1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Populasi orang berusia lanjut di dunia mengalami pertumbuhan yang cepat saat ini dan diprediksikan akan terus meningkat di masa yang akan datang. Hingga tahun 2020, populasi dunia diperkirakan mencapai lebih dari 1 milyar orang berumur 60 tahun atau lebih, dan sebagian besar di negara sedang berkembang (Beers, 2005). Berdasarkan proyeksi penduduk pada tahun 2010, di Indonesia terdapat 23.992.552 penduduk usia lanjut. Diperkirakan pada tahun 2020, jumlah penduduk usia lanjut ini sebesar 11,34% (Baskoro dan Konthen, 2008). Pertumbuhan populasi ini merupakan hasil bertambah panjangnya rata-rata harapan hidup manusia dengan terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama yang berkaitan dengan kesehatan atau kedokteran. Namun, bertambahnya rata-rata usia harapan hidup ini juga menghadirkan masalahmasalah baru di bidang kesehatan yang belum pernah dihadapi sebelumnya, yaitu meningkatnya prevalensi penyakit-penyakit degenaratif, seperti penyakit jantung koroner, penyakit paru obstruktif kronis, kanker paru dan lain-lain. Banyak penyakit degeneratif (penyakit akibat penurunan fungsi sruktur jaringan atau organ tubuh seiring proses penuaan) yang muncul sangat berkaitan dengan gaya hidup seseorang, salah satunya adalah perilaku merokok.
1 80
2
Merokok merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas prematur paling penting pada populasi dunia yang seharusnya bisa dicegah. Angka kematian dini ini diperkirakan mencapai 4,8 juta orang setiap tahunnya di seluruh dunia pada tahun 2000 dengan 2,4 juta orang di antaranya terjadi di negara berkembang dan sisanya terjadi di negara-negara maju (Burns, 2005; McPhee dan Pignone, 2007). Angka itu kini meningkat menjadi 5,4 juta kematian setiap tahunnya pada tahun 2006. WHO memperkirakan angka tersebut masih akan terus naik dan mencapai 10 juta kematian per tahun pada tahun 2030 (Jaya, 2009). Data hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perilaku merokok dapat mengurangi angka harapan hidup sampai 8,8 tahun (Streppel, et al., 2007) . Di Indonesia, menurut data hasil laporan Lembaga Demografi Universitas Indonesia, jumlah perokok mencapai 57 juta orang (Barber et al., 2008). Diperkirakan lebih dari separuh dari jumlah itu akan mengalami kematian akibat berbagai macam penyakit yang ditimbulkannya dalam jangka panjang, dengan rata-rata 427.948 kematian per tahun (Barber et al., 2008). Rokok menyebabkan mortalitas secara tidak langsung dengan meningkatkan insiden berbagai macam penyakit degeneratif pada beberapa sistem organ, yaitu sistem pernapasan, sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, sistem muskuloskeletal, kulit, sistem syaraf, dan sistem imun (Burns, 2005; Tyndale dan Sellers, 2005; Hukkanen et al., 2005; McPhee dan Pignone, 2007). Kerusakan pada berbagai macam sistem organ tersebut disebabkan oleh berbagai macam zat toksik, iritan dan radikal bebas yang ada dalam asap rokok. Berbagai zat dalam asap rokok ini dapat mempercepat progresivitas proses penuaan intrinsik melalui
3
akumulasi kerusakan seiring berjalannya waktu dan menimbulkan berbagai macam penyakit atau gangguan terkait proses penuaan, misalnya penyakit jantung koroner, stroke, osteoporosis, kanker, penyakit paru obstruktif, serta mempercepat proses skin aging berupa munculnya garis-garis keriput, dan meningkatnya proses degradasi kolagen. (Burns, 2005; Schroeder et al., 2006; Benowitz dan Fu, 2007) Dari efek rokok pada berbagai sistem organ tersebut, angka mortalitas terbesar adalah akibat penyakit pada sistem kardiovaskular, yaitu sebesar 37%, penyakit kanker sebesar 28% dan akibat penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), yaitu sebesar 26%. Oleh sebab efek destruktif rokok yang sebesar itu, 70-80% perokok mengungkapkan keinginannya untuk berhenti merokok, namun dari angka itu hanya 35% orang yang berusaha untuk berhenti merokok, dan akhirnya hanya 5% yang berhasil (Burns, 2005; Barber et al., 2008). Berbagai kendala juga dihadapi oleh para dokter dalam membantu para perokok untuk berhenti merokok mengingat angka relaps yang tinggi (Rutter, 2006). Peristiwa di atas tidak terlepas dari fakta bahwa perilaku merokok erat kaitannya dengan faktor ketergantungan. Faktor ketergantungan yang dimaksud adalah ketergantungan fisik perokok pada nikotin. Dari sini bisa dikatakan bahwa ketergantungan fisik pada nikotin merupakan faktor determinan seseorang mempertahankan perilaku merokok. Saat merokok, nikotin yang ada pada daun tembakau akan terhisap bersama asap rokok ke dalam alveoli paru, kemudian masuk ke peredaran darah dan mencapai otak sebagai target organ hanya dalam waktu 7 detik (Hukkanen et al., 2005; O‟Brian, 2006). Di dalam otak, nikotin menginduksi pelepasan neurotransmiter-neurotransmiter, terutama dopamin di
4
brain reward system pada sistem limbik. Aktivitas nikotin pada brain reward system ini menimbulkan perilaku apetitif individu terhadap rokok. Namun, seiring dengan meningkatnya durasi paparan nikotin, motivasi apetitif (motivasi mencari atau mendekati stimulus yang menyenangkan) berubah menjadi aversif (motivasi menghindar dari stimulus yang menyakitkan atau tidak menyenangkan) melalui mekanisme negative reinforcement karena adanya proses toleransi, dan dari sini muncul ketergantungan fisik (O‟Brian, 2006). Meskipun mekanisme dasar ketergantungan fisik ini telah diketahui sejak lama, masih banyak faktor lain yang berperan dalam patofisiologi ketergantungan fisik terhadap nikotin belum diketahui atau belum dapat dijelaskan secara pasti, mengingat sifatnya yang multifaktorial. Pada dasarnya, ada dua macam faktor yang mempengaruhi ketergantungan fisik individu terhadap rokok, yaitu faktor lingkungan dan genetik. Faktor lingkungan terdiri dari tingkat pendidikan, pendapatan, pekerjaan, pergaulan dan sebagainya. Dahulu diperkirakan bahwa faktor lingkungan memiliki peran yang jauh lebih penting terhadap munculnya ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin, tetapi menurut hasil penelitian terakhir, faktor genetik memiliki kontribusi sebesar 50-70% (Tyndale dan Sellers, 2005). Pernyataan ini didukung oleh hasil studi pada anak kembar dan keluarga (twin and family studies) yang menunjukkan bahwa kecenderungan untuk munculnya ketergantungan fisik terhadap nikotin oleh karena faktor genetik mencapai angka heritability sebesar 42-80% (Henningfield et al., 2000; Caron et al., 2005; Boardman et al., 2006).
5
Di antara banyak gen kandidat yang berperan atau diduga berperan dalam ketergantungan fisik terhadap nikotin, terdapat gen CYP2A6, yaitu gen yang mengkode enzim sitokrom P450 2a6. Enzim ini bertanggung jawab terhadap 7090% metabolisme nikotin dalam darah menjadi cotinine, dan dengan demikian menghilangkan atau menurunkan efek nikotin untuk memberikan stimulus pada brain reward system (Gullstén 2000; Rao et al., 2000; Hukkanen et al., 2005; Davies dan Soundy, 2009). Beberapa penelitian terakhir telah mengungkap adanya polimorfisme pada gen tersebut yang menghasilkan 37 alel (Hukkanen et al., 2005). Polimorfisme DNA yang dimaksud dapat berupa Single Nucleotide Polymorphism (SNP), Copy Number Polymorphism (CNP) ataupun Insertiondeletion Polymorphism (Nussbaum et al., 2007). Polimorfisme ini memiliki efek berupa menurun, hilang atau justru meningkatkan aktivitas enzim. Jadi, dapat disimpulkan bahwa polimorfisme pada gen CYP2A6 mempengaruhi aktivitas enzim sitokrom P450 2A6 yang akhirnya berpengaruh juga terhadap kadar nikotin dalam darah (Rao et al., 2000; Tyndale dan Sellers, 2005; Hukkanen et al., 2005). Akan tetapi, efek delesi atau inaktivasi gen CYP2A6, yang berarti bahwa tidak adanya enzim sitokrom P450 2a6, secara in vivo dalam hubungannya dengan ketergantungan fisik terhadap nikotin masih kontroversial. Pernyataan mengenai hubungan antara polimorfisme gen CYP2A6 dan perilaku merokok seseorang pertama kali diuraikan oleh Pianezza (1998). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sekelompok orang dengan delesi gen CYP2A6 memiliki risiko untuk menjadi tergantung pada nikotin lebih kecil dibandingkan dengan perokok yang mempunyai gen CYP2A6 normal (wild type). Sebaliknya, beberapa penelitian lain
6
menunjukkan bahwa adanya duplikasi pada gen CYP2A6 meningkatkan aktivitas enzim yang dikodenya sebanyak 1,4 kali normal dan akibatnya, mereka mengkonsumsi rokok lebih banyak dibandingkan perokok dengan gen normal (Rao et al., 2000; Fukami et al., 2007). Penelitian tersebut semakin memperkuat hubungan antara polimorfisme gen CYP2A6 dengan perilaku merokok dan ketergantungan fisik terhadap nikotin. Namun demikian, beberapa penelitian berikutnya terhadap gen yang sama dalam hubungannya dengan perilaku merokok menunjukkan hasil yang negatif (Gullstén, 2000). Demikian juga hasil metaanalisisnya meyimpulkan bahwa masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk mempelajari peran gen tersebut dalam meningkatkan ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin (Munafö et al., 2003). Walaupun hasil penelitian terdahulu masih menunjukkan hasil yang heterogen, secara logis, tidak adanya enzim yang memetabolisme nikotin akan mempertahankan kadar nikotin dalam darah tetap tinggi. Kadar nikotin yang tetap tinggi akan menurunkan gejala-gejala ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin (Yoshida et al., 2002). Sebab kadar nikotin yang tinggi dalam darah akan dapat terus memberikan stimulusnya pada brain reward system, dan menekan munculnya behavioral reinforcement (Munafö et al., 2003). Akan tetapi, bukti akan peran gen CYP2A6 dalam meningkatkan ketergantungan fisik terhadap nikotin ini masih perlu dibuktikan secara ilmiah terutama di Indonesia, sebab jumlah perokok di Indonesia yang besar, frekuensi alel delesi pada gen CYP2A6 cukup tinggi di Asia, yaitu mencapai 20% serta hubungannya secara langsung
7
dengan ketergantungan fisik terhadap nikotin yang diukur dengan kesioner FTND belum pernah diteliti sebelumnya. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: Apakah gen CYP2A6
lebih sering ditemukan pada
kelompok perokok yang memiliki ketergantungan fisik nikotin yang tinggi dibandingkan perokok dengan ketergantungan fisik yang rendah? 1.3.Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini dalah untuk mengetahui peran gen CYP2A6 sebagai faktor risiko ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin. 1.4.Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Ilmiah Dalam bidang akademik dan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang salah satu mekanisme patofisiologi ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin. Sehingga dapat bermanfaat sebagai sumber rujukan penelitian berikutnya berkaitan dengan CYP2A6 dan ketergantungan fisik terhadap nikotin. 1.4.2. Manfaat Aplikatif Dengan diketahuinya peran faktor genetik, dalam hal ini gen CYP2A6, pada ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin maka pada gilirannya pengetahuan ini dapat digunakan sebagai dasar dikembangkannya tata cara penatalaksanaan baru kepada para perokok.
Tata cara yang dimaksud yaitu baik dari segi
penggunaan agen-agen farmakologis baru ataupun dengan penggunaan uji
8
diagnostik baru demi menunjang efektivitas terapi untuk individu dengan ketergantungan fisik terhadap nikotin. Jika efektifitas terapi untuk membantu para perokok berhenti merokok dapat ditingkatan, pada gilirannya diharapkan angka harapan hidupnya akan diharapkan dapat meningkat, dan tentu saja peningkatan angka harapan hidup ini akan diikuti dengan peningkatan kualitas hidup.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aging dan Definisinya Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik seiring usia kronologik, walaupun keduanya tidak tidak selalu berjalan dengan laju yang sama. Aging tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda bagi tiap orang, tergantung dari susunan genetik orang tersebut, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung kesehatan masing-masing individu. Sepanjang sejarah, banyak ilmuwan berusaha mendefinisikan dan mengukur proses aging. Kohn (1997) menyatakan perbedaan antara perkembangan dan aging. Ia mendefinisikan bahwa perkembangan adalah sejumlah proses yang terjadi di awal kehidupan organisme yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional organisme terkait, sedangkan aging adalah sejumlah proses yang tidak memiliki efek atau menurunkan kemampuan fungsional (Fowler, 2003; Arking, 2006). Pada tahun 1982, Frolkis mengungkapkan bahwa aging adalah proses biologis yang berkembang secara alamiah dan menurunkan kemampuan adaptasi organisme berkaitan, meningkatkan risiko kematian, mengurangi rentang hidup dan
menyebabkan
munculnya
kondisi
patologis
sehubungan
dengan
bertambahnya umur. Pada tahun yang sama, Strehler mencoba memformulasikan definisi aging dan memberikan karakteristik fundamental yang harus dimiliki oleh
9
10
proses penuaan sebagai berikut: (1) proses penuaan harus merupakan proses yang merugikan; (2) proses tersebut haruslah progresif, yang berarti bahwa seiring berjalannya waktu, tahap demi tahap proses penuaan terus terjadi; (3) proses penuaan merupakan proses intrinsik dan bukan akibat modifikasi lingkungan semata; (4) proses aging merupakan proses yang universal, yaitu bahwa setiap organisme di dunia ini mengalami proses tersebut (Arking, 2006). Dari berbagai macam definisi dan formula fundamental yang telah disampaikan di atas, dapat diringkas bahwa aging merupakan suatu rentetan proses tergantung waktu dari perubahan struktur dan fungsi yang kumulatif, progresif, intrinsik dan merugikan yang mulai muncul sesudah organisme mencapai usia reproduksi dan terus terjadi hingga mencapai titik kulminasi berupa kematian (Arking, 2006). Pada tingkat molekuler dan genomik, kerusakan yang terjadi akibat proses penuaan tidak berbeda dengan kerusakan yang terjadi akibat proses patologis pada umummnya. Kerusakan yang terjadi akan terakumulasi sepanjang waktu dan bermanifestasi berupa proses aging pada seluler jauh sebelum gejala dan tanda penuaan muncul pada organisme bersangkutan (McCance dan Grey, 2006). 2.2. Teori-teori Penuaan Teori-teori dalam penuaan mencakup perubahan-perubahan pada tingkat genetik, biokimiawi dan fisiologi yang terjadi dalam tubuh organisme seiring bertambahnya waktu. Teori terbaru dari aging dari tingkat seluler hingga molekuler secara umum terbagi menjadi dua latar belakang, yaitu aging adalah program dan aging adalah kebetulan. Teori program berdasarkan pemikiran
11
bahwa sejak konsepsi hingga kematian, perkembangan manusia diperintah oleh jam biologis. Jam ini mengatur waktu yang tepat untuk sejumlah perubahan. Teori kebetulan menyatakan organisme menjadi tua oleh sejumlah kejadian acak. Contohnya kerusakan DNA oleh radikal bebas atau hanya wear and tear dari kehidupan sehari-hari. Dari dua latar belakang tersebut ada empat teori pokok dari aging (Goldman dan Klatz, 2007), yaitu: 1)
Teori “wear and tear” Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan
disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alcohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stress fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel. 2)
Teori neuroendokrin Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.
Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan bertambahnya usia tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh. 3)
Teori Kontrol Genetik Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, dimana kita
dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan
12
mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita hidup. 4)
Teori Radikal Bebas Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi
akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memilkiki elektron yang tidak berpasangan.
Radikal
bebas
memiliki
sifat
reaktivitas
tinggi,
karena
kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada pada molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohudoyo, 2000). Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin , suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2007).
13
2.3. Faktor-faktor yang Mempercepat Proses Penuaan Intrinsik Berbagai faktor yang dapat mempercepat proses penuaan, yaitu : 1) Faktor lingkungan a. Pencemaran lingkungan yang berwujud bahan-bahan polutan dan kimia sebagai hasil pembakaran pabrik, otomotif, dan rumah tangga) akan mempercepat penuaan. b. Pencemaran lingkungan berwujud suara bising. Dari berbagai penelitian ternyata suara bising akan mampu meningkatkan kadar hormon prolaktin dan mampu menyebabkan apoptosis di berbagai jaringan tubuh. c. Kondisi lingkungan hidup kumuh serta kurangnya penyediaan air bersih akan meningkatkan pemakaian energi tubuh untuk meningkatkan kekebalan. d. Pemakaian obat-obat/jamu yang tidak terkontrol pemakaiannnya sehingga menyebabkan turunnya hormon tubuh secara langsung atau tidak langsung melalui mekanisme umpan balik (hormonal feedback mechanism). e. Sinar matahari secara langsung yang dapat mempercepat penuaan kulit dengan hilangnya elastisitas dan rusaknya kolagen kulit (Wibowo, 2003). 2) Faktor diet. Bukti hasil studi-studi terbaru membuktikan bahwa nutrisi dan gaya hidup adalah faktor determinan utama dalam lingkungan karena memiliki peran penting dalam kerusakan genom dan selular yang menjadi penyebab fundamental berkurangnya fungsi dan meningkatnya kecenderungan untuk menjadi sakit (frailty) yang menjadi karakteristik penuaan (Stanner, 2009).
14
3) Faktor genetik Komposisi genetik yang dimiliki seseorang sangat mempengaruhi proses penuaan yang dialaminya sepanjang hidup orang itu. Hasil studi terbaru membuktikan bahwa kontribusi genetik terhadap rentang hidup sesorang adalah sebesar 35%. Selain itu, adanya penyakit-penyakit genetik yang menyebabkan penderitanya mengalami penuaan yang jauh lebih cepat daripada orang normal seperti Down Syndrome, Hutchinson-Gilford’s progeria dan Werner’s syndrome memberikan petunjuk yang kuat adanya peran faktor genetik yang mendasari proses penuaan (Markides, 2007). 4) Faktor psikis Faktor stres psikis mampu mempercepat proses penuaan secara tidak langsung yaitu dengan meningkatkan tekanan darah, kadar gula darah, lipid (terutama VLDL dan LDL), meningkatkan kadar oksidan dalam darah dan menurunkan sistem kekebalan tubuh (McCance et al., 2006). Dalam kondisi yang kronis, semua efek stress psikis ini dapat menjadi akselerator proses penuaan 2.4. Rokok Mempercepat Proses Penuaan Intrinsik Asap rokok di samping banyak sekali mengandung bahan-bahan yang bersifat toksik, terdapat juga zat-zat radikal bebas, di antaranya adalah peroksinitrit, hidrogen peroksida, dan superoksid. Radikal bebas dalam asap rokok akan dapat mempercepat kerusakan seluler akibat stress oksidatif. Produksi radikal bebas dan kerusakan akibat stress oksidatif umum terjadi tiap saat dalam sistem biologis sebagai limbah metabolisme energi dalam sel. Oleh sebab itu, tubuh kita memiliki sistem pertahanan berupa enzim atau substrat yang berfungsi sebagai antioksidan,
15
seperti superoksid dismutase, hidrogen peroksidase, gluthatione, dan lain-lain (Murray, 2006). Keseimbangan antara produksi radikal bebas dan zat antioksidan dalam tubuh dapat bergeser ke arah meningkatnya konsentrasi radikal bebas jika kondisi tubuh kita terpapar oleh berbagai macam substansi dalam lingkungan yang mengandung banyak sekali radikal bebas, dalam hal ini asap rokok. Peran radikal pada asap rokok dalam meningkatkan kerusakan sistem biologis adalah sama dengan peran radikal bebas yang dihasilkan dalam tubuh. Radikal bebas merupakan molekul yang mengandung elektron tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Elektron tidak berpasangan ini membuatnya sangat reaktif. Oleh karena radikal bebas dapat menyerang molekul penting seperti DNA, protein dan lipid, dan oleh karena mereka juga cenderung dapat memperbanyak diri, mereka dapat menciptakan kerusakan yang signifikan. Radikal bebas dapat dibentuk dalam berbagai macam reaksi seperti misalnya fragmentasi, substitusi, oksidasi, addisi, dan reduksi. Oleh karena sifat reaksinya yang acak (random), beberapa produk kimiawi radikal bebas benar-benar asing bagi sel untuk dapat diperbaiki atau digunakan kembali oleh sel melalui proses daur ulang. Contoh dari peristiwa ini adalah ketika 2 protein menjadi berikatan silang (cross-link), mereka dapat menjadi resisten oleh enzim proteolitik dan molekul seperti ini dapat terakumulasi secara progresif dalam sel seperti pigmen penuaan yang dapat meningkat jumlahnya ketika sel dalam tubuh organisme mengalami penuaan. Pigmen penuaan ini jika terakumulasi sampai mencapai kadar yang signifikan akan dapat mengganggu fungsi sel secara umum.
