BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif merupakan paradigma baru pendidikan kita dan merupakan strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual dari anak dan masyarakat. Dengan demikian, pendidikan inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah mendidik anak yang berkebutuhan khusus akibat kecacatannya di kelas reguler bersama-sama dengan anak-anak lain yang non cacat, dengan dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya, di sekolah yang ada di lingkungan rumahnya. Perkembangan terakhir dalam pendidikan kebutuhan khusus adalah pemikiran mengenai pendidikan inklusif. Pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia dipayungi UUD 1945 pasal 3: tentang hak setiap warga negara untuk
mendapatkan
pendidikan,
kemudian
Undang-Undang
Sistem
Pendidikan Nasional tahun 2003 pasal 32 tentang pendidikan khusus dan layanan khusus, penjelasan pasal 15 UU SISDIKNAS yaitu: Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan inklusif juga diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa:
1
Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Jaminan pelaksanaan pendidikan inklusif dari berbagai instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi Indonesia, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990), Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat (1993), Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO (1994), Undang-undang Penyandang Kecacatan (1997), Kerangka Aksi Dakar (2000) dan Deklarasi Kongres Anak Internasional (2004). Pernyataan Salamanca pasal 4 dan pasal 7 dalam Tarmansyah (2009) yaitu: Pendidikan kebutuhan khusus berasumsi bahwa perbedanperbedan manusia itu normal adanya dan bahwa oleh karenanya pembelajaran itu harus disesuaikan dengan kebutuhan anak bukannya anak yang disesuaikan dengan kecepatan dan hakikat proses belajar. Pedagogik yang berpusat pada anak itu menguntungkan bagi semua siswa dan pada gilirannya menguntungkan bagi masyarakat secara keseluruhan […] hal tersebut dapat sangat mengurangi angka droup-out dan tinggal kelas […] dan sekali gus juga menjamin tercapainya tingkat prestasi rata-rata yang lebih tinggi. […] Lebih jauh sekolah yang berpusat pada diri anak merupakan tempat berlatih yang baik bagi masyarakat yang berorientasi pada orang, yang menghargai adanya perbedan-perbedan serta menjunjung harga diri semua umat manusia. Prinsip mendasar dari sekolah inklusif adalah bahwa, selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersamasama, tanpa memandang kesulitan ataupun perbedan yang mungkin ada pada diri mereka. Sekolah inklusif harus mengenal dan merespon terhadap kebutuhan yang berbedabeda dari pada siswanya, […]
2
Dalam pemikiran inklusif, anak tanpa pengecualian dapat bersamasama belajar di kelas yang sama tanpa ada persiapan di kelas khusus terlebih dahulu. Untuk dapat mewujudkan pendidikan yang inklusif tersebut maka orientasi pembelajarannya adalah berpusat pada anak. Artinya bukan lagi Anak Berkebutuhan Khusus yang harus menyesuaikan diri agar cocok dengan setting yang ada melainkan sekolah sebagai institusi pendidikan yang harus membuat penyesuaian agar tercipta pembelajaran untuk semua. Menurut Skjørten (2003) “…Untuk menciptakan hal tersebut maka diperlukan fleksibilitas atas kebijakan-kebijakan, kreativitas dan kepekaan”. Di Indonesia sendiri, pendidikan inklusif secara resmi didefinisikan sebagai berikut: Pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan Anak Berkebutuhan Khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik (Direktorat PLB, 2004). Implementasi pendidikan inklusif di sekolah, secara umum dan di kelas secara khusus berarti sekolah atau kelas tersebut ditandai oleh sikap tidak diskriminatif, pengakuan dan penghargaan terhadap individu anak, fasilitas belajar dan lingkungan memberi kemudahan dan rasa aman kepada setiap anak, guru bekerja dalam sebuah tim dan adanya keterlibatan orang tua/masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah/kelas (Alimin:2008).
