BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Fenomena yang dapat diamati dalam perkembangan sektor publik dewasa
ini adalah semakin menguatnya tuntutan pelaksanaan akuntabilitas publik organisasi sektor publik (pemerintah pusat dan daerah, unit-unit kerja pemerintah, departemen, dan lembaga negara). Tuntutan akuntabilitas sektor publik terkait dengan perlu dilakukannya transparansi dan pemberian informasi kepada publik dalam rangka pemenuhan hak-hak publik (Sukirman, 2009:92). Dalam rangka mewujudkan tata kelola yang baik (good governance), Pemerintah Daerah harus terus melakukan upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah mengatur semua aspek teknis mencakup bidang peraturan, kelembagaan, sistem informasi keuangan daerah, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Tuntutan akuntabilitas terhadap penyelenggaraan pemerintahan berjalan seiring dengan semakin luasnya sistem pemerintahan yang berbasis otonomi daerah di Indonesia. Menanggapi tuntutan akan perlunya akuntabilitas publik, pemerintah Indonesia telah melakukan usaha dengan membuat peraturanperaturan yang mendukung terselenggarannya akuntabilitas bagi pemerintah daerah. Peraturan-peraturan itu diantaranya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, yang bagi
1
masyarakat akuntansi PP ini dianggap sebagai tonggak sejarah karena sebelumnya sektor pemerintahan belum mempunyai standar akuntansi sejak Indonesia merdeka (Indrawati, 2010: 27). Akuntabilitas publik adalah kewajiban pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Tuntutan akuntabilitas publik mengharuskan lembaga-lembaga
sektor
publik
untuk
lebih
menekankan
pada
pertanggungjawaban horizontal (masyarakat luas) bukan pertanggungjawaban vertikal (pemerintah daerah dan pusat) (Sukirman, 2009:92). Menurut Cui (2004:43-44) dijelaskan bahwa akuntabilitas adalah persyaratan kunci dalam good governance, di mana tidak hanya berlaku bagi institusi pemerintah, tetapi juga sektor privat dan organisasi dari masyarakat sipil dituntut untuk akuntabel ke publik dan kepada stakeholder lainnya. Akuntabilitas publik
diperlukan
karena
mempertanggungjawabkan
aparatur
tindakan
dan
pemerintah
harus
dapat
pekerjaannya
kepada
publik.
Akuntabilitas menjadi syarat mendasar untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan yang didelegasikan dan menjamin kewenangan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan nasional yang dierima secara luas dengan tingkat efisiensi, efektivitas, kejujuran, dan hasil sebesar mungkin. Pelaku kebijakan publik harus dapat mempertanggungjawabkan apa yang menjadi sikap, perilaku, dan sepak terjangnya kepada publik dalam menjalankan tugas, fungsi, dan
2
kewenangan yang diberikan kepadanya. Hal ini dikarenakan, rakyat adalah pemegang
kedaulatan
tertinggi
negara.
Dengan
demikian,
akuntabilitas
merupakan salah satu unsur yang terpenting untuk mewujudkan suatu sistem pemerintahan yang bersih dan baik atau good governance. Konsep pelayanan dalam akuntabilitas selain harus diikuti dengan jiwa eterpreneurship juga harus diikuti dengan jiwa responsiveness. Hal ini harus dilakukan agar pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dapat dilakukan secara cepat dan tanggap dalam melayani stakeholder sesuai dengan karakteristik Good Governance. Selain itu, dalam pengantar Standar Akuntasi Pemerintah dinyatakan bahwa salah satu upaya nyata untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip waktu (Yahya, 2006; 27-28). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku auditor eksternal pemerintah melaksanakan audit atas laporan keuangan pemerintah pusat/ daerah berdasarkan standar pemeriksaan yang berlaku. Peran BPK sebagai auditor independen memberikan keyakinan atas kualitas informasi keuangan dengan memberikan pendapat yang independen atas kewajaran penyajian laporan keuangan. Kegunaan informasi akuntansi dalam laporan keuangan akan dipengaruhi oleh kewajaran penyajian yang dapat dipenuhi jika didukung adanya bukti-bukti yang sah dan benar serta penyajiannya yang memadai. Dengan adanya prinsip fairness, auditor berperan membantu pihak stakeholder dalam menilai perkembangan dan kualitas tata kelola keuangan negara (Handayani, 2012:15).
