BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perkebunan dan industri kelapa sawit merupakan salah satu sektor usaha yang mendapat pengaruh besar dari gejolak ekonomi global, mengingat sebagian besar (sekitar 70%) dari produk perkebunan/industri kelapa sawit diekspor dalam bentuk CPO. Globalisasi merupakan sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas Negara. Sebagai sumber energi alternatif, harga CPO sangat dipengaruhi oleh harga minyak bumi. Dengan demikian penurunan harga minyak bumi yang terjadi sejak Agustus 2008 memberikan pengaruh besar terhadap penurunan harga CPO. Selanjutnya krisis ekonomi global yang diikuti oleh menurunnya daya beli dan ketidakpastian ekonomi pada beberapa negara importir utama CPO seperti China, India, Uni Eropa, dan Amerika Serikat, menyebabkan permintaan CPO menurun dan memberikan tekanan yang besar terhadap penurunan harga CPO. Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan
16 Universitas Sumatera Utara
bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan
istilah globalisasi yang
dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara. Sejak tahun 2000 sektor industri minyak sawit sangat diminati oleh pasar dunia karena kebutuhan konsumsi bahan pangan dan kosmetik. Selain itu alternatif penggunaan bahan bakar nabati (biofuel) mendorong naiknya harga CPO dunia sehingga dianggap sangat menguntungkan bagi devisa negara melalui ekspor CPO yang sangat menggiurkan. Devisa dari industri minyak sawit pada tahun 2006 menurut komisi minyak sawit Indonesia berada pada urutan nomor 2 pada ekspor non migas sektor pertanian dengan nilai ekspor komoditas perkebunan 2007 mencapai US$ 12,3 miliar (Rp 115,6 triliun) atau naik 21,5 persen dibandingkan 2006 yang mencapai US$ 10,11 miliar (Rp 95 miliar). Angka ekspor itu telah melampaui target sejak Oktober 2007 yang mencapai US$ 11,25 miliar (Rp 105,7 triliun). Melihat peluang tersebut kemudian Pemerintah menargetkan pembukaan perkebunan sawit hingga 20 juta ha yang tersebar hampir di setiap propinsi di Indonesia. Pada tahun 2007 kebun yang sudah dibuka adalah 7,4 juta ha dan produksi CPO yang dihasilkan mencapai 17,5 juta ton menghantarkan Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit mengalahkan Malaysia. Ambisi tersebut harus dibayar dengan terjadinya konflik di mana-mana akibat keserakahan antar pemodal dan birokrasi dalam mencari keuntungan. Konflik sosial terutama konflik tanah meningkat berbanding lurus dengan jumlah luasan pembukaan perkebunan.
12 Universitas Sumatera Utara
Lokasi ijin yang diberikan tidak memperhatikan daya dukung ekologi sehingga terjadinya konversi hutan besar-besaran, asap dan banjir sudah merupakan bencana yang sering ditemui hampir disetiap tahun. Pada tahun 2003 sampai 2004 saja luas lahan pertanian menyusut 703.869 hektar dari 8.400.030 hektar menjadi 7.696.161 hektar, mengakibatkan kerawanan pangan di beberapa daerah ditengarai pembukaan perkebunan sawit juga ikut andil dalam hal ini (Jomla, 2009). Di sisi lain memang keuntungan dapat diperoleh karena semakin meningkatnya harga TBS (Fresh Fruit Brunch) ditingkat petani sawit disebabkan permintaan pasar yang besar. Sejak tahun 2000 sampai tahun 2007 harga TBS melonjak tajam dari harga Rp 400-600/kg mencapai hingga angka Rp 2000/kg. Petani sawit ikut merasakan nikmatnya harga ini dan mendorong mereka untuk terlibat dalam perkebunan sawit, bahkan mereka berani untuk mengkonversikan kebun karet dan lahan pangan untuk dijadikan kebun sawit dengan dibantu oleh Pemerintah melalui kredit perbankan yang sesungguhnya "keblinger" karena topangan mikro ekonomi yang lemah. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 hektar, pada 1997 telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan yang pesat terjadi pada kurun waktu 1990-1997, di mana terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta. Pertumbuhan luas areal yang pesat kembali terjadi pada lima tahun terakhir, yakni periode 1999-2003, dari 2,96 juta hektar menjadi 3,8 juta
13 Universitas Sumatera Utara
