Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Burundi merupakan salah satu negara di Afrika bagian Timur. Berbatasan dengan Rwanda di bagian utara dan Tanzania di Bagian selatan. Terdapat 3 etnis yang bermukim di Burundi yaitu Hutu, Tutsi, dan Twa dan yang menjadi mayoritas adalah etnis Hutu dan Tutsi.1 Sebagai Negara multietnis, Burundi juga pernah mengalami masa-masa genting akibat konflik yang berkepanjangan antara Etnis Hutu dengan Etnis Tutsi yang dimulai sejak tahun 1993 yang disebabkan oleh terbunuhnya pemimpin Etnis Tutsi oleh oknum dari Etnis Hutu. Konflik tersebut berakhir pada tahun 2006 setelah Perjanjian Arusha. Meskipun konflik telah selesai, Burundi harus menghadapi tantangan lainnya. Yaitu memperbaiki infrastruktur yang telah rusak akibat konflik tersebut serta menyembuhkan trauma korban, terutama dari kalangan wanita serta anak-anak. Menurut Daley (2007) wanita merupakan korban utama dari konflik di Burundi2 . Wanita tidak hanya menjadi korban pada saat konflik, tetapi juga saat berlangsungnya gencatan senjata pada tahun 2003, menurut data dari Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), wanita juga djadikan sebagai sasaran teror. Teror yang diterima oleh wanita Burundi bukan hanya dalam bentuk ancaman tetapi juga dalam bentuk kekerasan serta pelecehan seksual. Dan menurut data dari Bank Dunia, 70% pengungsi dari konflik di Burundi merupakan wanita dan anak-anak.3
1
Gahama, Joseph. Conflict Prevention, Management and Resolution in Burundi, Situs Justice. 2002. Justice. 9 Maret 2013. http://justice.gov.bi/IMG/pdf/GAHAMA_-_Conflict_prevention---_2002.pdf 2
Ibid. Women and Peace in Africa: Case studies on traditional conflict resolution practices, Situs UNESCO. 2003. UNESCO. 10 maret 2013. http://unesdoc.unesco.org/images/0013/001332/133274e.pdf 3
5
Dalam strata sosial, wanita memegang peranan penting dalam kehidupan domestik di Burundi. Wanita tidak hanya sekedar mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tetapi juga menjadi guru bagi anak-anak mereka di rumah. Selain menjalankan fungsinya sebagai ibu rumah tangga, wanita Burundi juga memegang peranan penting dalam upacara adat serta seremonial lainnya. Mereka memegang pertanggung jawaban dalam hal konsumsi serta pertunjukkan4. Dalam pencegahan dan resolusi konflik, wanita Burundi juga ikut berperan aktif, mereka berkontribusi dengan cara mengajarkan serta menyebarkan nilai-nilai perdamaian didalam keluarganya, serta menjadi penengah apabila terjadi konflik di lingkungan tempat tinggalnya. Ketika konflik pecah pada tahun 1993, beberapa wanita pernah menjadi bagian dari politik pada era 1970-1990 mengamati bahaya dari konflik tersebut. Lalu mereka melakukan khotbah tentang nilai-nilai perdamaian ke sekolah-sekolah serta ke tempat pemukiman penduduk. Wanita Burundi juga ikut berperan aktif dalam beberapa konferensi resolusi konflik tingkat internasional. Seperti di Cape Town Afrika Selatan pada tahun 1998, delegasi Burundi dipimpin oleh Mme Sophie Buyoya yang merupakan istri dari presiden Buyoya serta konferensi di Kampala, Uganda pada tahun 1998 dimana mereka berpartisipasi dalam koferensi perdamaian dan yang terakhir saat Perjanjian Arusha.5 Keterlibatan wanita Burundi dalam Perjanjian Arusha merupakan sebuah prestasi dalam peacebuilding yang dilakukan oleh wanita. Keterlibatan mereka dibantu oleh badan dari PBB yang bernama United Nations Development Fund for Women (UNIFEM) UNIFEM telah membantu perdamaian di Burundi sejak tahun 1994. Selama di Burundi UNIFEM memberikan bantuan dalam bentuk fisik maupun non-fisik. 4 5