3
Pemeriksaan dilakukan agar tercipta akuntabilitas publik yang lebih transparan dan akuntabel. Akuntabilitas pemerintah antara lain terlihat dari opini yang diberikan BPK terhadap laporan keuangan yang diperiksa. Semakin baik pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh pemerintah, maka akan semakin baik kualitas laporan keuangannya. Dengan diperolehnya opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh suatu Lembaga Keuangan Kementrian/ Lembaga (LKKL) ataupun LKPD, menunjukkan akuntabilitas semakin baik dan telah dilaksanakannya good governance. Sebaliknya, perolehan opini selain WTP menunjukkan rendahnya akuntabilitas dan belum terlaksananya good governance (Handayani, 2012:15-16). BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas laporan keuangan pemerintah daerah Riau pada tahun 2011. Hal-hal yang mempengaruhi kewajaran Laporan Keuangan tersebut adalah Belanja Modal untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 2011 dan 2010 disajikan masing-masing sebesar Rp 1.342.180.098.717,32 dan Rp 1.238.746.885.740,55. Dari nilai realisasi Belanja Modal
sebesar
Rp
1.342.180.098.717,32,
diantaranya
sebesar
Rp
21.816.317.600,00 untuk pengadaan peralatan/ perlengkapan olahraga POPNAS XI Tahun 2011 tidak dapat diidentifikasi hasil pengadaannya dan sebesar Rp 16.741.715.108,80 untuk pengadaan peralatan venue dan peralatan tanding 39 cabang olahraga PON XVIII Tahun 2012 tidak diketahui hasil pengadaannya. Belanja Modal tersebut mempengaruhi keberadaan Aset Tetap Lainnya sebesar Rp 38.558.032.708,80 (Rp 21.816.317.600,00 + Rp 16.741.715.108,80) (BPK Pekanbaru, 2012).
4
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa akuntabilitas yang dilakukan oleh BPK diyakini memberikan kontribusi dalam usaha mereduksi praktek korupsi yang banyak terjadi di pemerintah daerah. Semakin baik akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah (opini, sistem pengendalian intern, dan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan) maka korupsi yang terjadi di pemerintah daerah semakin berkurang. Namun pentingnya peran akuntabilitas publik dalam pemberantasan korupsi ini ternyata belum begitu mendapat perhatian dan dikaji secara mendalam di Indonesia, hal itu dapat dilihat dari sulitnya mencari dan menggali informasi tentang pentingnya peran akuntabilitas publik dalam pemberantasan korupsi. Pejabat daerah Riau telah beberapa kali terjerat kasus korupsi. Salah satunya adalah seorang mantan pejabat tinggi daerah. Mantan pejabat daerah divonis 14 tahun penjara karena terbukti terlibat korupsi dalam kasus Pekan Olahraga Nasional dan kehutanan di Pelalawan dan Siak. Majelis hakim menilai mantan pejabat daerah tersebut secara sah menerima hadiah atau suap PON Riau dan penyalahgunaan wewenang untuk kasus kehutanan. Untuk korupsi PON, dinyatakan terbukti telah menerima hadiah dalam melancarkan pengusulan atau pengesahan peraturan daerah (perda) terkait Pekan Olahraga Nasional di Riau 2012. Sementara untuk kasus korupsi kehutanan, mahtan mantan pejabat daerah ini juga terbukti menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan Bagan Kerja Tahunan (BKT) Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) untuk sembilan korporasi berbasis tanaman industri di Pelalawan
5
dan Siak tahun 2004. Putusan ini lebih ringan tiga tahun dari tuntutan jaksa 17 tahun. Berdasarkan Stakeholder Theory, Muid, (2011:107) mengemukakan bahwa perusahaan adalah bagian dari beberapa elemen yang membentuk masyarakat dalam sistem sosial. Kondisi tersebut menciptakan sebuah hubungan timbal balik antara perusahaan dan para stakeholder. Hal ini berarti perusahaan harus melaksanakan peranannya secara dua arah yaitu memenuhi kebutuhan perusahaan itu sendiri maupun stakeholders. Dengan demikian dapat diketahui bahwa berdasarkan Stakeholder Theory, terdapat hubungan timbal balik antara pemerintah dan para stakeholder. Hal ini berarti pemerintah harus melaksanakan peranannya secara dua arah yaitu memenuhi kebutuhan pemerintah itu sendiri maupun stakeholders. Berdasarkan Stewardship Theory, Donaldson & Davis (dalam Suhartati dan Rosietta, 2012:3-4) mengemukakan bahwa teori ini merupakan teori yang menggambarkan situasi di mana para manajer tidaklah termotivasi oleh tujuantujuan individu tetapi lebih ditujukan pada sasaran hasil utama untuk kepentingan organisasi, sehingga teori ini mempunyai dasar psikologi dan sosiologi yang telah dirancang di mana para eksekutif sebagai steward termotivasi untuk bertindak sesuai keinginan prinsipal, selain itu steward berusaha mencapai sasaran organisasinya. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
Stewardship Theory, pemerintah bekerja untuk kepentingan pemerintahan bukan termotivasi oleh tujuan-tujuan individu.