3
Sampai saat ini belum ada angka pasti tentang jumlah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Indonesia. Namun, yang pasti jumlah mereka yang belum memperoleh hak pendidikan masih sangat banyak. Data resmi Direktorat PLB tahun 2007 menyebutkan bahwa jumlah ABK yang sudah mengikuti pendidikan formal baru mencapai 24,7% atau 78.689 anak dari populasi anak cacat di Indonesia, yaitu 318.600 anak (Direktorat PLB, 2008). Ini artinya masih terdapat sebanyak 65,3% ABK yang masih terseklusi, termarjinalisasikan dan terabaikan hak pendidikan. Bahkan angka tersebut diperkirakan dapat jauh lebih besar mengingat kecilnya angka prevalensi yang digunakan, yaitu 0,7% dari populasi penduduk serta masih buruknya sistem pendataan. Kondisi di atas tentu sangat memprihatinkan, mengingat bahwa pendidikan merupakan salah satu hak azazi manusia yang paling fundamental yang dilindungi dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun nasional. Sejak digulirkannya pendidikan inklusif di Indonesia, sambutan dan apresiasi masyarakat sangat luar biasa, sehingga implementasinya tumbuh dan berkembang cepat di berbagai pelosok negeri. Tidak salah jika UNESCO menilai bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi ABK, Indonesia pada tahun 2007 menduduki ranking ke 58 dari 130 negara. Sayangnya, karena berbagi faktor, terutama kurangnya komitmen dan dukungan pemerintah, sehingga implementasinya belum menasional dan menyeluruh, sehingga ranking tersebut terus mengalami kemerosotan, pada tahun 2008 berada pada ranking ke 63 dan pada tahun 2009 berada pada ranking ke 71 (Kompas.com, 30 November 2009). Menurut data statistik
4
pendidikan inklusif jenjang pendidikan dasar tahun 2005, jumlah sekolah inklusif di Jawa Timur tercatat 59 lembaga dengan jumlah siswa 1.174 Anak Berkebutuhan Khusus. Dalam
tataran operasional di sekolah, sekali pun sudah banyak
sekolah yang mendeklarasikan
sebagai sekolah inklusif, tetapi dalam
implementasinya masih banyak yang belum sesuai dengan konsep-konsep yang mendasarinya. Bahkan, tidak jarang ditemukan adanya kesalahankesalahan praktek, terutama terkait dengan aspek pemahaman, kebijakan internal sekolah, serta kurikulum dan pembelajaran. Hal ini sekaligus menyiratkan bahwa dalam perjalanan menuju pendidikan inklusif (toward inclusive education). Kabupaten Magetan masih dihadapkan berbagai isu dan permasalahan yang kompleks dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif yang harus mendapatkan perhatian serius dan disikapi oleh berbagai pihak yang terkait, khususnya pemerintah sehingga tidak menghambat hakekat penyelenggaraan pendidikan inklusif itu sendiri. Di lapangan ditemukan sekolah yang mendeklarasikan diri/resmi sebagai sekolah inklusif yang masih terdapat sikap eksklusif bagi ABK di dalamnya Anak Hiperaktif. Sekolah penyelenggara inklusif di Kabupaten Magetan yang ditunjuk pemerintah baru ada satu lembaga yaitu SDN Sukowinangun 2 Magetan, tetapi dalam pelaksaannya masih ditemukan ketidaksesuaian dalam prinsipprinsip inklusif, di lain pihak tumbuh Sekolah-Sekolah Dasar yang mau menerima kehadiran Anak Berkebutuhan Khusus untuk belajar bersama dengan anak normal di sekolah tersebut, meskipun tanpa surat tugas dari pemerintah. Permasalahan lainnya Peneliti belum menemukan sekolah
5
