BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan sektor informal merupakan ciri khas yang melekat pada pembangunan perkotaan. 1 Pedagang kakilima adalah salah satu pekerjaan sektor informal. PudjioSantoso (2012) mengatakan “keberadaan pedagang kaki lima di perkotaan acapkali dipandang sebelah mata. Mereka tidak pernah dilihat sebagai penunjang sektor riil di perkotaan yang tahan terhadap badai krisis ekonomi yang pernah melanda negara Indonesia di tahun 1998 dan krisis ekonomi global tahun 2008”. Sektor informal, khususnya pedagang kaki lima dianggap membawa masalah bagi wilayah perkotaan terutama persoalan klasik, yakni keindahan kota, mengganggu ketertiban, mendatangkan kekumuhan serta mengganggu ketertiban lalu lintas. 2 Beberapa kota besar seperti Kota Medan misalnya, menerapkan aturan penataan wilayah perkotaan yang cenderung kurang memperhatikan nasib pedagang kakilima. Penggusuran demi terciptanya kota Medan yang indah, nyaman dan terbebas dari kemacetan lalu lintas acapkali menjadi alasan utama tanpa memberikan
1
International Labour Organization (ILO) mendefinisikan sektor informal sebagai pekerjaan-pekerjaan di pinggiran kota besar, tetapi juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi antara lain ditandai dengan : mudah untuk dimasuki, bersandar pada sumberdaya lokal, usaha milik sendiri, operasinya dalam skala kecil , padat karya dan teknologinya bersifat adaptif, keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal, dan tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif. (Kompas, 15/04/2006) 2 Pudjio Santoso, “Pembentukan Paguyuban PKL sebagai bentuk negosiasi terhadap kebijakan penggusuran oleh Pemkot Surabaya”, file:///C:/Users/win7/Desktop/PUDJIO%20SANTOSO.htm(akses 10 April 2015)
1
ruang yang layak sebagai penggantinya. Penggusuran pedagang kakilima di pasar Titi Gantung jalan Stasiun di Kota
Medan
merupakan salah satu bukti
ketidakberdayaan sektor informal berhadapan dengan negara.Padahal sektor informal mempunyai fungsi sebagai penampung gejolak sosial (holding tank) dan urbanisasi prematur, namun keberadaanya sering tergusur oleh pembangunan. 3
Tindakan penertiban merupakan salah satu sumber terjadinya konflik antara pedagang kakilima dengan aparat pemerintah. Hal ini terjadi karena ada suatu bentuk resistensi pedagang kakilima terhadap aparat pemerintah. Sudarmawan juwono (2009) misalnya, menyebutkan aksi atau reaksi manusia tidak semata-mata bersifat moral namun ada perhitungan untung rugi masing-masing individunya.Resistensi adalah semua tindakan dari anggota masyarakat kelas bawah dengan maksud untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Para pedagang kaki lima melakukan resistensi atau melakukan perlawanan mempertahankan diri karena terpaksa untuk mempertahankan hidup. Perjuangan yang dilakukan para pedagang kakilima ini, merupakan perjuangan yang biasa namun dilakukan terus menerus. Sudarmawan Juwono (2009) juga menambahkan bahwa hal yang menarik dari konsep Scott ini adalah resistensi hanya bersifat individual atau tidak bersifat kolektif.
Ada 3 (tiga) kategori resistensi yaitu bisa dilakukan.Pertama, bersifat individual, spontan dan tidak terorganisasi.Kedua, tujuan resistensi agar ada 3
Ahmad Erani Yustika, Negara Vs. Kaum Miskin (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2003) hal 90
2
reaksi dari pihak yang dilawan.Ketiga, resistensi ini bersifat ideologis atau mengarah pada resistensi simbolis. Berbeda dengan perjuangan yang bersifat “ frontal “ maka resistensi adalah penolakan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilawan. Sifat resistensi itu sendiri adalah informal, tersembunyi dan tidak teratur.
Pudjio Santoso (2012) menegaskan meningkatnya jumlah mereka yang bekerja di sektor informal tidak terlepas dari kecenderungan pembangunan yang lebih fokus ke perkotaan dari pada pedesaan, sehingga kesempatan kerja di pedesaan makin sempit.Sektor informal dipandang sebagai alternatif pilihan yang menguntungkan bagi pendatang yang berpenghasilan rendah agar dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
Sejak akhir tahun 1980-an, tema resistensi atau perlawanan menjadi tema penting dan menarik untuk penelitian. Tema ini menjadi trend sebab menelaah kasuskasus yang gampang diamati serta bersifat empiris.Analisisnya banyak melihat halhal yang ada dalam keseharian masyarakat baik berupa kisah-kisah, tema pembicaraan, umpatan, serta puji-pujian dan prilaku lainnya.Resistensi dianggap berciri kultural sebab muncul melalui ekspresi serta tindakan keseharian masyarakat. 4 Untuk tetap dapat bertahan hidup di tengah-tengah maraknya penggusuran yang dilakukan aparat pemerintahan kota, maka para pekerja sektor informal
4
Yusran Darmawan, “Reasistensi dalam Kajian Antropologi,” artikel diakses pada 8 April 2015 http://www.timur-angin.com/2009/08/re sistensi-dalam-kajian-antropologi.html
3
khususnya pedagang kaki lima harus pandai melakukan berbagai strategi. Selama ini yang sering dilakukan para pedagang kakilima adalah strategi “balik kucing” 5, yakni menghilang ketika mendengar akan dilakukan penertiban dan kembali lagi pada saat situasi telah “tenang” seperti di jalan Dr. Mansyur depan kampus USU Medan. Penelitian ini mengkaji resistensi sebagai suatu perlawanan para pedagang kakilima terhadap para pengambil kebijakan yaitu pemerintah melalui Satuan Polisi Pamong Praja dan pihak terkait, yang dianggap sewenang-wenang dan merugikan pedagang kakilima khususnya. Kalau kita mengingat bahwa keberanian dalam berbagai bentuk perlawanan sangat terlihat sejak reformasi digulirkan pada akhir tahun 1997, maka demokratisasi mulai dijunjung tinggi, karena adanya keberanian warga masyarakat untuk menolak kebijakan yang tidak memihak mereka. Pada era zaman modern ini, keberadaan pedagang kaki lima (PKL) di kotakota besar merupakan suatu fenomena kegiatan perekonomian rakyat yang akhirakhir ini banyak terdapat fenomena penggusuran terhadap pedagang kaki lima yang marak terjadi. Kegiatan pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk kesempatan kerja sektor informal yang dianggap sebagai pedagang kecil yang mempunyai peranan. Kegiatan pedagang kaki lima merupakan salah satu fenomena kegiatan perekonomian rakyat kecil, yang dimana mereka berdagang hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok yaitu kehidupan sehari-hari.
Istilah permainan tradisional jawa yang dimainkan anak-anak secara bersembunyi-sembunyi.
4
Masalah pedagang kakilima tidak kunjung selesai di setiap daerah di Indonesia. Permasalahan ini muncul setiap tahun dan terus saja berlangsung tanpa ada solusi yang tepat dalam pelaksanaannya, ini dibuktikan dengan masih banyaknya pedagang kaki lima dibeberapa tempat di daerah. Herwanto (2012) menyebutkan bahwa perekonomian Pemerintah kota Surabaya pada tahun 2009 jumlah pedagang kakilima kurang lebih sebanyak 75.000 PKL. Sementara itu daya tampung kota Surabaya hanya sekitar 10.000 PKL, hal ini berarti Bahwa di Surabaya telah terjadi kelebihan PKL Tujuh kali Lipat. Keberadaan pedagang kaki lima kerap dianggap illegal karena menempati ruang publik dan tidak sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan aspek-aspek kebersihan, keindahan, dan kerapihan. Oleh karena itu pedagang kakilima seringkali menjadi target utama kebijakan-kebijakan pemerintah seperti penggusuran dan relokasi. Dimana kita ketahui bersama apabila kebijakan-kebijakan sudah dibuat maka ada sumber hukum yang berlaku. Menurut Bronislaw Malinowski, semua masyarakat memiliki hukum sebagai pengendali sosial. Hukum inilah yang digunakan masyarakat sebagai alat untuk menciptakan keamanan dalam kehidupan bermasyarakat. 6 5K yaitu ketertiban, keamanan, keindahan, kebersihan, dan kenyamanan menjadi barometer citra kota. Itulah sebabnya, kemudian para pengambil kebijakan 6
Jayanti PN Sihombing, “Perempuan di Lembaga Permasyarakatan Dalam Kajian Kemajemukan Hukum,” (Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan, 2015) hal 2.