16
Contoh lain kerusakan akibat stress oksidatif adalah oksidasi basa nitrogen guanosin menjadi 8-oxoguanosine, yang tidak lagi membentuk ikatan hidrogen dengan cytosine tapi membentuk ikatan hidrogen dengan adenosine, dengan demikian telah terjadi mutasi dalam DNA. Sama halnya dengan produksi radikal bebas, mutasi DNA hampir terjadi sepanjang waktu, dan mengingat sebagian besar mutasi adalah merugikan sebab ia merusak fungsi gen, akumulasi kerusakan akibat oksidasi seperti ini akan mengarah pada menurunnya fungsi seluler atau bahkan munculnya sel kanker (Hyde, 2009). Radikal bebas juga dapat mengoksidasi berbagai macam protein dalam sel dan mengganggu fungsinya, misalnya ia dapat mengoksidasi apolipoprotein dalam LDL sehingga LDL yang tertimbun dalam dinding sel akan memulai rantai proses pembentukan plak atheroma. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa asap rokok mempercepat proses atherosclerosis yang umumnya terjadi sepanjang proses penuaan. Selain radikal bebas, metabolit nikotin dapat membentuk ikatan pada basa nitrogen DNA dan menyebabkan mutasi (Hyde, 2009).. Kondisi ini memperburuk proses mutasi akibat oksidasi yang sudah ada. Selain melalui radikal bebas, proses penuaan yang dipercepat oleh asap rokok juga diperantarai oleh penurunan fungsi paru akibat kerusakan yang ditimbulkannya. Penuaan yang terjadi pada tingkat organ ini dapat memberikan efek domino terhadap penuaan di organ-organ yang lain, sebab paru merupakan organ yang vital.
17
2.5. Berbagai Macam Penyakit terkait Kebiasaan Merokok Angka kematian dini akbiat merokok diperkirakan mencapai 4,8 juta orang setiap tahunnya di seluruh dunia pada tahun 2000 dengan 2,4 juta orang di antaranya terjadi di negara berkembang dan sisanya terjadi di negara-negara maju (Burns, 2005; McPhee dan Pignone, 2008). Angka itu kini meningkat menjadi 5,4 juta kemtian setiap tahunnya pada tahun 2006. WHO memperkirakan angka tersebut masih akan terus naik dan mencapai 10 juta kematian per tahun pada tahun 2030 (Jaya, 2009). Di Indonesia, menurut data hasil laporan lembaga demografi Universitas Indonesia, jumlah perokok mencapai 57 juta orang. Diperkirakan lebih dari separuh dari jumlah itu akan mengalami kematian akibat berbagai macam penyakit yang ditimbulkannya dalam jangka panjang, dengan rata-rata 427.948 kematian per tahun (Barber et al., 2008). Menurut hasil penelitian terdahulu, perokok mengalami peningkatan risiko terkena penyakit jantung yang fatal sebesar 2 kali lipat dibanding bukan perokok, 10 kali lipat risiko terkena kanker paru, beberapa kali lipat risiko terkena kanker rongga mulut, oesofagus, pankreas, ginjal, kandung kemih, dan servik; 2 sampai 3 kali lipat risiko terserang stroke dan ulkus peptikum; 2 sampai 4 kali lipat risiko fraktur panggul, pergelangan tangan dan vertebra; 4 kali risiko terinfeksi pneumococcus; 2 kali lipat risiko terkena katarak dan 2,5 kali terkena ARMD (Age Related Macular Degeneration). Pada umumnya perokok meninggal 5-8 tahun lebih cepat dibandingkan bukan perokok. Di Amerika Serikat, lebih dari 90% kasus penyakit paru obstruktif kronis terjadi di antara para perokok atau yang pernah merokok (McPhee dan Pignone, 2008).
18
Baik perokok aktif ataupun perokok pasif akan mengalami destruksi komponen elastik dari dinding aorta yang menyebabkan peningkatan risiko terbentuknya aneurisma aorta serta memperparah atherosclerosis pada arteri karotis. Merokok juga dilaporkan meningkatkan risiko penyakit leukemia, kanker prostat dan kolon, kanker payudara pada wanita pos menopause dengan aktivitas enzim N-acetyltransferase yang rendah, osteoporosis dan penyakit Alzheimer. Kanker yang terjadi disebabkan oleh rusaknya tumor supressor gene, yaitu gen P53 yang terkait kebiasaan merokok. Indera penciuman dan perasa perokok umumnya terganggu dan terjadi peningkatan garis kerutan di wajah. Selain banyak penyakit yang telah disebutkan di atas, anak dari seorang perokok memiliki berat badan lahir yang rendah, memiliki risiko menderita retardasi mental, lebih sering terserang infeksi saluran napas dan fungsi paru yang kurang baik, lebih tinggi risikonya menderita infeksi telinga kronis dibandingkan anak bukan perokok (McPhee dan Pignone, 2008). Dengan kenyataan yang demikian, kebiasaan merokok, dapat digolongkan sebagai behavioral biomarker terhadap proses penuaan. Sebab kebiasaan ini mempercepat penurunan fungsi paru yang menjadi salah satu biomarker penuaan itu sendiri. Kebiasaan merokok baik secara langsung maupun tidak langsung memposisikan perokok dalam kondisi yang lebih sensitif terhadap segala macam penyakit yang dikaitkan dengan penuaan. Dengan kata lain, penurunan fungsi berbagai organ yang ditimbulkannya membuat individu memiliki kecenderungan untuk terserang penyakit lebih mudah (Arking, 2006).
19
Menghentikan kebiasaan merokok dapat menurunkan seluruh peningkatan risiko terserang berbagai macam penyakit seperti yang disebutkan di atas walaupun tidak pernah mencapai kondisi yang sama seperti orang yang tidak pernah merokok. Wanita yang berhenti merokok pada umur 35 tahun, rata-rata menambah angka harapan hidupnya sebanyak 3 tahun, sedangkan laki-laki 2 tahun. Penambahan angka harapan hidup ini terus terjadi bahkan pada perokok yang menghentikan kebiasaan merokoknya setelah umur 65 tahun. Penghentian kebiasaan merokok dapat disebut sebagai salah satu tindakan anti aging yang paling sederhana, logis namun tidak mudah untuk dilakukan mengingat adanya faktor ketergantungan (Arking, 2006). Walaupun merokok merupakan penyumbang berbagai masalah medis yang paling penting, perhatian kepada kebiasaan merokok masih rendah. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen perokok mengungkapkan keinginannya untuk berhenti merokok dan mengunjungi dokter, namun dari angka itu hanya 20% orang yang mendapatkan pengobatan atau nasihat, dan akhirnya hanya 5% yang berhasil berhenti merokok (Burns, 2005; O‟Brian, 2006; Barber et al., 2008; McPhee dan Pignone, 2008). 2.6. Substansi Kimia dalam Rokok Sebenarnya asap rokok tidaklah sesederhana seperti yang terlihat. Asap ini merupakan suatu campuran substansi-substansi kimia dalam bentuk gas dan partikel-partikel terdispersi di dalamnya. Sampai saat ini, telah berhasil diisolasikan berbagai macam zat kimia yang jumlahnya mencapai 3000 senyawa dalam daun tembakaunya sendiri dan mencapai lebih dari 4000 senyawa pada
20
asap rokok (Benowitz dan Fu, 2007). Sebagian besar bahan atau senyawasenyawa tersebut (tabel 2.1) pada umumnya bersifat toksik bagi berbagai macam sel dalam tubuh kita. Substansi toksik dalam bentuk gas, yaitu berupa karbon monoksida (CO), hidrogen sianida (HCN), oksida nitrogen, serta zat kimia yang volatil seperti nitrosamin, formaldehid banyak terdapat dalam asap rokok. Zat-zat ini dapat memberikan efek toksiknya dengan mekanisme spesifik dan pada sel-sel atau unit-unit makromolekuler sel tertentu terutama pada sistem pernapasan (Kuschner dan Blanc, 2007). Di samping dalam bentuk gas, zat toksik lain yang terdapat dalam rokok bisa berupa partikel-partikel kecil terdispersi dalam asap yang terutama alkaloid, yaitu nikotin dan tar. Tar adalah partikel kering berwarna coklat hasil pembakaran rokok dan bisa memberi warna pada gigi ataupun kuku. Partikel ini terdiri dari campuran senyawa-senyawa kimia kompleks yang terdiri dari berbagai macam zat-zat kimia karsinogenik, kokarsinogenik dan tumor promoter dalam asap rokok. Zat yang dimaksud adalah benzo(a)pyrene, dan hidrokarbon aromatik polinuklear lainnya, nitrosamin derivat nikotin, β-Napthylamine, berbagai metal seperti kadmium, nikel, arsen, timbal, merkuri dan elemen radioaktif seperti radium-226 dan polonium-210 (Hoffmann dan Hoffmann, 1999; Benowitz dan Fu Hua, 2007).
21
Tabel 2.1. Komponen Toksik Mayor pada Asap Rokok (Benowitz dan Fu, 2007) Nikotin Catechols N-nitrosonornicotine Fenol Hidrokarbon Aromatik Polinuklear Benzena β-Napthylamine Nikel (karbonil) Kadmium Arsenik Polonium-210 dan radium-226
Karbon monoksida Asetaldehid Oksida Nitrogen Hidrogen Sianida Acrolein Ammonia Formaldehid Urethane Hydrazine Nitrosamin
2.7. Nikotin sebagai Alkaloid Utama dalam Rokok Literatur paling awal yang menyebutkan adanya kebiasaan menghisap cerutu atau merokok berasal dari artifak bangsa Maya yang ditemukan di semenanjung Yucatan, Mexico. Kebiasaan ini merupakan bagian dari ritual religius dan perkumpulan politik para penduduk asli semenanjung Yucatan. Lima ratus tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1492, ketika Christopher Columbus menemukan benua Amerika, dia diberi daun tembakau oleh orang-orang Arawak. Jadi, Columbus dan awak-awak kapalnya adalah orang Eropa pertama yang mengenal rokok (Hoffmann dan Hoffmann, 1999). Nama nikotin berasal dari nama tanaman tembakau yang menghasilkannya, yaitu Nicotiana tabacum dan Nicotiana rustica. Kedua species tanaman tersebut termasuk famili Solanaceae. Nama ilmiah untuk tembakau ini mengacu pada nama seorang duta besar Prancis di Portugal yaitu Jean Nicot de Villemain. Ia mengirimkan tembakau dari Brazil ke Paris dan menggunakannya untuk tujuan pengobatan pada tahun 1560. Nikotin sendiri, zat aktif dalam tembakau baru berhasil diisolasi sekitar dua setengah abad sesudahnya, tepatnya pada tahun 1828
22
oleh ahli kimia Jerman, yaitu Poselt dan Reimann. Mereka pertama kali menyatakan bahwa zat ini adalah toksin. Formula empirisnya berhasil dideskripsikan oleh Melsens di tahun 1843, yaitu C10H14N2, sedangkan strukturnya ditemukan oleh Garry Pinner pada tahun 1895 dan nama kimianya yaitu 3-(1-methyl-2-pyrrolidinyl)pyridine (Hoffmann dan Hoffmann, 1999). Nikotin adalah amin tersier yang terdiri dari cincin pyridine dan pyrrolydine (Gambar 2.1). Produksi nikotin memerlukan asam nikotinat (niacin) dan kation Nmethylpyrrolinium, yang didiversikan dari ornithine. Produksi nikotin dalam daun tembakau diinduksi oleh sinyal Jasmonic acid sebagai respons terhadap kerusakan daun. Sintesis nikotin terjadi di akar tanaman kemudian ditranspor melalui xylem menuju daun dan bagian tanaman lainnya. Dalam keadaan murninya, nikotin tampak sebagai cairan yang kental, seperti minyak tidak berwarna dan bersifat sangat alkalis. Jika dipapar dengan udara terbuka, ia menjadi berwarna kuning kecoklatan dan memberikan bau khas tembakau (Hoffmann dan Hoffmann, 1999).
Gambar 2.1. Struktur Kimia Nikotin (Hukkanen et al., 2005). Nama struktur kimia nikotin adalah 3-(2-(N-methylpyrrolidinyl))pyridine. Nikotin merupakan zat kimia larut air dan dapat diekstraksi dari daun tembakau dengan merendam potongan daunnya dalam air selama 12 jam.
23
Gambar 2.2. Struktur Alkaloid Utama dalam Tembakau Selain Nikotin (Hukkanen et al., 2005). Semua alkaloid di atas merupakan derivat dari nikotin. Derivat ini muncul akibat proses oksidasi dan degradasi oleh bakteri selama proses pengolahan rokok dan bukan di sintesis oleh tanaman tembakau itu sendiri,
Sebenarnya nikotin dalam daun tembakau berfungsi sebagai bahan kimia antiherbivora, terutama serangga. Oleh sebab itu, di masa lalu nikotin banyak digunakan sebagai insektisida. Kadar nikotin berbeda-beda tergantung jenis tembakau serta posisi daun, daun yang letaknya relatif lebih tinggi daripada daun lainnya memiliki kadar nikotin lebih tinggi. Zat ini mendominasi alkaloid yang ada pada rokok (sekitar 95% alkaloid dalam rokok merupakan nikotin) dan mencapai berat kering 1,5% tembakau dalam rokok. Rata-rata dalam sebatang rokok mengandung 10-14 mg nikotin dan sekitar 1 mg nikotin diabsorbsi ke dalam peredaran darah sistemik selama merokok (Hukkanen et al., 2005). Sebagian besar nikotin pada daun tembakau berada dalam bentuk levorotary (S)-isomer, dan hanya sebagian kecil, sekitar 0,1-0,6% dari nikotin total yang berada dalam bentuk (R)-nikotin. Dalam asap rokok, jumlah (R)-nikotin meningkat sampai 10%, diperkirakan hal ini terjadi oleh karena proses
24
racemization selama pembakaran. Nikotin mudah menguap pada pembakaran bersuhu rendah, sekitar 308K (Hukkanen et al., 2005). Oleh karena sifat fisiknya yang demikian, hampir semua nikotin dalam rokok menguap saat dibakar dan terinhalasi selama merokok. Pada sebagian besar strain tembakau, nornikotin dan anatabine adalah senyawa alkaloid terbanyak kedua setelah nikotin dan disusul dengan anabasine (Gambar 2.2). Komposisi yang sama berlaku juga pada rokok, cerutu, rokok pipa dan oral snuff. Alkaloid-alkaloid minor yang lainnya antara lain myosmine, N’methylmyosmine, cotinine, nicotyrine, nornicotyrine, nicotine N-oxide, 2,3’bipyridyl dan metanicotine. Alkaloid-alkaloid minor tersebut diduga muncul akibat adanya aktivitas bakteri dalam tembakau selama pemrosesan rokok (Hukkanen et al., 2005). Dari sekian banyak alkaloid minor dalam tembakau yang telah dipelajari, hanya nornicotine, metanicotine, dan anabasine yang memiliki aktivitas farmakologis mirip nikotin yang cukup bermakna. 2.8. Absorbsi Nikotin ke dalam Sirkulasi Sistemik selama Merokok Saat rokok dibakar, nikotin dalam tembakau terdestilasi dan terhisap bersama dengan fraksi partikulat (tar) ke arah pangkal rokok. Absorbsi nikotin melewati membran biologis targantung pada pH. Nikotin memiliki sifat basa lemah dengan pKa 8,0, maka dari itu dalam kondisi lingkungan yang asam, nikotin banyak yang terionisasi dan menjadi sulit untuk menembus membran. Sebaliknya, jika kondisi lingkungan basa (pH 6,5 atau lebih), lebih banyak nikotin yang dapat terabsorbsi dalam paru (Hukkanen et al., 2005). Keasaman dalam droplet partikel (tar) sangat
25
bervariasi dari 6,0 sampai 7,8 tergantung merk dan jenis rokok. Semakin tinggi pH, semakin banyak nikotin yang diabsorbsi dalam paru (Pankow et al., 2003). Ketika asap rokok mencapai saluran bronkioli respiratorius dan alveoli paru, nikotin dalam tar yang berdiameter rata-rata 1 µm dengan cepat diabsorbsi. Konsentrasinya dalam darah meningkat dengan cepat saat merokok dan mencapai puncaknya sesaat setelah selesai merokok (Gambar 2.3). Absorbsi yang cepat ini diduga karena luasnya permukaan bronkioli dan alveoli paru disertai dengan pH paru yang sedikit basa, yaitu 7,4. Rata-rata 1 mg (0,3-2 mg) nikotin diabsorbsi ke sistemik selama merokok (Hukkanen et al., 2005). Setelah setiap satu hisapan, nikotin terabsorbsi dari alveolus menuju kapiler paru, dan dari sini mengalir ke dalam ventrikel kiri melalui vena pulmonalis untuk dipompakan ke seluruh tubuh. Akhirnya, nikotin dapat mencapai otak hanya dalam waktu 7 detik, lebih cepat dari nikotin IV, dan dengan cepat pula mengaktivasi neuron-neuron dopaminergik pada brain reward system (O‟Brian, 2006). Kecepatan peningkatan dan efek yang dihasilkannya inilah yang menyebabkan para perokok dapat mentitrasi kadar nikotin untuk mencapai efek stimulasi yang diinginkannya (Henningfield dan Keenan, 1993). Merokok merupakan suatu proses yang kompleks, dan sesuai dengan yang telah disebutkan di atas, perokok dapat memanipulasi dosis nikotin dan kadar nikotin di otak dalam setiap hisapan. Intake nikotin selama merokok tergantung pada volume hisapan, kedalaman inhalasi, tingkat dilusi dalam udara ruangan, frekuensi dan intensitas hisapan (Jarvis et al., 2001). Jika perokok yang telah terbiasa mengkonsumsi rokok dengan kadar nikotin tinggi beralih ke rokok
26
dengan kadar nikotin rendah atau pun mengurangi jumlah rokok yang dihisap per harinya maka ia akan cenderung untuk mengkompensasinya dengan cara merubah pola hisap agar tercapai kadar nikotin yang tetap tinggi seperti sebelumnya
Konsentrasi nikotin dalam darahh (ng/ml)
(Hukkanen et al., 2005).
0
30
60
90
120
Waktu (Menit) Gambar 2.3. Kadar Nikotin dalam Darah Saat Merokok dan Setelahnya (Hukkanen et al., 2005). Kadar nikotin mencapai puncaknya ± 10 menit setelah merokok dan mulai menurun setelahnya. 2.9. Distribusi Nikotin dalam Jaringan Tubuh Dalam darah dengan pH 7,4, sekitar 69% nikotin terionisasi dan 31% tidak terionisasi dan hanya 5% nikotin yang terikat pada plasma protein, sedangkan 95% berada dalam bentuk nikotin bebas dalam darah. Nikotin terdistribusi secara luas dalam jaringan tubuh dengan volume distribusi rata-rata 2,6 liter/kg berat badan (Hukkanen et al., 2005). Ini artinya nikotin memiliki sifat hidrofobik dan cenderung untuk terikat dengan jaringan dengan kandungan lipid yang tinggi, disamping itu pada jaringan-jaringan tersebut, reseptor nikotin memang ditemukan paling banyak dibandingkan pada jaringan lain.
27
Selama berada dalam sirkulasi sistemik, nikotin memililki afinitas yang tinggi pada beberapa organ tertentu, yaitu otak, hati, ginjal kelenjar adrenal dan paru. Afinitas nikotin pada jaringan otak sangatlah tinggi, afinitas ini semakin tinggi sebanding dengan peningkatan reseptornya pada perokok (Perry et al., 1999). Afinitas yang tinggi ini disebabkan ikatannya yang spesifik pada reseptor asetilkolin nikotinik dalam sistem saraf pusat. Bahkan pernah ada laporan kasus bunuh diri menggunakan nikotin patches, kadar nikotin dalam otak mencapai 2 kali kadarnya dalam darah perifer (Kemp et al., 1997). Ditambah pula dengan kenyataan bahwa otak merupakan organ vital dengan vaskularisasi yang tinggi, maka distribusi nikotin dalam otak terjadi hampir secara instan setelah ia memasuki aliran darah sistemik. Di samping otak, nikotin juga menunjukkan afinitas yang tinggi pada kelenjar adrenal dan merangsang kelenjar ini untuk mensekresikan epinefrin ke dalam sirkulasi darah. Hal ini yang mengakibatkan perokok menunjukkan peningkatan tekanan darah. Selain pada organ-organ di atas, akumulasi nikotin yang bermakna ditemukan juga pada cairan lambung, saliva, air susu ibu, amnion dan bahkan serum fetus yang dikandung oleh ibu perokok (Dempsey dan Benowitz, 2001). 2.10. Konsentrasi Nikotin dalam Darah selama Merokok Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Benowitz pada tahun 1990, kadar nikotin dalam darah perokok pada saat siang hari umumnya berkisar antara 10-50 ng/ml. Nilai ini berfluktuasi sekitar 10-37 ng/ml sepanjang hari dengan puncaknya mencapai 19-50 ng/ml (Schneider et al., 2001; Hukkanen et al., 2005).