hektar pada 2003, yang berarti terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata lebih dari 200 ribu hektar setiap tahunnya (Sumut Dalam Angka, 2008). Perkembangan perkebunan kelapa sawit yang pada tahun 1979/1980 seluas 289.526 Ha dan hanya diusahakan dalam bentuk usaha perkebunan besar, kemudian berkembang sampai 5.972 Ribu Ha pada tahun 2006 setidaknya merupakan gambaran keberhasilan kebijakan pemerintah di sektor bersangkutan dalam percepatan pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sedangkan luas tanam kebun kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara pada tahun 2010 sebesar 394.656,96 Ha dengan produksi 5.084.166,80 ton Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit. Kabupaten Labuhan Batu Utara merupakan pusat perkebunan kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara. Di daerah ini terdapat sebesar 64.144 Ha kebun sawit rakyat atau 16,25 persen dari seluruh perkebunan kelapa sawit rakyat Sumatera Utara. Produksi kopi Sumatera Utara tahun 2010 adalah sebesar 55.600,05 ton dengan luas lahan 78.709,56 Ha. Kabupaten Dairi dan Tapanuli Utara merupakan penghasil kopi dari Sumatera Utara. Bahkan kopi Sidikalang sudah dikenal di Pulau Jawa dan Eropa. Di Sumatera Utara terdapat 3 perkebunan besar BUMN dan ratusan perkebunan besar swasta. Sama seperti pada perkebunan rakyat, jenis tanaman perkebunan besar yang ada di Sumatera Utara diantaranya kelapa sawit, karet, coklat, teh, tembakau, dan tebu (Sumut Dalam Angka, 2011).
14 Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.1. Perkembangan Produksi, Penawaran Domestik dan Penawaran Ekspor CPO Sumatera Utara Tahun 1985-2010 Tahun 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Total Produksi (Ton) Q 673524 877422 1095043 1184337 1109547 1466315 1623353 1714691 1734332 1807658 1829234 1829234 2017244 2503983 2503983 2380453 2380453 2514573 2545829 2661425 2893307 2963535 3084154 3527617 5078341 7015279
Penawaran Domestik (Ton) QD 429851 551623 572698 616912 436185 590814 698776 727831 701165 761404 677100 666104 689943 971079 1063240 969931 940933 1016234 1040292 1129070 1226686 1130535 943702 1387623 1465387 1567899
Penawaran Ekspor (Ton) QE 243673 325799 522345 567425 673362 875501 924577 986860 1033167 1046254 1152134 1163130 1327301 1532904 1440743 1410522 1439520 1498339 1505537 1532355 1666621 1833000 2140452 2265147 2348912 2595366
Sumber: Badan Pusat Statistik
Sumatera Utara merupakan salah satu pusat perkebunan di Indonesia. Perkebunan di Sumatera Utara telah dibuka sejak penjajahan Belanda. Komoditi hasil perkebunan yang paling penting di Sumatera Utara saat ini antara lain Sawit, Kopi, Cokelat dan Tembakau. Harga produk pertanian terutama yang berkaitan dengan kebutuhan pokok banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat baik secara sosial maupun secara politik. Dalam menganalisis kondisi pasar kebutuhan pokok,
sebagai
produk
pertanian
diperlukan
metode
yang
mampu
15 Universitas Sumatera Utara
menggambarkan situasi yang mendekati kenyataan. Apabila kita mampu menggambarkan analisis sesuai yang diharapkan maka kita dapat melakukan analisis lebih lanjut tentang kebijakan apa yang perlu atau yang mempengaruhi kondisi tersebut. Intervensi atau berbagai kebijaksanaan perlu dilakukan dalam upaya meningkatkan dan mengatur perdagangan berbagai komoditi tujuan agar perekonomian dapat berjalan lebih sesuai harapan atau sesuai dengan tujuan pembangunan ekonomi suatu negara. Analisis harga merupakan suatu metodologi yang perlu dikuasai untuk menganalisis bagaimana pasar bergerak dan bagaimana intervensi yang dapat dilakukan. Hal ini menyangkut seluruh pelaku di pasar. Secara umum harga di bidang petanian, akan mempengaruhi beberapa agen ekonomi: produsen dan konsumen serta masyarakat secara luas. Secara teoritis, harga akan mempengaruhi berbagai
aspek
seperti
harga
mempengaruhi
pembentukan
pendapatan,
kesejahteraan (produsen dan konsumen) dan lain-lain. Pada awal tahun 2002 harga rata-rata tandan buah segar (TBS) mencapai Rp 400 per kilogram. Pada akhir tahun 2002 sampai awal tahun 2003 harga TBS di tingkat petani mencapai lebih Rp 600 per kilogram. Meningkatnya harga TBS itu dipengaruhi oleh membaiknya harga CPO di bursa minyak nabati dunia di Rotterdam, Belanda. Pada awal tahun 2003 harga minyak sawit dunia mengalami fluktuasi harga akibat krisis di Timur Tengah, namun harga komoditas kelapa sawit di pasar dunia terus berada di atas 420 dollar AS per metrik ton. Kenaikan harga ini diperkirakan tidak terlepas dari berkembangnya pasar minyak sawit, terutama di negara-negara berkembang. Dengan kata lain, minyak sawit masih mempunyai prospek kedepan.