Ibid. Gahama. Op. Cit
6
Pada tahun 2002, UNIFEM mendukung pemerintah Burundi dalam mengembangkan national gender policy di Burundi. Dalam hal ini, UNIFEM bekerjasama dengan organisasi AFRICARE Burundi.6
UNIFEM merupakan organisasi dari PBB yang
bertugas untuk membantu kaum wanita yang berada di wilayah yang berkonflik. UNIFEM menyediakan bantuan baik dalam bentuk finansial maupun teknik seperti mempromosikan program hak-hak wanita dan kesetaraan gender.7 UNIFEM didirikan pada tahun 1976 dengan fokus meningkatkan keterlibatan wanita dalam ruang publik, memperjuangkan hak-hak wanita terutama dalam bidang ekonomi, mengurangi potensi tersebarnya HIV dan AIDS di kalangan Wanita dan remaja putri, meningkatkan kesadaran terhadap masalah kekerasan terhadap wanita, serta meningkatkan kesetaraan gender bagi negara-negara yang rapuh. Dalam menjalankan misinya untuk mengurangi kekerasan terhadap wanita, UNIFEM menjadikan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) serta Beijing Platform for Action sebagai acuan. UNIFEM juga bekerja sama dengan pemerintahan Burundi serta melibatkan tokoh masyarakat untuk membina wanita Burundi agar lebih aktif serta terlibat dalam peacebuilding. UNIFEM juga membentuk tim bersama PBB yang bernama UN Country Team Programming seperti yang dilakukan di negara-negara berkonflik seperti di Komoro, Lesotho, dan Botswana, tim ini terdiri dari organisasi-organisasi PBB seperti United Nations Development Programme (UNDP), OCHA, dan United Nations Childrens Fund (UNICEF). Tim ini dibentuk dalam rangka untuk mensponsori serta mendukung setiap aktifitas wanita Burundi dalam rangka peacebuilding baik yang diinisiasi oleh UNIFEM maupun wanita Burundi itu sendiri. Dalam menjalankan misinya untuk membangun perdamaian di Burundi, UNIFEM 6 7
menerapkan
gender
maninstreaming
strategy
atau
strategi
ibid ibid
7
pengarusutamaan gender. Menurut definisi Economic and Social Council (ECOSOC) strategi pengarusutamaan gender adalah mengarusutamakan perspektif gender ke dalam proses implikasi ke dalam setiap kebijakan. Ini merupakan strategi untuk membuat wanita juga disetarakan dengan pria8. Tujuan dari diterapkannya strategi ini adalah kesetaraan gender. Strategi ini juga merupakan strategi agar wanita juga ikut dilibatkan serta diperhatikan dalam implementasi, pemantauan dan evaluasi kebijakan baik dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Sehingga, wanita juga sama terlibatnya dengan pria. Konsep pengarusutamaan gender pertama kali diperkenalkan pada tahun 1985 dalam Third World Conference on Women di Nairobi, Kenya. Ide ini kembali diperkenalkan secara resmi dalam Fourth World Conference on Women di Beijing, Cina pada tahun 1995. Dengan diterapkannya strategi pengarusutamaan gender, diharapkan wanita menjadi lebih terlibat dalam politik maupun sosial setelah konflik selesai. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana
UNIFEM
menerapkan
strategi
pengarusutamaan
gender
dalam
peacebuilding Burundi pasca perang saudara tahun 2006?
