BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri
pertekstilan
merupakan
menghasilkan devisa bagi negara.
industri
yang
cukup
banyak
Tahun 2003 devisa ekspor yang berhasil
dikumpulkan melalui sektor pertekstilan mencapai US $ 7,05 Milyar, atau sekitar 11,55 persen dari total perolehan devisa ekspor (Tabel 1).
Jumlah tersebut
menempati urutan nomor 2 dalam perolehan devisa ekspor setelah minyak dan gas bumi yang mencapai US $ 13,49 Milyar atau sekitar 22,1 persen.
Tabel 1. Perbandingan Perolehan Devisa Ekspor Dari Beberapa Kelompok Industri (dalam juta US $) Persentase terhadap Jenis Komoditi
2002
2003
Industri Pengolahan
Non Migas
Total Ekspor
Tekstil dan Pakaian Jadi
6.890
7.052
17,26
14,83
11,55
Elektronika
6.689
6.110
14,95
12,85
10,01
Kayu Olahan Besi, Baja, Mesin dan Otomotif Pulp dan Kertas
4.433
4.381
10,72
9,21
7,18
3.247
3.760
9,20
7,91
6,16
2.910
3.248
7,95
6,83
5,32
Kulit dan Alas Kaki
2.804
2.799
6,85
5,89
4,59
Kimia
1.785
2.050
5,02
4,31
3,36
Minyak Sawit
1.561
2.090
5,11
4,39
3,42
Karet Olahan
1.419
1.399
3,42
2,94
2,29
Makanan dan Minuman
1.050
1.139
2,79
2,39
1,87
Industri Lain
5.921
6.842
16,74
14,39
11,21
Total Industri Pengolahan
38.709
40.869
100,00
85,95
66,96
Non Minyak dan Gas Bumi
45.046
47.549
100,00
77,91
Total Ekspor
57.159
61.035
100,00
Sumber: diolah dari BPS, 2004
Industri pertekstilan, terutama pakaian jadi, merupakan kelompok industri yang bersifat padat karya sehingga menyerap banyak tenaga kerja.
Jumlah tenaga kerja yang dapat diserap sektor pertekstilan pada tahun 2003 tercatat sebanyak 1,2 juta orang. Meski demikian, kelangkaan bahan baku terutama kapas di dalam negeri menjadikan Indonesia sebagai importir kapas terbesar ketiga di dunia setelah China dan Turki (Rittgers, 2004). Kebutuhan bahan baku industri tekstil secara umum menghabiskan devisa rata-rata sebesar US $ 2 Milyar per tahun. Kebijakan pemerintah dalam industri pertekstilan berusaha mendorong industri pertekstilan ke arah industri yang berbasis lokal. Industri pertekstilan harus mampu memanfaatkan sumber daya lokal dengan sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan atas bahan baku impor. Kekuatan Indonesia dalam bahan baku tekstil lokal ada pada serat buatan seperti polyester dan rayon. Sedangkan serat alam yang potensial untuk dikembangkan adalah ramie dan sutera (Soewandi, 2004). Industri
pertekstilan
berbasis
sutera
sampai
saat
ini
belum
dikembangkan secara optimal. Peran sutera dalam mendukung kegiatan ekspor tekstil dan pakaian jadi masih kurang dari satu persen (Dirjen ILMEA, 2003). Data dari Badan Pusat Statistik (2004) mendukung pernyataan tersebut (Tabel 2). Dari tahun 2001 - 2003, nilai ekspor tekstil sutera hanya berkisar antara 0,26 – 0,45 persen dari total nilai ekspor tekstil. Peran terbesar dari nilai ekspor tekstil sutera tersebut diperoleh dari produk jadi yang persentasinya lebih dari 95 persen (Tabel 3).
