BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan peristiwa alamiah dan fase hidup yang paling istimewa dalam kehidupan seorang calon ibu. Setiap pasangan menginginkan kehadiran seorang bayi setelah menikah. Setelah melahirkan, ibu akan mengalami masa pemulihan yang diawali setelah persalinan sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil, masa pemulihan ini sering dikenal sebagai masa postpartum atau masa nifas dan berlangsung selama 6-8 minggu (Saryono, 2010). Pada masa pemulihan kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi ibu, sebab pada masa kehamilan dan persalinan telah terjadi perubahan fisik dan psikis. Perubahan fisik yang terjadi pada ibu selama postpartum meliputi anatomi organ reproduksi seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan-perubahan yang terjadi setelah persalinan bukan hanya perubahan fisik saja melainkan juga terjadi perubahan psikis (Rosdiana, 2012). Adaptasi psikologis masa postpartum dibagi dalam tiga periode. Periode pertama disebut dengan taking in yang berlangsung selama satu sampai dua hari setelah melahirkan, pada periode ini ibu menjadi sangat bergantung pada orang lain dan perhatiannya tertuju pada kekhawatiran akan perubahan tubuhnya. Periode kedua disebut dengan taking hold yang berlangsung tiga sampai sepuluh hari setelah melahirkan, pada periode ini ibu merasa khawatir akan ketidakmampuannya dalam merawat bayi. Periode ketiga disebut dengan letting go yang berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan, pada periode ini ibu
1
2
menerima tanggung jawab sebagai ibu dan mulai menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya (Mansur, 2009). Selama masa adaptasi ini sebagian wanita mampu beradaptasi terhadap peran barunya, sebagai seorang ibu yang baik, tetapi ada sebagian lainnya yang tidak berhasil beradaptasi sehingga mengalami suatu gangguan psikologis postpartum. Secara umum gangguan psikologis postpartum digolongkan menjadi tiga yaitu postpartum blues, depresi postpartum dan postpartum psikosis (Mansur, 2009). Keadaan yang paling ringan yaitu saat ibu mengalami kesedihan sementara yang berlangsung sangat cepat pada masa awal postpartum, ini disebut dengan the blues atau maternity blues. Gangguan postpartum yang paling berat disebut psikosis postpartum. Melihat ketiga gangguan psikologis postpartum di atas dengan kurangnya screening test dalam mengenali depresi postpartum lebih dini dapat mengakibatkan gangguan jiwa yang serius. Depresi postpartum adalah gangguan suasana hati pada ibu postpatum yang tejadi dalam enam bulan setelah melahirkan (Bobak, 2004). Pendapat lain mengatakan, depresi postpartum merupakan istilah yang digunakan pada pasien yang mengalami berbagai gangguan emosional yang timbul setelah melahirkan, khususnya pada gangguan depresi spesifik yang terjadi pada 10%-15% wanita pada tahun pertama setelah melahirkan. Pasien akan mengalami gejala afektif selama periode postpartum, empat sampai enam minggu setelah melahirkan. Gejala yang umum tampak adalah keluar keringat dingin, sesak napas, sulit tidur, gelisah, tegang, bingung, terasing, sedih, sakit, marah, merasa bersalah dan merasa tidak berharga (Marshall, 2004).