1.3 Landasan Teori
Peacebuilding
Istilah peacebuilding telah dipakai sejak tahun 1970, menurut Johan Galtung peacebuilding merupakan alat untuk mempromosikan nilai-nilai perdamaian yang berkelanjutan dengan mengarahkan sasaran pada akar permasalahan dari konflik
8
UN. Gender Mainstreaming Strategy: Strategy for Promoting Gender Equality. Situs UN. 2010. UN. 24 April 2014. http://www.un.org/womenwatch/osagi/pdf/factsheet1.pdf
8
tersebut serta melibatkan kapasitas local dari negara yang telah mengalami konflik9. Peacebuilding atau resolusi pasca konflik adalah proses untuk membangun perdamaian yang berkelanjutan dan mencegah terjadinya konflik melalui rekonsiliasi, institusi dan transformasi politik dan ekonomi.10 Dalam membangun perdamaian, agenda untuk membahas rekonstruksi untuk perdamaian yang berkelanjutan11. Misimisi dari peacebuilding adalah: Untuk menciptakan lingkungan yang kondusif: Transformasi struktur seperti struktur sosial dan ekonomi, merupakan hal yang penting untuk menciptakan durable peace. Maka dari itu, segala permasalahan yang dapat menghalangi willingness to cooperate harus segera diatasi. rekonsiliasi antar pihak yang berkonflik; dengan cara memperhatikan serta mempertimbangkan keadaan psikologi serta emosi masing-masing pihak yang berkonflik. mencegah konflik agar tidak terjadi kembali; menciptakan situasi yang dapat meningkatkan kooperasi serta dialog antar kelompok untuk memanajemen konflik dengan damai. Mengatasi faktor struktural Mengupayakan integrasi seluruh kalangan masyarakat; melibatkan seluruh kalangan masyarakat dalam strategi pasca konflik. Menciptakan transformasi politik untuk melibatkan masyarakat dalam penciptaan keputusan Membangun mekanisme untuk menghadapi permasalahan hukum dan keadilan.12
9
UN. Peacebuilding and The United Nations.Situs UN. UN. 13 Maret 2013 http://www.un.org/en/peacebuilding/pbso/pbun.shtml.. 10 John Hopkins. Peacebuilding. Situs John Hopkins. John Hopkins. 13 maret 2013 https://www.saisjhu.edu/content/peacebuilding 11 Ibid 12 ibid
9
Peacebuilding ditargetkan untuk seluruh lapisan masyarakat. Maka dari itu, peacebuilding melibatkan banyak sekali aktor yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing kalangan masyarakat agar bisa mengintegrasikan seluruh kalangan, aktor-aktor tersebut bisa berupa: Organisasi Internasional; Organisasi Internasional dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah agar kepentingan local dan pemerintahan dapat bersatu, dengan begitu mereka memiliki kemampuan untuk membangun serta mentransformasi struktur yang telah ada. Institusi-institusi relawan dapat menyediakan dana yang diperlukan untuk proyek membangun perdamaian. Organisasi internasional berlaku sebagai donor internasional, mereka juga berfungsi sebagai implementer strategi dalam membangun perdamaian. NGO; Dalam beberapa kasus, NGO juga memainkan peran dalam proyek skala kecil untuk memperkuat level dasar dari Negara yang terkena dampak. Pemerintah: pemerintah bisa menjadi subjek sekaligus objek dalam membangun perdamaian. Spesialis seperti pengacara, ahli ekonomi, guru, Pemuka Agama; Para pemuka agama bisa memainkan peranan penting dalam membangun kembali etika moral. Bagaimanapun juga peran mereka patut dipertanyakan dalam beberapa konflik yang melibatkan agama tertentu. Akademika; mengusulkan serta menganalisa teori-teori yang relevan.13
Dalam melakukan peacebuilding, harus menyentuh segala dimensi, emosional dan struktur, agar misi perdamaian dapat terpenuhi dengan baik. 13
ibid
10