inklusif yang khusus menerima ABK dalam satu spesialisasi saja, yaitu Anak Hiperaktif. Pada kenyataanya Anak Hiperaktif banyak ditemukan di SD umum, tapi biasanya guru tidak terlalu peduli terhadap kebutuhan pembelajaran anak yang butuh perbedan dari teman lainnya. Guru sering menganggap anak hiperaktif sebagai akar masalah dan pembuat kekacauan di kelas tanpa berusaha untuk memberikan strategi atau modifikasi dalam pembelajaran. Masalah lainnya muncul dari dalam diri anak yaitu: anak hiperaktif di sekolah Anak tidak mampu mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru dengan baik, anak sering terlihat gelisah untuk duduk lama dan memperhatikan pelajaran, selalu meninggalkan tempat duduk ketika di kelas, konsentrasi yang mudah terganggu membuat anak tidak dapat menyerap materi pelajaran secara keseluruhan, rentang perhatian yang pendek membuat anak ingin cepat selesai bila mengerjakan tugas-tugas sekolah, kecenderungan berbicara yang tinggi akan mengganggu teman lain. Banyak dijumpai bahwa anak hiperaktif banyak mengalami kesulitan membaca, menulis, bahasa, dan matematika, keterampilan motorik halusnya yang secara umum tidak sebaik anak normal. Secara umum permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di Sekolah Dasar Kabupaten Magetan, antara lain: (1) Peranserta Pemerintah Daerah dalam penjaminan penyelenggaraan dan sumberdaya pendidikan inklusif berdasarkan Standar Nasional Pendidikan masih kurang maksimal, (2) kurangnya tenaga pendidik dan kependidikan, (3) Guru dalam kegiatan belajar mengajar mengacu kepada kurikulum yang
6
digunakan di sekolah tersebut tanpa menyesuaikan dengan kebutuhan khusus anak berkebutuhan khusus, (4) Latar belakang pendidikan guru pembimbing khusus tidak sesuai dengan Spesialisasi yang diambilnya, yaitu spesialisasi pendidikan anak luar biasa, (5) Kepala Sekolah dan pihak birokrasi belum memahami sepenuhnya visi, misi, tujuan dan tatalaksana sistem pendidikan inklusif, (6) Belum memanfaatkan secara maksimal fungsi SLB sebagai pusat sumber sebagai upaya peningkatan layanan bagi anak berkebutuhan khusus. Dari kondisi di atas, Peneliti memandang fenomena ini penting dan menarik untuk dilakukan penelitian tentang “Analisis Kebijakan Pendidikan Inklusif bagi Anak Hiperaktif di Sekolah Dasar Kabupaten Magetan”. B. Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka terdapat beberapa fokus penelitian yang dijabarkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana analisis kebijakan peranserta Pemerintah Kabupaten Magetan dalam jaminan penyelenggaraan dan penyediaan sumberdaya pendidikan inklusif bagi anak Hiperaktif di Sekolah Dasar Kabupaten Magetan? 2. Bagaimana analisis Kebijakan pembelajaran Inklusif bagi anak Hiperaktif di Sekolah Dasar Kabupaten Magetan? 3. Apa faktor pendukung dan pengambat kebijakan pendidikan inklusif bagi Anak Hiperaktif di Sekolah Dasar Kabupaten Magetan? 4. Bagaimana solusi yang sudah dijalankan dalam mendukung kebijakan pendidikan inklusif bagi Anak Hiperaktif di Sekolah Dasar Kabupaten Magetan?
7
C. Tujuan Penelitian 1. Secara umum, penelitian bertujuan untuk mengungkap gambaran secara menyeluruh analisis kebijakan pendidikan inklusif bagi Anak Hiperaktif di Sekolah Dasar Kabupaten Magetan. 2. Secara khusus, penelitian bertujuan mengungkap secara rinci tentang: a. Analisis kebijakan peranserta pemerintah Kabupaten Magetan dalam jaminan penyelenggaraan dan penyedian sumberdaya pendidikan inklusif bagi Anak Hiperaktif di Sekolah Dasar Kabupaten Magetan. b. Análisis kebijakan pelaksanaan pembelajaran Inklusif bagi Anak Hiperaktif di Sekolah Dasar Kabupaten Magetan. c. Faktor pendukung dan pengambat kebijakan pendidikan inklusif bagi Anak Hiperaktif di Sekolah Dasar Kabupaten Magetan. d. Solusi yang sudah dijalankan dalam mendukung kebijakan pendidikan inklusif bagi Anak Hiperaktif di Sekolah Dasar Kabupaten Magetan.