16 Universitas Sumatera Utara
Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh keadaan harga di Kuala Lumpur dan Rotterdam. Harga CPO di Rotterdam sangat terkait dengan situasi permintaan dan penawaran minyak kedelai sebagai bahan substitusi penting minyak goreng asal kelapa sawit. Produk akhir yang paling menentukan gejolak harga dalam industri kelapa sawit adalah harga minyak goreng. Harga minyak goreng merupakan acuan utama bagi harga CPO, selanjutnya harga CPO merupakan acuan utama bagi harga TBS. Dari berbagai aspek ekonomi, harga merupakan salah satu aspek penting yang perlu mendapat perhatian. Pentingnya harga terutama ditingkat petani produsen (dengan tetap melindungi konsumen), dilakukan oleh pemerintah di berbagai negara melalui kebijakan intervensi. Secara umum tujuan kebijakan pemerintah di bidang harga adalah untuk mencapai salah satu atau kombinasi dari beberapa hal seperti membantu meningkatkan pendapatan petani, melindungi petani kecil untuk tetap memiliki insentif, mengurangi ketergantungan impor dan sebagainya. Beberapa instrumen kebijakan harga dalam rangka melindungi petani produsen yang umum dilakukan pemerintah adalah melalui (1) penetapan harga tertinggi-terendah dan atau harga pembelian pemerintah, (2) penetapan waktu dan atau volume impor, (3) pengaturan volume stock (cadangan) pemerintah dan pelepasan stock ke pasar, dan (4) penetapan larangan ekspor. Sumatera Utara merupakan salah satu pusat perkebunan di Indonesia. Perkebunan di Sumatera Utara telah dibuka sejak penjajahan Belanda. Komoditi hasil perkebunan yang paling penting dari Sumatera Utara saat ini antara lain kelapa sawit, karet, kopi, coklat dan tembakau. Bahkan di Kota Bremen Jerman
17 Universitas Sumatera Utara
Tembakau Deli sangat terkenal. Luas tanaman karet rakyat di Sumatera Utara selama periode 2007-2010 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 2,07 persen per tahun. Pada tahun 2009 luas tanaman karet rakyat adalah sebesar 388.017,39 Ha, menjadi 385.879,31 Ha pada tahun 2010. Kabupaten Mandailing Natal, Langkat dan Padang Lawas Utara merupakan pusat perkebunan karet rakyat di Sumatera Utara. Di ketiga daerah tersebut terbentang seluas 154.917,18 Ha kebun karet, atau sama dengan 40,15 persen dari total luas kebun karet rakyat Sumatera Utara. Sangat ironis dalam kondisi ini mereka tetap harus menanggung biaya kredit di perbankan dengan bunga yang ikut meningkat juga (plasma), sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan tidak ada lagi tanah untuk menghasilkan akibat sudah dikonversi menjadi sawit sehingga harus membeli. Beberapa faktor kenaikan harga-harga kebutuhan pokok memang tidak bisa dipisahkan dengan faktor resesi ekonomi dunia yang kian memburuk seiring dengan krisis umum imprealisme, kelesuan ekonomi Amerika Serikat yang dipicu oleh krisis kredit perumahan (subprime mortgage); krisis finansial, krisis energi (minyak, gas, batubara), ditandai dengan kenaikan harga minyak di pasaran internasional yang pernah menembus 117 US $/barel, namun terkoreksi pada angka 82 US $/barel pada bulan Oktober 2008 akibat permintaan terhadap minyak dunia menurun imbas dari krisis keuangan global. Harga minyak dunia yang sempat melambung memaksa berbagai sektor produksi ekonomi menaikkan ongkos produksinya dan tidak ikut terkoreksi hingga hari ini. Sedangkan disisi lain imbas dari pemanasan global telah menyerang lingkungan hidup bumi manusia, dengan cuaca buruk, gelombang