Struktur Fungsional; Membangun institusi-institusi yang dapat menyalurkan konflik menjadi sebuah solusi yang dapat diterima. Emosional dan psikologi sosial; aspek ini merupakan aspek yang tidak begitu jelas terlihat dibandingkan aspek fisik. Efek psikologis dalam konflik merupakan efek yang tidak begitu terlihat dibandingkan dengan efek yang berbentuk fisik seperti institusi kota sehingga butuh perhatian yang lebih dalam. Stabilitas sosial; merestorasi interaksi perdamain antar masyarakat baik di level vertikal maupun horizontal. Etika dan hukum yang berlaku; membangun kembali norma hukum yang berlaku dalam masyarakat. Dimensi kultural; memahami kebutuhan dan kultur yang berlaku dalam kelompok yang sedang berkonflik14. Feminis Liberal Feminis liberal berpendapat bahwa selama ini masyarakat memiliki pandangan yang salah tentang wanita. Wanita dianggap sebagai makhluk yang lebih lemah dibandingkan dengan pria dan tidak memiliki kapabilitas yang sama dengan pria. Feminis liberal mengutamakan kesetaraan gender dalam ranah publik dengan memandang bahwa perempuan juga harus memiliki akses yang sama seperti laki-laki terutama dalam hal pendidikan, gaji, pekerjaan dan keterlibatan politik15. Serta hakhak yang berhubungan dengan reproduksi wanita seperti akses mendapatkan alat kontrasepsi serta aborsi. Feminis liberal juga memandang bahwa pernikahan merupakan equal partnership dan meyakini bahwa negara merupakan pelindung 14
ibid Tong, Rosemarie. Feminist Thought: A Comprehensive Introduction. Oxon, United Kingdom: Unwin Human Ltd. 2006. Hal 30. 15
11
utama bagi hak-hak setiap individu. Dalam hubungan internasional, Feminis liberal menginginkan adanya keterlibatan wanita dalam politik internasional. Paham ini juga meyakini bahwa negara adalah aktor utama dalam melindungi hak-hak wanita. Dalam ranah domestik, Feminis liberal juga menyoroti bagaimana kehidupan domestik wanita dapat menghambat atau mendorong wanita untuk mendapatkan hak yang sama dengan pria. Feminis liberal juga memasukkan pandangan mereka dalam politik internasional. Menurut Cynthia Enloe, wanita juga berpartisipasi dalam politik internasional, apapun profesi mereka. Contoh: Seorang wanita yang berprofesi sebagai penanggung jawab dokumen di sebuah kantor pemerintah atau istri diplomat ketika menemani suami mereka bertugas.16 Untuk memasukkan perspektif feminis ke dalam politik, terlebih dahulu kita harus meneliti atau mengamati profil wanita di setiap aspek seperti masyarakat, institusi kepolisian, serta pemerintahan.17 Memasukkan Perspektif Gender ke dalam Peacebuilding Agar kesetaraan gender dapat tercapai, diperlukan adanya perspektif gender dalam pelaksanaan peacebuilding dan rekonsiliasi konflik. Menurut Domingo dan Holmes, dalam memasukkan perspektif gender ke dalam peacebuilding, diperlukan dua dimensi dalam meneliti permasalahan yang dihadapi oleh kedua gender. Yang pertama, selama pelaksanaan peacebuilding aktor-aktor di lapangan harus mengetahui bahwa wanita dan pria memiliki mendapatkan dampak yang berbeda dari konflik dan memastikan hak-hak kaum wanita juga terpenuhi setelah konflik. Kedua, aktor
16
Enloe, Cynthia. Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist sense of International Politics. Lost Angeles, California : University of California Press. 2014. Hal 2. 17 ibid
12
lapangan harus mengenali kunci utama dari keterlibatan wanita dalam peacebuilding dan resolusi konflik. Serta memfasilitasi mereka dengan layak.18 Domingo dan Holmes juga menambahkan, gender dalam peacebuilding harus memperhatikan aspek-aspek berikut: a. Penanggulangan dampak pasca konflik dan sistem kemasyarakatan yang rapuh pasca konflik. Konflik memberikan dampak yang berbeda bagi kaum pria dan wanita. Identitas serta peran mereka kedua gender tersebut juga ikut berubah karena terkena dampak dari konflik. Perubahan setelah konflik ini bisa berwujud negatif maupun positif. Contoh dari dampak positif dari perubahan peran setelah konflik adalah peran kaum wanita di ruang publik bisa meningkat dari sebelumnya atau wanita juga bisa terlibat dalam pembuatan kebijakan pasca konflik. Di sisi lain, konflik juga bisa membuat keadaan sosial menjadi semakin kacau. Seperti; angka kemiskinan yang semakin tinggi, meningkatnya jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga dan seksual, serta stigma masyarakat terhadap korban kekerasan seksual yang tidak selesai walaupun konflik telah berakhir.19 b. Hak wanita untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan politik serta peacebuilding. Mendukung partisipasi wanita dalam peacebuilding merupakan mandat yang telah disebutkan dalam resolusi 1325. Partisipasi wanita dalam politik dan peacebuilding diperlukan agar dampak yang dialami oleh wanita. baik saat konflik maupun pasca konflik, dapat ditangani dengan baik. Maka dari itu, dibutuhkan adanya keterlibatan wanita selama proses peacebuilding. Namun, Domingo dan 18