3
Berdasarkan hasil dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) prevalensi depresi postpartum berkisar antara 11.7% sampai 20.4% pada tahun 2004-2005 (Barclay, 2008). Penelitian yang dilakukan di Osaka, Jepang, tahun 2010 mendapat hasil prevalensi depresi postpartum sebanyak 13.8% (Miyake, dkk, 2010). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di RSIA Aisyiyah Klaten tahun 2010 yang menyatakan kejadian risiko depresi postpartum ibu primipara dan multipara berbeda berdasarkan usia. Ibu primipara rentan dengan risiko depresi postpartum pada usia yang lebih muda dibandingkan ibu multipara (Sari, 2010). Terdapat empat faktor terjadinya depresi post partum, yaitu faktor konstitusional, fisik, psikologis dan sosial. Dari keempat faktor tersebut yang paling berpengaruh terhadap terjadinya depresi postpartum adalah faktor sosial, yang meliputi dukungan suami (Yulianti, 2010). Hal ini didukung dengan adanya penelitian yang dilakukan Dewi (2008) bahwa semakin tinggi dukungan sosial suami yang diterima ibu maka semakin menurun tingkat depresi. Dukungan suami merupakan dukungan yang pertama dan utama dalam memberikan
dukungan
kepada istri. Kurangnya dukungan dari suami akan
memperparah keadaan psikis ibu, hal ini karena suami adalah orang pertama yang menyadari akan adanya perubahan dalam diri pasangannya. Apabila ibu menilai bahwa suami memberikan dukungan terhadap dirinya dan ikut serta dalam merawat bayi, maka akan memberikan pengaruh positif dalam diri ibu tersebut. Sebaliknya apabila ibu menilai bahwa suaminya kurang memberikan dukungan terhadap dirinya, maka akan dapat memungkinkan terjadinya peningkatan
4
depresi pada ibu. Hal ini didukung pula oleh penelitian Fatimah (2009) yang menyatakan bahwa dukungan suami berpengaruh tinggi terhadap kejadian postpartum blues, dengan prosentase sebesar 24%. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan November 2013 di Puskesmas IV Denpasar Selatan dan Bidan Praktek Swasta Wayan Suri. Rata-rata setiap bulannya ibu yang melakukan persalinan normal di Puskesmas IV Denpasar Selatan berjumlah 28 orang dan di Bidan Praktek Swasta Wayan Suri berjumlah 17 orang. Berdasarkan wawancara dengan 10 ibu primipara
yang melakukan
kunjungan satu minggu postpartum, terdapat dua orang yang tidak memiliki keluhan selama masa postpartum dan tiga orang yang mengeluhkan susah tidur, mudah marah dan kurang nafsu makan, sementara itu terdapat satu orang yang tampak ditemani oleh suami dan mengatakan bahwa suami sudah mampu membantu merawat bayinya. dua orang ibu lainnya mengeluhkan kurangnya peran suami dalam membantu merawat bayi serta terkadang hanya dibantu oleh mertua dan pembantu. Adanya keluhan-keluhan yang dirasakan ibu selama masa postpartum, menjadi tanggung jawab perawat untuk dapat mendeteksi lebih dini adanya kecendrungan depresi postpartum pada ibu akibat kurangnya dukungan suami yang diberikan pada masa postpartum. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai “Hubungan Dukungan Suami dengan Kecendrungan Depresi
5
Pada Ibu Postpartum di Puskesmas IV Denpasar Selatan dan Bidan Praktek Swasta Wayan Suri”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka rumusan penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan antara dukungan suami dengan kecedrungan depresi pada ibu postpartum di Puskesmas IV Denpasar Selatan dan Bidan Praktek Swasta Wayan Suri?”
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara dukungan suami pada ibu postpartum dengan kecendrungan depresi pada ibu postpartum di Puskesmas IV Denpasar Selatan dan Bidan Praktek Swasta Wayan Suri. 1.3.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi dukungan suami pada ibu postpartum di Puskesmas IV Denpasar Selatan dan Bidan Praktek Swasta Wayan Suri. 2. Mengidentifikasi kecendrungan depresi postpartum di Puskesmas IV Denpasar Selatan dan Bidan Praktek Swasta Wayan Suri. 3. Menganalisis hubungan antara dukungan suami dengan kecendrungan depresi pada ibu postpartum di Puskesmas IV Denpasar Selatan dan Bidan Praktek Swasta Wayan Suri.
6
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.2 Manfaat Praktis Sebagai bahan masukan bagi institusi kesehatan, khususnya puskesmas maupun Bidan Praktek Swasta
tentang pentingnya peningkatan pengetahuan
suami dan ibu mengenai perawatan postpartum serta dukungan suami untuk mencegah kecendrungan depresi postpartum.
1.4.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan ilmu dalam keperawataan maternitas, terutama dalam perawatan ibu postpartum, khususnya informasi yang berhubungan dengan kecendrungan depresi postpartum pada ibu. Bagi peneliti selanjutnya, mampu menjadikan penelitian ini sebagai dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan terhadap kecendrungan depresi postpartum.