BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sastra adalah karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya (KBBI, 2011:1001).Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa (Sumarjo, dan Saini, 1991:3). Sastra juga diartikan sebagai ungkapan batin seseorang melalui bahasa dengan carapenggambaran. Penggambaran atau imajinasi ini bisa berupa titian terhadap kenyataan, wawasan pengarang, dapat pula berupa imajinasi murni seorang pengarang, dan dapat pula sebagai penggambaran dari semua itu (Winarni, 2014:2). Sastra lahir disebabkan oleh dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan ekstensi dirinya, perhatian besar terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, serta perhatiannya terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman (Sangidu, 2005:1-2). Salah satu perwujudan sastra adalah karya fiksi. Fiksi sebagai fenomena yang unik dan sarat dengan imajinasi, di dalamnya penuh makna dan fungsi yang sering kabur dan tidak jelas. Fiksi juga sebagai sebuah fenomena yang memiliki struktur yang terikat satu sama lain. Struktur karya fiksi memiliki bagian yang kompleks, sehingga pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan antarunsur secara keseluruhan (Endraswara, 2013:7,49).
1
2
Karya sastra menurut ragamnya dibedakan atas prosa, puisi, dan drama. Menurut Sudjiman (1992:11), salah satu jenis karya sastra yang termasuk prosa adalah cerita pendek. Cerita pendekatau yang biasa disingkat dengan kata cerpen, adalah karya sastra yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam (Nurgiyantoro, 2012:10). Panjang cerpen bervariasi, ada yang pendek, bahkan pendek sekali, yaitu berkisar lima ratusan kata, ada juga cerpen yang panjang (Sayuti, 2000:8).Ada pula yang menyatakan cerpen paling banyak sekitar 15.000 kata atau berkisar 50 halaman (Stanton, 2012:75). Cerpen merupakan totalitas yang bersifat artistik. Cerpen mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya secara erat
dan
saling
menggantungkan
(Nurgiyantoro,2012:2,22).Dengan
demikiancerpen dapat diteliti dan dianalisis dari sisi strukturnya. Menurut Nurgiyantoro (2012:23), sebuah cerita pendek mempunyai unsur yang membangun cerpen tersebut secara langsung. Selain itu, cerpen juga mempunyai unsur dari luar karya sastra yang juga berpengaruh terhadap bangunan cerpen walaupun secara tidak langsung. Unsur pertama disebut sebagai unsur intrinsik, sedangkan yang kedua disebut sebagai unsur ekstrinsik. Para sastrawan Arab telah banyak menghasilkan karya sastra yang berupa cerpen. Salah satunya adalah sebuah antologi cerpen Ḥanān Qalīl karya Nawāl Al-Sa‘dāwī. Di dalam antologi cerpen ini terdapat 17 kumpulan cerpen. Salah satu cerpen yang menarik untuk diteliti adalah “Wa Māta Al-Ḥubbu”. Cerpen ini perlu diteliti lebih lanjut karena didalamnya ditemukan unsur-unsur instrinsik seperti
3
tema, fakta cerita, dan saran cerita, yang semuanya saling berkaitan dalam membangun sebuah cerita yang utuh. Penelitian jenis apapun, termasuk sastra, sangat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Hal yang demikian dapat dimaklumi karena sastra dipandang dapat membantu manusia dalam menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan gejala yang berada di sekeliling manusia (Sangidu, 2005:11). Oleh karena itu, penulis mengkaji dan menganalisis cerpen “Wa Māta Al-Ḥubbu”ini menggunakan sebuah teori yang dapat mengkaji tentang unsur-unsur instrinsik dan keterkaitan antar unsurnya dalam sebuah karya sastra, yaitu dengan teori struktural. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, maka rumusan masalah
yang akan diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah apa unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam cerpen “Wa Māta Al-Ḥubbu” dalam antologi cerpen Ḥanān Qalīlkarya Nawāl Al-Sa‘dāwī. Selain itu, akan diteliti dan dibahas pula bagaimanaketerkaitan antarunsurnya dalam menghasilkan makna dan membangun isi cerpensecara keseluruhan. 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan unsur-unsur
intrinsik yang terdapat dalam cerpen “Wa Māta Al-Ḥubbu” dalam antologi cerpen Ḥanān Qalīlkarya Nawāl Al-Sa‘dāwī, dan mengetahui bagaimana pula keterkaitan antarunsurnya dalam mengahasilkan makna.