5
terobsesi untuk mewujudkannya, karena sekaligus untuk membuktikan kemampuanya mengelolah kota. Sedangkan dipihak lain, kebanyakan para pedagang kakilima dengan segala atribut yang serba sangat sederhana itu tidak mau tahu bahwa keberadaanya itu menimbulkan orang lain tidak nyaman, terganggu, risih, malu, citra kumuh, jorok yang penting dapat berusaha dan mendapatkan keuntungan. Pada dasarnya penulis melihat pedagang kakilima itu bersifat ambigu atau ambivalen, artinya bahwa disatu aspek keberadaan pedagang kakilima harus diakui sebagai mata pencaharian yang dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah yang sangat basar tanpa menuntut kualifikasi tertentu. Artinya untuk bekerja sebagai pedagang kakilima tidak menuntut syarat formal termasuk pendidikan, sehingga warga yang tidak sekolah sampai lulus perguruan tinggi sekalipun dapat memasuki lapangan pekerjaan ini. Dalam situasi yang seperti ini maka akan adanya peran sektor informal yang secara langsung atau tidak membantu penciptaan kesejahteraan penduduk karena memberikan pekerjaan dan penghasilan demi kelangsungan hidup keluarganya. Coba kita bayangkan jumlah pedagang kakilima yang besar ini tidak memiliki pekerjaan sama sekali atau sebagai penganggur, maka berbagai permasalahan sosial dapat dipastikan akan lebih banyak. Sedangkan dari aspek yang lain, eksistensi pedagang kaki lima yang semakin banyak sering dituduh sebagai biang terjadinya berbagai masalah sosial. Hal ini karena disamping jumlah pedagang kakilima yang terus mengalami pertambahan juga karena tempat usaha yang pada umumnya dipilih
6
para pedagang kakilima adalah tepi jalan yang ramai dilewati orang. Oleh karena itu tidak jarang kita jumpai para pedagang kakilima, sehingga di jalan jalan tersebut cenderung mengganggu lalu lintas/ macet, merusak keindahan, dan ketertiban. Kawasan demikian ini diantaranya adalah jalan Dr.Mansyur, jalan Jamin Ginting, jalan Setia Budi dan sebagainya. Keadaan sosial dijalan Dr.Mansyur yang dianggap pedagang kakilima tempat yang strategis untuk berjualan. Tempat tersebut merupakan jalan utama dari fasilitas umum seperti terminal, stasiun, rumah sakit, sekolahan, pasar tradisional tidak pernah sepi dari para pedagang kakilima. Ketika keberadaan pedagang kakilima dirasakan benar-benar menjadi masalah sosial, maka pada umumnya para pengambil kebijakan baru berusaha untuk mengatasinya, dan bukannya telah ada antisipasi usaha untuk mencegah sebelum pedagang kakilima menjadi masalah. Seperti halnya pemerintah kota Medan, baru pada tahun 2009 mempunyai peraturan Wali Kota Medan Nomor 9 Tahun 2009, sebagai rujukan tentang Larangan Beraktivitas Berjualan di Badan Jalan dan Trotoar. Keyakinan saya bahwa kehadiran pedagang kakilima didasarkan pada jumlah pencari kerja lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang tersedia disektor formal. Maka sektor informal khususnya pedagang kakilima merupakan penyelesaian terhadap persoalan ini. Di samping adanya orang-orang yang memang sulit dapat tertampung pada sektor formal karena tingkat pendidikan yang tidak memenuhi kualifiksai pekerjaan formal dan juga terbatasnya pekerjaan di
7
sektor formal. Menurut Clifford Geerz pasar tradisional merupakan suatu lembaga tradisional dan suatu cara hidup, suatu bentuk umum kegiatan perdagangan yang mencakup semua segi kehidupan masyarkat disamping merupakan suatu alam kebudayaan masyarakat yang hampir-hampir saja merupakan suatu kebulatan yang lengkap (M. Tri Panca, 2011:25). Penataan yang dilakukan para pengambil kebijakan pada umumnya menggunakan beberapa cara. Pertama, melakukan penggusuran tanpa harus menyediakan tempat sebagai pengganti agar tetap berjualan. Dengan demikian ini sudah semestinya pihak pemerintah akan keluar sebagai pemenangnya, walaupun di atas penderitaan para pedagang kakilima. Kedua, ada juga dengan menggunakan cara merelokasi ke tempat lain yang telah disediakan itu bukan tempat yang strategis, sehingga kemunkinan besar akan mendapat penolakan dari para pedagang kakilima. Memang merupakan problem tersendiri bagi pemerintah kota untuk menyediakan lahan yang strategis usahanya para pedagang kakilima karena terbatasnya lahan tersedia. Dua cara tersebut bukanlah merupakan program yang populer, karena disamping prosesnya cenderung represif dan arogan yang juga tidak mau mendengarkan keluh kesah para pedagang kakilima. Hal ini biasanya didasari adanya anggapan bahwa pedagang kakilima merupakan “penyakit” yang harus dihilangkan. Anggapan demikian ini tidaklah keliru, karena disatu pihak di kota-kota besar seperti kota Medan, lahan ditempat strategis bukan saja mahal harganya, juga sangat terbatas. Ketiga, yaitu perenovasian tempat dimana hal itu ditunggu serta
8
diharapkan oleh para pedagang kakilima atas kebijakan pemerintah kota adalah penataan tempat yang sama, hanya saja dibuatkan fasilitas yang seragam, bersih teratur atau rapi, dan tidak menganggu lalu lintas walaupun terkadang dalam ukuran yang sedikit lebih kecil. Dalam hal kasus seperti ini, merupakan masalah yang sangat kompleks karena akan menghadapi sisi dilematis. Pertentangan antara kepentingan hidup dan kepentingan pemerintahan akan berbenturan kuat diantara keduanya. Melihat kondisi seperti ini, maka seharusnya semua tindakan pemerintah didasarkan atas kepentingan masyarakat.Geertz (1973) mengatakan, antropologi tampaknya harus berada di tengah-tengah karena posisinya tidak melulu pemekiran teori, melainkan lapangan empiris yang langsung bersumber dari warga masyarakat yang nyata. 1.2.
Tinjauan Pustaka
1.2.1. Pengertian Sektor Informal Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart (1991) dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada di pasar tenaga yang terorganisasi. 7 Agar tetap dapat bertahan hidup ( survive ), para migran yang tinggal dikota melakukan aktifitas-aktifitas informal (baik yang sah dan tidak sah) sebagai sumber mata pencaharian mereka. Hal tersebut dilakukan dengan 7
Eko Digdoyo, “Analisa Sektor Informal di Perkotaan,”www.lemlit.uhamka.ac.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=36&judul=anali sa-usaha-sektor-informal-di- perkotaan.html ( akses 10 April 2015)
9
pertimbangan daripada menjadi pengangguran yang tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan tetapi rendah dan tidak tetap.
Beberapa jenis “pekerjaan” yang termasuk di dalam sektor informal, salah satunya adalah pedagang kaki lima, seperti warung nasi, penjual rokok, penjual koran dan majalah, penjual makanan kecil dan minuman, dan lain-lainnya. Mereka dapat dijumpai di pinggir-pinggir jalan di pusat-pusat kota yang ramai akan pengunjung. Mereka menyediakan barang-barang kebutuhan bagi golongan ekonomi menengah ke bawah dengan harga yang dijangkau oleh golongan tersebut.Tetapi, tidak jarang mereka yang berasal dari golongan ekonomi atas juga ikut menyerbu sektor informal.
Dengan demikian, sektor informal memiliki peranan penting dalam memberikan sumbangan bagi pembangunan perkotaan, karena sektor informal mampu menyerap tenaga kerja (terutama masyarakat kelas bawah) yang cukup signifikan
sehingga
mengurangi
problem
pengangguran
diperkotaan
dan
meningkatkan penghasilan kaum miskin diperkotaan. Selain itu, sektor informal memberikan kontribusi bagi pendapatan pemerintahan kota.
Pertumbuhan sektor informal yang cukup pesat tanpa ada penanganan yang baik dapat mengakibatkan ketidakaturan tata kota. Sebagaimana kita ketahui, banyak pedagang kaki lima yang menjalankan aktifitasnya ditempat-tempat yang seharusnya
10
menjadi Public Space 8. Trotoar yang digunakan untuk berjualan dapat mengganggu para pejalan kaki, seringkali kehadiran pedagang kaki lima tersebut mengganggu arus lalu lintas karena para konsumen pengguna jasa memarkirkan kendaraannya dipinggir jalan. Ketidakteraturan tersebut mengakibatkan Public Space kelihatan kumuh sehingga tidak nyaman lagi untuk bersantai ataupun berkomunikasi.
Untuk mengatasi masalah sektor informal, diperlukan ketegasan dari pemerintah kota. Selama ini, pemerintah hanya melakukan “penertiban” dalam mengatasi masalah sektor informal. Namun hal tersebut terbukti tidak efektif, karena setelah para pedagang kaki lima tersebut ditertibkan maka beberapa hari kemudian mereka akan kembali ketempat semula untuk berjualan. Selain itu, ada kecenderungan tempat yang digunakan untuk berjualan tersebut diperjualbelikan, padahal
mereka
berjualan
dilokasi
Public Space
yang merupakan
milik
pemerintah.Hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan melanggar hukum.
