BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Bone grafting merupakan prosedur kedua terbanyak dalam hal transplantasi jaringan, setelah transplantasi gigi. Meskipun ada kemungkinan bahwa prosedur ini dilakukan lebih awal, transplantasi tulang pertama kali didokumentasikan dilakukan pada tahun 1668 oleh ahli bedah Belanda Job van Meek'ren, yang menggambarkan pengisian tulang tengkorak yang cacat pada prajurit perang dengan sepotong tengkorak dari anjing. Pada tahun 1879, sekitar 200 tahun kemudian, Sir William Macewen memperkenalkan allografting pada anak 4 tahun ketika ia berhasil menggantikan dua pertiga proksimal humerus dengan tulang yang diperoleh dari pasien lain. Pada tahun 1915, dr. Fred Albee menjelaskan tentang autologous grafting tulang dimana ia menggunakan sebagian dari tibia pasien untuk fusi tulang belakang (Ketonis, 2011). Tulang secara umum mempunyai kemampuan untuk memperbaiki dirinya sendiri secara komplit, akan tetapi dibutuhkan jarak yang sangat dekat antar fragmen patah tulang atau dibutuhkan penyangga tulang untuk membentuk hal tersebut. Bone graft bisa dalam bentuk autograft (tulang diambil dari tubuh pasiennya sendiri, sering dari iliac crest), allograft (tulang diambil dari kadafer, biasanya di peroleh dari bank tulang), atau dari bahan sintetis (seringnya dibuat dari hydroxyapatite atau dari bahan – bahan yang alami dan mempunyai biokompabilitas) dengan bahan yang secara mekanik menyerupai tulang.
1
2
Sebagian besar bone graft diharapkan akan terserap dan menggantikan tulang seperti pada penyembuhan tulang yang normal dalam waktu beberapa bulan (Hung, 2012). Autograft masih merupakan
standar terbaik untuk prosedur bone grafting,
terutama karena autograft menawarkan rendahnya penolakan imun dari dalam tubuh, histokompatibilitas yang lengkap dan memberikan sifat osteokonduktif, osteogenik dan osteoinduktif yang terbaik (Nandi, 2010). Pada autograft dapat memberikan hasil yang baik, dilihat dari integrasinya dan penyembuhan tulang. Walaupun demikian, ada beberapa kekurangan autograft yang dilaporkan, yaitu pada saat proses pengambilannya, seperti nyeri pada lokasi pengambilan graft, resiko infeksi serta cedera saraf dan pembuluh darah sehingga mendorong dilakukannya penelitian yang luas untuk mencari alternative. Maka allograft dapat menjadi salah satu alternatif menghindari masalah pada lokasi pengambilan graft tersebut, akan tetapi prosedur ini memberikan keterbatasan yang lain. Kekurangan dari allograft adalah tidak adanya kemampuan osteogenik, menurunnya kemampuan osteoinduksi, dan resiko penularan penyakit menjadi perhatian penting bagi pasien dan dokter orthopaedi. Dengan adanya alasan tersebut, pengembangan material sintetik pengganti tulang telah menjadikan bidang kajian yang baru dalam hal penatalaksanaan patah tulang (Axelrad et al., 2010). Salah satu perspektif baru, tidak mahal dan bahan yang ramah lingkungan untuk preparat hydroxyapatite (HA) adalah eggshell. Eggshell tersusun dari calcium carbonate 94%, calcium phospate 1%, zat organik 4%, magnesium carbonat 1%
3