18 Universitas Sumatera Utara
badai, banjir, longsor, telah memukul hampir semua produksi pertanian dan kelancaran sistem transportasi dunia. Krisis ekonomi Amerika kemudian menjadi krisis global yang berpengaruh pada sektor riil di tingkat lokal. Karena centrum kekuatan akumulasi modal kapitalis berada di negara ini. AS merupakan pasar ekspor terbesar di dunia termasuk pasar ekspor Indonesia. Dari angka-angka ekspor nonmigas Indonesia ke AS selama ini yang tercatat di Badan Pusat Statistik dan diolah kembali oleh Departemen Perdagangan, sekilas terlihat betapa produk Indonesia sangat bergantung pada pasar Amerika karena ekspor Indonesia ke negara itu menduduki peringkat kedua terbesar setelah Jepang. Dampak langsung ke petani kelapa sawit atas krisis ekonomi global ini mengakibatkan permintaan minyak sawit dunia menurun, sehingga industri minyak sawit di Indonesia harus dikurangi untuk mengimbangi supply atas permintaan minyak sawit yang menurun. Di sisi lain turunnya permintaan minyak sawit berakibat turunnya harga minyak sawit karena daya beli dan permintaan yang menurun, artinya perusahaan tidak mau membeli TBS dari petani untuk menjaga supply mereka cenderung lebih mengutamakan TBS yang berasal dari kebun inti mereka. Ini mengakibatkan harga TBS di tingkat petani langsung terjun bebas. Berdasarkan permasalahan di atas peneliti tertarik untuk melihat bagaimana pengaruh globalisasi ekonomi dunia yaitu krisis keuangan global yang tengah menghantam dunia saat ini terhadap produksi CPO di Propinsi Sumatera Utara.
19 Universitas Sumatera Utara
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
yang
telah
diuraikan
diatas,
maka
permasalahan penelitian yang akan dibahas adalah: 1. Bagaimana pengaruh harga jual domestik, upah riil dan tingkat bunga pinjaman terhadap penawaran domestik CPO Sumatera Utara? 2. Bagaimana pengaruh harga jual ekspor, harga jual domestik dan kurs terhadap penawaran ekspor CPO di Sumatera Utara? 3. Bagaimana pengaruh harga jual ekspor, total produksi dan kurs terhadap harga jual domestik CPO Sumatera Utara?
1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu : 1. Untuk menganalisis pengaruh harga jual domestic, upah riil dan tingkat bunga pinjaman terhadap penawaran domestic CPO Sumatera Utara. 2. Untuk menganalisis pengaruh harga jual ekspor, harga jual domestik dan kurs terhadap penawaran ekspor CPO di Sumatera Utara. 3. Untuk menganalisis pengaruh harga jual ekspor, total produksi dan kurs terhadap harga jual domestik CPO Sumatera Utara.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai proses pembelajaran bagi peneliti untuk melatih kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi yang terjadi.
20 Universitas Sumatera Utara
2. Sebagai masukan bagi pembuat kebijakan dan pengambil keputusan dalam merumuskan dan merencanakan kebijakan upaya meningkatkan produksi CPO untuk perbaikan taraf hidup. 3. Sebagai informasi bagi pembaca khususnya petani dan referensi bagi peneliti untuk penelitian berikutnya.
21 Universitas Sumatera Utara