4
1.4
Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap cerpen “Wa Māta Al-Ḥubbu” dalam antologi cerpen
Ḥanān Qalīl karya Nawāl Al-Sa‘dāwī belum pernah dilakukan sebelumnya, baik oleh mahasiswa Jurusan Sastra Asia Barat Universitas Gadjah Mada maupun perguruan tinggi di sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga, Universitas Islam Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan universitas yang memiliki jurusan Sastra Arab lainnya. Sejauh pengamatan penulis masih belum ada yang meneliti cerpen-cerpen lain yang terdapat dalam antologi cerpenḤanān Qalīl ini. 1.5
Landasan Teori Teori yang digunakan untuk menganalisis cerpen “Wa Māta Al-Ḥubbu”
karyaNawāl Al-Sa‘dāwī adalah teori structuralRobert Stanton. Teori struktural adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antar yang satu dengan yang lainnya (Sangidu, 2005:16). Stanton (2012:13) membagi unsur instrinsik cerita rekaan (fiksi) ke dalam tiga bagian, yaitu: fakta cerita (fact),sarana sastra (literary device) dan, tema (theme). Fakta cerita merupakan elemen-elemen yang berfungsi sebagai catatan kegiatan imajinatif dari sebuah cerita. Fakta cerita terdiri atas karakter, alur, dan latar. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan “struktur faktual” atau “tingkatan faktual” cerita (Stanton, 2012:22). Menurut Abrams (1981:20), karakter adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya
5
naratifatau drama, memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu yang diekspreikan dalam ucapan dan dilakukan dalam tindakan. Stanton (2012:33) mendefinisikan karakter dalam dua konteks yang berbeda. Konteks pertama merupakan karakter yang merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua adalah karakter yang merujuk pada pencampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Menurut Nurgiyantoro (2012:74), istilah karakter disejajarkan dengan tokoh dan penokohan.Tokoh dan penokohan menunjukkan pada orang sebagai pelaku cerita lewat berbagai aksi yang dilakukan, dan pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita ada beberapa pembagian tokoh. Tokoh utama merupakan tokoh yang diutamakan penceritaannya, tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Sementara itu, tokoh tambahan adalah tokoh pendukung dari tokoh utama untuk menjalankan cerita. Pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak menjadi sorotan utama, kehadirannya hanya jika ada keterkaitan dengan tokoh utama (Nurgiyantoro, 2012:176-177). Stanton (2012:26) mengemukakan alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita yang terhubung secara kasual. Alur hendaknya mempunyai bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata. Alur juga meyakinkan secara logis serta menciptakan bermacam kejutan sekaligus mengakhiri keteganganketegangan yang dimunculkan.
