri seseorang, mulai dari pandangan politik, keyakinan dalam beragama, status sosial, status hierarki, tingkat kemampuan ekonomi, dan lain sebagainya. Dalam prakteknya, ada dua macam simbol yang digunakan sebagai penanda identitas komunitas Punk, yaitu simbol verbal dan non-verbal. Yang termasuk dalam simbol verbal antara lain bahasa, kata-kata, dan kalimat, sedangkan simbol non-verbal antara lain adalah fesyen (mencakup gaya berpakaian, aksesoris dan lain-lain). Komunitas Punk menciptakan gaya pakaian tersendiri sebagai upaya menunjukan identitasnya, karena identitas bukanlah sesuatu yang diberikan dan ada dengan sendirinya melainkan sesuatu yang berproses dan diciptakan. Mulai dari setelan baju yang dikenakan, bentuk dan warna pakaian, hingga tiap aksesoris yang melekat pada tubuh mereka dapat dijadikan sebagai penanda identitas.Menurut Barnard (2007: 39-40), pakaian seolah-olah berperan layaknya sebuah kalimat, setiap potongan pakaian yang tergabung dalam setelan lengkap dapat menunjukkan siapa diri kita layaknya katakata yang tergabung menjadi sebuah kalimat pernyataan.Tanpa berbicarapun,
11
orang sudah dapat mengetahui siapa kita ketika pesan, identitas, bahkan ideologi yang kita anut telah termanifestasikan kedalam pakaian (simbol) yang kita kenakan. Secara sadar ataupun tidak, simbol telah menjadi kebutuhan tersendiri bagi para penganut dan pelaku politik identitas. Pakaian sebagai simbol akan selalu mendapatkan perannya dalam pergulatan identitas sejalan dengan fenomena yang berkembang di masyarakat. Pakaian dan fesyen menawarkan kepada manusia kesempatan untuk membuat berbagai macam pesan dan makna (Danesi, 2010: 222).
D.2. Reproduksi Maknadalam Pakaian
Hubungan tanda dengan kandungan maknanya tidak dijamin oleh tatanana benda-benda dalam diri mereka sendiri, melainkan terletak pada suatu ruang ekspresi yang terhubung oleh ikatan yang telah terbangun (Foucault, 2007: 72).Terdapat beberapa fase dan proses kerja dalam teori reproduksi tanda, diantaranya adalah proses pembentukan ekspresi, proses pengkaitan ekspresi dengan kemungkinan isinya, dan proses pengaitan tanda tersebut dengan bendabenda aktual (Eco, 1976: 235). Proses-proses tersebut kiranya juga mewarnai dinamika dalam pembentukan identitas komunitas Punk dengan menggunakan kreasi busananya.Mulai dari konteks isu dan kondisi sosial-ekonomi dan politik di lingkungan sekitarnya, pelemparan wacana dapat digunakan untuk menentang kekuatan-kekuatan yang mendominasi hingga pemilihan instrumen untuk 12
merepresentasikan perlawanan atas nilai-nilai dan dogma yang dipaksakan. Fase terpenting dalam proses ini merupakan proses modifikasi dari ranah ekspresi (tanda) dikaitkan dengan ranah isi (makna), karena jika tanda dan makna tidak menemukan korelasi yang sesuai maka semua itu hanya akan menjadi omong kosong gramatikal semata (Eco, 1976: 231). Pakaian akan memunculkan suatu stereotype dan ciri khas tersendiri bagi pemakainya, seperti sepatu Docmart 1 yang akan langsung diidentikkan dengan punk dan kelas pekerja. Proses identifikasi tersebut tentunya membutuhkan proses yang tidak sederhana, mulai dari proses produksi simbol, pemaknaan simbol, hingga keajegan dalam penggunaan simbol tersebut di kehidupan sehari-hari. Seperti penuturan Giddens (1991: 53) bahwa identitas terbentuk oleh proses simbolisasi diri yang berlangsung terus-menerus dengan adanya kontinuitas biografis. Meski pada mulanya fesyen merupakan keistimewaan yang hanya dimiliki oleh golongan elit namun pada akhirnya tiap kelas dan kelompok sosial juga menemukan identitas didalam gaya busananya masing-masing. Seperti komunitas Reggae yang mengidentikkan warna merah-kuning-hijau (bendera Jamaica) dengan golongannya, kaum Hippies dengan rambut panjang, baju tie die 2 dan kalung manik-manik, dan komunitas punk dengan segala penentangan terhadap model busana yang dianggap mapan dengan gaya rambut acak-acakan, sepatu bot 1 Sepatu boot docmart (doctor martens) merupakan sepatu boots kelas pekerja di Inggris, karena banyak digemari akhirnya diproduksi secara massal dan merambah pangsa pasar internasional termasuk Indonesia. 2 Tie Die merupakan salah satu motif pakaian yang dibuat dengan cara mencelupkan kain kedalam pewarna tekstil untuk membentuk pola-pola dengan warna tertentu. 13
dan juga jaket yang penuh dengan berbagai macam emblem dan paku-paku besi. Pada perkembangannya pakaian tidak berhenti sebagai penanda identitas, pakaian telah berubah fungsi menjadi sesuatu yang lebih serius, sebagai ruang-ruang penampung aspirasi kelompok yang memiliki kesadaran untuk menentang kekuasaan para tiran. T-shirt sebagai pakaian yang populis dan digemari oleh banyak kalangan diubah menjadi sebuah ruang aspirasi dengan diberi gambargambar dan tulisan provokatif yang membuat mata orang-orang menjadi penasaran untuk melihatnya dan membuat mereka berpikir akan makna yang terkandung didalamnya.