D. Manfaat Penelitian Temuan-temuan dari Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi keilmuan secara terotis maupun secara praktis. 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini akan memberikan perspektif baru dalam melihat, mendefinisikan, memaknai, dan menginterpretasikan tentang analisis kebijakan inklusif bagi Anak Hiperaktif di SD Kabupaten Magetan. Penelitian ini juga bisa digunakan sebagai penambah khazanah keilmuan khususnya studi kebijakan pendidikan inklusif bagi Anak Hiperaktif
8
terutama masalah kesetaraan hak pendidikan (education for All), aksesibilitas dan peningkatan mutu pendidikan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti, hasil penelitian ini nantinya sebagai penambah wawasan dan pengalaman untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengembangan dan kebijakan pendidikan Inklusif di Indonesia. b. Bagi Dinas Pendidikan, hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan kajian/saran perbaikan analisis kebijakan pendidikan inklusif bagi Anak Hiperaktif. c. Bagi Sekolah Dasar di Magetan, Penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk meningkatkan aksesibilitas, mutu dan merumuskan strategi yang harus dilakukan dalam analisis kebijakan inklusif bagi Anak Hiperaktif di Kabupaten Magetan di masa yang akan datang. d. Bagi Peneliti lebih lanjut, hasil penelitian ini nantinya akan membuka peluang kepada peneliti lebih lanjut untuk mengadakan penelitian tentang analisis kebijakan inklusif bagi Anak Hiperaktif di Sekolah umum.
E. Penegasan Istilah
Supaya tidak terjadi persepsi yang beragam tentang istilah yang dijadikan fokus dalam penelitian ini, maka diberi batasan dalam bentuk penegasan istilah. Istilah-istilah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah analisis kebijakan pendidikan inklusif, Anak Hiperaktif, peranserta, pembelajaran, dan solusi.
9
1. Analisis Kebijakan Pendidikan Inklusif Analisis Kebijakan (Policy Analisys) adalah suatu aktivitas intelektual dan praktis untuk menciptakan secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan (Dunn, 2003:44). Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009, disebutkan bahwa: Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Kebijakan pendidikan inklusif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebijakan untuk terpenuhinya asesibilitas pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah umum dengan melihat dari terpenuhinya program-program pembelajaran, mampu menciptakan rasa senang, menerima, ramah, bersahabat, peduli, mencintai, menghargai, serta hidup dan belajar dalam kebersamaan. 2. Anak Hiperaktif Menurut Baihaqi&Sugiarmin (2008), Anak Hiperaktif disebut dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) yaitu suatu kondisi yang pernah dikenal sebagai Attention Deficit Disorder (sulit memusatkan perhatian), Minimal Brain Disorder (ketidakberesan kecil di otak), minimal brain damage (kerusakan kecil pada otak), dan hyperactive.
10
3. Peranserta Peranserta diartikan sebagai keterlibatan atau partisipasi seseorang dan/atau kelompok dalam suatu aktivitas tertentu atau obyek tertentu (Direktorat PSLB, 2007:10). Dalam kaitannya dengan pendidikan inklusif partisipasi Pemerintah Daerah adalah keikutsertaan atau peran serta Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. 4. Pembelajaran Pembelajaran adalah usaha sistematis yang memungkinkan terciptanya pendidikan demi meraih internalisasi ilmu pengetahuan sebagai proses pengalaman khusus yang bertujuan menciptakan perubahan secara terus-menerus (dinamika) dalam perilaku dan pemikiran manusia. (Yusmi, 2007). 5. Solusi Solusi adalah penyelesaian pemecahan masalah, jalan keluar. (visual Arti Kata, 2011). Solusi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penyelesaian pemecahan masalah, jalan keluar dari permasalahan kebijakan pendidikan inklusif. Berdasar penegasan istilah di atas dikaitkan dengan penelitian ini, maka judul penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : Analisis Kebijakan Pendidikan Inklusif bagi Anak Hiperaktif di Sekolah Dasar Kabupaten Magetan.
11