6
Latar merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam sebuah cerita (Stanton, 2012:18). Menurut Nurgiyantoro (2012:227-236), unsur latar dibagi menjadi tiga, yaitu: latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Nurgiyantoro (2012:277) mengungkapkan bahwa unsur latar tempat itu berhubungan dengan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Sementara latar waktu berhubungan dengan kapan terjadinya suatu peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 2012:230). Adapun latar sosial berhubungan dengan latar sosial masyarakat. Hal ini dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi dan keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap yang tergolong latar spiritual (Nurgiyantoro, 2012:233). Sarana sastra, menurut Stanton (2012:46-47), dapat diartikan sebagai metode pengarang memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu, karena dengan adanya sarana cerita ini pembaca dapat melihat berbagai macam fakta melalui kacamata pengarang, memahami apamaksud fakta-fakta tersebut, sehingga pengalaman pun dapat dibagi. Stanton (2012:23) menambahkan bahwa sarana sastra yang dimaksud adalah judul, sudut pandang, gayabahasa, nada, simbolisme, dan ironi. Menurut Stanton (2012:25), dalam suatu cerita pendek judul sering kali menunjukkan makna cerita yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Sementara sudut pandang penceritaan adalah posisi yang menjadi dasar berpijak pembaca melihat peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita (Stanton, 2012:34). Stanton (2012: 34-35) juga membagi sudut pandang menjadi empat tipe
7
utama, yaitu: aku sebagai tokoh utama, aku sebagai tokoh bawahan, ia sebagai pencerita terbatas dan ia sebagai pencerita serba tahu. Simbolisme adalah salah satu cara untuk menampilkan emosi dan gagasan agar tampak nyata seperti fakta fisik. Terkadang keduanya terlihat, tetapi sejatinya kedua hal tersebut tidak bisa dilihat dan sulit dilukiskan (Stanton, 2012:64). Ironi merupakan cara menunjukkan bahwa sesuatu berlawan dengan apa telah diduga sebelumnya (Stanton, 2012:71). Stanton juga menjelaskan bahwa jika dimanfaatkan dengan benar ironi dapat memperkaya cerita seperti menjadikannya menarik, menghadirkan efek tertentu, humor atau pathos, memperdalam karakter, merekatkan struktur alur, menggambarkan sifat pengarang, dan menguatkan tema. Gaya bahasa dalam sastra adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa (Stanton, 2012:61). Stanton juga mengungkapkan bahwa gaya juga bisa terkait dengan maksud dan tujuan sebuah cerita. Seorang pengarang bisa saja tidak memilih gaya bahasa yang sesuai dengan dirinya, tetapi justru sesuai dengan tema ceritanya. Satu elemen lagi yang berkaitan dengan gaya adalah tone (nada). Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Sarana sastra yang dibahas dalam penelitian ini adalah judul dan sudut pandang saja, karena keduanya sangat berpengaruh dalam menentukan tema. Stanton (2012:25-26) menyatakan bahwa judul berhubungan dengan cerita secara keseluruhan, sedangkan sudut pandang merupakan posisi pusat seorang pembaca memahami peristiwa-peristiwa dalam cerita. Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam
8
pengalaman manismanusia, sesuatu yang membuat pengalaman begitu diingat (Stanton, 2012:36). Dalam sebuah cerita, makna-makna penting yang dihadapkan dalam cerita tersebut dinamakan tema atau gagasan utama. Seperti makna penting dari pengalaman-pengalaman sendiri, tema sebuah cerita bersifat individual sekaligus universal (Stanton, 2012:7). Cara yang paling efektif mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamya. Setiap aspek cerita turut mendukung kehadiran tema. Oleh karena itu, pengamatan harus dilakukan pada semua hal seperti peristiwa-peristiwa, karakterkarakter atau bahkan objek-objek yang sekilas tampak tidak relevan dengan alur utama (Stanton, 2012: 41-43).