E.
Metode Penelitian E.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode semiotika. Alasan pemilihan metode tersebut tidak lain karena simbol merupakan fenomena yang berproses, bersifat kompleks dan dinamis sehingga lebih mudah untuk memaparkan secara deskriptif daripada mengukur dan menunjukannya sebagai data statistik dan angka. E.1.1. Semiotika
Metode dasar pakar semiotika yaitu menanyakan apa, bagaimana dan mengapa sesuatu memiliki makna yang kini dimilikinya, dan hal tersebut juga berlaku pada pakaian (Danesi, 2010: 206). Oleh karena itu semiotika menjadi
14
metode pilihan bagi penelitian ini karena fokus dari tema penelitian yang terkait dengan pakaian sebagai simbol sebagai penanda identitas.Semiotika juga menjadi metode yang paling relevan untuk membedah lebih dalam mengenai simbol itu. Proses produksi, pemaknaan, hingga penggunaan simbol tersebut akan menjadi perhatian utama peneliti. Selain itu, peneliti akan melakukan partisipasi langsung dalam kegiatan yang dilakukan oleh obyek penelitian sebagai upaya untuk merasakan dan memahami sudut pandang obyek penelitian, karena perspektif narasumber terhadap pemaknaan suatu tanda menjadi hal penting dalam semiotika. Menurut Saussure (1916) semiotika memiliki dua sisi kajian mengenai tanda, yaitu penanda dan petanda, atau wahana tanda dan makna dari tanda itu. Semiotika menurut pemahaman gaya Saussure ini sering disebut dengan Semiotika Signfikansi, yang mengacu pada dasar-dasar teori komunikasi linguistik Saussure. Metode yang digagas oleh saussure ini masih mengacu pada semiotika strukturalis dimana kajiannya hanya berkutat pada tanda dan makna yang hadir bersama tanda. Saussure melalaikan hubungan tanda dengan maknanya, bagaimana makna itu dihadirkan dan dikonstruksi dengan berbagai cara dan berbagai faktor yang melatar belakangi hadirnya makna. Menurut Umberto Eco (2009: 71-74), semiotika tertarik dengan tanda tertentu jika mereka mengandung dan menyampaikan makna tertentu.Semiotika menawarkan sebuah sudut pandang dimana wujud yang kita lihat secara fisik bukan semata-mata hanya merupakan tampilan kulit luar, namun sesungguhnya di
15
dalam kulit itu juga terdapat suatu isi yang hendak ditunjukkan.Sedangkan menurut Marcel Danesi (2010: 13), semiotika lebih memperhatikan makna pesan dan cara pesan disampaikan melalui tanda-tanda. Sehingga metode ini merupakan metode yang relevan untuk melaksanakan penelitian. Cabang semiotika yang memusatkan diri pada makna objek dan artefak material terkadang disebut semiotika artifaktual, atau dalam kasus ini cukup disebut sebagai semiotika pakaian (Danesi, 2010: 207). Sebagai metode yang mengkaji tanda tentunya semiotika akan menjadi pisau analisis yang relevan untuk melakukan penelitian ini. Situs-situs yang hendak diteliti diantaranya adalah pakaian yang digunakan sebagai