1.2.2. Hubungan Kebijakan dengan Kekuasaan
Seperti diketahui selama ini, studi kebijakan kebanyakan menerima input dari ilmu politik, administrasi publik, kebijakan sosial, kajian organisasi, hubungan internasional dan sebagainya. Antropologi sendiri baru belakangan ini diakui oleh
8
Public Space merupakan tempat umum dimana masyarakat bisa bersantai, berkomunikasi, dan menikmati pemandangan kota. Tempat umum tersebut bisa berupa taman, trotoar, halte bus, dan lainlain
11
banyak penulis memberi input terhadap kajian kebijakan. 9Selama ini, walaupun de facto antropologi kebijakan telah ada, tapi identitasnya sebagai antropologi kebijakan tidak begitu jelas (lacking a clear identity); malahan sering disebut dengan sesuatu yang lain, atau tidak langsung disebut dengan antropologi kebijakan. 10
Fikarwin Zuska (2005) mengatakan “bahwa kebijakan (policy) itu sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari pada isu kekuasaan. Dalam hal ini kebijakan dapat diartikan dengan cara bagaimana pemerintah memainkan kekuasaan melalui kebijakan-kebijakan. Kalau kita melihat kebijakan maka seringkali dikaitkan dengan pemerintah sebagai alat atau instrument.Padahal kita ketahui bersama bahwa pemerintah memainkan kekuasaannya yang terdapat di dalam relasi-relasi antara pemerintah dan individu-individu (Fikarwin, 2005).
“Michael Hardt dan A. Negri (2004) dalam bukunya yang berjudul War and Democracy in the Age of Empire, menyebutkan bahwa resistensi memiliki bentuk yang berbeda-beda sepanjang sejarah dan hal ini terjadi secara garis besar karena adanya perubahan didalam masyarakat. Secara spesifik, perubahan bentukresistensi ini konvergen dengan perubahan dalam struktur buruh dan bentuk organisasi produksi masyarakat, karena pada dasarnya struktur buruh dan bentukorganisasi produksi akan membentuk komposisi masyarakat dan resistensi munculdari masyarakat sendiri. Bagaimana struktur buruh dan bentuk organisasi produksimembentuk komposisi masyarakat dapat dipahami secara sederhana melaluikelas-kelas sosial didalam masyarakat yang sering kali dikategorikan dengan kelasatas, kelas menengah dan kelas bawah berdasarkan tingkat
9
Fikarwin Zuska, “Penghampiran Antropolgi atas Kebijakan dan Kekuasaan (Berefleksi dari Kebijakan Otonomi Daerah),” Jurnal Antropologi Sosial Budaya, No. 3 (Desember, 2005), hal .1 10 Fikarwin Zuska, “Penghampiran Antropolgi atas Kebijakan dan Kekuasaan (Berefleksi dari Kebijakan Otonomi Daerah),” Jurnal Antropologi Sosial Budaya, No. 3 (Desember, 2005), hal .1
12
perekonomiannya,secara implisit menjelaskan struktur organisasi produksimasyarakat.”
posisinya
dalam
1.2.3. Pedagang Kaki Lima 1.2.3.1. Pengertian Pedagang Kaki Lima Fenomena meningkatnya perpindahan penduduk dari desa ke kota atau yang lebih dikenal dengan urbanisasi terjadi karena masing-masing kota mempunyai daya tarik tersendiri bagi para migran. Menurut Effendi (1992, dalam Novita, 2014: 18) Urbanisasi merupakan suatu fenomena yang wajar dalam proses pembangunan ekonomi. Keadaan itu cenderung memunculkan masalah tenaga kerja, baik pengangguran maupun setengah pengangguran di desa disertai dengan meluasnya kegiatan sektor informal di kota. Keterbatasan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh para urban/pendatang menyebabkan mereka lebih memilih pada jenis kegiatan usaha yang tidak terlalu menuntut pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Pilihan mereka jatuh pada sektor informal yaitu pedagang kaki lima atau sebagai pedagang asongan. Menurut McGee dan Yeung (2007, dalam Novita, 2014 :18-19), pedagang kaki lima atau pedagang kaki lima mempunyai pengertian yang sama dengan ”hawkers”, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menjajakan barang dan jasa untuk dijual di tempat yang merupakan ruang untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Oleh karena tidak tersedianya ruang informal kota bagi
13
pedagang kaki lima, maka pedagang kaki lima menggunakan ruang publik, seperti badan jalan, trotoar, taman kota, di atas saluran drainase, kawasan tepi sungai untuk melakukan aktivitasnya. Penggunaan ruang publik tersebut biasanya terjadi di tempat-tempat strategis seperti diantara aktivitas formal kota. Dalam pandangan Rachbini (1991), para pedagang kaki lima (PKL) yang menjajakan barang dagangannya diberbagai sudut kota sesungguhnya adalah kelompok masyarakat yang tergolong marjinal dan tidak berdaya. Dikatakan marjinal sebab mereka rata-rata tersisih dari arus kehidupan kota dan bahkan ditelikung oleh kemajuan kota itu sendiri. Dikatakan tidak berdaya, karena mereka biasanya tidak terjangkau dan tidak terlindungi oleh hukum, posisi tawar (bargaining position) mereka lemah dan acapkali menjadi obyek penertiban dan penataan kota yang tak jarang bersikap represif (Novita, 2014: 18-19). Istilah pedagang kaki lima berasal dari jaman pemerintahan Rafles Gubernur jenderal Kolonial belanda yaitu dari kata five feet yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar lima kaki. Ruang tersebut digunakan untuk kegiatan penjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan pedagang kaki lima (Widjajanti, 2000: 26). Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sektor informal yang tumbuh dalam perubahan struktur perkotaan baik dari segi ekonomi dan sosial. Oleh karenanya dalam pembahasan mengenai pedagang kaki lima tidak akan terpisah dari pembahasan sektor informal. Konsep sektor informal lahir pada tahun 1971 yang dipelopori oleh Keith Hart berdasarkan penelitiannya di Ghana. Kemudian konsep itu
14
diterapkan dalam sebuah laporan oleh tim ILO tahun 1972 dalam usaha mencari pemecahan masalah tenaga kerja di Kenya. Menurut Ahmad (2002:73) sektor informal disebut sebagai kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal (kecil-kecilan) yang memperoleh beberapa ciri seperti kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, tempat tidak tetap berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, lingkungan kecil atau keluarga serta tidak mengenal perbankan, pembukuan maupun perkreditan. Berdasarkan pengertian tersebut, peneliti berpendapat bahwa pedagang kaki lima adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, yaitu melayani kebutuhan barang-barang atau makanan yang dikonsumsi langsung oleh konsumen, yang dilakukan cenderung berpindah-pindah dengan kemampuan modal yang kecil/terbatas, dalam melakukan usaha tersebut menggunakan peralatan sederhana dan memiliki lokasi di tempat-tempat umum (terutama di atas trotoar atau sebagian badan jalan), dengan tidak mempunyai legalitas formal. 1.2.3.2. Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima Menurut Mc. Gee dan Yeung (1977, dalam Novita, 2014:21-22), jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan dimana pedagang tersebut beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman,
15
barang kelontong, pakaian, dan lain-lain. Adapun jenis dagangan yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok utama , yaitu: 1. Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk didalamnyamakanan mentah, seperti daging, buah-buahan, dan sayuran. 2. Makanan yang siap saji, seperti nasi dan lauk pauknya dan jugaminuman. 3. Barang bukan makanan, mulai dari tekstil, hingga kartu paket internet. 4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang tambal ban, stiker, dan mobil mencari sewa. 1.2.3.3. Bentuk Sarana Perdagangan dari Pedagang Kaki Lima Bentuk sarana perdagangan yang dipergunakan oleh para PKL dalam menjalankan aktivitasnya sangat bervariasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mc. Gee dan Yeung (1977, dalam Novita, 2014: 23-24) di kota-kota di Asia Tenggara diketahui bahwa pada umumnya bentuk sarana tersebut sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah atau dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual. Adapun bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh PKL. Menurut Novita ( 2014), adalah sebagai berikut: 1. Gerobak/kereta dorong, bentuk sarana ini terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu gerobak/kereta dorong tanpa atap dan gerobak/kereta dorong yang beratap untuk melindungi barang dagangan dari pengaruh cuaca. Bentuk ini dapat dikategorikan dalam bentuk aktivitas PKL yang permanen (static) atau semi
16
permanen (semi static), dan umumnya dijumpai pada PKL yang berjualan makanan, minuman, dan rokok. 2. Pikulan/keranjang, bentuk sarana perdagangan ini digunakan oleh PKL keliling (mobile
hawkers) atau semi permanen (semi static), yang sering
dijumpai pada PKL yang berjualan jenis barang dan minuman. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat. 3. Warung semi permanen, terdiri dari beberapa gerobak/kereta dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan meja. Bagian atap dan sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung yang terbuat dari kain plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus air. Berdasarkan sarana usaha tersebut, PKL ini dapat dikategorikan pedagang permanen (static) yang umumnya untuk jenis dagangan makanan dan minuman. 4. Kios, bentuk sarana PKL ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah bilik semi permanen, yang mana pedagang yang bersangkutan juga tinggal di tempat tersebut. PKL ini dapat dikategorikan sebagai pedagang menetap (static). 5. Jongko/meja, sarana berdagang yang menggunakan meja jongko dan beratap, sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap. 6. Gelaran/alas, PKL menggunakan alas berupa tikar, kain atau lainnya untuk menjajakan dagangannya. Berdasarkan sarana tersebut, pedagang ini dapat
17
dikategorikan dalam aktivitas semi permanen (semistatic). Umumnya dapat dijumpai pada PKL yang berjualan barang kelontong dan makanan.