1.6
Metode Penelitian Penelitian cerpen Wa Māta Al-Ḥubbu ini menggunakan teori analisis
struktural. Oleh karena itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis struktural. Menurut KBBI (2011:652) metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.Kesuma (2007:1) juga mengemukakan bahwa kata metode berasal dari Bahasa Yunani methodos yang berasal dari gabungan dua kata, yaitu meta yang berarti menuju atau melalui dan kata hodos yang berarti jalan, perjalanan, cara, arah. Berbicara metode, berarti berbicara mengenai cara atau jalan yang menyangkut masalah kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek sasaran ilmu yang bersangkutan. Teuww (1984: 135) mengemukakan bahwa analisis struktural adalah
9
metode yang bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Nurgiyantoro (2012:37) menjelaskan bahwa metode struktural dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi serta hubungan antarunsur instrinsik karya sastra. Pada awalnya akan diidentifikasikan dan dideskripsikan bagaimana fungsi masing-masing unsur kemudian bagaimana hubungannya sehingga membentuk satu keutuhan yang saling berkaitan. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengidentifikasi unsur-unsur instrinsik dalam cerpen ini adalah: (1) menentukan objek cerpen yang akan diteliti, (2) menerjemahkan cerpen, (3) menganalisis fakta cerita yang meliputi: karakter, alur, dan latar, (4) menganalisis sarana sastra yang berupa: judul dan sudut pandang, (5) menganalisis tema dari cerpen yang diteliti, (6) menganalisis keterkaitan antarunsurnya dalam menghasilkan makna dan membangun secara keseluruhan isi cerpen, (7) menarik kesimpulan dari isi cerpen yang diteliti. (menurut siapa)
1.7
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari empat bab, yaitu: Bab
I adalah pendahuluan yang meliputi: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan, dan pedoman transliterasi Arab-Latin. Bab II berisi tentang biografiNawāl Al-Sa‘dāwī dan sinopsis cerpen “Wa Māta Al-Ḥubbu” dalam
10
antologi cerpen Ḥanān Qalīl. Bab III merupakan analisis struktural yang berupa unsur-unsur instrinsik dari cerpen “Wa Māta Al-Ḥubbu” yang meliputi: tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Bab IV adalah kesimpulan. Penelitian ini dilengkapi dengan daftar pustaka dan rangkuman skripsi dalam Bahasa Arab. 1.8
Pedoman Transliterasi Arab-Latin Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam seminar proposal ini berdasarkan
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158 tahun 1987 Nomor: 0543b/U/1987. a. Konsonan Dalam sistem tulisan Arab fonem konsonan Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan huruf dan sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian yang lain dengan huruf dan tanda sekaligus. Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
ا
Alīf
tidak dilambangkan
tidak dilambangkan
ب
Bā`
B
Be
ت
Tā`
T
Te
ث
Ṡā`
Ṡ
es (dengan titik di atas)
ج
Jīm
J
Je
ح
Ḥā`
Ḥ
ha (dengan titik di bawah)
خ
Khā`
Kh
ka dan ha
11
د
Dāl
D
De
ذ
Żāl
Ż
zet (dengan titik di atas)
ر
Rā`
R
Er
ز
Zai`
Z
Zet
س
Sīn
S
Es
ش
Syīn
Sy
es dan ye
ص
Ṣād
Ṣ
es (dengan titik di bawah)
ض
Ḍād
Ḍ
de (dengan titik di bawah)
ط
Ṭā`
Ṭ
te (dengan titik di bawah)
ظ
Ẓā`
Ẓ
zet (dengan titik di bawah)
ﻉ
‘ain
‘_
koma terbalik (di atas)
ﻍ
Gain
G
Ge
ف
Fā`
F
Ef
ق
Qāf
Q
Ki
ك
Kāf
K
Ka
ل
Lām
L
El
م
Mīm
M
Em
ن
Nūn
N
En
12
و
Wāwu
W
We
ه
Hā`
H
Ha
ء
Hamzah
`_
Apostrof
ي
Yā`
Y
Ye
b. Vokal Vokal Bahasa Arab, seperti vokal Bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. I. Vokal tunggal Vokal tunggal Bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau ḥarakat, transliterasinya sebagai berikut. Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