Tabel 2. Perbandingan Nilai Ekspor Tekstil dan Ekspor Tekstil Sutera Tahun Ekspor Tekstil Ekspor Tekstil Sutera Persentasi Ekspor (US $ Juta) (US $ Juta) Tekstil Sutera (%) 2001 7.678 22,9 0,30 2002 6.890 30,9 0,45 2003 7.052 18,0 0,26 Sumber: diolah dari BPS, 2004
2
Tabel 3. Perbandingan Setiap Sub Sektor Dalam Kegiatan Ekspor Tekstil Sutera (Dalam US$ Juta) Tahun Serat Benang Kain Pakaian Jadi 2001 0,13 0,00 0,22 22,58 2002 0,19 0,21 0,17 30,39 2003 0,29 0,27 0,23 17,26 Sumber: diolah dari BPS, 2004 Gatra (2004) menyayangkan bahwa peluang permintaan produk sutera di pasar internasional yang terus meningkat belum dapat ditangkap oleh pelaku industri persuteraan di Indonesia. Kenyataannya, untuk memenuhi kebutuhan industri sutera dalam negeri pun, Indonesia masih harus mengimpor sutera untuk kebutuhan bahan baku industri. Data BPS (2004) menunjukkan bahwa
nilai impor produk sutera
Indonesia dalam kurun waktu 2001 – 2003 berkisar antara US $ 2 – 3 juta. Dari jumlah tersebut sebegian besar (49%) digunakan untuk mengimpor kain, disusul benang (35%) dan kokon serta serat sutera (13%). Impor sutera dalam bentuk pakaian jadi hanya sebesar 3 persen dari keseluruhan impor tekstil sutera (Tabel 4).
Tabel 4. Perbandingan Setiap Sub Sektor Dalam Kegiatan Impor Tekstil Sutera (Dalam US$ Juta) Tahun Serat Benang Kain Pakaian Jadi 2001 0,43 0,52 1,47 0,11 2002 0,41 1,36 1,21 0,03 2003 0,18 0,82 1,01 0,09 Sumber: diolah dari BPS, 2004
1.2. Perumusan Masalah Sutera merupakan serat tekstil yang spesifik dan memiliki nilai ekonomis tinggi.
Secara tradisional, budidaya sutera telah mulai dikembangkan di
Indonesia sejak abad ke-10. Budidaya sutera modern mulai dikembangkan pada abad ke-19 (Moerdoko, 2004).
3
Industri persuteraan merupakan industri yang sangat potensial untuk dikembangkan
karena
mempunyai
berbagai
keunggulan,
antara
lain
(http://www.bi.go.id): o
Budidaya sutera telah sejak lama dikenal dan dikelola oleh petani di Indonesia.
o
Sutera merupakan salah satu bahan baku yang digunakan dalam industri tekstil dan pakaian jadi.
Sedangkan industri tekstil dan pakaian jadi
merupakan industri yang berorientasi ekspor. o
Memiliki keterkaitan yang erat antar berbagai sektor. Pengembangan sutera memiliki dampak paling tidak kepada dua sektor yang vertikal dari sisi onfarm dan off-farm, yaitu sektor perhutanan rakyat melalui perhutanan murbei dan pemeliharaan ulat sutera dan sektor industri yang mengolah kokon sutera menjadi barang jadi untuk siap dikonsumsi.
o
Menyerap banyak tenaga kerja.
Karena melibatkan dua sektor secara
vertikal, pengembangan sutera memiliki dampak penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Hingga saat ini sekitar 70 persen kebutuhan industri terhadap kokon dan benang sutera masih impor.
Hal tersebut akibat produsen belum mampu
menghasilkan kokon dan benang sutera dengan kualitas yang sesuai dengan preferensi industri (Kunaefi, 2003a). Di samping itu harganya pun lebih tinggi dibanding sutera impor (Kunaefi, 2003b dan Supriyo, 2003). Muncul ironi bahwa Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan persuteraan, namun petani sutera belum memperoleh hasil yang memadai dari kegiatan budidaya tersebut.
Industri tekstil dalam negeri
membutuhkan cukup banyak sutera sebagai salah satu bahan baku produksinya. Namun ternyata sutera untuk kebutuhan industri lebih banyak dipenuhi oleh impor.