28
Kadar nikotin tersebut dalam darah vena dapat meningkat sejauh 5 sampai 30 ng/ml setelah menghisap sebatang rokok, dan tentu saja hal ini tergantung pola merokok seseorang. Suatu studi ilmiah yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan nikotin dalam darah vena ini sebesar 10,9 ng/ml. Dengan catatan, nilai itu didapatkan dari para perokok yang tidak melakukan puasa pada hari pengukuran (Petterson et al., 2003). Seperti proses farmakokinetik obat pada umumnya, nikotin juga memiliki waktu paruh dalam darah. Waktu paruh nikotin di dalam darah sirkulasi rata-rata sekitar 2 jam. Angka ini didasarkan atas pengukuran konsentrasinya dalam darah. Jika pengukuran konsentrasi nikotin dilakukan pada urin, waktu paruh akan memanjang sampai 11 jam, dan konsentrasi yang dihasilkannya juga jauh lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh pelepasan nikotin yang lambat oleh jaringan tubuh dan metabolisme yang dialaminya. Jadi waktu paruh yang pendek pada awalnya bukan disebabkan oleh proses metabolisme yang dialaminya tetapi lebih karena proses distribusinya, dan konsentrasi yang rendah dalam urin merefleksikan bahwa hanya sedikit kadar nikotin yang dieksresikan dalam bentuk tidak berubah. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, secara logis dapat diprediksikan adanya akumulasi nikotin selama lebih dari 6-8 jam dalam tubuh (3-4 kali waktu paruh) pada perokok reguler dan persistensi kadar ini yang signifikan selama waktu yang sama setelah berhenti merokok. Kadar nikotin mengalami fluktuasi antara puncak dan lembah (peak and trough) mengikuti aktivitas merokok sepanjang hari, tetapi mengingat waktu paruh akumulasinya yang panjang, nilai lembah (trough) meningkat selama waktu berlalu dan akhirnya konsentrasi puncak (peak) menjadi
29
tidak penting lagi. Jadi perokok tidak lagi terpapar dengan kadar nikotin secara intermiten melainkan terpapar dengan kadar nikotin yang persisten tinggi selama 24 jam penuh setiap harinya (Hukkanen et al., 2005). Fenomena ini lebih jelasya
Nikotin Cotinine
Konsentrasi dalam darah (ng/ml)
digambarkan dalam gambar 2.4.
Waktu Gambar 2.4. Konsentrasi Sirkadian Nikotin dan Cotinine dalam Darah (Hukkanen et al., 2005). Konsentrasi cotinine dalam darah meningkat mengikuti gelombang peningkatan nikotin yang menandakan adanya proses metabolisme nikotin dalam tubuh.
30
Cotinine, metabolit nikotin, memiliki konsentrasi yang jauh lebih tinggi daripada konsentrasi nikotin dalam darah, yaitu berkisar antara 250-300 ng/ml pada para perokok. Pada beberapa perokok konsentrasi ini pernah sampai mencapai kadar 900 ng/ml. Akan tetapi, angka tersebut akan mengalami penurunan yang linier jika seseorang berhenti merokok. Selain itu, cotinine memiliki waktu paruh yang lebih lama dari nikotin. Akibatnya konsentrasinya hampir tetap sepanjang hari jika dibandingkan dengan kadar nikotin. Oleh karena sifat-sifat farmakokinetiknya yang demikian, konsentrasi nikotin sering dipakai sebagai biomarker intake nikotin sehari-harinya, baik pada para perokok aktif maupun pasif (Benowitz, 1996). 2.11. Metabolisme Nikotin Kemampuan tubuh manusia untuk memetabolisme dan membersihkan obat dari dalam tubuh adalah suatu proses alami yang melibatkan jalur-jalur metabolisme dan sistem transpor yang sama untuk metabolisme nutrisi pada umumnya. Setiap hari, manusia mangalami kontak dengan sejumlah senyawa kimia asing atau xenobiotika melalui kontaminan lingkungan dan zat-zat dalam makanan. Tubuh kita telah mengembangkan suatu cara untuk mengeliminasi bahan-bahan xenobiotika tersebut secara cepat. Salah satu sumber xenobiotika paling umum dalam diet kita adalah dari tanaman. Tanaman memiliki berbagai macam zat xenobiotika yang terkait dengan produksi pigmen dan toksin (phytoallexins) untuk melindungi diri dari predator. Di dunia modern ini, sebagian besar paparan xenobiotika pada manusia berasal dari polusi lingkungan, zat aditif pada makanan, produk kosmetik, bahan kimia dalam pertanian, makanan yang
31
diproses, dan obat-obatan. Berbagai macam bahan-bahan kimia tersebut pada dasarnya bersifat lipofilik, sehingga sangat sulit untuk dieliminasi dari tubuh jika tidak ada sistem metabolisme yang sesuai. Jika eliminasi tidak dilakukan, maka zat kimia bersangkutan akan terakumulasi dalam tubuh dan memunculkan gejala serta tanda toksisitas (Gonzalez dan Tukey, 2006). Nikotin termasuk xenobiotika. Sebagian besar atau hampir seluruh nikotin yang terabsorbsi melalui lapisan mukosa mulut, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan, dimetabolisme di dalam hati. Metabolisme dan pembersihannya ini banyak melibatkan enzim-enzim dalam sistem metabolisme xenobiotika atau disebut juga Xenobiotic Metabolizing Enzyme (XME), diantaranya adalah enzim sitokrom P450, Flavin-Containing Monooxygenase 3 (FMO3), Aldehid oksidase, amin N-metiltransferase, dan UDP-Glukoronosiltransferase (UGT). Di samping hati, ginjal juga berperan saat proses eksresinya dalam urin. Proses metabolismenya secara lebih mendalam akan dibahas dalam uraian di bawah ini. Tetapi sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya jika definisi nikotin sebagai xenobiotika dan gambaran mengenai apa itu sitokrom P450 yang merupakan fokus penelitian dibahas terlebih dahulu. 2.11.1. Enzim-Enzim dalam Sistem Metabolisme Xenobiotika Sesuai uraian di atas, xenobiotika merupakan zat yang asing bagi tubuh (xenos = asing). Bahan-bahan utama yang termasuk xenobiotika dalam hubungannya dengan medis bisa berupa obat-obatan, bahan-bahan kimia karsinogen, dan berbagai macam senyawa yang masuk ke dalam tubuh secara insidental atau tidak disadari, misalnya polychlorinated biphenyls (PCB) dan
32
insektisida. Lebih dari 200.000 bahan kimia pencemar lingkungan merupakan substrat utama bagi XME (Xenobiotic Metabolizing Enzyme) dalam hati. Tetapi, kadang kala xenobiotika bisa saja dieksresikan dalam bentuk tidak berubah (Kennelly dan Rodwell, 2006). Sistem metabolisme xenobiotika umumnya dibagi menjadi dua fase. Pada fase 1, reaksi utama yang terjadi berupa hidroksilasi. Reaksi ini melibatkan enzim monooksigenase atau lebih sering disebut sitokrom P450. Enzim sitokrom P450 banyak terdapat pada permukaan sitosolik membran retikulum endoplasmik hepatosit (Gambar 2.5). Hidroksilasi dapat menginaktivasi obat dalam tubuh, tetapi untuk beberapa macam obat atau zat kimia tertentu, reaksi hidroksilasi malah mengaktivasinya. Di samping perannya dalam hidroksilasi, enzim tersebut juga mengkatalisis sejumlah besar reaksi lain, yaitu deaminasi, dehalogenasi, desulfurasi, epoksidasi, peroxigenasi, dan reduksi. Reaksi yang melibatkan hidrolisis (dikatalisis oleh esterase) dan beberapa reaksi lain yang dikatalisis oleh enzim non-P450 juga terjadi di fase 1. Pada fase 2, senyawa-senyawa terhidroksilasi atau yang telah mengalami metabolisme fase 1 diubah oleh enzim spesifik menjadi metabolit yang lebih polar melalui konjugasi dengan asam glukoronat, sulfat, asetat, glutathione, atau beberapa asam amino tertentu, atau dengan metilasi. Tujuan utama dari keseluruhan proses yang melibatkan XME adalah meningkatkan kelarutan zat terkait dalam air atau meningkatkan polaritasnya dan memudahkan eksresinya keluar tubuh. Sebagai contoh, senyawa-senyawa
33
hidrofobik akan tertahan dan terakumulasi dalam jaringan adiposa dalam waktu yang lama jika mereka tidak ditingkatkan polaritasnya oleh XME.
Gambar 2.5. Lokasi Enzim Cyp dalam Sel (Gonzalez dan Tukey, 2006). Kompleks enzim sitokrom P450 ada pada permukaan sitosol retikulum endoplasmik. Kompleks enzim ini mengkatalis substrat larut lemak yang ada dalam lapisan membran lipid ganda retikulum endoplasmik. Enzim sitokrom P450 memiliki struktur cincin heme pada bagian aktifnya yang berfungsi untuk mengikat molekul oksigen. Namun dalam kondisi-kondisi tertentu, reaksi metabolisme fase 1 justru mengubah senyawa xenobiotika dari inaktif menjadi aktif secara biologis. Senyawa xenobiotika awal yang demikian disebut sebagai prodrug atau prokarsinogen. Istilah detoksifikasi seringkali digunakan dalam berbagai reaksi yang melibatkan XME seperti yang telah disebutkan di atas. Meskipun demikian pemberian istilah ini sebenarnya kurang tepat, sebab kadang kala, sesuai
34
pembahasan di atas, reaksi metabolisme yang terjadi malah meningkatkan aktivitas biologis dan toksisitas suatu zat (Kennelly dan Rodwell, 2006). 2.11.2. Enzim Sitokrom P450 (Cyp) Cyp berfungsi sebagai enzim utama dalam metabolisme xenobiotika fase 1. Kini, telah diperkirakan ada sekitar 60 gen Cyp pada genom manusia. Enzim tersebut banyak terdapat pada membran retikulum endoplasmik halus (Smooth Reticulum Endoplasmic) yang merupakan bagian dari fraksi mikrosom hepatosit. Cyp juga bisa ditemukan dalam enterosit dan berbagai macam jaringan lain, walaupun konsentrasinya
jauh lebih sedikit jika
dibandingkan dengan
konsentrasinya dalam hepatosit. Dalam mikrosom hepatosit, konsentrasi Cyp mencapai 20% dari total protein. Reaksi yang dikatalisis oleh enzim ini adalah sebagai berikut : RH + O2 + NADPH + H+
R – OH + H2O + NADP
RH dalam reaksi kimia di atas mewakili berbagai macam xenobiotika, termasuk obat, karsinogen, pestisida, minyak, dan polutan. Senyawa-senyawa endogen, seperti steroid tertentu, asam lemak eikosanoid, dan retinoid juga bisa merupakan substrat Cyp. Substrat-substrat tersebut pada umunya bersifat lipofilik yang akhirnya diubah menjadi hidrofilik melalui hidroksilasi (Kennelly dan Rodwell, 2006). Cyp adalah biokatalisator paling “cakap” yang pernah diketahui. Sebenarnya reaksi hidroksilasi oleh Cyp dalam hati merupakan mekanisme yang kompleks, maka itu ia lebih cocok disebut dengan sistem Cyp, karena untuk dapat melakukan fungsi yang seutuhnya ia tergantung dari kehadiran enzim lain dalam
35
mikrosom sel-sel hepar, yaitu NADPH-sitokrom P450 reduktase dengan rincian reaksi seperti yang tampak pada gambar 2.6 di bawah (Mckee dan Mckee, 2003; Kennelly dan Rodwell, 2006). Kerja sama antar kedua macam enzim inilah yang membangkitkan sistem Cyp dalam proses hidroksilasi substrat xenobiotik.Pada gambar tersebut, reaksi hidroksilasi yang terjadi khas pada sel korteks adrenal untuk pembentukan hormon steroid, sedangkan pada mikrosom hepar, tidak memerlukan protein besi sulfur, Fe2S2. Cyp memiliki banyak famili yang berhasil ditemukan hingga kini, yaitu berjumlah sekitar 150 isoform. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang penting untuk menamainya sesuai dengan sistem nomenklatur yang ada. Dalam sistem nomenklatur, enzim sitokrom P450 disingkat dengan Cyp, yang diikuti dengan angka yang menunjukkan famili, misal Cyp1, Cyp2 atau Cyp3. Cyp dimasukkan dalam satu famili jika sedikitnya 40% sekuens asam aminonya sama. Kemudian, huruf kapital yang tertera setelah angka menunjukkan subfamili. Jika dua enzim Cyp memiliki tingkat kesamaan sekuens asam amino mencapai 55% atau lebih, mereka berada dalam satu subfamili. Angka yang tertera setelah huruf subfamili menunjukkan nomor anggota, sedangkan huruf terakhir setelah bintang mengacu pada nomor alel atau varian (Gambar 2.7) (Kennelly dan Rodwell, 2006). Dari contoh di bawah ini Cyp2a6 berarti enzim Cyp tersebut termasuk dalam famili 2, subfamili a dan merupakan anggota ke 6 dari subfamili tersebut. 2.11.3. Subfamili CYP2A Gen CYP2A bersama dengan gen CYP2B, dan gen CYP2F terletak pada lengan pendek kromosom 19, tepatnya pada 19p13.2, yaitu pada daerah seluas
36
350 kilobasepairs. Tiga subfamili telah diperkirakan berasal dari satu ancestral gene. Mereka diperkirakan berdiferensiasi selama evolusi sehingga akhirnya bersifat spesifik substrat. Evolusi gen ini dimulai sekitar 400 juta tahun lalu dan berkembang menjadi lebih dari 50 gen homolog (gambar 2.8) (Gullstén, 2000).
Gambar 2.6. Reaksi Hidroksilasi oleh sistem Cyp dalam Mikrosom (Botham dan Mayes, 2006). Reaksi hidroksilasi substrat dimlau dengan pembentukan ikatan antara substrat dengan enzim Cyp yang diikuti dengan reaksi hidroksilasi setelah enzim ini mendapatkan donor sepasang elektron hasil proses oksidasi ion sulfur dalam Fe2S2. Nomor Famili
Singkatan dari sitokrom P450
CYP
2
A
Nomor Anggota dalam subfamili
6
*4 Nomor alel atau varian
Nomor Subfamili
Gambar 2.7. Sistem Nomenklatur Sitokrom P450. Sesuai urutan, CYP adalah singkatan dari sitokrom P450, angka 2 pertama menunjukkan famili, diikuti dengan huruf yang menandakan subfamili, angka setelah huruf menunjukkan nomor anggota dalam subfamili serta angka setelah bintang mengacu pada alel atau varian dari gen yang bersangkutan.
37
Gambar 2.8. Perkembangan Gen CYP Selama Evolusi (Gullstén, 2000). Gen CYP mengalami proses duplikasi dan divergensi selama sejarah evolusi menghasilkan banyak famili. Proses duplikasi dan divergensi yang diiringi fenomena seleksi alam menjadi kunci utama evolusi gen ini. Divergensi yang terjadi salah satunya akibat proses mutasi pada duplikat-duplikat gen yang bersangkutan. . Subfamili gen CYP2A ini terdiri dari tiga gen dan dua pseudogen, yaitu CYP2A6, CYP2A7, CYP2A13, CYP2A7P(T) dan CYP2A7P(C). Gen CYP2A7 terletak setelah gen CYP2A6. Kedua gen ini memiliki kesamaan sekuens nukleotida mencapai 96%, sedangkan kesamaan sekuens asam amino dari protein yang dikodenya mencapai 94%. Gen ini terdiri dari 9 ekson dan 8 intron dengan
38
ukuran sebesar 6 kilobasepairs. Sekuens pseudogen, CYP2A7P(T) dan CYP2A7P(C), terputus pada ekson 5, dan oleh sebab itu tidak mengkode protein. Gen CYP2A6 mengkode protein yang aktif dalam metabolisme, sedangkan gen CYP2A7 menghasilkan protein inaktif. Struktur gen-gen yang telah disebutkan di atas dideskripsikan pada gambar 2.9 dibawah ini
Sentromer
Gambar 2.9. Struktur Gen-Gen dalam Subfamili CYP2. Struktur famili gen CYP ini terletak pada kromosom 19. Tanda panah berwarna biru menandakan segmen DNA yang mengkode enzim Cyp, arah panah menunjukkan orientasi gen dalam rantai DNA. 2.11.4. Peran Enzim Sitokrom P450 2A6 dalam Metabolisme Nikotin dan Cotinine Studi in vivo dan in vitro telah menunjukkan bahwa pada manusia, 70-90% nikotin dioksidasi oleh sitokrom P450 2a6 (Cyp2a6) menjadi nikotin Δ1‟(5‟)iminium ion, suatu metabolit antara yang kembali dioksidasi oleh enzim aldehid oksidase menjadi cotinine dalam sitoplasma sel hepar. Enzim yang sama juga mengkatalisasi perubahan cotinine menjadi, 5’-hydroxycotinine dan norcotinine (Murphy et al., 1999; Oscarson, 2001). Kecepatan oksidasi nikotin menjadi cotinine dan cotinine menjadi trans-3’hydroxycotinine, menunjukkan korelasi yang tinggi dengan aktivitas 7-
Telomere
39
hidroksilasi kumarin, karena kedua substrat ini memiliki enzim yang sama yaitu sitokrom P450 2a6 (Nakajima et al., 1996). Oleh sebab itu, selain menggunakan nikotin, aktivitas enzim ini sering diukur dengan menggunakan kumarin sebagai subsrat.
Gambar 2.10. Metablisme Nikotin Oleh Enzim Cyp2a6 (Oscarson, 2001). Tujuh puluh sampai sembilan puluh persen nikotin dimetabolisme oleh enzim Cyp2a6 mementuk cotinine dengan nicotine Δ iminium ion sebagai metabolit antaranya. Signifikansi peran Cyp2a6 dalam metabolisme nikotin secara in vivo didukung oleh penelitian yang dilakukan Sellers et al pada tahun 2000 dan 2003 dengan menggunakan inhibitor Cyp2a6 yaitu methoxsalen. Methoxsalen mengurangi first pass metabolism nikotin yang terbukti dengan berkurangnya kadar trans-3’-hydroxycotinine dalam urin perokok
40
Walaupun telah banyak penelitian yang menyebutkan arti pentingnya enzim Cyp2a6 dalam metabolisme nikotin seperti yang telah disebutkan di atas, penelitian-penlitian itu juga mengilustrasikan bahwa ada enzim lain yang berperan dalam pembentukan cotinine dan trans-3’-hydroxycotinine. Enzim yang dimaksud di sini adalah enzim Cyp2b6, Cyp2e1 dan Cyp2a13. Cyp2b6 adalah enzim aktif dalam osksidasi nikotin kedua setelah Cyp2a6 pada studi in vitro menggunakan jaringan sel hepar (Yamasaki et al., 1999). Sedangkan Cyp2e1 dan Cyp2a13 yang banyak terdapat dalam mukosa saluran napas terutama mukosa nasal menunjukkan aktivitas terhadap nikotin jika konsentrasi nikotin tinggi (Yamasaki et al., 1999; Ting et al., 2000). 2.11.5. Enzim-Enzim Lain dalam Metabolisme Nikotin dan Cotinine Terdapat beberapa enzim yang juga ikut berperan dalam metabolisme nikotin walaupun jumlah reaksi yang dikatalisasi olehnya kadang kala jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Cyp pada fase 1. Tetapi pada fase 2 kehadiran beberapa enzim-enzim ini penting artinya, sebab reaksi yang terjadi pada fase 2 merupakan kelanjutan dari reaksi pada fase 1. Pada fase 2 ini kelarutan metabolit nikotin lebih ditingkatkn lagi sehingga mudah dieksresikan. Enzim-enzim tersebut antara lain : 1. Aldehid Oksidase. Aldehid oksidase adalah enzim sitoplasma yang mengkatalisasi konvesi ion nikotin-Δ1‟(5‟)-iminium menjadi cotinine (Hukkanen et al., 2005). 2. Flavin-Containing Monooxygenase 3 (Fmo3). Fmo3 merupakan enzim utama yang bertanggung jawab terhadap pembentukan nikotin N-oksid (Hukkanen et al., 2005).
41
3. Amin N-metiltransferase. N-metilasi nikotin dikatalisis oleh enzim Amine N-metiltransferase (47). Ekspresi enzim ini tertinggi pada organ tiroid, adrenal, dan paru (Thompson et al., 1999). 4. UDP-glikoronosiltransferase. Enzim ini sangat penting perannya dalam fase 2 metabolisme xenobiotika. Nikotin dan cotinine mengalami reaksi metabolisme fase 2 melalui proses N-glukoronidasi, sedangkan sebagian besar 3’-hydroxycotinine melalui proses O-glukoronidasi (Hukkanen et al., 2005). 2.11.6. Kuantifikasi Metabolit Primer dari Nikotin dan Cotinine Hingga saat ini aspek kuantitatif pola metabolisme nikotin telah banyak dipelajari pada manusia (Gambar 2.8). Sekitar 90% dosis sistemik nikotin akhirnya dapat ditemukan dalam bentuk nikotin dan metabolitnya dalam urin (Benowitz et al., 1993). Berdasarkan studi dengan infus nikotin dan cotinine terlabel, dapat ditentukan bahwa 70-80% nikotin dikonversikan menjadi cotinine (50).
Sekitar 4-7% nikotin dieksresikan sebagai nikotin N-oksid dan 3-5%
sebagai nikotin glukoronid (Benowitz et al., 1993). Hanya fraksi kecil cotinine dieksresikan dalam bentuk yang tetap dalam urin (10-15% nikotin dan metabolit dalam urin). Sisanya dikonversi menjadi metabolit, terutama trans-3’-hydroxycotinine (33-40%), cotinine glukoronid (12-17%), dan trans-3’-hydroxycotinine glukoronid (7-9%) (Hukkanen et al., 2005). Aspek kuantifikasi ini dapat lebih jelasnya dilihat pada gambar 2.12.
42
Nicotine Glucoronide
3-Pyridilacetic Acid
Nicotine N Oxide Nicotine Isomethonium Ion
NICOTINE
Cotinine Glucoronide
Cotinine methonium Ion
Nicotine-Δ1(5) . Iminium Ion
COTININE
Cotinine N Oxide
N‟-Hydroxymethylnorcotinine
4-(3-Pyridil)-butanoic Acid
2‟-Hydroxycotinine
5‟-Hydroxycotinine
Nornicotine
Trans 3‟Hydroxycotinine
Norcotinine
4-(methylamino)-1-(3pyridil)-1-butanone
4-(3-Pyridil)-3butanoic Acid
4-Hydroxy-4-(3pyridyl)-butanoic Acid
4-Oxo-4-(3pyridyl)-butanamide
4-Oxo-4-(3-pyridyl)-Nmethylbutanamide
Trans3‟- Hydroxycotinine Glucoronide
4-Oxo-4-(3-pyridyl)butanoic Acid
5-(3-pyridyl)Tetrahydrofuran-2-one
Gambar 2.11. Jalur Metabolisme Nikotin (Hukkanen et al., 2005). Jalur Umum metabolisme nikotin dalam tubuh menghasilkan berbagai macam metabolit derivatifnya. Beberapa di antaranya memiliki sifat karsinogenik seperti 4(methylamino)-1-(3-pyridil)-1-butanone sebab ia dapat berikatan dengan bsa nitrogen dalam DNA.