1.2.4. Resistensi 1.2.4.1. Pengertian Resistensi Resistensi berarti perlawanan. Resistensi (perlawanan) sebenarnya merupakan tindakan dilakukan oleh masyarakat lemah yang berada pada struktur bawah terhadap pihak kuat yang berada pada struktur atas/penguasa. Hubungan di antara satu pihak yang lemah (masyarakat) dan pihak yang lain yang kuat (penguasa) menurut Bernard dan Spencer (2005, dalam Novita, 2014: 22) sesungguhnya berada pada suatu hubungan kekuasaan yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebih atas atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri terhadap kelas-kelas atasan ini. Konsep resistensi yang dipakai Scoot (2003) adalah resistensi sehari-hari (every day forms of resistance), yaitu perjuangan yang biasa-biasa saja, namun terjadi terusmenerus. Kebanyakan resistensi dalam bentuk ini tidak sampai pada taraf pembangkangan terang-terangan secara kolektif. Senjata yang biasa digunakan oleh kelompok orang-orang yang tidak berdaya antara lain mengambil makanan, menipu, berpura-pura tidak tahu, mengumpat dibelakang, sabotase dan lainnya. Novita, (2014) berpendapat bahwa kaum miskin melakukan resistensi bukan karena keinginan untuk membuat kerusuhan, tetapi karena keterbatasan sarana alternatif yang mampu
18
menyuarakan pandangan dan tekanan mereka terhadap perubahan. Mengingat hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, pihak lemah yang berada alternatif yang mampu menyuarakan pandangan dan tekanan mereka terhadap perubahan. Mengingat hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, pihak lemah yang berada pada struktur bahwa berusaha menyeimbangkan hubungan mereka melalui resistensi agar tidak terlalu tertekan/tertindas. Bentu-kbentuk resistensinya tersebut termanifestasi berdasarkan tujuan mereka melakukan aksi. Dalam berbagai literatur, disebutkan bahwa bentuk tipikal reisistensi yang sering dilakukan oleh masyarakat pedesaan dan dalam kaitanyya dengan pembangunan infrastruktur dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama resistensinya tertutup (simbolis/ideologis) seperti gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat, serta penarikan kembali rasa hormat terhadap penguasa. Menurut Scott (2003: 302) bentuk resistensi ini muncul karena masyarakat pedagang kaki lima tidak berprestasi mengubah sistem dominasi, tetapi hanya untuk menolak sistem yang berlaku yang bersifat eksploitatif dan tidak adil. Tujuan bentuk resistensi tertutup ini menurut Bloch (dalam Novita 2014: 23) adalah untuk mengurangi eksploitasi atas diri mereka. Kedua, semi-terbuka seperti protes sosial dan demonstrasi mengajukan klaimkepada pihak yang berwenang. Scott (2003: 303) mengatakan, bentuk resistensi ini diwujudkan untuk menghindari kerugian
yang lebih besar yang dapat menimpa dirinya. Ketiga,
resistensi terbuka (sungguhan) merupakan bentuk resistensi yang terorganisir,
19
sistematis dan berprinsip. Menurut Scott (2003: 306), resistensi terbuka ini mempunyai dampakdampak yang revolusioner. Tujuannya adalah berusaha meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Manifestasi dari bentuk resistensi ini adalah digunakannya cara-cara kekerasan (violent) seperti pemberontakan. Dengan demikian, resistensi merupakan konsep yang sangat luas, walaupun demikian pada dasarnya ingin menjelaskan terjadinya perlawanan yang dilakukan sub altern atau mereka yang tertindas, karena ketidakadilan dan sebagainya. Resistensi juga dapat dilihat sebagai materialisasi atau perwujudan yang paling aktual dari hasrat
untuk
menolak
dominasi
pengetahuan
atau
kekuasaan
(Hujanikajenong,2006:176). 1.2.4.2. Bentuk Resistensi Menurut James Scott (199, dalam M. Tri, 2014: 28-29) dalam studinya weapons of the week: Everyday Form of peasant Resistance tentang resistensi petani di Malaysia. Menurutnya selama ini telah banyak bermunculan literatur mengenai bentuk-bentuk resistensi yang di pakai petani.Terlebih pada bentuk perlawanan diantara kelompok sosial dalam civil society. Berbeda dengan sebelumnya, scott mencoba mengobservasi serta mendeskripsikan tentang merasakan serta tingkahlaku masyarakat miskin di perkampungan Malaysia yang menjadi sebuah kerangka sosial kehidupan mereka dalam melakukan kegiatan perlawanan. Scott membuatkan 3 level perbedaan atas resistensi:
20
a.
Ketika tingkat ekonomi makro dan proses perpolitikan diberikan kepada petani namun hal itu jauh dari kerangka sosial yang diharapkan dari para petani.
b.
Intervensi pemerintah yang kurang melakukan observasi terhadap norma dalam kehidupan masyarakat sekitar, dan yang terakhir.
c.
Terdiri dari peristiwa lokal dan kondisi perasaan serta pengalaman dari masing-masing individu. 11 Scott mendokumentasikan kehidupan sehari-hari warga dan sejarah mereka,
dan menunjukkan bagaimana mereka melakukan perlawanan dari campur tangan negara dan agen perusahaan ekonomi.Bentuk-bentuk perlawanan mereka yaitu teknik rendah diri (low-profile techniques), sebagian bersembunyi dan menghindar, mengidentifikasikan dengan menyeret kaki mereka (foot-draging evasions) dan pasif, dari pada penolakan terbuka atau perlawanan terbuka (open rejection or struggle). 12 Meski menurut Scott bentuk-bentuk perlawan tersebut kurang efektif, tetapi karena ada satu alasan bagi mereka melakukannya yaitu mereka tidak ingin tergabung kedalam pola produk kapitalis dan terjebak pada relasi kelas.
Terjadinya Kasus Bentrokan mewarnai penertiban pedagang kakilima (K-5) di Jalan Gatot Subroto, mulai persimpangan Jalan Nibung Raya sampai persimpangan Jalan Iskandar Muda Kamis 20 Maret 2015. Tim gabungan yang dipimpin Kasatpol 11
John Martinussent, Sociaty, State and Market : A Guide to competing theories of development, hal 316 12 John Martinussent, Sociaty, State and Market : A Guide to competing theories of development, hal 317
21
PP Kota Medan M Sofian sempat adu jotos dengan sejumlah pedagang yang berusaha mempertahankan dagangannya agar tidak diangkut. 13Terjadinya kasus pemblokiran jalan yang dilakukan pedagang Pusat Pasar Sambu kawasan perempatan Jl SutomoH.M Yamin dan Jl Perintis Kemerdekaan, Senin 6 April 2015.Aksi ini merupakan bentuk protes mereka terkait kebijakan Pemerintah Kota Medan, yang memindahkan aktivitas perdagangan di pasar tradisional di Sambu ke Pasar Induk Tuntungan. 14
Analisa (20 Maret 2015) melansir ucapan Kasatpol PP Kota Medan yang mengatakan penertiban ini dilakukan dalam rangka mengembalikan fungsi kawasan itu sebagai lokasi parkir kenderaan.
“Akibat kehadiran para pedagang kaki lima, tempat itu sulit untuk dilalui kenderaan dan rumah maupun tempat usaha warga pun tertutup. “Sebelum penertiban ini, kita telah melakukan sosialisasi agar tidak berjualan di tempat itu.Selain sosialisasi Pak Wali juga telah menawarkan relokasi di Jalan Kota Baru III.Mereka tinggal berjualan, sebab seluruh fasilitas telah disediakan.pihaknya tidak akan mentolerir jika para pedagang kembali berjualan di kawasan tersebut. “Saya minta itu tidak dilakukan para pedagang lagi, sebab tempat itu akan dijadikan lokasi parkir.Apabila ini dilanggar, maka kita akan kembali melakukan penertiban.” 15 Disamping itu, kasus Puluhan massa pedagang Jalan Akik Sukaramai berunjukrasa di depan Kantor DPRD Kota Medan, Rabu 8 April 2015. Mereka berorasi menolak rencana penggusuran mereka dari jalan tersebut. Tribun Medan
13“Diwarnai 14
Bentrokan, Pedagang K-5 Jalan Gatot Subroto Ditertibkan”, Analisa, 20 Maret 2015.
“Tak Terima Dipindahkan, Pedagang Sambu Blokir Jalan,”Tribun Medan , 6 April 2015 hal 2.