َ
Fatḥah
a
a
َ
Kasrah
i
i
َ
Ḍammah
u
u
Contoh:
ب َ ََكت ذُكَِر
/Kataba /
/ Żukira
II. Vokal rangkap
‘Dia (telah) menulis’
/
‘Diingat’
13
Vokal rangkap Bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan ḥarakatdan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda dan huruf
Nama
Gabungan huruf
Keterangan
…ي َ
Fatḥah dan ya’
Ai
a dan i
…َو
Fatḥahdan wāwu
Au
a dan u
Contoh:
بَْي لَ ْون
/Baitun/
‘Sebuah rumah’
/Launun/
‘Suatu warna’
III. Vokal panjang Vokal panjang yang lambangnya berupa ḥarakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu: Harakat Huruf
dan
Nama
Huruf Tanda
… … ى ََ م ا م
Fatḥah dan alīf
Ā
a dan garis di atas
،…ْي
Kasrah dan yā’
Ī
i dan garis di atas
ْو…َم
Ḍammahdan wāwu
ū
u dan garis di atas
Contoh:
قَال
/qāla/
‘Dia (telah) berkata’
dan
Keterangan
14
يَ ُق ْو ُل
/yaqūlu/
‘Dia (sedang) berkata’
َكبِْي ر
/kabīrun/
‘Besar’
c. Ta’ marbūṭah Transliterasi untuk ta’ marbūṭah ada dua, yaitu: a. Transliterasi ta’ marbūṭah hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya adalah /t/. b. Kalau pada kata yang terakhir dengan ta’ marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta’ marbūṭah itu ditransliterasikan dengan /h/. Contoh:
ضةُ األَط َف ِال َ َرْو
ُامل ِديْنَةُ املنَ َّوَرة ُ َ
/rauḍah al-aṭfāl / rauḍatul-aṭfāl/ TK /al-Madīnah al-Munawwarah/
‘Kota yang
disinari’
d. Syaddah (tasydīd) Syaddah atau tasydīd dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, tanda syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut. Contoh:
e.
ربَّنا
/rabbanā/
‘Tuhan kami’
ن َّزل
/nazzala/
‘Dia telah menurunkan’
Kata sandang
15
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
""ال. Akan tetapi, dalam transliterasi ini kata sandang dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah. a. Kata sandang diikuti oleh huruf syamsiyyah Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsyiyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut. Contoh:
الر ُج ُل َّ
/ar-rajulu /
‘Laki-laki itu’
َّ ُالس َماء
/as-samā`u /
‘Langit itu’
b. Kata sandang diikuti huruf qamariyyah Kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai dengan huruf aturan yang digariskan di depan dan sesuai pula dengan bunyinya. Baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyah, kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sempang. Contoh:
ال َقلَ ُم ِ ب ُ ال َكات
/al-qalamu/
‘Pena itu’
/al-kātibu/
‘Penulis itu’
16
f. Hamzah Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof jika terletak di tengah atau di akhir kata. Apabila terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab berupa alif. Contoh:
ايَ ُخ ُذ
/ya`khużu/
‘Dia (sedang/akan) mengambil’
َقَ َرأ
/qara`a/
‘Dia (telah) membaca’
g. Penulisan kata Pada dasarnya setiap kata, baik fi‘lun, ismun, maupun ḥarfun, ditulis terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya. Contoh:
ِ َّ وإِ َّن هللا ََلو خي ر ني َ ْ الرا ِزق ُ ْ َ َُ َ َ
/Wa innallāha lahuwa khairu ar-rāziqīna/ ‘Dan sesungguhnya Allah adalah sebaikbaik pemberi rizki’.
h. Huruf kapital Meskipun dalam tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Diantaranya adalah huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal, nama diri, dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu
17
didahului oleh kata sandang, maka yang dituliskan dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh:
َوَما ُُمَ َّمد إِالَّ َر ُس ْول
/Wamā Muḥammadun illā rasūl/
‘Dan Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul atau utusan’. Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak dipergunakan. Contoh:
صر ِم َن هللاِ َوفَ ْتح قَريْب ْ َن
/Naṣrun minallāhi wa fatḥun qarīb/ ‘Pertolongan dari kemenanganyang dekat’.
Allah
dan