43
Gambar 2.12. Metabolit Primer Nikotin dan Kuantifikasinya (Hukkanen et alv, 2005). Dalam bagan di atas tampak bahwa mayoritas nikotin diubah menjadi trans-3’-hydroxycotinine untuk kemudian dieksresikan dalam tubuh dalam bentuk yang sama atau dikonjugasikan dengan glukoronid. 2.11.7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Nikotin Ada beberapa faktor yang menyebabkan variasi interindividual pada metabolisme nikotin yang secara umum dapat dibagi menjadi tiga macam selain faktor genetik (akan dibahas dalam sub bab tersendiri) : 1. Pengaruh kondisi fisiologis tertentu a. Diet dan Mentol Hepar sebagai organ utama dalam metabolisme nikotin membawa implikasi bahwa metabolisme nikotin ini sangat bergantung kepada aliran darah ke dalam organ tersebut. Jadi, faktor fisiologis, seperti makan, postur, aktivitas ataupun obat-obatan yang mengganggu aliran darah menuju hepar akan
44
mempengaruhi metabolisme nikotin. Gries et al (1996), menemukan bahwa makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan infus nikotin yang dipertahankan
tetap
(steady
state)
akan
menghasilkan
penurunan
konsentrasinya yang konsisten dan mencapai maksimal 30-60 menit setelah makan. Setelah makan aliran darah hepar meningkat 30% dan bersihan nikotin meningkat sekitar 40% (Hukkanen et al., 2005). Menthol, zat yang banyak digunakan sebagai perasa dalam makanan, mouthwash, pasta gigi dan bahkan rokok, telah dilaporkan dapat menghambat kerja enzim Cyp2a6 (MacDougall et al., 2003). Laporan mengenai hal ini telah dikonfirmasi oleh Benowitz et al (2004) lalu melalui penelitiannya yang membandingkan aktivitas Cyp2a6 pada perokok sigaret bermentol dengan non-mentol. Ia menunjukkan bahwa metabolisme nikotin menjadi cotinine dan glukoronidasi nikotin terhambat (Benowitz et al., 2004). b. Umur Metabolisme dan bersihan nikotin menurun seiring makin meningkatnya umur. Bersihan total menurun sebesar 23% dan bersihan oleh ginjal menurun sebanyak 49% pada orang tua (>65 tahun) jika dibandingkan dengan umur dewasa muda (Molander et al., 2001). Penurunan ini lebih disebabkan karena penurunan aliran darah ke hepar dibandingkan dengan penurunan aktivitas enzimnya sendiri (Messina et al., 1997).
45
c. Kronofarmakokinetik Nikotin Selama tidur, aliran darah hepar akan menurun, demikian juga bersihan nikotin. Bersihan nikotin bervariasi sebesar 17% (dari puncak ke ambang) dengan aktivitas minimum antara jam 6 sore dan jam 3 pagi, Jadi aktivitas bersihan nikotin memiliki irama sirkadian (Gries et al., 1996). d. Perbedaan Kelamin Penelitian yang dilakukan oleh Benowitz dan Jacob (1994) menunjukkan bahwa bersihan nikotin pada pria cenderung lebih tinggi dibandingan pada wanita walaupun hasilnya tidak signifikan. Akan tetapi, penelitian yang paling akhir justru menyatakan hal yang sebaliknya yaitu bersihan nikotin pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada pria, terutama pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral (Robertson et al., 2000; Hukkanen et al., 2005). 2. Konsumsi obat-obatan a. Penginduksi (inducers) Beberapa macam obat dapat menginduksi aktivitas enzim Cyp2a6 dalam kultur hepatosit meskipun terdapat variasi yang luas antar individu. Obat tersebut di antaranya adalah rifampicin, dexamethasone, dan Phenobarbital (Robertson et al., 2000; Rae et al., 2001; Edwards et al., 2003; Madan et al., 2003).
46
b. Inhibitor Beberapa obat seperti methoxsalen (8-methoxypsoralen), tranylcypromine, tryptamine, coumarin dan neomenthyl thiol dapat menghambat aktivitas Cyp2a6 (Wenjiang et al., 2001; Hukkanen et al., 2005). 3. Kondisi patologis Penyakit-penyakit tertentu telah dilaporkan memiliki pengaruh terhadap aktivitas Cyp2a6. Penyakit tersebut antara lain hepatitis A, infeksi parasit pada hepar, dan alcoholic liver disease (Hukkanen et al., 2005). Penyakit tertentu
Faktor Genetik
Metabolisme nikotin
Penggunaan obat-obatan tertentu
Kondisi fisiologis tertentu, misalkan umur, sex, dan lain lain
Gambar 2.13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Nikotin. Pada umunya metabolisme niotin sangat dipengaruhi oleh empat faktor seperti yang tertera di atas. 2.11.8. Metabolisme Nikotin Ekstra Hepatik Hasil penelitian pada binatang membuktikan bahwa sebagian kecil metabolisme nikotin terjadi dalam organ-organ ekstra hepatik seperti misalnya paru-paru, ginjal, mukosa hidung dan otak. Demikian juga penelitian yang dilakukan pada manusia menunjukkan hal yang sama. Di samping liver, metabolisme nikotin pada manusia terjadi juga dalam sel epitel bronkial, mukosa hidung, paru, laring esofagus dan bahkan dalam jaringan payudara. Hal tersebut
47
dibuktikan dengan adanya ekspresi gen CYP2A pada organ-organ terkait walaupun dalam kadar yang rendah (Ting et al., 2000; Hukkanen et al., 2002). Akan tetapi, protein Cyp2a yang terlibat dalam metabolisme nikotin kemungkinan besar adalah Cyp2a13, sebab antibodi yang bereaksi terhadap Cyp2a6 dalam western blot dapat mengalami reaksi silang terhadap Cyp2a13. Lebih lagi, konsentrasi mRNA CYP2A13 pada mukosa hidung dan paru 5-9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi mRNA CYP2A6 (Ting et al., 2000). Di samping CYP2A6 dan CYP2A13, masih banyak gen CYP2 yang memetabolisme sejumlah kecil nikotin diekspresikan di berbagai organ. Sebagai contoh protein Cyp2b6 dan Cyp2d6 banyak diekspresikan dalam otak, Cyp2e1 dalam paru, otak dan esofagus (Hukkanen et al., 2005). Enzim-enzim lain dalam metabolisme nikotin diekspresikan juga dalam konsentrasi yang lebih rendah dalam organ-organ ekstra hepatik. Aldehid oksidase pada paru, ginjal, dan kelenjar adrenal; FMO3 juga diekspresikan pada jaringan otak, terutama dalam substansia nigra; Amin N-metiltransferase pada kelenjar tiroid, adrenal dan paru, UGT1A9 dan UGT1A4 (mengkode enzim UDPglikoronosiltransferase) diekspresikan juga dalam lambung, jaringan empedu, ginjal, ileum, esofagus, testis, ovarium dan kelenjar mammae (Hukkanen et al., 2005). 2.12. Definisi dan Aspek Umum Ketergantungan Fisik Individu terhadap Obat Ketergantungan fisik adalah suatu keadaan yang berkembang oleh sebab adanya toleransi. Proses toleransi terjadi karena adanya pengaturan ulang
48
mekanisme homeostasis sebagai respons penggunaan obat atau zat kimia tertentu secara berulang (O‟Brian, 2006). Obat-obatan atau zat kimia tertentu dapat mempengaruhi banyak sistem pada tubuh kita yang pada awalnya ada dalam keadaan equilibrium. Sistem ini akan menemukan keseimbangan baru dengan hadirnya efek inhibisi atau stimulasi dari obat. Seseorang yang berada pada status adaptasi atau tergantung secara fisik memerlukan asupan obat yang kontinyu untuk mempertahankan fungsi sistem tubuhnya yang normal. Jika asupan obat dihentikan dengan tiba-tiba, muncullah ketidakseimbangan lagi, dan sistem yang berkaitan harus mengatur ulang kembali untuk mencapai kondisi equilibrium tanpa intervensi obat. Satu-satunya bukti aktual adanya proses toleransi adalah timbulnya sekelompok gejala-gejala yang dikenal dengan withdrawal syndrome jika asupan obat dihentikan. Gejala withdrawal sedikitnya berasal dari 2 sumber, yaitu (1) proses pengeluaran obat penyebab ketergantungan, (2) bangkitan berlebihan dari sistem saraf pusat (SSP) sebagai bentuk mekanisme readaptasi hilangnya efek obat. Variabel farmakokinetik mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan amplitudo dan durasi withdrawal syndrome. Gejala dan tanda withdrawal syndrome sangat spesifik untuk jenis obat dan cenderung menunjukkan efek kebalikan dari efek obat sebelum proses toleransi terjadi. Misalkan, penghentian tiba-tiba asupan agonis opioid yang memiliki efek miosis dan bradikardia akan menimbulkan gejala withdrawal syndrome berupa midriasis dan takikardia.
49
Toleransi, ketergantungan fisik, dan withdrawal syndrome adalah fenomena biologis. Mereka merupakan konsekuensi alami dari penggunaan obat dan dapat dibuktikan pada hewan coba atau pada manusia setelah penggunaan obat berulang. Fenomena ini tidak mengimplikasikan bahwa individu yang bersangkutan terlibat masalah kecanduan atau penyalahgunaan obat (abuse). Kecanduan dan penyalahgunaan obat, yang dalam bahasa inggris disebut dengan addiction dan abuse, merupakan sindroma perilaku yang dikarakteristikkan oleh pola kompulsif pada penggunaan obat dari dosis minimal sampai dosis yang adiktif. American Psychiatric Association (APA) mendefinisikan kecanduan sebagai sekelompok gejala yang mengindikasikan bahwa individu meneruskan penggunaan obat walaupun telah muncul berbagai masalah yang secara signifikan terkait penggunaan obat tersebut (O‟Brian, 2006). 2.13. Farmakogenetika Farmakogenetika adalah studi yang menilai variasi respons terhadap obat oleh karena pengaruh faktor genetik (Relling dan Giacomini, 2006). Pada aspek yang lebih luas, farmakogenetika mencakup farmakogenomik yang melibatkan studi keseleruhan genom untuk menilai determinan multigenik terhadap respons obat. Respons terhadap obat adalah salah satu bentuk fenotip hasil interaksi faktor genetik dan lingkungan. Jadi, respons individual terhadap obat tergantung pada interaksi kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Oleh sebab itu, variasi respons obat antar individu dapat dijelaskan dengan variasi faktor lingkungan dan/atau faktor genetik. Sejauh mana proporsi variabilitas respons obat ditentukan oleh faktor genetik? Studi famili klasik dapat memberikan
50
beberapa informasi penting untuk menjawab pertanyaan itu. Studi pada anak kembar telah memberikan bukti bahwa variasi metabolisme obat memiliki kecenderungan yang tinggi untuk diwariskan. Selain itu, perbandingan variabilitas antara intra-twin vs. inter-pair study juga menunjukkan bahwa sekitar 75-85% variasi pada farmakokinetik obat dapat diwariskan (Relling dan Giacomini, 2006). 2.14. Polimorfisme pada Gen CYP sebagai Dasar Variasi Farmakokinetik Nikotin 2.14.1. Konsep Polimorfisme Genetik Sekuens DNA pada suatu tempat dalam genom antar individu di seluruh dunia tidaklah tepat sama, tetapi menunjukkan variasi. Perbedaan atau variasi sekuens dapat muncul tiap 1000 sampai 2500 pasang basa. Perbedaan ini 2,5 kali lebih tinggi pada tempat-tempat yang tidak mengkode protein (non-protein-coding region, mencapai 98% genom), yaitu sekitar 1/1000 pasang basa, dibandingkan dengan tempat yang mengkode protein (protein-coding region) yang hanya 1/2500 pasang basa. Perbedaan ini tampaknya menunjukkan tekanan seleksi alam yang lebih besar pada tempat-tempat tersebut dalam genom, sehingga frekuensi mutasinya rendah selama perjalanan evolusi (Nussbaum et al., 2007). Jika, suatu varian gen sangat sering ditemukan dalam suatu populasi, maka gen tersebut dikatakan polimorfik. Jadi, polimorfisme didefinisikan sebagai variasi bentuk dari gen, protein atau kromosom yang menghasilkan dua atau lebih varian dan masing-masing varian memiliki frekuensi yang cukup tinggi. Frekuensi yang demikian tinggi tidak hanya disebabkan proses mutasi genetik berulang saja (Young, 2005). Suatu gen dikatakan polimorfik jika gen tersebut memiliki varian
51
dengan frekuensi paling sedikit 1% dalam populasi, jika lebih kecil dari 1% maka disebut sebagai varian langka (rare variants). Dengan kriteria ini, penyakit genetik termasuk sebagai varian langka, tetapi perlu ditekankan di sini bahwa frekuensi alel tidak menunjukkan korelasi yang jelas dengan efek gen terhadap kesehatan individu (Nussbaum et al., 2007). Tabel 2.2. Jenis-jenis Polimorfisme DNA (Nussbaum et al., 2007) Polimorfisme SNP (Single Nucleotide Polymorphism)
In-del (insersi-delesi) Simple In-del Polymorphism STRP (Short Tandem Repeat Polymorphism)
VNTR (Variable Number of Tandem Repeat)
Mekanisme Polimorfisme Substitusi satu basa atau salah satu dari dua basa yang lainnya pada satu lokasi Ada atau tidaknya segmen pendek dari DNA ~5-25 kopi unit pengulangan di-,tri, atau tetra nukoleotida, membentuk susunan tandem
Jumlah Alel 2
2
5 atau lebih
5 atau lebih
Ratusan sampai ribuan kopi unit pengulangan 10100 nukoleotida, membentuk sususan tandem
CNP (Copy Number Polymorphism)
Ada atau tidaknya 2 atau lebih segmen DNA sepanjang 200 bp-1,5 Mb, walaupun duplikasi tandem sebanyak 2, 3, 4, atau lebih dapat terjadi Terdapat banyak jenis-jenis polimorfisme. Beberapa polimorfisme adalah
akibat delesi, duplikasi, triplikasi dan seterusnya dari beberapa ratus hingga juta pasang basa. Polimorfisme ini tidak selalu terlibat dalam munculnya penyakit
52
genetik, meskipun sejumlah di antaranya dapat menyebabkan penyakit genetik yang serius. Polimorfisme juga dapat berupa perbedaan hanya dalam satu atau beberapa pasang basa dalam gen, di antara gen, atau di dalam intron. Variasi bentuk ini dapat tidak memiliki konsekuensi apapun dan hanya terdeteksi saat dilakukan analisis DNA. Sementara beberapa di antaranya terutama jika perubahan terletak dalam protein-coding regions, regulatory regions (promoter, enhancer, silencer, dan lain-lain), dapat menyebabkan perubahan fenotip melalui perubahan protein yang dikodenya dengan cara perubahan strukturnya atau jumlahnya (Nussbaum et al., 2007). Polimorfisme pada gen telah berkembang selama proses evolusi melalui berbagai macam mekanisme, seperti point mutation (missesnse, nonsense atau frame-shift), konversi gen, delesi, dan insersi. Banyak SNP juga telah ditemukan tersebar dalam genom (Gullstén, 2000). 2.14.2. Polimorfisme Gen CYP2A6 Adanya polimorfisme akan tampak pertama kali pada tingkat fenotip. Variasi dalam aktivitas enzim atau dalam laju eliminasi suatu bahan yang menjadi substrat enzim terkait telah dijadikan sebagai dasar pengukuran adanya variasi fenotip. Hal ini banyak dilakukan pada enzim-enzim mikrosom hati baik secara in vivo maupun in vitro pada hewan. Pada manusia, polimorfisme tertentu dari XMEs (Xenobiotic Metabolizing Enzymes) telah banyak ditemukan dengan melihat adanya kegagalan metabolisme obat-obat tertentu atau bahkan gagalnya suatu terapi (Gullstén, 2000).
53
Contoh polimorfisme pada XMEs yaitu polimorfisme pada gen CYP1A1 yang menyebabkannya memiliki 4 varian, yaitu CYP1A1*2A, CYP1A1*2B, CYP1A1*3, dan CYP1A1*4. Masing-masing varian yang diberi nomor setelah tanda bintang sesuai dengan urutan ditemukannya memiliki aktivitas enzim yang berbeda-beda dan bahkan beberapa varian tertentu di antaranya meningkatkan risiko kanker paru terutama jika bersamaan dengan efek mutasi sinergistik dari gen p53, Ki-ras atau GSTM1 (Gullstén, 2000). Polimorfisme juga terjadi pada gen CYP2A6 yang menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini. Polimorfisme pada gen tersebut sekarang menghasilkan sekitar 37 varian atau alael dan terus bertambah melalui penelitian-penelitian yang dilakukan terhadapnya. Variasi yang terjadi tidak hanya pada tingkat genotip tetapi juga pada tingkat fenotip berupa bertambah atau berkurangnya dan bahkan pada beberapa varian, hilangnya aktivitas enzim sama sekali (null mutation) yaitu pada alel CYP2A6*4. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap hilangnya atau duplikasi gen adalah unequal crossing-over dimana saat crossing-over, gen CYP2A6 dari kromatid yang homolog berpasangan tidak sejajar dengan CYP2A7 yang berada di samping gen CYP2A6 (flanking region). Unequal croosing-over seperti ini bisa saja terjadi mengingat gen CYP2A7 memiliki sekuens yang hampir persis sama dengan CYP2A6 dengan tingkat kemiripan sebesar 96% jika dilihat dari sekuens nukleotida dalam genomnya (Gullstén, 2000). Pada tabel di bawah ini, tabel 2.3 disajikan 28 alel gen CYP2A6 beserta dengan variasi sekuens nukleotida, dan efeknya in vivo maupun in vitro. Sebagian besar varian dari normal atau wild type menghasilkan fenotip enzim dengan
54
aktivitas yang menurun, meskipun ada juga yang menghasilkan peningkatan aktivitas enzim yang dikodenya akibat duplikasi gen CYP2A6. Hampir semua varian merupakan SNP (Single Nucleotide Polymorphism). Adanya polimorfisme ini mengakibatkan missense mutation dan gangguan terhadap efektifitas regulatory element seperti promoter (TATA box) atau proximal promoter elements (CCAAT box). Satu varian alel, yaitu CYP2A6*4 merupakan akibat delesi keseluruhan gen CYP2A6 yang disebabkan oleh adanya unequal crossing over saat pembelahan meiosis pembentukan sel gamet dengan salah satu sel gamet mendapatkan 2 gen CYP2A6 (duplikasi) dan sel gamet yang lain mengalami delesi seperti yang telah dijelaskan di atas. 2.15. Farmakodinamika Nikotin 2.15.1. Efek Nikotin pada Sistem Kardiovaskular, Respirasi, Endokrin dan Metabolisme Tubuh Secara Umum Efek Nikotin pada sistem kardiovaskular diperantarai oleh stimulasi simpatik akibat peningkatan katekolamin dalam sirkulasi. Nikotin menyebabkan stimulasi simpatis ini melalui mekanisme perifer dan sentral. Mekanisme aktivasi melalui sistem saraf pusat (SSP), di antaranya adalah aktivasi kemoreseptor perifer, terutama kemoreseptor karotid, dan efek langsung pada batang otak serta sumsum tulang belakang..
Tabel 2.3. Beberapa Macam Alel Gen CYP2A6 beserta Fenotipnya In Vivo dan In Vitro (Hukkanen et al., 2005)
55
56
Sedangkan yang termasuk mekanisme perifer di antaranya adalah pelepasan katekolamin dari kelenjar adrenal dan ujung saraf pada dinding vaskular. Keseluruhan mekanisme nikotin ini meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah. Nikotin juga mempengaruhi aliran darah secara diferensial ke organ-organ yang berbeda, menyebabkan vasokonstriksi pada beberapa jaringan pembuluh darah (misal kulit) dan vasodilatasi pada jaringan pembuluh darah di tempat lain (misal jaringan otot). Vasokontriksi pada jaringan kulit akan mengurangi suhu pada permukaannya. Nikotin juga menginduksi vasokonstriksi pada pembuluh darah koroner. Vasokonstriksi koroner tersebut tampaknya diperantarai oleh katekolamin. Selain pada sistem kardiovaskular, nikotin juga memiliki pengaruh pada sistem respirasi, yaitu berupa konstriksi bronkus dan peningkatan produksi mukus. Hal ini akan meningkatkan tahanan terhadap aliran udara pernapasan, dan menurunkan ventilasi paru. Laju metabolisme tubuh secara umum dipengaruhi juga oleh nikotin. Seorang perokok rata-rata memiliki berat badan 4 kg lebih rendah dibandingkan dengan bukan perokok. Berat badan yang lebih rendah ini dipertahankan oleh keadaan metabolisme yang tinggi dan nafsu makan yang tertekan. Berhentinya kebiasaan merokok akan kembali meningkatkan nafsu makan dan asupan kalori, akibatnya terjadi peningkatan berat badan selama 6-12 bulan setelahnya. Pada sistem endokrin, nikotin menstimulasi pelepasan ACTH dan kortisol serta β-endorfin. Dengan demikian nikotin terbukti memiliki efek analgesik (Britton et al., 2000).