15
“Diwarnai Bentrokan, Pedagang K-5 Jalan Gatot Subroto Ditertibkan”, Analisa, 20 Maret 2015. Hal 1.
22
melansir surat pernyataan yang mereka bagikan, para pedagang menyatakan tak akan mau direlokasi dari jalan tersebut:
"Kebijakan pemerintah, baik eksekutif dan legislatif, yang mengatasnamakan pembangunan seringkali kontraproduktif dengan kenyataan di lapangan.Begitu pula rencana pemerintah yang ingin menggusur Pasar Akik," ujar Koordinator Aksi, Abdi Rahman Sihombing."Wali kota dan DPRD Kota Medan tidak pernah mendengarkan sedikitpun aspirasi pedagang. Hanya mendengar pihak yang sama sekali tidak punya kepentingan di Pajak Akik." Alasan yang disampaikan Pemko Medan, bahwa pedagang di Pasar Akik menjadi biang masalah atas merosotnya omzet pedagang Pasar Sukaramai, kata Abdi, merupakan tudingan kambing hitam. "Padahal yang terjadi adalah kesalahan PD Pasar mengelola Pasar Sukaramai yang tidak memikirkan kelayakan berjualan, tanpa melibatkan pedagang dalam menetapkan tata kelola yang baik," 16 Common Sense yang tercipta di masyarakat yaitu perlawanan selalu di kaitkan dengan bentrokan fisik, ini tidak terlepas dari peran media yang melihat konflik pedagang selalu dari sisi bentrokan terbuka fisik 17. Bagi James Scott justru strategi perlawanan yang seharusnya menarik untuk dilihat dan dikaji ialah everydayforms of resistance yang terdiri dari kumpulan pola perilaku sehari-hari dari para pedagang untuk melakukan perlawanan 18.
Analisa resistensi sendiri terhadap suatu fenomena banyak melihat hal-hal yang ada dalam keseharian masyarakat baik berupa kisah-kisah, tema pembicaraan,
16
“Pedagang di Jalan Akik Tolak Relokasi,”Tribun Medan , 8 April 2015 hal 2.
17
M. Tri Panca W, “Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta Bekasi Barat (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah , Jakarta, 2011), hal 7. 18 Marzani Anwar , Adaptasi dan resistansi (Jakarta:Panamadani, 2006) hal 150.
23
umpatan, serta puji-pujian dan prilaku lainnya sehingga resistensi menjadi gayung bersambut dalam keilmuan sosial. 19
Dalam khazanah antropologi, benih-benih kritik internal atau refleksi yang dapat dilihat sebagai upaya resistensi telah muncul terhadap arus besar keilmuan antropologi saat itu. 20 Pedagang kakilima merupakan salah satu bagian pekerjaan di sektor informal yang sangat penting khususnya di daerah perkotaan di negara-negara berkembang. Bahkan dianggap sebagian kalangan sebagai katup penyelamat (safety valve) krisis keuangan dan finansial yang dialami bangsa indonesia sejak tahun 1998.
Ketika kondisi dalam satu tempat atau dalam sekelompok masyarakat hukum formal dan hukum non formal berdampingan maka kondisi tersebut dapat menimbulkan sebuah arena sosial.Dimana dalam arena Sosial tersebut ada aktor-aktor yang terlibat dan menjalankan peranan khusus dalam kondisi tersebut.Penelitian Sally Folk Moore 21 dalam menjelaskan kewajiban antara sesama secara hukum dan non hukum dalam industri pakaian gaun mahal mengatakan ada aktor-aktor sebagai pelaku dalam menjalankan aturan yang berlaku. Antropologi hukum berpegang pada anggapan bahwa manusia hidup bermasyarakat pasti ada hukum, jadi baik di zaman dahulu hingga sekarang hukum
19
Yusran Darmawan, “Reasistensi dalam Kajian Antropologi,” artikel diakses pada 8 April 2015 http://www.timur-angin.com/2009/08/resistensi-dalam-kajian-antropologi.html 20 M. Tri Panca W, “Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta Bekasi Barat (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah , Jakarta, 2011), hal 28. 21 Sally Fallk Moore, 1993, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi Otonom sebagai Suatu Topik Studi yang Tepat” dalam T.O. Ihromi (editor) antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
24
selalu ada dalam masyarakat. Hukum tersebut mengikuti pola kehidupan manusia bermasyarakat, baik ia berbentuk tertulis ataupun tidak tertulis (hukum adat). Tidak ada manusia hidup tanpa budaya, tidak ada manusia tanpa kepentingan, dan juga tidak ada manusia tanpa hukum (aturan). 22
Kakilima menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1991), adalah pedagang yang menjual barang dagangannya di pinggir jalan atau di dalam usahanya menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau dipindahkan serta memempergunakan bagian jalan atau trotoar, tempat-tempat yang tidak diperuntukkan bagi tempat untuk berusaha atau tempat lain yang bukan miliknya. Pedagang kakilima adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga kaki “Gerobak”.
Tetapi saat ini istilah Pedagang kaki lima juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya. Istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial belanda. Sebab pada waktu itu Peraturan Pemerintah menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan kaki adalah lima kaki atau sekitar 1,5 meter. Namun dalam kenyataannya, ruas jalan yang seharusnya dipergunakan untuk pejalan kaki ternyata
22
Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum. PT Citra Aditya Bakti, Bandung 1992
25
dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Kalau dulu sebutannya pedagang emperan, lama kelamaan berubah menjadi pedagang kakilima.
Karakteristik Pedagang kakilima sama seperti pekerja-pekerja sektor informal lainnya, yakni modal kecil, keterlibatan anggota keluarga/kerabat, waktu kerja yang tak teratur serta tidak adanya pencatatan yang jelas mengenai keluar masuknya keuangan. Salah satu informan yang bernama Bambang (54 tahun) PKL penjual bakso mengatakan:
“Pertamakali aku jualan ini modalnya cuma limaratus ribu, sekarang ini penghasilanku bisa sampai dua juta sebulan bersih. Sedangkan waktu jualan ya gak mesti, kalau capek ya istirahat dulu, tapi biasanya yang kerja gantikan aku ya keluarga, kalau gak istri, anak-anak ya ponakan. Kalau soal keluar masuknya uang ya gak sampai dicatat secara teliti.Paling-paling berapa dapetnya hari ini, berapa perlunya untuk belanja bahan, ya gitu aja.” 23 Berdasarkan keterangan pak Bambang tersebut tampak bahwa bekerja sebagai pedagang kakilima memang tidak membutuhkan modal yang besar, di samping itu juga tidak perlu pendidikan serta keterampilan yang khusus, karena istrinya yang lulus SMP saja sudah bisa menjalankan usahanya. 1.3.
Rumusan Masalah Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah perlawanan pedagang
kakilima terhadap peraturan Wali Kota Medan Nomor 9 Tahun 2009 tentang Larangan Beraktivitas Berjualan di Badan Jalan. Berdasarkan uraian latar belakang
23
Wawancara Pribadi dengan Bambang, Medan, 8 April 2015.
26
masalah yang di kemukakan, maka yang manjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah apabentuk-bentuk resistensi pedagang kakilima terhadap penggusuran dan relokasi? 1.4.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
untukMengetahui bentuk-bentuk resistensi pedagang kakilima terhadappenggusuran dan relokasi. 1.5.
Manfaat Penelitian Dengan penelitian yang dilakukan ini, mampu memberikan manfaat yang
antara lain adalah: 1.
Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya mengenai faktor dan bentuk resistensi pedagang kaki lima (PKL) yang berdagang di jalan Dr.Mansyur Kota Medan.
2.
Sebagai bahan penelitian dalam penyusunan tugas akhir (skripsi) sebagai syarat gelar S1 (Strata Satu) pada Departemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3.
Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Medan dalam melakukan penertiban kepada para pedagang kaki lima.
4.
Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam bidang yang sama dengan pendekatan dan ruang lingkup yang berbeda.
27
1.6.
Metode Penelitian
1.6.1. Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, Suparlan menyatakan bahwa penelitian kualitatif sama dengan penelitan etnografi yang pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial yang berkaitan dengan itu dan berbagai benda kebudayaan dari sesuatu masyarakat, yang berdasarkan bahan-bahan keterangan tersebut dibuat deskripsi mengenai kebudayaan tersebut. Dalam deskripsi mengenai kebudayaan tersebut tercakup deskripsi mengenai makna dari benda-benda, tindakan-tindakan dan peristiwa yang ada dalam kehidupan sosial mereka, menurut kaca mata mereka yang menjadi pelaku-pelakunya. Bungin (2008) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian studi kasus yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada dalam masyarakat menjadi objek penelitian yang berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu. Selain untuk mendiskripsikan dampak eksplorasi penambangan emas terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kluckholn mengelompokkan unsur kebudayaan ke dalam tujuh unsur, yaitu.
1.
Sistem peralatan & perlengkapan hidup.
28
2.
Sistem mata pencaharian.
3.