simbol dan juga desain-desain visual yang digunakan dalam mencerminkan sebuah pemikiran, aspirasi maupun kritik sebagai wujud perlawanan identitas.Dalam menganalisis makna dan penggunaan simbol tersebut peneliti melakukan wawancara dengan para pelaku yang menggunakan simbol-simbol tersebut terkait maksud dan pemaknaan atas penggunaannya. Berangkat pada paradigma semiotika gaya post-strukturalis ala Roland Barthes dan Umberto Eco yang beranggapan bahwa tanda merupakan hasil dari sebuah proses kebudayaan yang bersifat ideologis, peneliti berusaha membongkar dinamika dan pergulatan makna dalam reproduksi tanda serta penggunaannya. Setidaknya terdapat tiga dimensi analisis dalam semiotika menurut Cs.Moris yaitu Sintaktik, Semantik dan Pragmatik.Dimensi Sintaktik merupakan studi mengenai tanda secara individual maupun kombinasi, khususnya analisis
16
yang bersifat deskriptif mengenai tanda serta kombinasinya.Dimensi Semantik merupakan studi mengenai hubungan suatu tanda dengan makna.Sedangkan dimensi Prakmatik adalah studi mengenai hubungan antara tanda dengan penggunanya secara konkrit dalam berbagai peristiwa (diskursus) beserta dampaknya terhadap si pengguna. (Piliang, 2003 : 256).
Level
Sintaktik
Semantik
Pragmatik
Sifat
Penelitian tentang
Penelitian makna
Penelitian efek
strktur tanda
tanda
tanda
Penanda/petanda
Struktural
Reception
Sintagma/sistem
Kontekstual
Exchange
Konotasi/denotasi
Denotasi
Discourse
Metafora/metonimi
Konotasi
Efek (psikologi-
Elemen
ekonomi-sosialIdeologi/mitos gaya hidup)
Tabel dimensi analisis semiotika (Piliang, 2003 : 301). Penelitian ini akan fokus pada satu ranah dimensi yaitu dimensi semantik. Nantinya peneliti akan berusaha untuk mengurai makna atas simbol-simbol yang 17
digunakan oleh komunitas Punk dalam upayanya merepresentasikan diri dan gagasan yang diyakininya. Kelebihan dari metode ini adalah peneliti dapat mengkaji lebih dalam mengenai proses pemaknaan dari simbol-simbol yang digunakan. Meski demikian terdapat juga limitasi dalam praktik penelitian ini, bahwasannya makna selalu berubah-ubah menurut konteks dan kondisi pemakainya maka penelitian ini bisa dibilang belum bisa menemukan titik ujung untuk berhenti pada suatu hasil yang mutlak.Selain itu pengumpulan dan analisis data juga membutuhkan waktu yang tidak singkat. Pembentukan sebuah simbol identitas (baik individu maupun komunal) memiliki proses yang panjang dan juga dipengaruhi oleh banyak faktor, jika ingin mendapatkan hasil yang memuaskan peneliti harus mengumpulkan data selengkap-lengkapnya dari berbagai responden yang menjadi aktor dalam pergulatan tersebut sekaligus harus menjadi bagian dalam aktivitas para responden. Karena keseluruhan proses memahami makna dari sebuah tanda berdasar pada konvensi sosial dan reaksi individu terhadap konvensi tersebut (Danesi: 2010: 10).