4
Kunaefi (2003b) menyebutkan bahwa dalam 10 tahun terakhir produksi kokon meningkat sebesar 15 – 20 persen per tahun.
Peningkatan tersebut
sebagai hasil dari semakin banyaknya petani yang terjun dalam usaha budidaya sutera (Tabel 5). Produktifitas secara total masih rendah yaitu hanya sebesar 12 persen 1 . Data dari Ditjen RLPS menunjukkan bahwa kebutuhan benang sutera nasional pada tahun 2002 mencapai 450 ton.
Angka tersebut memang
mengalami penurunan kembali pada tahun 2003 menjadi 200 ton.
Tabel 5. Produksi Kokon dan Benang Sutera Indonesia Produksi Produksi Jumlah Produksi Kokon Benang Petani (KK) kain (ton) Tahun (ton) (ton) 2001 748.691 110,36 12.564 180 2002 690.961 90,84 12.950 400 2003 550.000 89,78 12.325 196 Sumber: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2004) dan API (2004)
Tambunan, Siregar, Rachmina dan Kuntjoro (2004) menemukan bahwa budidaya sutera kurang mampu berkompetisi karena kurang efisien dan tidak memenuhi skala usaha ekonomi.
Namun industri antara pengolah sutera
(pemintalan dan pertenunan) mampu mendapatkan hasil yang menguntungkan, sehingga pembinaan yang intesif sangat diperlukan untuk peningkatan kapasitas dan produktifitas. Sebagaimana sistem agribisnis lain, sistem agribisnis sutera pun memiliki keterkaitan erat antara sektor hulu dan hilir. Produktifitas yang rendah di sektor hulu memberikan dampak kekurangan bahan baku di sektor hilir yang kemudian dipenuhi dari impor. Di satu sisi, kegiatan impor memang mutlak diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Di sisi lain, impor dapat
1
Dalam makalah lain disebutkan oleh Moerdoko (2003) bahwa produktifitas persuteraan Indonesia sebesar 13%
5
menjadi ancaman bagi pengembangan budidaya sutera lokal.
Hal dilematis
seperti ini seharusnya ditanggapi secara bijak. Masalah yang terjadi dalam kasus budidaya sutera adalah ketersediaan pasar yang cukup luas belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh produsen sutera lokal. Kunaefi (2003a) menyebutkan bahwa hal tersebut terjadi akibat adanya kesenjangan antara produk yang dihasilkan produsen dengan preferensi konsumen, yang dalam hal ini adalah industri tekstil.
Sehingga timbul
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: -
Jenis sutera apa sebenarnya yang lebih didibutuhkan oleh industri tekstil untuk memenuhi kebutuhan konsumen saat ini?
-
Atribut apa yang lebih menjadi perhatian industri tekstil dalam memenuhi kebutuhan bahan baku sutera.
Apakah harga, kualitas, promosi,
kelancaran sistem distribusi, kemampuan untuk menyediakan produk dalam jumlah besar, jaminan kontinuitas produk, citra produk
ataukah
hubungan interpersonal dengan supplier? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut maka perlu dianalisa bagaimana preferensi industri tekstil terhadap bahan baku sutera.
Apabila
preferensi industri tekstil sebagai konsumen sutera telah diketahui maka strategi pengembangan sutera lokal dapat lebih mudah untuk ditentukan.
6
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari strategi pengembangan
persuteraan di Indonesia. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1)
Menganalisis perilaku (behaviour) industri batik dan pakaian jadi yang menggunakan bahan baku kain sutera terhadap produk sutera.
2)
Menganalisis faktor-faktor apa yang mempengaruhi industri batik dan pakaian jadi dalam menggunakan bahan baku sutera serta mempelajari bagaimana perilaku faktor-faktor tersebut dalam pengambilan keputusan konsumen industri
3)
Merumuskan strategi yang dapat dilakukan berdasarkan hasil yang diperoleh pada butir-butir di atas agar sutera lokal dapat bersaing dengan sutera impor.
7
UNTUK SELENGKAPNYA TERSEDIA DI PERPUSTAKAAN MB IPB
8