Sistem kemasyarakatan.
4.
Bahasa.
5.
Kesenian.
6.
Sistem pengetahuan.
7.
Sistem religi.
1.6.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini di lakukan di Kota Medan, salah satu Kota metropolitan di Indonesia yang merupkan ibukota Propinsi Sumatera Utara. Jalan Dr.Mansyur tepatnya di sepanjang jalan di depan Kampus Universitas Sumatera Utara. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa pedagang kakilima ditempat tersebut masih saja berjualan, padahal pihak pemerintah sudah menghimbau untuk tidak berjualan di sepanjang trotoar jalan Dr.Mansyur. 1.6.3. Teknik Pengumpulan Data 1.6.3.1.Studi Kepustakaan Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara menelaah dan mengkaji berbagai literature-literatur yang berkenaan dengan judul penelitian dan masalah penelitian dengan fokus “strategi adaptif”. Studi mencakup buku-buku dan hasil penelitian yang relevan dengan masalah penelitian, serta pencarian situs-situs internet yang berkaitan dengan masalah ini.
29
1.6.3.2.Pengamatan (Observation) Pengamatan 24 ini dilakukan untuk melihat atau mengamati pristiwa-pristiwa dan terlibat langsung dengan kondisi-kondisi yang terjadi pada saat melakukan penelitian, seperti mengidentifikasi penggusuran dan relokasi Pemerintah Kota Medan terhadap pedagang kaki lima. Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, peneliti akan menggunakan dua teknik observasi, yaitu: •
Observasi Tanpa berpartisipasi Dalam pengamatan ini si peneliti datang langsung ke pedagang kakilima guna
untuk melihat aktifitas yang dilakukan. Dengan observasi yang seperti ini peneliti akan memperoleh data yang dibutuhkan untuk menjawab masalah yang ada. •
Observasi berpartisipasi Dalam hal ini si peneliti terlibat langsung dalam kegiatan pedagang kakilima
maupun pihak Satpol PP, si peneliti harus mengenal informan dengan baik. Dengan begitu si penulis akan membina rapport (hubungan yang baik). Dengan rapport tersebut si penulis mengharapkan keterbukaan dan tangan keterbukaan antara si penulis dan pedagang kakilima dapat memenuhi data yang diperlukan. 25
24
Pengamatan (observasi) adalah suatu tindakan untuk meneliti suatu gejala (tindakan ataupun peristiwa) dengan cara mengamatinya. Peneliti akan menggunakan observasi guna memperoleh gambaran penuh tentang segala tindakan, percakapan, tingkah laku dan semua hal yang akan di tangkap panca indra terhap apa saja yang dilakukan masyarakat yang diteliti dilapangan. 25 J. Vredenbregt. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia 1984
30
1.6.3.3.Wawancara Mendalam (depth interview) Wawancara ini dimaksudkan untuk dapat menggali informasi dari informan dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan kebutuhan dari penelitian ini, wawancara dalam penelitian kali ini dimulai dari menjelaskan apa alasan seorang informan menerima atau menolak penggusuran, lalu kemudian dari jawaban informan inilah pertanyaan-pertanyaan berikutnya muncul. Dalam penelitian ini peneliti sengaja tidak menggunakan pedoman wawancara (depth interview) dengan maksud untuk menciptakan suasana yang santai dan nyaman menghindari ketegangan informan pada saat melakukan wawancara atau dalam memberikan informasiinformasi berkenaan data-data yang diperlukan dalam penelitian. 1.6.3.4. Pengalaman Singkat Penelitian Di penghujung tahun 2014, seorang insan antropologi program sarjana antropologi Universitas Sumatera Utara mengayunkan langkah menemui pedagang kaki lima, menyusuri jalan Dr.Mansyur depan Kampus USU Medan, Sumatera Utara. Apa gerangan yang mendorong saya melakukan penelitian dijalan yang saya lewati menuju Kampus? Rasa ingin tahu yang besar tentang fenomena resistensi pedagang kaki lima. Oleh karena itu, fenomena resistensi ini cukup menarik di tinjau dari persfektif antropologi karena terkait relasi antara aparat dan masyarakat yang dalam hal ini adalah pedagang kaki lima yang berdagang di sepanjang jalan Dr.Mansyur. Problematika pedagang kaki lima ini akan terus menjadi pekerjaan rumah pemerintah dari waktu ke waktu sehingga kalau kita lihat dalam satu atau dua bulan
31
saja media masa tidak bisa bersih dari isu pedagang kaki lima. Pertanyaannya kenapa bisa terjadi?Bentuk resistensi apakah yang mereka lakukan?Itulah sekelimut pertanyaan yang muncul di benak saya sebagai calon antopolog. Dalam hal ini pedagang kaki lima merupakan persoalan yang saling terkait dengan persoalan sosial. Sebelum melakukan penelitian, saya sudah sangat sering melintasi dan mengunjugi jalan Dr.Mansyur beberapa kali, pada saat itu hanya melintasi jalan saja untuk pergi dan pulang ke kampus. Suasana di jalan tersebut sangatlah ramai karena merupakan jalan utama dari fasilitas umum seperti terminal, stasiun, rumah sakit, sekolahan, pasar tradisional yang tidak pernah sepi dari para pedagang kaki lima. Saya tidak pernah terpikir untuk melakukan penelitian dijalan Dr.Mansyur, akan tetapi ketika saya lebih memperhatikan keadaan sepanjang jalan, saya mulai menyadari bahwa dibalik aktivitas pedagang kaki lima ada resistensi yang terjadi dari pihak lawan maupun yang dilawan. Akhirnya saya pun berniat untuk meneliti pedagang kaki lima dijalan Dr. Mansyur agar saya dapat mengetahui lebih dalam bentuk-bentuk resistensi pedagang kaki lima. Saya tidak memungkiri fakta bahwa kunjungan kesaksian kalinya ke jalan Dr.Mansyur merupakan suatu “gerbang” memasuki ranah kehidupan komunitas pedagang kaki lima yang memiliki kebudayaan “berbeda” dari saya. Dalam hal ini jelaslah bahwa hal itu membantu saya dalam mengumpulkan data tentang keahlian baru yang dimiliki dan di kembangkan pedagang kaki lima dalam mempertahankan daganganya. Itulah yang menjadi tujuan utama kedatangan saya. Saat itu, berbagai
32
pertanyaan yang muncul dan terdorong oleh keingintahuan tentang fenomena resistensi pedagang kaki lima dalam mempertahankan dagangannya dan sekaligus bentuk-bentuk resistensi melawan aparat. Saat sekitar pukul 14.00 WIB keadaan jalan sudah ramai. Para para pedagang kaki lima sudah sibuk dengan kegiatan masing- masing. Awalnya penulis ragu untuk melakukan observasi. Penulis memperoleh informasi mengenai ruang lingkup kehidupan melalui informan. Sambil mengamati, penulis duduk di depan RS USU. Peneliti mengamati secara seksama di sepanjang jalan terdapat pedagang-pedagang kaki lima yang melayani para pembeli. Sekitar satu jam setelah penulis duduk di depan areal RS USU saya berniat untuk kembali. Awalnya penulis ragu mengenai kebenaran resistensi pedagang kaki lima di lokasi tersebut. Untuk memastikan kebenaran itu akhirnya penulis terjun ke lapangan dan menemui pedagang kaki lima. Pukul 17.00 WIB penulis duduk di kursi pembeli salah satu pedagang somay, sambil menikmati sepiring somay dan teh botol sosro. 15 menit setelah menikmati sepiring somay penulis memberanikan diri untuk bertanya kepada pak basri yang merupakan informan pertama saya. Setelah berkenalan penulis bertanya perihal kedatangan ke jalan Dr.Mansyur. Wawancara pertama penulis adalah wawancara dengan pak basri yang merupakan salah satu pedagang kaki lima. Pak Basri merupakan salah satu informan pangkal sekaligus informan kunci. Menurut penulis, pak Basri mengaetahui secara
33
luas mengenai aktivitas para pedagang kaki lima di jalan Dr. Mansyur khususnya depan kampus USU Medan, selain itu, beliau sudah terlibat lama dengan lamanya menjadi pedagang kaki lima. Informasi-informasi yang penulis ingin dapatkan dari pak Basri adalah seputar pengalaman beliau menjadi pedagang kaki lima. Setelah berbincang-bincang dengan Pak Basri kemudian menceritakan maksud kedatangan di tempat itu. Beliau mengangguk paham dengan penjelasan penulis bahkan beliau bersedia untuk membantu penulis apabila di perlukan. Untuk mempermudah saya berkomunikasi dengan beliau saya pun memberanikan diri untuk meminta no handphone beliau. Tanpa ragu bapak tersebut pun memberanikan diri untuk memberikan no handphonenya. Dengan datangnya beberapa pembeli sayapun mengakhiri pembicaraan agar Pak Basri bisa melayani para pembeli yang datang. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.11 WIB penulis pun meminta ijin untuk kembali. Keesokan hari penulis kemudian melanjutkan pengamatan.Di sepanjang jalan yang sudah terdapat gerobag, becak sepeda motor, dan mobil-mobil penjual peket yang memarkirkan di sepanjang jalan Dr.Mansyur. Bahkan sudah ada pengunjung yang menempati kursi pembeli pedagang es sambil menikmati es buah yang sudah disajikan. Setelah mengamati keadaan tersebut penulis kemudian memberikan pesan bahwasanya penulis akan datang menemui Pak Basri, tetapi pesan sms penulis tidak dibalas. Penulis mencoba datang, di kedatangan saya pak Basri sangat menyambut baik karena beliau tersenyum ketika saya hadir di hadapan beliau.