Pilar Domingo dan Rebecca Holmes. Gender Equality in Peacebuilding and Statebuilding. Situs ODI. Desember 2013. 1 Juni 2015. http://r4d.dfid.gov.uk/pdf/outputs/gender/61112-Guidance_Paper_Gender_and_PBSB_FINAL_6-122013.pdf 19 ibid
13
Holmes juga menyatakan bahwa dalam melibatkan wanita selama proses peacebuilding, wanita tidak hanya dipandang sebagai korban dari konflik. Tapi juga sebagai agen perubahan. Dalam melibatkan wanita dalam proses peacebuilding, perlu adanya upaya untuk memperkuat peran wanita dalam membentuk kebijakan politik yang baru. Termasuk dalam hal mendukung wanita untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan baru serta pembaharuan institusi dan politik. Namun, keterlibatan wanita dalam peacebuilding dan politik sering mendapatkan resistensi dari elit pria yang tidak menyetujui konsep kesetaraan gender. Untuk mengatasi hal ini, Domingo dan Holmes berpendapat bahwa aktor lapangan harus melibatkan elit pria serta mengajak mereka untuk memberikan ruang bagi wanita.20
1.4 Gagasan Utama UNIFEM menerapkan strategi pengarusutamaan gender di Burundi dengan memasuki beberapa lapisan masyarakat Burundi. UNIFEM juga akan bekerjasama dengan lembaga-lembaga dari PBB serta pemerintah Burundi agar bisa mencapai tujuan kesetaraan gender.
1.5 Jangkauan Penelitian Pembahasan dalam skripsi ini akan dimulai dengan penjelasan tentang konsep strategi pengarusutamaan gender serta mekanisme-mekanisme yang harus dilakukan dalam penerapannya. Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai profil wanita Burundi serta keterlibatan mereka dalam konflik, politik dan kehidupan bermasyarakat mereka serta halangan-halangan yang mereka dapat ketika ingin terlibat aktif dalam ranah publik. Di pembahasan terakhir akan dijelaskan tentang penerapan strategi
20
ibid
14
pengarusutamaan gender pasca berakhirnya perang saudara Burundi tahun 2006 lalu ditutup dengan kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dari skripsi ini.
1.6 Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif dalam bentuk studi literatur atau pustaka. Dalam studi literatur, penulis akan mengumpulkan data serta informasi dari publikasi dari UNIFEM serta berita-berita internasional yang berkaitan dengan kegiatan wanita Burundi pasca konflik.
1.7 Sistematika Penulisan
Skripsi ini, akan dibagi menjadi 5 bab, dimulai dari bab I yang merupakan pengantar dari skripsi ini. Dilanjutkan dengan bab II dengan judul “Gender Mainstreaming Strategy Sebagai Upaya Untuk Mencapai Kesetaraan Gender”. Bab ini menjelaskan tentang mandat strategi pengarusutamaan gender dari PBB. Bab ini akan menjabarkan tentang awal mula dicetuskannya strategi ini dalam membangun serta mejaga perdamaian. Serta, bagaimana para organisasi menerapkan hal ini ke dalam misi mereka dan alasan-alasan pentingnya wanita juga ikut dilibatkan dalam misi perdamaian serta halangan yang ditemui dalam melibatkan wanita. Pada bab III yang berjudul “Wanita Dalam Ranah Konflik Burundi” Dalam bab ini akan dijelaskan tentang bagaimana wanita Burundi melibatkan diri dalam politik serta misi-misi perdamaian di negara mereka serta rintangan yang mereka temui. Selain itu, akan dijelaskan juga bagaimana keadaan wanita Burundi ketika konflik berlangsung. Bab IV berjudul “Penerapan Strategi Pengarusutamaan Gender oleh UNIFEM di Burundi”. Dalam bab ini, akan dijelaskan bagaimana UNIFEM menerapkan
15
strategi pengarusutaman gender dalam misi mereka serta meninjau kembali bagaimana UNIFEM melibatkan wanita sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh resolusi 1325. Melalui perspektif gender dalam peacebuilding yang dikemukakan oleh Domingo dan Holmes, akan dijabarkan pula apakah strategi pengarusutamaan gender yang dipakai oleh UNIFEM sudah menyentuh aspek-aspek yang disebutkan oleh perspektif tersebut. Lalu diakhiri di bab V yang berisi kesimpulan serta penutup dari skripsi ini.
16