57
2.15.2. Efek Psikoaktif dari Nikotin dan Patofisiologi Ketergantungan Fisik Individu pada Nikotin Nikotin termasuk dalam obat-obatan yang memiliki efek adiktif seperti halnya kokain, heroin, morfin atau amfetamin. Obat-obat adiktif tersebut memiliki dua karakteristik penting sehubungannya dengan perilaku pemakainya, yaitu (1) menimbulkan efek dalam otak yang “menyenangkan” dan mendorong penggunaannya kembali (self-administration) pada hewan coba ataupun pada manusia; (2) Seiring penggunaannya secara kronis, penghentian penggunaan obat akan menghasilkan abstinence syndrome sehingga individu yang kecanduan akan melanjutkan penggunaan obat terkait untuk menghindari efek tersebut (Britton et al., 2000). Studi mengenai mekanisme suatu zat adiktif dalam memberikan dorongan positifnya (positive reinforcing effects) secara signifikan telah dipengaruhi oleh percobaan-percobaan pada beberapa macam obat psikostimulan, amfetamin dan kokain. Eksperimen-eksperimen tersebut membuktikan bahwa kemampuan zat atau obat terkait untuk memberikan stimulasi lokomotor dan menimbulkan kecanduan
pada
hewan
coba
tergantung
pada
kemampuannya
dalam
meningkatkan neurotrnasmisi di sinaps-sinaps dopamin sistem mesolimbik otak, yaitu tepatnya pada area ventral tegmental (VTA, Ventral Tegmental Area). Kesimpulan ini didukung oleh fakta bahwa lesi pada area ini menyebabkan melemahnya efek stimulasi obat tersebut dan kemampuannya untuk menimbulkan kecanduan. Peningkatan yang tinggi pada aliran dopamin di nukleus akumbens
58
oleh sebab rangsangan kokain dan amfetamin menyebabkan efek euforia yang cukup untuk mengakibatkan kecanduan pada para penggunanya. Seperti yang telah disebutkan di atas, efek stimulan lokomotor nikotin dan kemampuannya
untuk
menimbulkan
dorongan
positif
tergantung
pada
kemampuanya untuk menstimulasi neuron-neuron yang mensekresikan dopamin pada sistem mesolimbik, yaitu nukleus akumbens. Efek nikotin terhadap pelepasan dopamin dari neuron-neuron ini telah dipelajari secara mendalam menggunakan teknik mikrodialisis in vivo, yaitu suatu metode yang dapat digunakan untuk mempelajari pelepasan neurotransmiter di area tertentu dalam otak pada hewan hidup. Studi ini menunjukkan dengan jelas bahwa nikotin menstimulasi pelepasan dopamin oleh neuron-neuron di daerah nukleus akumbens (Britton et al., 2000). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa nikotin dapat terikat dengan reseptor kolinergik nikotinik (nAChR, nicotinic Acetylcholine Receptor) yang terdapat pada membran neuron-neuron tersebut. nAChR memiliki banyak isoform yang terdapat pada banyak membran neuron di area-area berbeda dalam otak, misalnya pada daerah VTA, hipokampus, dan area-area lain yang tersebar dalam sistem saraf pusat. Studi neurobiologi kecanduan obat tidak lepas dari fakta bahwa adiksi atau kecanduan merupakan konsekuensi dari penggunaan obat secara kronis. Oleh sebab itu, perlu dimengerti bagaimana mekanisme respon otak yang terpengaruh oleh paparan kronis obat adiktif. Hasil penelitian pada hewan coba, pemberian amfetamin atau kokain berulang akan menghasilkan efek sensititasi pelepasan dopamin di nukleus akumbens. Mekanisme sensititasi ini dipercaya memiliki
59
peran sentral terhadap berkembangnya kecanduan. Dalam hal ini, sensititasi jalur neuron memfasilitasi suatu cara di mana “perilaku mendapatkan obat” dipelajari dan juga memfasilitasi proses “menyukai obat” menjadi “kecanduan obat”. Proses pembelajaran yang terjadi merupakan adanya mekanisme Long Term Potentiation (LTP) pada hipokampus sama seperti halnya mekanisme LTP saat kita berlatih atau belajar. Pada dasarnya, sistem mesolimbik itu sendiri berperan dalam memberikan fungsi afektif terhadap rangsangan sensorik yang masuk, yang nantinya menjadikannya suatu dasar motivasi individu dalam menentukan perilakunya. Motivasi ini bisa berupa motivasi apetitif, yaitu motivasi mencari kesenangan, kenikmatan, atau motivasi aversif, yaitu motivasi untuk menghindar dari sesuatu yang tidak enak, tidak nyaman atau sakit. Sistem ini dgambarkan dengan skema di bawah ini.
Motivasi apetitif
(+)
Enak, nyaman, nikmat
Input (perilaku) (-)
reseptor
Rangsangan
Asosiasi
Hipokampus
proses pembelajaran
sensorik Tidak enak, sakit
Hipokampus
Motivasi aversif Gambar 2.14. Skema Berkembangnya Motivasi Apetitif dan Aversif melalui Proses Pembelajaran. Hipokampus dan mekanisme feedback tentang fungsi afektif dari stimulus sensorik yang masuk mempunyai peran sentral dalam menentukan perilaku perokok.
60
Pemberian nikotin berulang dipercaya juga dapat menghasilkan suatu sensititasi efeknya pada jalur pelepasan dopamin di nukleus akumbens seperti halnya pada pemberian amfetamin atau kokain. Selain pada nukleus akumbens, nikotin juga menimbulkan perangsangan pada reseptor NMDA (N-methyl DAspartate) untuk glutamat. Kostimulasi ini tampaknya memiliki peran terhadap timbulnya mekanisme sensititasi, mengingat pemberian antagonis reseptor NMDA melemahkan atau bahkan menghilangkan mekanisme ini. Seperti yang telah disebutkan di atas, banyak neuron dalam otak mengekspresikan
reseptor
nikotinik
(nAChR),
akibatnya,
nikotin
juga
menstimulasi jalur-jalur lain yang penting dalam menimbulkan efek adiksi. Jalurjalur yang dimaksud di antaranya adalah neuron noradrenergik pada lokus soeruleus, neuron kolinergik pada hipokampus dan korteks yang juga mensekresikan asam amino eksitatorik yaitu glutamat, dan asam amino inhbitorik, yaitu asam γ-amino butirat (GABA, γ-amino butiric acid). Perangsangan pada jalur-jalur ini akan menghasilkan peningkatan kewaspadaan, fokus, dan fungsi kognitif pada perokok, dan akibat inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa mereka merokok di samping efek “menyenangkan” yang diperolehnya. Namun, dengan berlanjutnya paparan nikotin secara kronis, proses desensititasi mulai terjadi pada banyak reseptor nikotinik yang memediasi efeknya dalam otak. Dari hasil penelitian mutakhir telah terbukti bahwa kadar nikotin darah perokok pada siang hari cukup untuk menimbulkan efek desensititasi reseptor nikotinik neuron-neuron dopaminergik di sistem mesolimbik. Hasilnya, asupan nikotin tidak lagi meningkatkan peningkatan pelepasan dopamin di
61
nukleus akumbens. Hal ini memiliki konsekuensi penting untuk hipotesis dopamin dari kecanduan nikotin. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa perokok meneruskan perilaku merokoknya walaupun sebenarnya nikotin tidak lagi menstimulasi neuron dopaminergik di brain reward system, dan besar kemungkinannya mekanisme lain bertanggung jawab terhadap efek adiksi nikotin. Mekanisme lain yang dimaksud misalnya desensititasi reseptor nikotinik pada neuron noradrenergik oleh konsentrasi nikotin yang tinggi dalam plasma perokok akan menimbulkan efek “penenang” (tranquillising) yang sering dilaporkan oleh perokok yang terpapar dengan stresor lingkungan. Perlu ditekankan kembali di sini bahwa nikotin memberikan efeknya dalam otak dengan berikatan dengan reseptor nikotinik. Jadi, respon neuronal lainnya yang memiliki reseptor nikotinik yang sama dapat memiliki peran penting dalam kecanduan nikotin. Paparan nikotin dalam jangka waktu lama juga telah diketahui menghambat produksi dan pelepasan 5-Hidroxysitriptamine (5-HT) pada neuron-neuron hipokampus. Penurunan produkasi dan pelepasan 5-HT pada gilirannya akan meningkatkan ekspresi reseptor 5-HT1A pos sinaptik di neuron-neuron hipokampus sebagai langkah antisipasi. Peningkatan ini akan meningkatkan sensitivitas neuron pos sinaptik. Konsekuensinya, jika kadar nikotin dalam darah menurun, yaitu perokok berhenti merokok, hambatan produksi 5-HT menurun dan peningkatan pelepasan 5-HT yang bersamaan dengan meningkatnya sensitivitas neuron pos sinaptik akan menghasilkan peningkatan stimulasi reseptor 5-HT1A. Peningkatan stimulasi akan menyebabkan timbulnya gejala kecemasan (Britton et al., 2000). Mekanisme-meknisme pada jalur neuronal inilah yang menjadi
62
penyebab berubahnya motivasi apetitif individu terhadap nikotin berubah menjadi motivasi aversif di mana perokok mempertahankan perilaku merokoknya bukan lagi untuk mencari “kenikmatan”, tetapi untuk menghindari efek tidak enak atau tidak nyaman yang timbul jika mereka berhenti merokok. 2.16. Pengukuran Tingkat Ketergantungan Fisik Perokok terhadap Nikotin Proses toleransi terhadap nikotin terjadi oleh sebab asupannya yang berulang, dalam jangka waktu yang lama. Toleransi merupakan petunjuk bahwa perokok sudah mengalami ketergantungan secara fisik terhadap nikotin. Satu-satunya gejala atau tanda bahwa proses toleransi telah terjadi adalah munculnya withdarwal syndrome juka konsumsi nikotin dihentikan secara tiba-tiba (O‟Brian, 2006). Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa target organ nikotin adalah jaringan otak. Dengan demikian munculnya withdrawal syndrome pada perokok dapat tampak sebagai gejala-gejala psikis, misalnya hilangnya konsentrasi, fokus, mudah marah (iritable), perasaan gelisah dan sebagainya. Untuk mengantisipasi gejala-gejala tersebut, perokok mengubah pola perilakunya yang dapat dideteksi atau diukur dengan menggunakan kuesioner, yaitu kuesioner FTND (Fagerstrröm Test for Nicotine Dependence). Menurut hasil studi Piper et al tahun 2003 yang membandingkan kuesioner WISDM-68 (Wisconsin Inventory of Smoking Dependence Motives, terdiri dari 68 pertanyaan yang terbagi dalam 13 domain motif ketergantungan terhadap nikotin) dengan FTND, terbukti bahwa FTND memiliki korelasi positif yang kuat (koefisien korelasi 0,78, p<0,05) dengan domain motif toleransi pada kuesioner
63
WISDM-68. Jadi, dari hasil penelitiannya, dapat disimpulkan bahwa kuesioner FTND sangat tepat digunakan untuk mendeteksi adanya proses toleransi yang menjadi pertanda bahwa perokok telah mengalami ketergantungan fisik. Semakin tinggi skor pada FTND, semakin tinggi pula ketergantungan fisik terhadap nikotin yang dialaminya. Akan tetapi perlu ditekankan bahwa kuesioner FTND hanya sesuai jika digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan fisik bukan ketergantungan oleh sebab atau motif lain misalkan motif otomatisasi, motif kontrol berat badan dan lain-lain. 2.17. Pengukuran Jumlah Paparan Rokok Menggunakan Cigarettes PackYears Sama halnya dengan sifat proses toleransi dari berbagai macam obat lainnya, ketergantungan terhadap nikotin juga memiliki sifat yang tergantung waktu dan dosis, makadari itu, untuk mengukur berapa banyak seorang rokok telah terpapar dengan nikotin adalah dengan menggunakan indeks rokok-tahun, atau yang sering disebut dengan istilah Cigarettes pack-years. Indeks ini merupakan produk jumlah rokok yang dihisap perhari (dalam satuan bungkus, dengan asumsi satu bungkus rokoksama dengan 20 batang) dengan lamanya kebiasaan merokok tersebut. Jadi, 1 Cigarettes pack-years memiliki arti bahwa seseorang sudah merokok 1 bungkus rokok (20 batang rokok/hari) selama setahun. Cigarettes pack-year lebih tepat dan sering digunakan dalam ranah klinis sebab memiliki arti yang representatif untuk mengukur jumlah paparan nikotin sehubungannya dengan risiko untuk menderita penyakit yang disebabkan oleh rokok (Burns, 2005).
64
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir Ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin merupakan faktor determinan bagi perokok untuk mempertahankan perilaku merokoknya meskipun mereka tahu dengan pasti berbagai macam penyakit yang dapat ditimbulkannya. Patofisiologi ketergantungan fisik ini beserta beberapa faktor risiko terkait telah semakin banyak diketahui saat ini melalui banyak penelitian dan berbagai macam pendekatan telah dilakukan untuk mengatasinya. Di antara faktor risiko secara garis besar dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari jenis kelamin, umur, adanya penyakit atau kondisi fisiologis tertentu (misal kehamilan), kondisi psikologis, konsumsi obatobatan, dan tentu saja komposisi genetik individu. Faktor eksternal terdiri dari sosial-ekonomi, budaya atau pergaulan dan pendidikan Komposisi genetik yang merupakan salah satu faktor internal ketergantungan fisik individu terhadap nikotin menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Faktor genetik ini sebenarnya terdiri dari banyak gen yang memiliki peran masingmasing dalam patofisiologi ketergantungan fisik, di antaranya terdapat gen-gen yang mengkode protein-protein reseptor dan trasporter neurotransmiter neuronal di otak, misalkan reseptor dopamin D2 (DRD2), transporter dopamin (DAT), transporter serotonin (5HTT), dan gen CYP2A6 yang mengkode protein enzim
64
65
sitokrom 2a6. Gen CYP2A6 yang mengkode protein enzim sitokrom 2a6 bertanggung jawab terhadap metabolisme 70-90% nikotin dalam darah perokok. Banyak penelitian yang menyebutkan terdapatnya polimorfisme pada gen tersebut dan tentu saja menghasilkan fenotip yang berbeda-beda. Variasi fenotip yang muncul bisa berupa reaksi biokimiawi metabolisme nikotin, yaitu peningkatan aktivitas enzim atau penurunannya dan variasi fenotip dalam hal perannya dalam patofisiologi ketergantungan fisik terhadap nikotin. Penelitian yang mengkaji variasi fenotip dalam bentuk perilaku merokok menunjukkan hasil yang bervariasi, dan oleh sebab itu masih memerlukan penelitian lebih lanjut. 3.2. Konsep Faktor Eksternal
Faktor Internal - Jenis kelamin
- Sosial-ekonomi
- Suku
- Budaya/pergaulan
- Faktor genetik
- pendidikan
- Faktor psikologis - obat-obatan - Umur - Penyakit atau kondisi fisiologis tertentu
Ketergantungan fisik terhadap nikotin
Gambar 3.1. Kerangka Konsep
66
3.3. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini yaitu gen CYP2A6 lebih sering ditemukan pada kelompok perokok yang memiliki ketergantungan fisik nikotin yang tinggi daripada kelompok perokok dengan ketergantungan fisik yang rendah.
67
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional, dengan rancangan studi kasus kontrol (case-control study). Dalam penelitian ini akan dilihat peran gen CYP2A6 dalam meningkatkan ketergantungan fisik terhadap nikotin dalam rokok pada subyek penelitian. Untuk menentukan polimorfisme gen CYP2A6 dilakukan metode PCR yang akan dijelaskan di bawah. Subyek penelitian yang terdiri dari 56 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian secara acak dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok kontrol atau kelompok tanpa efek (ketergantungan fisik terhadap nikotin rendah) sebanyak 28 orang dan kelompok dengan dengan efek (ketergantungan fisik terhadap nikotin tinggi) sebanyak 28 orang berdasarkan skor toleransi hasil pengukuran menggunakan kuesioner FTND (Fagerstrröm Test for Nicotine Dependence) yang terdiri dari 6 pertanyaan. Kemudian, pada kedua kelompok subyek dilakukan pemeriksaan PCR untuk mengidentifikasi faktor risiko berupa gen CYP2A6. .Rancangan penelitian ini dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut : Faktor Risiko (+) (Gen CYP2A6 (+))
Ketergantungan Fisik tinggi Sampel
Faktor Risiko (-) (Gen CYP2A6 (-))
Ketergantungan fisik rendah
67
Populasi
68
Keterangan : P
= Populasi
S
= Sampel
K1 & K2 = Identifikasi gen CYP2A6 menggunakan PCR 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilakukan di unit Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar. Pemeriksaan PCR terhadap DNA leukosit yang diambil dari sampel darah dilakukan di bagian Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan April 2011. 4.3. Populasi dan Sampel Populasi sampel adalah semua perokok (current smoker, yaitu perokok yang aktif merokok sampai saat ini dan merokok minimal 20 hari dalam sebulan terakhir) di kota Denpasar yang mengalami ketergantungan fisik terhadap nikotin. Sampel penelitian adalah para perokok dengan ketergantungan fisik terhadap nikotin yang memenuhi kriteria inklusi, eksklusi dan bersedia ikut serta dalam penelitian ini. 4.4. Kriteria Subyek 4.4.1. Kriteria Inklusi 1. Perokok berjenis kelamin laki-laki, keturunan Bali asli minimal sampai third degree relatives (Kakek dan nenek orang Bali asli) dan berumur antara 20-50 tahun.
69
2. Mengkonsumsi minimal 5 batang rokok sehari, dengan rokok berjenis kretek tanpa mentol minimal ≥ 20 hari dalam sebulan terakhir dan telah merokok selama minimal 5 tahun. 3. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian 4.4.2. Kriteria Eksklusi 1. Pasien sedang menjalani pengobatan atau berusaha untuk berhenti merokok dalam sebulan terakhir. 2. Pasien menderita penyakit yang mengharuskannya beristirahat total selama ≥ 10 hari dalam sebulan terakhir, seperti misalnya sakit jantung, penyakit ginjal, paru dan lain-lain. 3. Pasien sering mengkonsumsi alkohol dan/atau bahan makanan yang mengandung mentol seperti permen, dan lain-lain. 4. Pasien memiliki riwayat penyakit liver seperti hepatitis, sirosis hepatis, alcoholic liver disease atau hepatoma. 5. Pasien mengkonsumsi obat-obatan penginduksi atau inhibitor enzim sitokrom P450 seperti rifampicin, dexamethasone, phenobarbital, methoxsalen (8methoxypsoralen), tranylcypromine, tryptamine, coumarin dan neomenthyl thiol 4.5. Besar Sampel Berdasarkan acuan Kirkwood (1988) penentuan jumlah sampel berdasarkan rumus perhitungan besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok seperti pada studi kasus-kontrol, yaitu : n1 = n2 = [ Zα √2PQ + Zβ √ P1Q1 + P2Q2 ]2 ( P1 - P2 )2
70
n1 = n2 = [ 1,645 √2x0,594x0,406 + 0,842 √(0,756x0,244) + (0,432x0,568) ]2 ( 0,756 – 0,432 )2 n1 = n2 = 27,2 ≈ 28 orang, jadi total sampel = 2 x 28 = 56 orang n1 = n2 = besar sampel pada masing-masing kelompok subyek Zα
= nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu, dalam penelitian ini ditentukan nilai α sebesar 5% dan hipotesis satu arah.
Zβ
= nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada β tertentu dalam penelitian ini ditentukan nilai β sebesar 20%.
P2
= proporsi faktor risiko pada kelompok subyek tanpa efek (kontrol)
P1
= perkiraan proporsi faktor risiko pada kelompok subyek dengan efek
(kasus). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Minematsu, et al (2003), didapatkan proporsi faktor risiko pada kelompok kontrol (tanpa efek) sebesar 43,2%. Dengan menggunakan data proporsi faktor risiko pada kelompok subyek tanpa tanpa efek (kontrol) ini dan clinical judgement sebesar 1,75 maka diperoleh nilai P1 sebesar = 1,75 x 43,2% = 75,6% P
= ½ x [ P1 + P2 ] = ½ x [ 0,756 + 0,432 ] = 0,594
Q1
= 1 - P1 = 1 - 0,756 = 0,244
Q2
= 1 - P2 = 1 - 0,432 = 0,568
Q
= 1- P =1- 0,594 = 0,406
4.6. Cara Pengambilan Sampel Pengambilan subyek penelitian dilakukan dengan cara snowballing. Semua subyek yang teridentifikasi dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi.
71
4.7. Variabel 4.7.1. Klasifikasi Variabel a) Variabel bebas : gen CYP2A6. b) Variabel tergantung : tingkat ketergantungan fisik terhadap nikotin berdasarkan skor FTND (Fagerstrröm Test for Nicotine Dependence) c) Variabel kendali : suku, jenis kelamin, umur, konsumsi obat-obatan inducer atau inhibitor, penyakit pada hati, jenis rokok, jumlah rokok yang dihisap dan lama merokok. 4.7.2. Definisi Operasional Variabel 1. Teknik pengambilan sampel secara snowballing merupakan suatu teknik identifikasi subyek yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi secara berantai. Dari subyek yang telah teridentifikasi dan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi tersebut didapatkan teman atau rekan yang memiliki kriteria yang lebih kurang sama dengan subyek. 2. Tingkat Ketergantungan Fisik terhadap Nikotin Definisi
: Tingkat ketergantungan perokok terhadap nikotin secara fisik, yang ditunjukkan dengan munculnya gejala dan tanda withdrawal syndrome apabila perokok tersebut berhenti merokok untuk beberapa waktu oleh sebab adanya proses toleransi.