34
“Jam 10.30 pagi, ketika tahun 2013, mendorong gerobag baksonya Pagi itu, seperti biasa dia sedang memulai membuka dagangannya di depan fakultas kedokteran bersebelahan dengan fakultas psikologi Jalan Dr.Mansyur. Pingir jalan tempat biasa dia mendasarkan dagangannya. Waktu itu belum banyak orang di sana. Ketika dia sedang beranjak meninggalkan gerobag untuk mengambil air, tiba-tiba serombongan petugas operasi Satpol PP datang.Tanpa sepatah kata pun gerobag yang penuh makanan itu didorong ke arah mobil operasi. “Saya hanya bisa diam, tak mampu mempertahankan, selain memegang ember ini, “katanya. Teman-teman lain yang kebetulan belum mendirikan dagangannya juga tampak hanya membisu menyaksikan operasi tersebut. “Waktu yang saya pikirkan adalah bagaimana menarik kembali gerobak yang telah diangkut petugas tersebut. Karena di kantong saya tak ada uang sepeser pun untuk menebus gerobag tersebut, “ ujarnya. Sayapun memberanikan diri untuk menarik gerobag yang akan dibawa kearah mobil operasi, karena saya tarik dengan sekuat tenaga petugas satpol pp pun melapaskan gerobag tersebut, padahal operasi sebelumnya tidak ada yang seperti itu, ujarnya.” Setelah mengamati keadaan jalan Dr.Mansyur dan banyak cerita dari pak Basri kemudian penulis berkesimpulan, bahwa memang benar sebuah fenomena sosial yang ada dan membuat penulis semakin memantapkan untuk mengangkat topik penelitian tersebut. Penulis kemudian memutuskan untuk pulang kerumah dan menyusun laporan singkat mengenai hasil pengamatan dan wawancara pada hari itu.
35
Observasi yang dilakukan penulis hanya dengan seorang diri karena dilakukan pada siang dan sore hari. Keesokan harinya penulispun melanjutkan penelitian bersama seorang teman bernama aulia rahman, penulis dapat mengamati sepanjang jalan secara seksama.Pada waktu itu, observasi dilakukan oleh penulis pada malam senin yang di mulai pada pukul 18.45 hingga jam 22.00 malam. Sebelumnya saya berjalan dari pintu IV, disana hanya terlihat beberapa pedagng saja dan tidak sebanyak pedagang-pedagang yang berada di pintu I, II, dan III.Sesampai pintu III USU saya mengunjungi salah satu pedagang, dan teman saya kembali memesan makanan. Selama menikmati makanan di depan pintu III, penulis memperhatikan sepanjang jalan pintu III sampai pintu II USU. Sepanjang jalan tersebut penulis melihat para pengunjung yang menikmat makanan dan minuman. Penulis bertanya dalam hati, tidak ada sesuatu aneh, pedagang seperti biasa menjajakan dagangannya seperti pedangang yang lain. Penulis tetap mengamati secara seksama di sepanjang jalan Dr.Mansyur, lebih tepatnya di pintu II sampai pintu I. Di sepanjang jalan tersebut saya melihat terdapat pedagang kaki lima yang melayani para pembelinya. Sudah menunjukkan pukul 21.00 teman saya mengajak saya untuk kembali ke rumah. “Ya sebentar lagi, kita wawancari bapak pedagang ini, jawab saya dengan tenang”. Penulis pun memberanikan diri untuk bertanya kepada pedagang tersebut. Saya bertanya perihal maksud kedatangannya. Berdasarkan keterangan beliau saya memperoleh informasi
36
pada dasarnya pedagang kaki lima mempunyai sejumlah strategi untuk menyiasati petugas. “Saya telah menjadi penjual siomay sejak tahun 2005. Dulu saya penjual somay keliling dari kampung ke kampung,” ujar putra yang mengaku berasal dari tapanuli sumatera utara. Dia terkenal dengan nama putra, dia sudah 10 tahun menempati lokasi tersebut. Dia mempunyai gerobag somay
yang ditempatkan
dijalan Dr.Mansyur depan kampus USU Medan. “Oleh sesama pedagang di sini saya termasuk yang berani untuk melawan agar para dagangannya tidak di angkut. Biasanya saya ya, langsung saya tolak untuk di usir ”, katanya menjelaskan bahwa dia sudah empat kali terkena operasi pamong praja, tetapi gerobagnya tidak pernah di tahan karena selalu berhasil menghindar dari petugas. Dalam fenomena keberadaan pedagang kaki lima tersebut tentunya merupakan realita saat ini, bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya geliat perekonomian dan juga perkembangan masyarakat di suatu kota/daerah. Di lain pedagang kaki lima tidak membutuhkan pendidikan yang terlalu tinggi. Jika latar belakang pendidikan tidak menjadi persyaratan utama, maka sebenarnya pekerjaan sebagai pedagang kaki lima bisa dilakukan oleh siapa saja. Jika pekerjaan sebagai pedagang kaki lima bisa dilakukan oleh siapa saja, maka para urbanis dari desa yang berlatar belakang petani pun bisa menekuni usaha pedagang kaki lima.
37
Informan pak putra ,sekitar 30 tahun, tidak tamat SMP tetapi berhasil menjadi pedagang kaki lima sejak 2008. Setiap ada aparat satpol pp melakukan operasi penertiban kami harus membayar kepada beberapa oknum satpol pp sebesar 50.000 ribu dan penjual stiker itu 7000/ hari itu deq, makanya barang kami tidak diangkat. Makanya ketika ada penertiban petugas yang datang hanya berdua bahkan sendiri sebagai formalitas untuk menjalankan tugas, dan yang lainnya hanya duduk di mobil patrol, ucapnya. Gambaran dari temuan di lapangan itu, menyiratkan tentang fenomenafenomena empirik yang pada dasarnya akan selalu menjadi salah satu bentuk tindakan sosial setiap pedagang kaki lima. Mereka akan terus mempertahankan usahanya sebagai pedagang kaki lima dan mempertahankan lokasi usaha, karena pekerjaan dan lokasi tersebut dianggap berkait dalam mengembangkan keuntungan secara ekonomi. Apalagi, selain memberi keuntungan tindakan sosial setiap pedagang kaki lima mempertahankan usahanya juga karena usaha tersebut merupakan salah satu usaha yang tidak permanen. Jika pedagang kaki lima merupakan usaha yang tidak permanen, maka sewaktu-waktu pekerjaan itu jika tidak menguntungkan secara ekonomis akan mudah ditinggalkan atau berganti usaha lain. Akan tetapi, jika pekerjaan itu menguntungan secara ekonomis, maka sejumlah resiko akan dihadapi demi mengembangkan usaha tersebut. Jika sejumlah resiko akan dihadapi demi
38
mengembangkan usaha tersebut, maka dibutuhkan sejumlah strategi bagi para pedagang kaki lima dalam mengatasi resiko. Pengalaman informan pak basri , 49 tahun, tidak tamat SMP tetapi sukses menjadi pedagang kaki lima mendukung argumentasi tersebut. Tiga orang anaknya (satu laki-laki dan dua perempuan) justru telah menampatkan jenjang tingkat tinggi . Seorang anak laki-laki tamatan Psikologi UMA Medan, seorang anak perempuan Sedang kuliah di UMA Medan, dan seorang anak perempua masih sekolah smp.) Lebih dari itu, berusaha sebagai pedagang kaki lima biasanya tidak membutuhkan modal yang terlalu besar. Jika mengembangkan usaha pedagang kaki lima tidak membutuhkan modal besar, maka dengan kemampuan modal keuangan sendiri atau bantuan keluarga dapat mendorong seseorang menjadi pedagang kaki lima. Jika seseorang membuka usaha sebagai pedagang kaki lima hanya dengan modal sendiri, maka keberadaan pedagang kaki lima sebenarnya keberadaan pedagang kaki lima bisa disikapi sebagai jenis usaha yang mandiri. Jika seseorang membuka usaha sebagai pedagang kaki lima dengan modal bantuan keluarga, maka resiko kerugian serta pengembangan usaha akan ditanggung bersama anggota keluarga tersebut. Jika resiko kerugian serta pengembangan usaha akan ditanggung bersama anggota keluarga, maka masing-masing anggota keluarga yang menekuni pekerjaan pedagang kaki lima akan berusaha mengembangkan strategi bersama. Informan iyan misalnya, menempati lokasi di dalam kantin camat tuntungan, padahal sebelumnya dia telah berusaha lebih dari sepuluh tahun membuka usahanya
39