(Thapon et al., 1994). Bone grafting sering digunakan untuk menggantikan tulang yang rusak atau hilang karena trauma, penyakit lain atau karena efek dari operasi. Bahan biokeramik yang resorbable dan berpori seperti hydroxyapatite (HA), telah secara luas digunakan sebagai bahan pengisi defek pada tulang, dikarenakan biokompatibilitasnya yang bagus dan secara kimia mendekati HA yang ada di jaringan tulang (Park, 2008). Salah satu masalah yang dihadapi pada penggunaan graft HA adalah mahalnya biaya yang perlu dikeluarkan. Pengembangan bone graft sintetik dengan nilai ekonomis yang terjangkau diharapkan dapat menjadi pilihan alternatif bone graft komersial yang sudah ada. Penelitian yang dilakukan oleh Sakti (2011), telah mengevaluasi struktur dan aplikasi pada hewan coba dari graft HA berpori cangkang telur sebagai substitusi tulang dengan hasil yang sebanding dengan graft HA komersial. Dalam penelitian tersebut digunakan graft HA cangkang telur dengan satu ukuran persentase porositas (Setyawan, 2014). Lebih dari 3 juta pembedahan orthopaedi per tahun yang dilakukan di Amerika Serikat dengan menggunakan bone graft, termasuk cadaveric allograf, autograft, dan bahan sintesis biomaterial sebagai pengganti tulang (Brooks, 2013). Angka kejadian infeksi pada patah tulang tertutup adalah rendah dan berkisar antara 0.7% sampai dengan 4.2%. Pasien pada patah tulang terbuka kita ketahui bersama, angka kejadian infeksinya lebih tinggi (5%-30%). Pemasangan internal fixation pada patah tulang telah digunakan secara luas, walaupun pada pemasangan implant akan diikuti dengan tumbuhnya bakteri. Infeksi yang mengikuti pemasangan implant merupakan resiko utama yang sedang dihadapi
4
oleh bagian orthopaedi dan traumatologi. Untuk itu, akan sangat menguntungkan secara klinis untuk mengembangkan sistem internal fiksasi yang memiliki sifat anti infeksi, yang berguna untuk mencegah dan mengobati infeksi akibat pemasangan implan (Tang, 2009). Infeksi yang mengikuti pemasangan implant, angkanya hampir mendekati 50 % dari perkiraan 2 juta kejadian infeksi nosokomial di Amerika Serikat per tahunnya. Angka kejadian infeksi bisa sampai 100% yang dilaporkan terutama pada penggunaan external fixation pin. Dan telah menghabiskan lebih dari 11 milyar Dollar AS per tahun (Di Inggris, dapat menghabiskan lebih dari 7 – 11 juta Poundsterling per tahun). Sementara itu, infeksi ini meningkatkan beban pasien, meningkatkan penderitaan mereka, dan mempengaruhi mereka secara psikologis. Infeksi
juga
dapat
mengakibatkan
kematian;
Oleh
karena
itu,
akan
menguntungkan secara klinis untuk mengembangkan internal fixation yang memiliki sifat anti-infeksi untuk mencegah dan mengobati infeksi akibat pemasangan implan (Brooks, 2013). Tindakan
pembedahan
tergantung pada implant
pada
penyakit-penyakit
muskuloskeletal
semakin
dalam waktu yang panjang, seperti bone graft,
endoprosthesis, degradable scaffolds dan komponen plastik (misal : polymethyl methacrylate atau polyethylene). Karena sistem kekebalan tubuh tidak dapat beradaptasi untuk melawan infeksi bakteri yang terkait dengan material asing, allograft tampaknya menjadi pilihan yang logis sebagai scaffold setelah persiapan yang matang, meskipun komplikasi septik menjadi kekhawatiran bagi sebagian ahli orthopaedi (Hornyak, I. et al, 2014).