Alat ukur : Kuesioner FTND (Fagerstrröm Test for Nicotine Dependence) Cara ukur : Mengisi kuesioner berdasarkan wawancara terhadap subyek Hasil ukur : 0-2
: Ketergantungan fisik sangat rendah
72
3-4
: Ketergantungan fisik rendah
5
: Ketergantungan fisik sedang
6-7
: Ketergantungan fisik tinggi
8-10
: Ketergantungan fisik sangat tinggi
3. Gen CYP2A6 Definisi
: Gen pengkode enzim sitokrom P450 famili nomor 2, subfamili a nomor 6 yang terletak pada kromosom 19p13.2 dan diekspresikan di hepar.
Alat ukur : Ekstraksi DNA dari darah vena perifer sesuai dengan protokol ekstraksi DNA dan diamplifikasi menggunakan teknik PCR kemudian dilakukan restriksi menggunakan enzim Eco81I Cara ukur : Menilai adanya polimorfisme gen CYP2A6, dalam hal ini polimorfisme yang terjadi adalah berupa delesi. Hasil ukur : Dengan melihat pola pemotongan enzim pada elektroforesis gel agarose dengan ketentuan sebagai berikut (Nakajima et al., 2004): CYP2A6*1/ CYP2A6*1
: terdiri dari 3 segmen DNA, yaitu: 800 bp, 434 bp, dan 104 bp.
CYP2A6*1/CYP2A6*4
: terdiri dari 5 segmen DNA, yaitu: 800 bp, 759 bp, 434 bp, dan 104 bp dan 41 bp.
CYP2A6*4/ CYP2A6*4
: terdiri dari 4 segmen DNA, yaitu: 759 bp, 434 bp, dan 104 bp, dan 41 bp.
73
4.8. Pengumpulan Data 4.8.1. Persiapan 1. Mencari dan mengumpulkan bahan kepustakaan 2. Menyusun status penelitian 3. Meminta ethical approval dari komite etik 4. Menghubungi bagian terkait 4.8.2. Perlengkapan dan Instrumen Penelitian 1. Alat tulis menulis 2. Kuesioner FTND (Fagerstrröm Test for Nicotine Dependence) 3. Perlengkapan pengambilan sampel darah vena perifer 4. Perlengkapan untuk pemeriksaan PCR 4.8.3. Proses Pengumpulan Data 1. Data mengenai subyek perokok yang teridentifikasi dan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi dilengkapi sesuai dengan tujuan penelitian 2. Pengambilan sampel darah vena 3. Pemeriksaan PCR terhadap gen CYP2A6 dilakukan di unit Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 4.9. Prosedur Penelitian 4.9.1. Alokasi Sampel dan Alur Penelitian Dari seluruh subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dengan ketergantungan fisik tinggi (skor kuesioner >4) dan kelompok dengan ketergantungan fisik yang rendah (kuesioner toleransi ≤4) menggunakan kuesioner FTND (Fagerstrröm Test for Nicotine
74
Dependence). Alur penelitian lebih jelasnya digambarkan dengan bagan seperti di bawah ini.. Setelah itu pada masing-masing kelompok, kontrol dan kasus dilakukan pemeriksaan PCR untuk mengidentifikasi gen CYP2A6. Perokok yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Data indentitas dilengkapi
Pengukuran tingkat ketergantungan menggunakan kuesioner FTND
Ketergantungan
Ketergantungan
fisik tinggi
fisik rendah
Ambil darah vena perifer
Ambil darah vena perifer
Identifikasi gen CYP2A6
Identifikasi gen CYP2A6
Gambar 4.1. Alur Penelitian. 4.9.2. Ekstraksi DNA dari Buffy Coat Isolasi Buffy Coat dari Sampel Darah 1.
Ambil 700 µl sampel darah menggunakan pipetor, masukkan ke dalam tabung eppendorf berisi 700 μl aquadest, kemudian vortex sampai homogen.
2.
Setelah terbentuk cairan yang homogen, centrifuge 8000 rpm selama 1 menit.
3.
Buang supernatan.
75
4.
Ulangi langkah 1-3 sampai terbentuk pelet berwarna bening di dasar tabung eppendorf.
5.
Setelah terbentuk preipitat yang bening campurkan 200 μl NaCl fisiologis.
Isolasi DNA dari Buffy Coat Persiapan: sebelum langkah isolasi DNA dimulai, inkubasi elution buffer pada suhu 70oC. 1.
Campurkan 200 μl larutan mengandung presipitat DNA dengan 200 μl binding buffer serta 40 μl proteinase K, vortex sampai homogen kemudian inkubasi pada suhu 70oC selama 10 menit.
2.
Tambahkan 100 μl isopropanol, vortex, masukkan ke spin column, kemudian centrifuge 8000 rpm selama 1 menit.
3.
Ganti collection tube, tambahkan 500 μl inhibitor removal buffer, centrifuge 8000 rpm selama 1 menit.
4.
Ganti collection tube, tambahkan 500 μl wash buffer, centrifuge 8000 rpm selama 1 menit.
5.
Ganti collection tube, tambahkan 400 μl wash buffer, centrifuge 8000 rpm selama 1 menit.
6.
Ganti collection tube, centrifuge 8000 rpm selama 1 menit atai 13000 rpm selama 10 detik.
7.
Ganti eppendeorf tube, tambahkan 100 μl elution buffer, lalu centrifuge 8000 rpm selama 1 menit
8.
DNA telah terisolasi dalam eppendorf tube, simpan dalam freezer.
76
4.9.3. Teknik PCR Untuk Isolasi Gen CYP2A6 Sebelum dilakukan pemeriksaan PCR, perlu dilakukan ekstraksi DNA dahulu sebelumnya dari darah vena. Darah vena diambil sebanyak 3-5 ml menggunakan spuit 5 ml dari vena di area cubiti kemudian dimasukkan dalam tabung sampel darah yang mengandung EDTA. Ekstraksi DNA dilakukan sesuai dengan protokol yang telah disebutkan di atas Setelah ekstraksi DNA dari sampel darah vena berhasil dilakukan, selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan PCR. PCR dilakukan dengan menggunakan forward primer dan reverse primer menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Nakajima et al (2001), yaitu 5‟- CAC CGA AGT GTT CCC TAT GCT G -3‟ dan 5‟- AAA ATG GGC ATG AAC GCC C -3‟. Campurkan DNA sampel DNA genomik ke dalam campuran PCR (PCR mixture 25µl) terdiri dari 1 x PCR buffer, 1,5 mM MgCl2, 0,4 µM dari masing-masing primer, 250 µM dNTPs, dan 1 U Taq DNA polimerase. Setelah denaturasi awal pada suhu 94 o C selama 5 menit, amplifikasi dilakukan dengan denaturasi pada suhu 94 o C selama 1 menit, annealing pada suhu 56o C selama 1 menit, dan ekstensi pada suhu 72 o C selama 1 menit. Siklus amplifikasi tersebut dilakukan sebanyak 35 kali, kemudian diikuti dengan ekstensi terakhir pada suhu 72o C selama 5 menit. PCR ini akan menghasilkan duplikasi segmen DNA sepanjang 1338 pasang basa. Produk PCR tersebut akan dipotong menggunakan enzim restriksi Eco81 I. Pola pemotongan akan ditentukan dengan menggunakan gel elektroforesis agarose 2%.
77
Gen CYP2A7 Exon 1
Gen CYP2A6 Exon 9
Exon 1
Exon 9
Telomer
Sentromer
5’UTR
3’UTR
5’UTR
3’UTR
Delesi
Gen CYP2A7 Exon 1
Exon 9
Telomer
Sentromer
5’UTR
3’UTR
Gambar 4.2. Gambar Skematis Delesi Pada Gen CYP2A6
Gambar 4.3. Gambar Skematis Letak Pemotongan Enzim Restriksi pada Gen CYP2A6 (Nakajima et al., 2001)
78
4.10. Analisis Data Karena penelitian ini merupakan penelitian analitik komparatif, dengan jenis variabel kategorik, dan subyek yang tidak berpasangan, maka jenis analisis yang digunakan adalah uji Chi-square jika syarat terpenuhi. Jika syarat uji Chi Square tidak terpenuhi, maka akan digunakan uji Fisher. Data yang didapatkan pada penelitian ini akan dianalisis sebagai berikut : 1. Analisis deskriptif Dari data hasil penelitian mengenai karakter subyek disajikan dalam bentuk narasi dan tabel-tabel. Karakter-karakter yang dimaksudkan adalah seperti umur, jumlah rokok/hari, lama merokok, tingkat pendidikan dan lain sebagainya. 2. Uji Normalitas dan homogenitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov dan Levene’s test 3. Analisis Inferensial Uji Chi-Square untuk analisis komparasi: a) Hubungan antara lama merokok dengan skor FTND b) Hubungan antara jumlah rokok per hari yang dihisap dengan skor FTND c) Hubungan antara jumlah rokok yang dihisap per Hari dengan lamanya kebiasaan merokok d) Hubungan antara gen CYP2A6 dengan jumlah rokok per hari yang dihisap e) Hubungan antara gen CYP2A6 dengan skor FTND
79
Uji Mann-Whitney U untuk analisis komparasi: a) Komparasi nilai cigarettes pack-years antar kelompok berdasar skor FTND b) Komparasi nilai cigarettes pack-years antar kelompok berdasar gen CYP2A6 4.11. Penyusunan dan Penyajian Laporan Penelitian Laporan penelitian akan dituangkan dalam bentuk tertulis dan disajikan dalam suatu sidang ilmiah. 4.12. Etika Penelitian Sebelum pelaksanaan penelitian terlebih dahulu akan diminta persetujuan dari Komisi Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan lembar penjelasan kepada subyek penelitian seperti pada lampiran 2.
79
BAB V HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
5.1. Analisis Deskriptif Jumlah perokok yang berhasil dikumpulkan dan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah sebanyak 78 perokok. Di bawah ini akan diuraikan analisis deskriptif mengenai subyek tersebut. 5.1.1. Rerata Umur Subyek Penelitian, Lama Kebiasaan Merokok, Jumlah Rokok per Hari, Cigarettes Pack-Years dan Skor FTND Rerata umur subyek dalam penelitian ini adalah sebesar 30,9 tahun. Rerata lama kebiasaan merokok dan jumlah rokok yang dihisap/hari adalah berturut-turut sebesar 11,7 tahun dan 13,2 batang/hari, sedangkan rerata skor FTND yang telah diukur menggunakan kuesioner FTND (Fagerström Test For Nicotine Dependence) adalah sebesar 4,4. Rerata produk indeks rokok-tahun (Cigarettes Pack-Years) adalah sebesar 7,8. 5.1.2. Deskripsi Perokok Berdasarkan Umur Data deskripsi 78 orang perokok berdasarkan umur meliputi umur perokok paling muda yaitu 20 tahun sampai 50 tahun, sesuai dengan kriteria inklusi, dengan rerata umur 30,9 tahun. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 5.1 dibawah ini.
80
81
Tabel 5.1. Frekuensi Perokok Berdasarkan Umur Umur ≤ 30,9 tahun > 30,9 tahun Total
Frekuensi 45 (57,7%) 33 (42,3%) 78 (100%)
5.1.3. Deskripsi Perokok Berdasarkan Tingkat Pendidikan Dari data perokok berdasarkan tingkat pendidikannya dapat diketahui bahwa subyek perokok yang pendidikan SMU atau yang sederajat seperti STM ataupun SMK adalah yang paling banyak, yaitu sebesar 44,9%. Data dalam tabel 5.2 di bawah juga memberikan informasi bahwa perokok dengan tingkat pendidikan SD adalah yang paling sedikit, yaitu hanya 14,1%. Tabel 5.2. Frekuensi Perokok Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pendidikan SD SMP SMU/sederajat Perguruan Tinggi Total
Frekuensi 11 (14,1%) 16 (20,5%) 35 (44,9%) 16 (20,5%) 78 (100%)
5.1.4. Deskripsi Perokok Berdasarkan Jumlah Rokok yang Dihisap per Hari Rata-rata dalam sehari subyek dalam penelitian ini menghisap rokok sebanyak 13,2 batang. Sebagian besar perokok, yaitu sebesar 51 orang (65,4%) menghisap rokok kurang dari atau sama dengan 13,2 batang rokok per harinya. Tabel 5.3. Frekuensi Perokok Berdasarkan Jumlah Rokok per Hari yang Dihisap Jumlah Rokok/hari ≤ 13,2 batang > 13,2 batang Total
Frekuensi 51 (65,4%) 27 (34,6%) 78 (100%)
80
82
5.1.5. Deskripsi Perokok Berdasarkan Lama Kebiasaan Merokok Dari tabel 5.4 di bawah ini dapat diketahui bahwa 59% perokok telah memiliki kebiasaan merokok kurang dari atau sama dengan 11,7 tahun sedangkan sisanya sebesar 41% merokok lebih dari 11,7 tahun. Tabel 5.4. Frekuensi Perokok Berdasarkan Lama Kebiasaan Merokok Lama Kebiasaan Merokok ≤ 11,7 tahun > 11,7 tahun Total
Frekuensi 46 (59,0%) 32 (41,0%) 78 (100%)
5.1.6. Deskripsi Perokok Berdasarkan Skor FTND Lebih dari separuh perokok (66,5%) yang menjadi subyek dalam penelitian ini memiliki skor FTND (Fagerström Test for Nicotine Dependence) kurang dari atau sama dengan 5. Tabel dibawah ini menyajikan data tersebut secara rinci. Tabel 5.5. Frekuensi Perokok Berdasarkan Skor FTND Skor FTND Sangat ringan (0-2) Ringan (3-4) Sedang (5) Berat (6-7) Sangat berat (8-10) Total
Frekuensi 19 (24,2%) 24 (30,8%) 9 (11,5%) 14 (17,9%) 12 (15,4%) 78 (100%)
Tabel 5.6. Frekuensi Perokok Berdasarkan Skor FTND dengan Nilai Rata-rata sebagai Cut-off Point Skor FTND ≤ 4,4 > 4,4 Total
Frekuensi 43 (55,1%) 35 (44,9%) 78 (100%)
5.1.7. Deskripsi Perokok Berdasarkan Gen CYP2A6 yang Dimilikinya Sebagian besar perokok memiliki gen CYP2A6 atau memiliki alel gen CYP2A6 dalam keadaan homozigot, yaitu sebesar 64,1%, sedangkan sisanya,
83
yaitu sebesar 35,9% perokok memiliki alel delesi. Data selengkapnya mengenai alel gen tersebut yang dimiliki perokok dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.7. Frekuensi Perokok Berdasarkan Alel Gen CYP2A6 yang Dimilikinya Gen CYP2A6 Positif Homozigot wild type Negatif Heterozigot wild type/deletion Homozigot deletion Total
Frekuensi 50 (64,1%) 21 (26,9%) 7 (9,0%) 78 (100%)
Gambar 5.1. Foto Hasil Digesti Sampel
Marker
Sampel
Homozigot Wild type
Heterozigot wild type/delesi
Homozigot delesi
800 bp 759 bp 434 bp
104 bp 41 bp
Gambar 5.2. Ilustrasi Hasil Digesti Sampel
84
Gambar 5.2 di atas merupakan ilustrasi hasil digesti sampel. Segmen DNA hasil amplifikasi dengan teknik PCR sepanjang 1338 bp didigesti atau direstriksi dengan enzim restiksi Eco81I dan menghasilkan banding pattern sesuai dengan alel yang dimiliki oleh subyek. Jika subyek memiliki alel heterozygot maka banding pattern nya ada 5 band yang terdiri dari band 800 bp, 759 bp, 434 bp, 104 bp dan 41 bp, sedangkan jika subyek memiliki alel homozygot wild type akan memiliki pola 3 band yang terdiri dari band 800 bp, 434 bp, dan 104 bp. Alel homozygot delesi akan memiliki pola 4 band yang terdiri dari band 759 bp, 434 bp, 104 bp dan 41 bp. 5.1.8. Deskripsi Umur Perokok dan Jumlah Rokok per Hari yang Dihisap Dari data dalam tabel 5.8 dapat diketahui bahwa sebagian besar perokok yang menghisap rokok lebih dari 13,2 batang/hari berumur kurang dari atau sama dengan 30,9 tahun. Sebaliknya, sebagian besar perokok yeng berumur lebih dari 30,9 tahun menghisap rokok kurang dari atau sama dengan 13,2 batang. Tabel 5.8. Distribusi Perokok berdasarkan Umur dan Jumlah Rokok per Hari Umur Perokok ≤ 30,9 tahun > 30,9 tahun Total
Jumlah Rokok/hari ≤ 13,2 > 13,2 30 (38,5%) 15 (19,2%) 21 (26,9%) 12 (15,4%) 51 (65,4%) 27 (34,6%)
Total 45 (57,7%) 33 (42,3%) 78 (100%)
5.1.9. Deskripsi Umur Perokok dan Skor FTND Tabel 5.9 dibawah menunjukkan bahwa semakin tua umur perokok maka semakin meningkat kecenderungan untuk menderita ketergantungan fisik terhadap nikotin yang tercermin dari semakin tingginya skor FTND.
85
Tabel 5.9. Distribusi Perokok berdasarkan Umur dan Skor FTND Skor FTND ≤ 4,4 > 4,4 28 (35,9%) 17 (21,8%) 15 (19,2%) 18 (23,1%) 43 (55,1%) 35 (44,9%)
Umur Perokok ≤ 30,9 tahun > 30,9 tahun Total
Total 45 (57,7%) 33 (42,3%) 78 (100%)
5.2. Uji Normalitas dan Homogenitas Data Data nilai cigarettes pack-years pada masing-masing kelompok berdasarkan skor FTND, yaitu kelompok ≤ 4,4 dan > 4,4 diuji normalitasnya menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dan didapatkan hasil bahwa pada kelompok skor FTND ≤ 4,4, data tidak berdistribusi normal (p<0,05), sedangkan pada kelompok skor FTND > 4, data berdistribusi normal (p>0,05). Hasil uji normalitas data nilai cigarettes pack-years pada masing-masing kelompok
berdasarkan
gen
CYP2A6
dengan
uji
Kolmogorov-Smirnov
menunjukkan bahwa kedua kelompok data tidak berdistribusi normal (p<0,05). Uji homogenitas varians nilai cigarettes pack-years antar kelompok skor FTND dengan Levene‟s test menunjukkan bahwa kedua kelompok data tidak homogen (p<0,05). Namun jika pembagian kelompok berdasarkan gen CYP2A6 maka varians nilai cigarettes pack-years menunjukkan bahwa kedua kelompok data tersebut homogen. 5.3. Analisis Inferensial Karena data bersifat nominal maka jenis uji statistik inferensial yang digunakan adalah uji non-parametrik yaitu uji Chi-square. Dalam uji ini didapatkan hasil yang akan dibahas di bawah ini.