di jalan Dr.Mansyur tersebut dan sukses mengembangkan usahanya. Dia tidak bisa mengelak ketika pihak Pemko Medan mengajurkan sejumlah pedagang kaki lima yang ada dijalan Dr Mansyur, untuk mencari tempat yang lain, dan tidak boleh berjualan di sepanjang jalan Dr. Mansyur depan kamus USU Medan. Sayangnya, ketika mencoba menempati lokasi yang baru tetapi omset penjualannya menurun, maka informan iyan pun mencoba siasat untuk mengatasi permasalahan yang dia hadapi.Gerobag somay yang semula sudah “dikandangkan” di rumahnya, kini kembali dioperasikan kembali di tempat yang lama dijalan Dr.Mansyur. “Memang sering petugas datang tetapi ya ada musim-musimnya, ya terkadang hampir setiap hari, ya terkadang juga sampai berbulan-bulan juga tidak ada petugas yang datang seperti sekarang ini,” katanya. “Kalau begini terus kayaknya, berat deh untuk bisa bertahan ,” ujar informan mulai mengeluarkan keluhannya, “lihat tuh udah jam segini, dagangan saya masih belum habis separo.” Terlihat kantong plastik berisi kerupuk warna-warni yang baru berkurang seperempatnya saja. Tahu, ketimun, tomat, kol, terlihat masih memadati lemari kaca tempat penyimpanan bahan somay dan gado-gado. Dulu sepanjang jalan Dr.Mansyur dipenuhi pedagang kaki lima tetapi sekarang malah penjual pakat data yang berdatangan di sini. “Tetapi, kita harus realistis.Coba bayangin kalau pendapatan kita tidak ada.Dagangan yang biasa kita jadikan untuk mencari nafkah, apakah kita nggak
40
coba cari jalan keluar?” tanyanya, “posisi saya kagak enak.Pemerintah hanya bisa menyalahkan. Terkadang ketika petugas datang saya hanya pura-pura pergi saja meskipun ada di antara teman-teman yang tidak bersedia untuk pergi ya itu urusan merekalah. Kenyataannya, setelah petugas pergi para pedagang kaki lima pun kembali menjajakan dagangannya. Seperti yang saya lakukan sekarang ini”. Untuk itulah yang ditempuh oleh sejumlah pedagang kaki lima yang kini tetap menempati trotoar sepanjang jalan Dr.Mansyur depan kampus USU tersebut, mencoba membuka dagangannya kembali. “Kita berusaha untuk terus berjualan dan iuran wajib setiap hari terus kami bayarkan meskipun pendapatan kita
di sini
sungguh sangat berkurang. Tetapi kita kan butuh duit agar tetap usaha ini tetap untung, “ katanya. Maka, dengan cara yang ditempuh sekarang yakni kembali membuka daganganya di jalan Dr.Mansyur dan harus menanggung resiko yang ada. (informan justru bisa menutup kekurangan pendapatan yang diterima selama ini). “Biarin lah dagangannya saya disini, lagian disini saya tetap untung walau pun pelanggan sudah berkurang. Kalau harus pindah banyak pungutan, dan pembeli pun sangat sedikit tidak seperti disini”. “Strategi kami ya pergi ketika satpol pp datang dan kembali lagi kalau sudah pergi.Kalau saya juga seperti itu. Kami tidak jauh perginya hanya sekitar sini saja,
41
ya terkadang masuk aja ke kampus USU seperti ke depan cikal, LPPM dan masjid Ad-Dakwah. Berdasarkan wawancara dan observasi di lapangan ternyata membuktikan bahwa para pedagang kaki lima secara tidak sadar telah memerankan kekuasannya pula. Dengan mempertahankan lokasi usaha, mendasarkan dagangannya di sela-sela tempat pejalan kaki, serta membatasi kehadiran pedagang kaki lima yang lain, adalah bagian dari ekspresi kekuasaan yang sedang mereka mainkan. Seperti juga yang terjadi pada lokasi depan Fakultas Kedokteran Pintu I USU, Pintu II, Pintu III, dan Pintu IV yang biasanya dijadikan lalu-lalang Mahasiswa, justru dipenuhi para pedagang kaki lima di siang sampai malam hari. Kendati sejumlah orang justru merasa tertolong dengan kehadiran para pedagang kaki lima yang menjajakan makanan, karena sembari menunggu Angkot ke arah rumah mereka bisa mengisi perut. Namun, tak jarang sejumlah orang juga merasa terganggu lantaran ruang publik berupa jalan yang dilaluinya lebih banyak dipenuhi pedangang kaki lima. Dan, atas nama ruang publik pula, para pedagang kaki lima mengklaim mempunyai hak untuk menggunakan kekuasaannya berjualan di sana. Contoh pengalaman informan basri, dan juga pedagang kaki lima yang lain dapat dijadikan bukti kongkrit gambaran fenomena tersebut. Bahkan gambaran yang lebih nyata dapat diperhatikan dari siasat-siasat yang dimainkan oleh informan basri, penjual somay.Ketika lokasi usahanya harus diusir, dia tidak ikut-ikutan dengan temannya yang bersedia pergi dari jalan Dr.Mansyur. Dia justru hanya memindahkan
42
dagangannya ke seberang jalan depan Cikal USU dengan harapan tidak meninggalkan pelanggan yang telah dia kuasai selama ini. Kendati, harus bersusah paya membawa daganganya, dia ternyata masih memainkan kekuasaannya sebagai pedagang yang sudah lama berjualan di Jalan Dr.Mansyur tersebut. Jalan Dr.Mansyur. Jalan ini dibagi dua arah (dari arah jalan setia budi) sebelah barat dan Jalan sebelah timur (dari jamin ginting). Pernah hampir sekitar dua minggu di setiap harinya petugas terus melakukan penertiban, tetapi tidak berlangsung lama petugas yang biasanya datang sekarang tidak. Pada saat ada petugas yang datang para pedagang pun pergi.jalan tersebut terlihat lengang dari sejumlah pedagang kaki lima. Dialah iyan Yang tergusur dari Jalan Dr.Mansyur memberanikan diri untuk berjualan kembali di sekitar jalan tersebut, meski ada rasa takut dia terus berjualan meski ada petugas. Ya biasalah namanya cari nafkah apapun di lakukan, kalau ada petugas pergi dan ke esokan kembali lagi. Saya sengaja memberanikan diri membuka usaha di sini lagi, meskipun saya tahu tempat ini dilarang,” kata iyan Hubungan penulis dengan Pak Basri, Iyan, dan informan yang lain tidak hanya sampai di situ. Terjalin hubungan yang baik antara penulis dengan beliau.Setiap kali penelitian penulis selalu menyempatkan diri berkunjung ketempat berjualan Pak Basri tersebut. Kami akhirnya dapat berbincang-bincang tanpa ada rasa takut lagi. Penulis kini bisa menggali informasi yang lebih dalam lagi dari Pak Basri.
43
Wawancara dengan informan lain penulis lakukan dengan teknik yang berbeda. Penulis berperan layaknya orang biasa yang tidak memiliki kepentingan. Panduan wawancara yang telah dibuat sebelumnya telah dikemas oleh penulis sehingga tampak seperti tidak sedang melakukan wawancara. Dengan teknik yang demikian akhirnya penulis dapat memperoleh data dengan akurat. Untuk merekam hasil pembicaraan terlebih dahulu penulis menyiapkan alat perekam seperti handphone. Sesekali penulis mengetik informasi yang penting di hanphone yang lain sehingga tampak seperti sedang menulis pesan. 1.6. 4. Analisis Data Analisis data pada penelitian kualitatif dimulai dari pengumpulan data sampai kepada penarikan kesimpulan penelitian.Oleh karena itu peneliti merupakan instrument utama dalam penelitian. Data yang telah dikumpulkan setiap hari selama penelitian akan dibuatkan laporan lapangan, untuk mengungkapkan data apa yang masih perlu dicari, pertanyaan apa yang belum dijawab, metode apa yang harus digunakan untuk mendapatkan informasi baru, dan kesalahan apa yang perlu diperbaiki, serta data yang mana yang tidak diperlukan.Dengan melakukan penganalisaan data tersebut diharapkan akan ditemukan kesimpulan penelitian secara sistematis dan objektif mengenai pandangan serta perilaku resistensi masyarakat pedagang kaki lima di jalan Dr Mansyur. Untuk mengetahui resistensi pedagang kaki lima di jalan Dr.Mansyur ini, maka tidak bisa hanya dengan menganalisis pedagang kaki lima saja. Untuk itu
44
penulis perlu menyertakan penyebab perilaku-perilaku resistensi pedagang kaki limayang sesungguhnya. Sehingga dapat diketahui berbagai realitas yang ada dengan lengkap.Hal ini juga dibutuhkan untuk mengetahui respon-respon lingkungan masyarakat sekitar jalan Dr.Mansyur yang sesuai terhadap para pelaku-pelaku resistensi.
45