6
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti kedua persepsi yakni persepsi stakeholder internal dan stakeholder eksternal terhadap laporan keuangan. Penelitian ini ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan persepsi antara stakeholder internal dan stakeholder eksternal atas akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah di Provinsi Riau dilihat dari lima aspek yaitu transparansi, akuntablitas, responsibilitas, independensi, dan keadilan.
1.2.
Rumusan Permasalahan Sejak adanya reformasi maka perkembangan paradigma-paradigma baru
mempunyai implikasi terhadap kebutuhan ke arah akuntabilitas ke arah ganda. Akuntabilitas ganda adalah akuntabilitas atas penganggaran daerah terhadap level yang lebih tinggi dan akuntabilitas yang ditujukan pada publik. Stakeholder pemerintah mempunyai hak untuk mengetahui penganggaran daerah, bagaimana suatu anggaran direncanakan dan bagaimana anggaran tersebut dilakanakan. Dengan demikian, stakeholder dapat mengukur kinerja dari anggaran daerah (Sukhemi, 2011:84). Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Pemerintah daerah dituntut untuk melakukan pertanggungjawaban kepada stakeholder dengan cara mengeluarkan laporan keuangan daerah.
2.
Pemerintah memiliki dua jenis stakeholder yaitu stakeholder internal dan stakeholder eksternal yang berhak mengetahui tentang akuntabilitas laporan keuangan daerah.
7
3.
Berdasarkan Stakeholder Theory, terdapat hubungan timbal balik antara pemerintah dan para stakeholder. Hal ini berarti pemerintah harus melaksanakan peranannya secara dua arah yaitu memenuhi kebutuhan pemerintah itu sendiri maupun stakeholders.
4.
Berdasarkan Stewardship Theory, pemerintah bekerja untuk kepentingan pemerintahan bukan termotivasi oleh tujuan-tujuan individu.
5.
Perlu diketahui ada atau tidaknya perbedaan persepsi antara stakeholder internal dan stakeholder eksternal mengenai akuntabilitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah di provinsi Riau dilihat dari lima aspek, yaitu aspek transparansi, akuntablitas, responsibilitas, independensi, dan keadilan.
1.3.
Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan persepsi antara
stakeholder internal dan stakeholder eksternal atas prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan daerah di Provinsi Riau dilihat dari aspek aspek transparansi, akuntablitas, responsibilitas, independensi, dan keadilan.
1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan persepsi antara
stakeholder internal dan stakeholder eksternal atas prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan daerah di Provinsi Riau dilihat dari aspek aspek transparansi, akuntablitas, responsibilitas, independensi, dan keadilan.
8
1.5.
Motivasi Penelitian Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut: 1.5.1. Secara teoritis 1.
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan untuk merumuskan khasanah tentang persepsi stakeholders terhadap prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan daerah.
2.
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan kajian penelitian lebih lanjut tentang persepsi stakeholders terhadap prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan daerah.
1.5.2. Secara praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang perbedaan persepsi antara stakeholder internal dan stakeholder eksternal atas prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan daerah yang dilihat dari lima aspek, yaitu aspek aspek transparansi, akuntablitas, responsibilitas, independensi, dan keadilan.
1.6.
Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pemerintah
daerah di Provinsi Riau. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yaitu perbedaan persepsi stakeholder internal dan stakeholder eksternal atas prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan
9
daerah yang dilihat dari aspek aspek transparansi, akuntablitas, responsibilitas, independensi, dan keadilan.
1.7.
Proses Penelitian Proses penelitian tentang perbedaan persepsi stakeholder internal dan
stakeholder eksternal terhadap prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan daerah dapat digambarkan sebagai berikut: untuk mengetahui perbedaan persepsi antara stakeholder internal dan eksternal atas prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan daerah di Provinsi Riau
1. Teori Stakeholder Theory & Stewardship Theory 2. Pengelolaan keuangan daerah 3. Penyebab perbedaan persepsi (5 aspek)
Apakah terdapat perbedaan persepsi antara stakeholder internal dan eksternal atas prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan daerah dilihat dari lima aspek? Metode Kuantitatif, dengan alat pengumpul data berupa kuesioner yang diberikan kepada PNS pemda (stakeholder internal), dan anggota DPRD & BPK RI Perwakilan di Pekanbaru (stakeholder eksternal)
Ada/ tidaknya perbedaan persepsi stakeholder internal dan eksternal
Gambar 1.1 Proses Penelitian
10