86
5.3.1. Hubungan antara Lama Merokok dengan Skor FTND Analisis data membuktikan bahwa terdapat hubungan antara lamanya kebiasaan merokok dan tingginya ketergantungan fisik terhadap nikotin. Semakin lama kebiasaan merokok semakin tinggi ketergantungan fisik yang dideritanya berdasarkan hasil ukur menggunakan kuesioner FTND (p=0,03, CI=95%). Tabel 5.10. Hubungan antara Lama Kebiasaan Merokok dengan Skor FTND Lama Merokok ≤ 11.7 tahun > 11.7 tahun Total
Skor FTND ≤ 4,40 > 4,40 30 (65,2%) 16 (34,8%) 13 (40,6%) 19 (59,4%) 43 (55,1%) 35 (44,9%)
Total 46 (100%) 32 (100%) 78 (100%)
5.3.2. Hubungan antara Jumlah Rokok per Hari yang Dihisap dengan Skor FTND Data tabel di bawah menyatakan bahwa dari 27 orang yang menghisap rokok lebih dari 13,2 batang per hari ada 20 orang (74,1%) yang memiliki ketergantungan fisik tinggi terhadap nikotin. Namun dari 51 orang yang menghisap rokok kurang dari atau sama dengan 13,2 batang per hari hanya 15 (29,4%) yang memiliki ketergantungan fisik tinggi yang terukur dari tingginya skor FTND (>4,40). Tabel 5.11. Hubungan antara Jumlah Rokok per Hari dengan Skor FTND Jumlah rokok/hari ≤ 13,2 batang > 13,2 batang Total
Skor FTND ≤ 4,40 > 4,40 36 (70,6%) 15 (29,4%) 7 (25,9%) 20 (74,1%) 43 (55,1%) 35 (44,9%)
Total 51 (100%) 27 (100%) 78 (100%)
87
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin banyak rokok yang dihisap perharinya akan semakin meningkatkan ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin (p=0,000, CI=95%). 5.3.3. Hubungan antara Jumlah Rokok yang Dihisap per Hari dengan Lamanya Kebiasaan Merokok Jumlah rokok yang dihisap per harinya tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan lamanya kebiasaan merokok (p=0,06, CI=95%). Dengan kata lain kedua variabel ini tidak saling mempengaruhi dan bebas satu sama lainnya. Tabel 5.12. Hubungan antara Jumlah Rokok yang Dihisap per Hari dengan Lamanya Kebiasaan Merokok Jumlah rokok/hari ≤ 13,2 batang > 13,2 batang Total
Lama Merokok (tahun) ≤ 11,7 > 11,7 34 (66,7%) 17 (33,3%) 12 (44,4%) 15 (55,6%) 46 (59,0%) 32 (41,0%)
Total 51 (100%) 27 (100%) 78 (100%)
5.3.4. Hubungan antara Gen CYP2A6 dengan Jumlah Rokok per Hari yang dihisap Hasil analisis data menunjukkan bahwa gen CYP2A6 pada perokok akan meningkatkan konsumsi rokok per hari lebih dari 13,2 batang dibandingkan dengan orang yang memiliki alel delesi. Pernyataan tersebut didukung oleh data dalam tabel 5.13 di bawah ini dengan nilai p=0,02 (p<0,05) dan CI=95%. Tabel 5.13. Hubungan antara Gen CYP2A6 dengan Jumlah Rokok per Hari Gen CYP2A6 Negatif (delesi) Positif (wild type) Total
Jumlah Rokok/hari ≤ 13,2 > 13,2 23 (82,1%) 5 (17,9%) 28 (56,0%) 22 (44,0%) 51 (65,4%) 27 (34,6%)
Total 28 (100%) 50 (100%) 78 (100%)
88
5.3.5. Hubungan antara Gen CYP2A6 dengan Skor FTND Dari data di bawah ini, dapat diketahui bahwa dari 50 orang yang memiliki alel homozygot wild type ada 29 orang (58,0%) di antaranya yang memiliki angka ketergantungan fisik terhadap nikotin yang tinggi, sedangkan dari 28 orang yang memiliki alel delesi pada gen yang sama hanya ada 6 orang (21,4%) yang memiliki angka ketergantungan fisik yang tinggi. Hubungan antar variabel ini telah diuji dengan menggunakan uji Chi-square dan didapatkan hasil p=0,002 (p<0,05) dengan CI=95%. Tabel 5.14. Hubungan antara Ada atau Tidaknya Gen CYP2A6 dan Skor FTND Gen CYP2A6 Negatif (delesi) Positif (wild type) Total
Skor FTND ≤ 4,40 > 4,40 22 (78,6%) 6 (21,4%) 21 (42,0%) 29 (58,0%) 43 (55,1%) 35 (44,9%)
Total 28 (100%) 50 (100%) 78 (100%)
Perokok yang memiliki gen CYP2A6 memiliki risiko sebesar 5,1 kali untuk menderita ketergantungan yang tinggi pada nikotin dibandingkan dengan perokok yang tidak memiliki gen CYP2A6 (OR=5,1). 5.3.6. Komparasi Nilai Cigarettes Pack-Years antar Kelompok berdasar Skor FTND Uji statistik yang digunakan untuk melakukan analisis komparasi nilai cigarettes pack-years adalah dengan uji non-parametris, sebab syarat uji parametris tidak terpenuhi, yaitu data tidak berditribusi normal dan varians antar kelompok tidak homogen. Uji non-parametris yang digunakan di sini adalah uji Mann-Whitney U, dan memberikan hasil bahwa nilai cigarettes pack-years pada kelompok skor FTND > 4,4 lebih tinggi secara signifikan daripada nilai cigarettes
89
pack-years pada kelompok skor FTND ≤ 4,4 dengan nilai p=0,000 (p<0,05, CI = 95%) (Lampiran 10). 5.3.7. Komparasi Nilai Cigarettes Pack-Years antar Kelompok berdasar Gen CYP2A6 Uji non-parametris dengan Mann-Whitney U membuktikan bahwa nilai cigarettes pack-years pada kelompok gen CYP2A6 positif lebih tinggi secara signifikan daripada nilai cigarettes pack-years pada kelompok gen CYP2A6 negatif dengan nilai p=0,016 (p<0,05, CI = 95%) (Lampiran11).
90
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Karakteristik Subyek dalam Penelitian Latar belakang pendidikan subyek adalah dari SD sampai S1, dengan jumlah lulusan SMU/sederajat adalah yang terbanyak, yaitu sebesar 44,9%, sedangkan yang paling sedikit adalah lulusan SD yaitu hanya sebesar 14,1%. Dalam penelitian ini didapatkan 78 orang perokok yang menunjukkan gejala dan tanda ketergantungan fisik terhadap nikotin menurut hasil pengukuran menggunakan kuesioner FTND. Dari 78 orang tersebut, hampir separuh di antaranya, yaitu 35 orang (44.9%), adalah perokok dengan ketergantungan fisik terhadap nikotin yang tergolong berat, yaitu memiliki skor lebih dari 4, sedangkan sisanya sebanyak 43 orang atau sekitar 55,1% dari 78 orang memiliki ketergantungan fisik yang rendah. Dari 35 orang yang memiliki skor FTND lebih dari empat, 20 di antaranya (57,1%) menghisap rokok lebih dari 13 batang per harinya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi skor FTND maka semakin tinggi pula jumlah rokok yang dihisap per harinya, demikian juga sebaliknya, walaupun berdasarkan teori yang ada jumlah rokok yang dihisap per hari saja tidaklah cukup digunakan sebagai tolak ukur ketergantungan fisik yang diderita perokok terhadap nikotin. Banyak perokok lain yang menghisap rokok dengan jumlah besar dalam sehari, namun tidak menunjukkan adanya gejala dan tanda ketergantungan fisik tinggi yang terukur menggunakan kuesioner FTND, sebab, toleransi yang merupakan penanda adanya ketergantungan fisik hanyalah salah
90 80
91
satu dari tiga belas motif perokok. Akan tetapi, hal ini tidaklah menyangkal kesimpulan bahwa jumlah rokok yang dihisap per hari dalam jumlah yang tinggi (lebih dari 13 batang/hari) merupakan faktor risiko untuk meningkatkan ketergantungan fisik terhadap nikotin terlepas dari lamanya kebiasaan merokok (p<0,05). Data yang didapatkan menunjukkan adanya kecenderungan bahwa semakin tua umur perokok maka semakin tinggi skor FTND nya. Kecenderungan antara umur dan ketergantungan fisik ini tidaklah berhubungan langsung. Sebab, kriteria current smoker mengharuskan perokok yang menjadi subyek adalah orang yang aktif merokok saat penelitian berlangsung, tentu saja orang yang berumur lebih tua, banyak yang memiliki kebiasan merokoknya sejak dia masih muda, dengan begitu ia memiliki kebiasaan merokok yang lebih lama dibandingkan dengan orang yang umurnya masih muda, dengan asumsi mereka memulai merokok pada umur yang lebih kurang sama. Tentu saja, dengan demikian, orang yang berumur tua memiliki skor FTND yang relatif lebih tinggi dibandingan perokok umur muda. Sebagian besar perokok, yaitu sebanyak 46 orang (59%), telah memiliki kebiasaan merokok kurang dari atau sama dengan 11,7 tahun. Analisis data ini dalam hubungannya dengan skor FTND menyimpulkan bahwa terlepas dari jumlah rokok per hari yang dihisap, lamanya kebiasaan merokok yang dimiliki seseorang merupakan faktor risiko untuk meningkatkan ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin. Faktor waktu (time) dan dosis (dose) dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai faktor risiko meningkatkan ketergantungan ataupun dapat
92
saling berinteraksi untuk meningkatkan ketergantungan fisik terhadap nikotin. Patofisiologi bagaimana ketergantungan fisik dapat terjadi oleh karena paparan yang sifatnya time and dose dependent akan dijelaskan pada sub bab di bawah ini. Sebagian besar sampel, yaitu 50 orang (64,1%), memiliki gen CYP2A6 normal (wild type) dalam keadaan homozigot, sedangkan sisanya, yaitu 21 orang (26,9%) memiliki genotip heterozigot wild type / delesi dan 7 orang (9,0%) dengan genotip homozigot delesi. Dari data ini dapat dihitung bahwa frekuensi alel wild type adalah: Jumlah alel wild type (2 x 50) + 21 121 = Jumlah keseluruhan alel = 2 x 78 156 = 77,6% sedangkan frekuensi alel delesi adalah sebesar: 100% - 77,6% = 22,4%. Besarnya frekuensi ini lebih kurang sesuai dengan perkiraan frekuensi alel di populasi menurut hasil-hasil penelitian terhadap gen yang sama di Asia (Hukkanen et al., 2005). 6.2. Patofisiologi Ketergantungan Fisik terhadap Nikotin dan Peran Gen CYP2A6 6.2.1. Patofisiologi Ketergantungan Fisik terhadap Nikotin Ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin merupakan sindrom yang sifatnya poligenik dan multifaktorial yang berarti bahwa ada banyak gen dan faktor lingkungan ikut terlibat sebagai faktor determinan. Faktor genetik tidak dapat berdiri sendiri sebagai faktor penyebab, demikian juga halnya faktor lingkungan tidak akan bisa memberikan pengaruhnya pada fenotip jika tidak dimediasi oleh komponen genetik yang membentuk genotip individu. Selain itu, fluktuasi hasil interaksi antar keduanya juga sangat penting dalam menghasilkan
93
fenotip, perbedaan interaksi antar faktor genetik dan lingkungan dapat memberikan respon atau fenotip yang berbeda pada individu yang sama dalam waktu yang berbeda (Arking, 2006). Seperti yang telah dijelaskan dalam bab tinjauan pustaka, ketergantungan fisik (dependency) berbeda dengan kecanduan (addiction). Kecanduan lebih menekankan adanya faktor psikis daripada faktor biologis dalam patofisiologinya, sedangkan ketergantungan lebih ditandai dengan adanya proses perubahan biologis oleh sebab adanya paparan berulang dalam jangka waktu tertentu yang disebut dengan toleransi (O‟Brian, 2006). Dengan demikian, proses toleransi yang telah terjadi dapat digunakan sebagai patokan bahwa ketergantungan fisik telah terjadi. Proses ini dapat diukur menggunakan kuesioner FTND (Fagerström Test fo Nicotine Dependence) (Piper et al., 2003). Hasil analisis data pada perokok yang menjadi subyek dalam penelitian ini didapatkan bahwa ketergantungan fisik terhadap nikotin yang terjadi memang terbukti bersifat time and dose dependent, artinya bahwa jumlah rokok yang besar dan lama kebiasaan merokok yang tinggi dapat meningkatkan
risiko
ketergantungan, baik secara simultan maupun skuensial. Fakta hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang diberikan oleh O‟Brian (2006), bahwa sifat nikotin dalam menimbulkan ketergantungan sebanding dengan waktu dan dosis (time and dose dependent). Proses ini dapat diterangkan bahwa dengan adanya paparan yang berulang akan terjadi akumulasi nikotin dalam darah yang cukup tinggi dan konstan. Akumulasi nikotin yang cukup tinggi akan memulai proses downregulation pada
94
beberapa macam reseptor dan upregulation pada reseptor-reseptor yang lain seperti yang dijelaskan pada bab tinjauan pustaka. Akibatnya, terjadi pergeseran proses fisiologis tubuh. 6.2.2. Peran Gen CYP2A6 dalam Meningkatkan Konsumsi Rokok Penjelasan mengenai fungsi enzim Cyp2a6 pada bab tinjauan pustaka dapat memberikan gambaran yang sangat jelas tentang arti pentingnya enzim ini dalam metabolisme nikotin. Sebab hampir 80-90% nikotin dimetabolisme olehnya untuk kemudian dieksresikan keluar tubuh. Tentu saja, aktivitas enzim ini sangat tergantung oleh gen yang menyandinya di samping faktor-faktor lain di luar bahasan penelitian ini (Robertson et al., 2000; Oscarson, 2001; MacDougall et al., 2003; Benowitz et al., 2004; Hukkanen et al., 2005). Pengaruh dapat berupa peningkatan aktivitas
(gain
of
function)
atau penurunan dan bahkan
menghilangkan sama sekali aktivitas enzim ini (loss of function). Polimorfisme gen bertanggung jawab terhadap variasi fenotip berupa aktivitas enzim ini. Data hasil analisis menunjukkan bahwa gen CYP2A6 meningkatkan konsumsi rokok. Hasil analisis tersebut sesuai dengan teori bahwa dengan adanya aktivitas enzim Cyp2a6 yang tinggi, maka kadar nikotin dalam darah perokok akan cepat turun di bawah ambang batas rangsang, sehingga perokok akan cenderung lebih sering merokok untuk menghindari efek tidak enak yang ditimbulkan akibat proses toleransi. Perilaku ini disebut dengan negative reinforcement. Gambar 6.1 di bawah dapat memberikan ilustrasi yang jelas tentang perbandingan asupan nikotin pada individu yang memiliki gen pengkode enzim Cyp2a6 aktif dan individu tanpa gen CYP2A6 atau mengalami delesi
95
Perokok dengan gen CYP2A6 (+)
Konsentrasi Nikotin dalam darah
Asupan Nikotin
Ambang Rangsang reseptor neuronal di otak
Waktu
Perokok dengan gen CYP2A6 (-) atau mengalami delesi
Konsentrasi Nikotin dalam darah
Asupan Nikotin
Ambang Rangsang reseptor neuronal di otak
Waktu Gambar 6.1. Perbandingan Asupan Nikotin antara Perokok dengan Gen CYP2A6 (+) dan Gen CYP2A6 (-) atau Mengalami Delesi. Asupan nikotin pada perokok yang memiliki gen CYP2A6 secara teoritis lebih sering dibandingkan dengan perokok tanpa gen CYP2A6 sebab fluktuasi kadar nikotin dalam darah pada perokok dengan gen CYP2A6 menunjukkan amplitudo yang tinggi.
96
6.2.3. Peran Gen CYP2A6 dalam Meningkatkan Ketergantungan Fisik Kesimpulan bahwa jumlah rokok yang dihisap per hari dalam jumlah yang tinggi (lebih dari 13 batang/hari) merupakan faktor risiko untuk meningkatkan ketergantungan fisik terhadap nikotin dan bahwa adanya gen CYP2A6 meningkatkan konsumsi rokok pada individu memberikan gambaran yang jelas bagaimana peran gen CYP2A6 sebagai faktor risiko ketergantungan terhadap nikotin. Gen tersebut berperan dengan cara meningkatkan kecenderungan perokok untuk mengkonsumsi rokok per hari lebih besar dibandingkan dengan perokok dengan gen CYP2A6 yang „cacat‟. Selanjutnya, konsumsi rokok dalam jumlah besar akan menimbulkan proses toleransi sebagai tanda ketergantungan fisik. Skema mekanisme peran gen CYP2A6 sebagai faktor risiko yang memicu ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin dapat dilihat pada gambar 2.17 di atas. Gen ini meningkatkan risiko perokok sebesar 5,06 kali untuk menderita ketergantungan fisik berat dibandingkan dengan perokok dengan gen CYP2A6 yang „cacat‟ (p=0,002, OR=5,06, CI=95%). Meskipun penelitian ini tidak di desain umtuk mengetahui peran gen CYP2A6 dalam meningkatkan lama kebiasaan merokok, namun dari data hasil analisis komparasi nilai cigarettes pack-years antar kelompok perokok dengan dan tanpa gen ini dan antar kelompok perokok dengan skor FTND tinggi (> 4,4) dan rendah (≤ 4,4) mengindikasikan bahwa gen tersebut memiliki peran dalam meningkatkan paparan perokok terhadap nikotin, baik dengan cara meningkatkan konsumsi rokok per harinya, meningkatkan lama kebiasaan merokok atau keduanya secara simultan (p=0,016, CI = 95%). Memang secara logis, semakin banyak rokok yang
97
dikonsumsi per hari, semakin tinggi pula ketergantungan yang akan diderita, dan semakin tinggi ketergantungan maka semakin susah orang tersebut untuk berhenti merokok. Namun, argumen tersebut masih belum dibuktikan secara empiris dengan desain penelitian ini. Gen CYP2A (+)
Aktivitas enzim (+)
Metabolisme dan bersihan nikotin plasma ↑
Stimulus pada sistem mesolimbik dan area lain ↓
Asupan nikotin berulang dan kronis
Negative Reinforcement
Desensititasi jalur neuronal dopaminergik dan jalur lain
Gejala dan tanda ketergantungan fisik
Gambar 6.2. Bagan Peran Gen CYP2A6 Dalam Patofisiologi Ketergantungan Fisik. dari bagan di atas tampak bahwa gejala dan tanda ketergantungan fisik merupakan refleksi dari proses desensititasi. Proses desensititasi inilah dasar proses toleransi efek nikotin dalam tubuh. Dari beberapa pembahasan analisis data di atas, dapat juga digambarkan dengan skema yang ringkas hubungan antar variabel seperti gambar 6.3 di bawah ini.
98
Gen CYP2A
Konsumsi rokok/hari ↑ Lama kebiasaan merokok ↑
Skor FTND ↑
Gambar 6.3. Hubungan antar Variabel dalam Penelitian. Garis putus-putus yang menghubungkan antara gen CYP2A6 dengan lama kebiasaan merokok menunjukkan bahwa hubungan tersebut belum dapat dibuktikan dalam penelitian ini. Hasil riset ini mengkonfirmasi kesimpulan yang diberikan oleh beberapa peneliti sebelumnya yaitu Pianezza (1998), Rao et al (2000), dan Fukami et al (2007)
yang menyatakan adanya hubungan antara gen CYP2A6 dengan
ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin yang diukur berdasarkan jumlah rokok per hari yang dihisap.
99
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan Beberapa simpulan dapat ditarik dari hasil penelitian ini, yaitu: 1. Penelitian ini membuktikan bahwa ada hubungan antara gen CYP2A6 dengan ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin yang diukur dengan kuesioner Fagerström Test for Nicotine Dependence. Gen tersebut merupakan faktor risiko perokok untuk mengalami ketergantungan fisik yang tinggi terhadap nikotin. 2. Gen CYP2A6 juga telah terbukti meningkatkan kecenderungan perokok untuk mengkonsumsi rokok per hari lebih banyak dibandingkan dengan perokok yang tidak memiliki gen ini. 3. Selain konsumsi rokok per hari yang tinggi, lamanya kebiasaan merokok juga merupakan faktor risiko bagi ketergantungan fisik yang berat terhadap nikotin. Akan tetapi, apakah gen CYP2A6 juga memiliki hubungan yang positif dengan lamanya kebiasaan merokok tidak dapat disimpulkan dari penelitian ini, sebab desain penelitian ini tidak sesuai untuk membuktikan hal tersebut.
99 80
100
7.2. Saran Adapun beberapa saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut: 1. Perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut untuk sekaligus mengikutsertakan penghitungan aktivitas enzim di samping isolasi dan identifikasi alel gen CYP2A6,
sehingga
ekspresi
gen
yang
menentukan
fenotip
berupa
ketergantungan fisik terhadap nikotin dapat diukur. 2. Desain penelitian lebih disempurnakan dengan menggunakan sample matching dan mengikutsertakan juga ex-smoker selain current smoker, sehingga hasil analisis yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui peran gen CYP2A6 lebih jauh. 3. Sebaiknya identifikasi gen yang bersangkutan tidak hanya mengandalkan PCRRFLP tetapi juga menggunakan metode sequencing sehingga jenis alel dapat teridentifikasi lebih jelas.
101
DAFTAR PUSTAKA Arking, R. 2005. The Biology Of Aging, 3rd Edition. New York: Oxford University Press. p. 9-11. Britton, J., Bates, C., Channer, K., Cuthbertson, L., Godfrey, C., Jarvis, M. & Mcneill, A. 2000. Nicotine Addiction in Britain. London: Royal College of Physician. Barber, S., Adioetomo, S.M., Ahsan, A., & Setyonaluri, D. 2008. Ekonomi Tembakau di Indonesia. Laporan Penelitian. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Baskoro, A.; Konthen, P.G. 2008. Basic Immunology of Aging Process. Naskah Lengkap pada 5th Bali Endocrine Update 2nd Bali Aging and Geriatric Update Symposium. Bali 11-13 April 2008. Benowitz, N.L. 1996. Cotinine as Biomarker of Environmental Tobacco Smoke Exposure. The Johns Hopkins University School of Hygiene and Public Health. Vol. 18, No. 2. Benowitz, N.L. & Fu, H. 2007. Smoking & Occupational Health. In J. Ladou (Eds), Occupational & Environmental Medicine, 4th Edition, (p. 710-718). New York: McGraw-Hill. Benowitz, N.L., Herrera, B. & Jacob III, P. 2004. Mentholated Cigarette Smoking Inhibits Nicotine Metabolism. The Journal Of Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 310, No. 3 Benowitz, N.L. & Jacob III, P. 1994. Metabolism of nicotine to cotinine studied by a dual stable isotope method. Clinical Pharmacology and Therapeutics. Vol. 56, No. 5. Benowitz, N.L., Jacob III, P., Fong, I. & Gupta, S. 1993. Nicotine Metabolic Profile in Man: Comparison of Cigarette Smoking and Transdermal Nicotine. The Journal Of Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 268, No. 1. Boardman, J.D., Onge, J.M.S., Haberstick, B.C., Timberlake, D.S. & Hewitt, J.K. 2006. Schools and The Heritability of Smoking Behaviors: Theoretical and Methodological Considerations. Working Paper. Boulder: IBS University of Colorado.
102
Botham, K.M. & Mayes, P.A. 2006. Bioenergetic: The Role of ATP. In R.K. Murray, D.K. Granner, & V.W. Rodwell (Eds), Harper’s Illustrated Biochemistry, 27th Edition, (p. 88-93). New York: McGraw-Hill. Burns, D.M. 2005. Nicotine Addiction. In D.L. Kasper, E. Braunwalds, A.S. Fauci, S.L. Hauser, D.L. Longo, & J.L. Jameson (Eds), Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th Edition, (p. 2573-2577). New York: McGraw-Hill. Caron, L., Karkazis, K., Raffin, T.A., Swan, G. & Koenig, B.A. 2005. Nicotine addiction through a neurogenomic prism: Ethics, public health, and smoking. Nicotine Tob Res. Vol. 7, No. 2. Davies, G.E. & Soundy, T.J. 2009. The Genetics of Smoking and Nicotine Addiction, 2009: South Dakota Medicine. (Online), (Available from: www.sdsma.org/documents/Davies.pdf, accessed June, 20th 2009). Dempsey, D.A. & Benowitz, N.L. 2001. Risks and benefits of nicotine to aid smoking cessation in pregnancy. Drug Safety: An International Journal of Medical Toxycology and Drug Experience. Vol. 24, No. 4. Edwards, R.J., Price, R.J., Watts. P.S., Renwick, A.B., Tredger, J.M., Boobis, A.R. & Lake. B.G. 2003, Induction Of Cytochrome P450 Enzymes in Cultured Precision-Cut Human Liver Slice. Drug Metabolism and Disposition. Vol. 31, No. 3. Fowler, B. 2003. Functional and Biological Markers of Aging. In : Klatz, R. 2003. Anti-Aging Medical Therapeutics volume 5. Chicago : the A4M Publications. p. 43. Fukami, T., Nakajima, M., Yamanaka, H., Fukushima, Y., McLeod, H.L. & Yokoi, T. 2007. A Novel Duplication Type of CYP2A6 Gene in AfricanAmerican Population. The American Society for Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 35, No. 4. Goldman, R dan Klatz, R. 2007. The New Anti-Aging Revolution. Malaysia: Printmate Sdn. Bhd. p. 19-25. Gonzalez, F.J. & Tukey, R.H. 2006. Drug Metabolism. In L.L. Brunton, J.S. Lazo, & K.L. Parker (Eds), Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition, (p. 71-91). New York: McGraw-Hill.