E.2. Objek Penelitian
Situs-situs yang hendak dijadikan objek penelitian ini adalah beberapa benda (pakaian) dan objek-objek visual (warna, motif, desain, asesoris) yang kerap digunakan oleh komunitas punk sebagai simbol yang merepresentasikan perlawanan mereka.Hal ini menjadi menarik untuk dikaji karena pemakaian benda-benda sebagai simbol tidak selamanya memiliki arti dan pemaknaan yang serupa.Simbol dan makna perlawanan didalamnya selalu berubah-ubah sesuai dengan konteks dan kondisi-kondisi tertentu. 18
E.3. Teknik Pengumpulan Data E.3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang telah diperoleh dari interaksi langsung dengan para aktor pelaku politik identitas di kalangan komunitas Punk Yogyakarta, serta data sekunder dari beberapa literatur seperti buku, film dan lagu yang terkait dengan tema penelitian. Data primer yang didapat akan digunakan sebagai bahan acuan analisis untuk mengetahui bagaimana proses pembentukan identitas komunitas Punk di Yogyakarta, serta bagaimana identitas tersebut dimanifestasikan dalam sebuah simbol, yaitu pakaian. Sedangkan data sekunder akan digunakan sebagai referensi tambahan yang akan memperkuat data dari lapangan. E.3.2. Cara Mengumpulkan Data
Dalam penelitian ini setidaknya ada tiga sumber data utama yang akan digunakan, yaitu interview, observasi partisipan, serta literatur. Proses interview telah dilakukan secara informal dengan beberapa obyek penelitian yang merupakan anggota dari komunitas Punk di Yogyakarta. Kedekatan peneliti dengan komunitas tersebut diharapkan dapat memudahkan proses pencarian data primer yang akan digunakan sebagai bahan penelitian. Observasi partisipan juga telah dilakukan di beberapa komunitas yang memproduksi pakaian sebagai simbol identitas. Peneliti akan berkunjung ke distro kecil yang dikelola oleh komunitas Punk seperti Wake Up, Hellcome dan Repertoar Produktion. Sedangkan literatur yang digunakan berasal dari buku-buku, film, musik, serta literatur-literatur lain
19
yang terkait dengan Punk, representasi simbolik, politik identitas dan manifestasinya. E.3.3. Teknik Analisis Data
Data-data yang telah dikumpulkan pada mulanya melalui proses pengkategorian sesuai dengan obyek penelitian. Langkah berikutnya adalah membuat transkrip dan dokumentasi dari hasil wawancara dengan obyek penelitian. Setiap temuan dari masing-masing obyek tentunya memiliki perbedaan sekaligus persamaan antara satu sama lain, maka dari itu perlu sekali lagi untuk mengkategorikan antara hasil wawancara yang sama dengan yang berbeda, setelah itu memilah-milah jawaban yang sesuai dengan rumusan pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini. Dari situlah akan dianalisis mengenai konsep identitas menurut persepsi narasumber, serta bagaimana identitas tersebut direpresentasikan dalam pakaian. Berikutnya peneliti akan mengafirmasi pemaknaan narasumber atas makna dari simbol-simbol yang diproduksi. Datadata yang didapatkan tidak serta-merta digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian semata namun harus disesuaikan dengan kesaksian dan pengalaman peneliti selama di lapangan, karena “sesuatu dapat menjadi tanda hanya jika dia ditafsirkan sebagai tanda oleh beberapa penafsir” (Morris, 1938). Pada akhirnya pembuatan kesimpulan akan dilakukan dengan melihat kembali proses pemaknaan dan penggunaan simbol-simbol yang digunakan komunitas Punk dalam gaya busananya, konsep identitas komunitas Punk, serta dislokasi makna yang muncul dalam proses pembentukan identitas dalam upaya mengukuhkan eksistensi komunitas maupun individu. 20
F.
Sistematika Penulisan Hasil dari penelitian ini akan saya tuangkan dalam lima bab. Bab pertama
telah saya paparkan sebelumnya, yang berisi tentang latar belakang penulisan penelitian ini. Bab kedua akan membahas mengenai profil, sejarah kemunculan dan perkembangan Punk sebagai sebuah aliran musik hingga dinamikanya menjadi sebuah pergerakan. Peneliti berusaha mencari jejak-jejak kemunculan dan perkembangan komunitas punk hingga akhirnya hadir di Yogyakarta sebagai bentuk budaya kaum muda maupun sebagai bentuk gerakan perlawanan.Bab ketiga berisi tentang bagaimana pakaian diproduksi, dimaknai dan digunakan sebagai simbol yang merepresentasikan identitas dan perlawanan komunitas Punk di Yogyakarta. Bab ini akan mengulas lebih dalam mengenai struktur tanda yang digunakan oleh komunitas Punk, serta bagaimana tanda tersebut dikaitkan dengan makna yang menjadi respon terhadap isu-isu dan realita yang berusaha dilawan oleh komunitas punk dengan menggunakan simbol yang mereka pakai. Bab keempat akan membahas mengenai mitos dan ideologi yang difahami dari pemaknaan simbol dari bab yang sebelumnya, berikut dengan adanya dislokasi makna yang muncul akibat proses komersialisasi dan domestikasi kontrakultur. Dan bab terakhir akan menjadi penutup yang menandai akhir dari tahap penelitian ini.
21