5
Penggunaan allograft merupakan kontraindikasi pada revisi pembedahan yang infeksius, dikarenakan tingginya kejadian infeksi bone graft berulang. Pemberian antibiotik pada allograft mungkin dapat menyelesaikan masalah tersebut dan kombinasi ini secara teoritis dapat digunakan untuk pencegahan atau bahkan terapi infeksi (Hornyak, I. et al, 2014). Pelapisan bone graft dengan antibiotik dapat mencegah perlekatan dan kolonisasi bakteri pada permukaan bone graft. Hal ini bisa menjadi alternatif yang menjanjikan untuk menghindari infeksi pasca operasi. Profilaksis dengan pelapisan antibiotik pada bone graft ini adalah pendekatan yang lebih relevan daripada menyediakan antibiotik sistemik (Teller, 2006). Hydroxyapatite dapat gunakan sebagai bahan pembawa antibiotik dan faktorfaktor pertumbuhan. Beberapa penelitian telah mendeskipsikan kemungkinan pemberian insulin-like growth factor (IGFs) ke dalam graft HA. (Muhammad, 2014) Salah satu bahan yang mempunyai sifat antibiotik yang mudah didapatkan dan terjangkau adalah chitosan. Chitosan
merupakan
biopolimer yang kini
banyak digunakan dalam dunia kedokteran. Biopolimer ini merupakan turunan dari senyawa polisakarida yang bisa didapat dari kulit udang dan kepiting. Chitosan
memiliki
sifat
biokompatibel,
bioadhesif,
bakteriostatik,
antitrombogenik dan juga memiliki sifat osteokonduktif. Penggunaan chitosan sebagai kerangka (scaffold) banyak dikembangkan akhir-akhir ini. Chitosan dapat terdegradasi oleh lysozyme. Chitosan juga ditoleransi dengan baik oleh jaringan tubuh. Chitosan mampu berikat dengan HA dan mempunyai potensi besar untuk
6
pengembangan komposit HA dan chitosan untuk mengembangkan graft ideal. Sifat-sifat ini membuat chitosan banyak diteliti dalam dunia kedokteran sebagai produk perawatan luka, penghantar obat-obatan serta sebagai materi pelapis implan (Goldberg, 2004). Pada pengembangan lebih lanjut, diperlukan desain graft dengan pemberian antibiotik. Pada penelitian ini akan dibandingkan efektifitas pengeluaran lepas lambat antibakteri pada graft
HA cangkang telur menggunakan pelapisan
antibiotik gentamisin, chitosan atau kombinasi dari keduanya, sehingga didapatkan efektifitas pemberian bone graft beserta antibiotik..
1.2. Rumusan Masalah Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah ada perbedaan porositas antara bone graft cangkang telur tanpa pelapisan dengan bone graft cangkang telur dengan pelapisan gentamisin, chitosan dan kombinasi keduanya? 2. Bagaimanakah efektifitas lepas lambat antibakteri pada bone graft cangkang telur dengan pelapisan gentamisin, chitosan dan kombinasi keduanya pada hewan coba terhadap S. Aureus secara in vitro? 1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum : Untuk mengetahui efektifitas lepas lambat antibakteri bone graft cangkang telur dengan pelapisan antibiotik Gentamisin, Chitosan dan kombinasi keduanya pada hewan coba secara in vitro terhadap S. Aureus.
7
1.3.2. Tujuan Khusus : 1. Mengetahui gambaran porositas bone graft cangkang telur dengan pelapisan antibiotik Gentamisin, Chitosan dan kombinasi keduanya. 2. Mengetahui evaluasi efektifitas lepas lambat antibakteri bone graft cangkang telur dengan pelapisan antibiotik Gentamisin, Chitosan ataupun kombinasi keduanya.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data efektifitas lepas lambat antibakteri pada bone graft cangkang telur dengan pemberian lapisan antibiotik yang berguna pada rangkaian penelitian lebih lanjut penggunaan bone graft berpori cangkang telur sebagai alternatif pilihan substitusi tulang di bidang orthopaedi pada masa yang akan datang.
8
1.5. Keaslian Penelitian Penelitian Evaluasi Lepas Lambat Pelepasan Antibakteri Pada Egg Shell Bone Graft Dengan Pelapisan Antibiotik (Gentamisin, Chitosan dan Kombinasi Keduanya) Terhadap S. aureus Secara in vitro, belum pernah dilakukan sebelumnya. Untuk menjaga objektivitas hasil dan analisa, pelaksanaan penelitian ini dilakukan secara mandiri tanpa keterlibatan dengan pihak komersial dalam bentuk apapun.