103
Gries, J.M., Benowitz, N.L. & Verotta, D. 1996. Chronopharmacokinetics of nicotine. Clinical Pharmacology and Therapeutics. Vol. 60, No. 4. Gullstén, H. 2000. Significance of Polymorphism in CYP2A6 Gene. Disertation. Oulu: Department of Pharmacology and Toxicology University of Oulu. Heatherton, T.F., Kozlowski, L.T., Frecker, R.C. & Fagerstrom, K.O. 1991. The Fagerström Test for Nictoine Dependence: A revision of the Fagerström Tolerance Questionnaire. British Journal of Addictions. Vol. 86. Henningfield, J.E., Keenan,R.M. 1993. Nicotine delivery kinetics and abuse liability. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 61, No. 5. Henningfield, J.E., Schuh, L.M. & Jarvik, M.E. 2000. Pathophysiology of Tobacco Dependence, 2000: Psychopharmacology: The Fourth Genertaion of Progress. (Online), (Available from: http://www.acnp.org/g4/GN401000167/Default.htm, accessed June, 20th 2009). Hoffman, D. & Hoffman, I. 1999. Chemistry and Toxicology, 1999: Smoking and Tobacco Control Monograph. (Online), (Available from: http:// dccps.nci.nih.gov/TCRB/monographs/9/m9_3.PDF, accessed June, 23rd 2009). Hukkanen, J., Jacob III, P. & Benowitz, N.L. 2005. Metabolism and Disposition Kinetics of Nicotine. The American Society for Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 57, No. 1. Hyde, D. 2009. Introduction to Genetics Principles. Boston: McGraw-Hill. p. 764-767. Jarvis, M.J., Boreham, R., Primatesta, P., Feyerabend, C. & Bryant A. 2001. Nicotine Yield From Machine-Smoked Cigarettes and Nicotine Intakes in Smokers: Evidence From a Representative Population Survey. Journal of the National Cancer Institute. Vol. 93, No. 2. Jaya, M. 2009. Pembunuh Berbahaya Itu Bernama Rokok. Sleman: Penerbit Ri‟zma.
104
Kemp, P.M., Sneed, G.S., George, C.E. & Distefano, R.F. 1997. Postmortem distribution of nicotine and cotinine from a case involving the simultaneous administration of multiple nicotine transdermal systems. Journal of Analytical Toxicology. Vol. 21, No. 4. Kennely, P.J. & Rodwell, V.W. 2006. Proteins: Myoglobin & Hemoglobin. In R.K. Murray, D.K. Granner, & V.W. Rodwell (Eds), Harper’s Illustrated Biochemistry, 27th Edition, (p. 41-48). New York: McGraw-Hill. Kirkwood, B. 1988. Calculation of Required Sample Size. In B. Kirkwood (Ed), Essentials of Medical Statistics, 1st Edition, (p. 191-200). New York: Blackwell Science. Kuschner, W.G. & Blanc, P.D. 2007. Gases & Other Airborne Toxicants. In J. Ladou (Eds), Occupational & Environmental Medicine, 4th Edition, (p. 515-531). New York: McGraw-Hill. Madan, A., Graham, R.A., Carroll. K.M., Mudra, D.R., Burton, L.A., Krueger, L.A., Downey, A.D., Czerwinski, M., Forster, J., Ribadeneira, M.D., Gan, L.S., LeCluyse, E.L., Zech, K., Robertson, P.Jr., Koch, P., Antonian, L., Wagner, G., Yu, L. & Parkinson, A. 2003. Effects of Prototypical Microsomal Enzyme Inducers on Cytochrome P 450 Expression in Cultured Human Hepatocytes. Drug Metabolism and Disposition. Vol. 31, No.4. Markides, K.S. 2007. Encyclopedia of Health and Aging. Los Angeles: SAGE Publications. p. 1-2. McCance, K.L. & Grey, T.C. 2006. Altered Cellular and Tissue Biology. In K.L. McCance & S.E. Huether (Eds), Pathophysiology, 5th Edition, (p. 82-86). Canada: Elsevier Mosby. McCance, K.L., Forshee, B.A. & Shelby, J. 2006. Altered Cellular and Tissue Biology. In K.L. McCance & S.E. Huether (Eds), Pathophysiology, 5th Edition, (p. 314-315). Canada: Elsevier Mosby. McDougall, J.M., Fandrick, K., Zhanx, X., Seravin, S.V. & Cashman, J.R. 2003. Chemical Research in Toxicology. Vol. 16, No. 8.
105
McKee, T. & McKee. J.R. 2003. Aerobic Metabolism II: Electron Transport and Oxidative Phosphorylation. Biochemistry: The Molecular Basis of Life, 3rd Edition, (p. 298-330). Philadelphia: McGraw-Hill. McPhee, S.J & Pignone, M. 2007. Disease Prevention and Health Promotion. In S.J. McPhee, M.A, Papadakis, & L.M. Tierney Jr (Eds), Current Medical Diagnosis and Treatment, 47th Edition, (p. 1-16). New York: McGrawHill. Messina, E.S., Tyndale, R.F. & Sellers, E.M. 1997. A Major Role for CYP2A6 in Nicotine C-Oxidation by Human Liver Microsomes. The Journal Of Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 282, No. 8. Minematsu, N., Nakamura, H., Iwata, M., Tateno, H., Nakajima, T., Takahashi, S., Fujishima, S. & Yamaguchi. K. 2003. Association of CYP2A6 Deletion Polymorphism with Smoking Habit and Development of Pulmonary Emphysema. Thorax. Vol. 58. Molander, L., Hansso, A. & Lunell, E. 2001. Pharmacokinetics of nicotine in healthy elderly people. Clinical Pharmacology and Therapeutics. Vol. 69, No. 1. Munafö, M.R., Clark, T.G., Johnstone, E.C.; Murphy, M.F.G. & Walton, R.T. 2003. The Genetic Basis for Smoking Behavior: A Systematic Review and Meta-Analysis. Nicotine and Tobaco Research. Vol. 6, No. 4. Murray, R.K. 2006. Metabolism of Xenobiotics. In R.K. Murray, D.K. Granner, & V.W. Rodwell (Eds), Harper’s Illustrated Biochemistry, 27th Edition, (p. 633-640). New York: McGraw-Hill. Nakajima, M., Yamamoto, T., Nunoya, K., Yokoi, T., Nagashima, K., Inoue, K., Funae, Y., Shimada, N., Kamataki, T. & Kuroiwa, Y. 1996. Characterization of CYP2A6 Involved in 3‟-Hydroxylation of Cotinine in Human Liver Microsomes. The Journal Of Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 277, No. 2. Nakajima, M., Kwon, J.T., Tanaka, N., Zenta, T., Yamamoto, Y., Yamamoto, H., Yamazaki, H., Yamamoto, T., Kuroiwa, Y. & Yokoi, T. 2001. Relationship Between Interindividual Differences in Nicotine Metabolism and CYP2A6 Genetic Polymorphism in Humans. Clinical Pharmacology and Therapeutics. Vol. 69. No. 1.
106
Nussbaum, R.L., McInnes, R.R. & Willard, H.F. 2007. Genetic Variation in Individuals and Population: Mutation and Polymorphism. In R.L. Nussbaum, R.R. McInnes & H.F. Willard (Eds), Thompson and Thompson Genetics in Medicine, 7th Edition, (p. 175-199). Philadelphia: Saunders Elsevier. O‟Brian, C.P. 2006. Drug Addiction and Drug Abuse. In L.L. Brunton, J.S. Lazo, & K.L. Parker (Eds), Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition, (p. 607-628). New York: McGraw-Hill. Oscarson, M. 2001. Genetic Polymorphism in The Cytochrome P450 2A6 (CYP2A6) Gene: Implication for Interindividual Differences in Nicotine Metabolism. The Journal Of Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 29, No. 2. Pankow, J.F., Tavakoli, A.D., Luo, W. & Isabelle, L.M. 2003. Percent free base nicotine in the tobacco smoke particulate matter of selected commercial and reference cigarettes. Chemical Research in Toxicology. Vol. 16, No. 8. Perry, D.C., Davila-Garcia, M,, Stockmeier, C.A. & Kellar, K.J. 1999. Increased Nicotinic Receptors in Brains from Smokers: Membrane Binding and Autoradiography Studies. The Journal Of Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 289, No. 3. Patterson, F., Benowitz, N., Shields, P., Kaufmann, V., Jepson, C., Wileyto, P., Kucharski, S. & Lerman, C. 2003. Individual Differences in Nicotine Intake per Cigarette. Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention. Vol. 12. Pianezza, M.L., Sellers, E.M. & Tyndale, R.F. 2001. Nicotine metabolism defect reduces smoking. Nature. Vol. 393, No. 750. Piper, M.E., Piasecki, T.M., Federman, E.B., Bolt, D.M., Smith, S.S., Fiore, M.C. & Baker, T.B. 2003. A multiple motives approach to tobacco dependence: The Wisconsin Inventory of Smoking Dependence Motives (WISDM-68). Journal of Consulting and Clinical Psychology. Rae, J.M., Johnson, M.D., Lippman, M.E. & Flockhart, D.A. 2001. Rifampin Is a Selective, Pleiotropic Inducer of Drug Metabolism Genes in Human Hepatocytes: Studies with cDNA and Oligonucleotide Expression Arrays. The Journal Of Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 299, No. 3.
107
Rao, Y., Hoffmann, E., Zia, M., Bodin, L., Zeman, M., Sellers, E.M. & Tyndale, R.F. 2000. Duplications and Defects in The CYP2A6 Gene: Identification, Genotyping, and In Vivo Effects on Smoking. The American Society for Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 58, No. 4. Relling, M.V. & Giacomini, K.M. 2006. Pharmacogenetics. In L.L. Brunton, J.S. Lazo, & K.L. Parker (Eds), Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition, (p. 93-115). New York: McGraw-Hill. Robertson, P., Decory, H.H., Madan, A. & Parkinson, A. 2000. InVitro Inhibition and Induction of Human Hepatic Cytochrome P450 Enzymes by Modafinil. Drug Metabolism and Disposition. Vol. 28, No. 6. Rutter, J.L. 2006. Symbiotic Relationship of Pharmacogenetics and Drugs of Abuse. The AAPS Journal. Vol. 8, No. 21. Schneider, N.G., Olmstead, R.F., Franzon, M.A. & Lunell, E. 2001. The nicotine inhaler: clinical pharmacokinetics and comparison with other nicotine treatments. Clinical Pharmacokinetics. Vol. 40, No. 9. Schroeder, P., Schieke, F.M. & Morita, A. 2006. Premature Skin Aging by Infra Red Radiation, Tobacco Smoke and Ozone. In B.A. Gilchrest & J. Krutmann (Eds), Skin Aging, 1st Edition, (p. 47-48). Berlin: Springer. Stanner, S., Thompson, R. & Buttriss, J. 2009. Healthy Aging: The Role of Nutrition and Life Style. United Kingdom: Wiley-Blackwell. p. 30-34. Streppel, M.T., Boshuizen, H.C., Ocké, M.C., Kok, F.J. & Kromhout D. 2007. Mortality and life expectancy in relation to long-term cigarette, cigar and pipe smoking: the Zutphen Study. Tobacco Control. Vol. 16, No. 2. Suryohudoyo, P. 2000. Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler. Jakarta : CV. Infomedika. p. 31-46 Thompson, M.A., Moon, E., Kim, U.J., Xu, J., Siciliano, M.J. & Weinshilboum, R.M. 1999. Human indolethylamine N-methyltransferase: cDNA cloning and expression, gene cloning, and chromosomal localization. Genomics. Vol. 61, No. 3.
108
Ting, S., Ziping, B., Qing-Yu, Z., Smith, T.J., Jun-Yang, H. & Xinxin, D. 2000. Human Cytochrome P450 CYP2A13: Predominant Expression in the Respiratory Tract and Its High Efficiency Metabolic Activation of a Tobacco-specific Carcinogen, 4-(Methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1butanone. Cancer Research. Vol. 60. Tyndale, R.F. & Sellers, E. 2005. Variable CYP2A6-Mediated Nicotine Metabolism Alters Smoking Behavior and Risk. The American Society for Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 29, No. 4. Wenjiang, Z., Kilicarslan, T., Tyndale, R.F. & Sellers, E.M. 2001. Evaluation of Methoxalen, Tranylcypromine, and Tryptamine as Specific and Selective CYP2A6 Inhibitors in Vitro. Drug Metabolism and Disposition. Vol. 26, No. 6. Wibowo, S. 2003. Andropause : Keluhan, Diagnosis dan Penanganannya. Dalam : The Concepts of Anti Aging and How to Make Without Disorder. Jakarta : FKUI. p. 11-17. Yamasaki, H., Inoue, K., Hashimoto, M. & Shimada, T. 1999. Roles of CYP2A6 and CYP2B6 in nicotine C-oxidation by human liver microsomes. Archives of Toxicology. Vol. 73, No. 2. Yoshida, R., Nakajima, N., Watanabe, Y., Kwon, J. & Yokoi, T. 2002. Genetic Polymorphisms in Human CYP2A6 Gene Causing Impaired Nicotine Metabolism. Journal Of Clinical Prahmacology. Vol. 54, p. 511-517. Young, I.D. 2005. Genes and Population. In I.D. Young (Eds), Medical Genetics, 1st Edition, (p. 136-151). New York: Oxford University Press, Inc.
109
Lampiran 1 Rincian Biaya dan Waktu Penelitian 1. Waktu Penelitian Bulan Aktivitas
Mei
Jun
Jul
√
√
√
Persiapan Pengumpulan sampel
Ags
Sep
Okt
Nov
√
√
√
√
√
√
Pengolahan sampel
Des
Jan
Feb
Mar
√
√
√
√
Apr
Analisis data
√
√
Penyusunan hasil
√
√
2. Biaya Penelitian Pengumpulan sampel: Honor Asisten
Pengolahan : Rp. 4.000.000,-
Biaya Isolasi DNA
Bahan habis pakai Spuit 3 cc
Biaya PCR & Digesti : Rp.
937.000,-
Biaya Elektroforesis : Rp.
570.000,-
Tabung EDTA : Rp. 200,000,-
Bahan Habis Pakai
: Rp. 5.742.500,-
Alcohol swab : Rp.
Biaya Bench Fee
: Rp. 2.500.000,-
Plester Total
: Rp. 150.000 ,-
: Rp. 2.567.000,-
50.000,-
: Rp. 100.000,-
Total
: Rp.12.316.500,-
: Rp. 4.500.000,-
Total Pengeluaran
: Rp. 12.316.500,- + Rp 4.500.000,- = Rp. 16.816.500,109
80
110
Lampiran 2 Surat Pernyataan Ethical Clearance
80
111
Lampiran 3 Lembar Penjelasan Kepada Subyek Penelitian
Selamat pagi, Saya dr. Hendy Wijaya yang sedang menjalani pendidikan S2 Kedokteran Anti Penuaan di Universitas Udayana. Saya akan mengadakan penelitian dengan judul “Gen CYP2A6 Meningkatkan Ketergantungan Fisik Perokok terhadap Nikotin”. Saya mengikutsertakan Anda dalam penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui adanya peran faktor keturunan terhadap munculnya gejala kecanduan merokok. Dalam penelitian ini anda akan menjalani diminta mengisi kuesioner untuk mengetahui seberapa jauh anda tergantung secara fisik terhadap rokok dan selanjutnya akan menjalani pemeriksaan darah yang diambil dari pembuluh darah di lengan anda untuk memastikan ada atau tidaknya faktor keturunan yang saya maksudkan sebelumnya. Contoh darah yang saya dapatkan dari anda akan menjalani pemeriksaan di laboratorium Biologi Molekuler Universitas Udayana. Jika dari hasil pemeriksaan menunjukkan hasil yang positif, hal ini berarti anda memiliki faktor keturunan yang diduga memiliki peran meningkatkan kecenderungan anda tergantung terhadap rokok. Komplikasi yang terjadi pada tindakan pengambilan darah biasanya berupa munculnya lebam di sekitar daerah suntikan, ataupun rasa nyeri. Biasanya komplikasi ini tidak menimbulkan dampak yang serius dan tidak memerlukan penanganan medis lebih lanjut. Jika terjadi
112
komplikasi lain akibat tindakan yang saya lakukan, maka kompensasi biaya yang dibutuhkan akan ditanggung oleh peneliti. Dengan mengikuti penelitian ini, maka akan dapat ditentukan apakah faktor yang kami periksa memiliki peran dalam meningkatkan kecenderungan untuk tergantung terhadap nikotin dalam rokok. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan suatu strategi pengobatan atau obat baru untuk membantu para perokok menghilangkan gejala kecanduan mereka terhadap rokok dan akhirnya berhenti merokok. Saya akan mencatat identitas anda (nama, jenis kelamin, usia, suku, alamat, nomor telepon yang bisa dihubungi) pada lembar penelitian. Selanjutnya saya akan mencatat hasil wawancara atau pengisian kuesioner ketergantungan nikotin dan hasil pemeriksaan darah anda. Partisipasi anda dalam penelitian ini bersifat sukarela. Sebagai tanda terima kasih kami akan memberikan biaya pengganti transportasi kepada anda. Pada penelitian ini identitas anda disamarkan. Hanya dokter peneliti, anggota peneliti dan anggota komisi etik yang bisa melihat data anda. Kerahasiaan data akan dijamin sepenuhnya. Bila data anda dipublikasi kerahasiaan identitas anda tetap dijaga. Jika terjadi keluhan setelah pengambilan darah seperti pembengkakan, nyeri tekan, kesemutan
atau untuk mendapat penjelasan lebih lanjut anda dapat
menghubungi saya dr. Hendy Wijaya pada nomor 087861102341, Jl. Teuku Umar 141 Denpasar. Peneliti akan bertanggung jawab dan membantu mengatasi keluhan anda.
80
113
Lampiran 4 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan
Saya yang namanya tersebut di bawah ini : Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin : Alamat
:
Nomor Telp. : Setelah mendapatkan keterangan dan penjelasan secara lengkap, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menandatangani dan menyatakan bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Bila saya ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut saya bisa mendapatkannya dari dokter peneliti.
Dokter Peneliti
Denpasar, Peserta penelitian
dr. Hendy Wijaya Jl. Teuku Umar 141 Denpasar Telp. 087861102341 Saksi
20
114
Lampiran 5 Kuesioner FTND (Fagerstrröm Test for Nicotine Dependence) (Heatherton et al., 1991) 1. Berapa lama jarak waktu antara Anda bangun pagi dan rokok pertama yang anda hisap? a) Setelah 60 menit atau satu jam (0) b) 31-60 menit (1) c) 6-30 menit (2) d) Dalam waktu 5 menit (3) 2. Apakah Anda merasa kesulitan untuk tidak merokok di tempat-tempat tertentu bebas rokok? a) Tidak (0) b) Ya (1) 3. Aktivitas merokok saat apa yang paling susah Anda hilangkan? a) Rokok pertama di pagi hari (1) b) Selain pagi hari (0) 4. Berapa batang rokok per hari yang Anda hisap? a) 10 batang atau kurang (1) b) 21-30 batang (2) c) 31 batang atau lebih (3) 5. Apakah Anda lebih sering merokok di saat-saat setelah bangun tidur dibandingkan saat lain? a) Tidak (0) b) Ya (1) 6. Apakah Anda tetap merokok meskipun sakit dan harus beristirahat sepanjang hari? a) Tidak (0) b) Ya (1) Interpretasi: 0-2 : Ketergantungan fisik sangat rendah 3-4 : Ketergantungan fisik rendah 5 : Ketergantungan fisik sedang
6-7 : Ketergantungan fisik tinggi 8-10 : Ketergantungan fisik sangat tinggi
115
Lampiran 6 Uji Chi-Square Lama Merokok dan Skor FTND
Klasifikasi lama merokok dan Klasifikasi Skor FTND Klasifikasi Skor FTND
klasifikasi lama merokok
<= 4,40
> 4,40
Total
<=11.7
30
16
46
>11.7
13
19
32
43
35
78
Total
Chi-Square Tests Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Value
df
(2-sided)
a
1
.032
3.673
1
.055
4.639
1
.031
4.614 b
Fisher's Exact Test N of Valid Cases
(2-sided)
(1-sided)
.039
.027
78
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.36. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
2.740
1.081
6.949
For cohort Klasifikasi Skor FTND = <= 4,40
1.605
1.004
2.566
For cohort Klasifikasi Skor FTND = > 4,40
.586
.359
.955
Odds Ratio for klasifikasi lama merokok (<=11.7 / >11.7)
N of Valid Cases
78
116
Lampiran 7 Uji Chi-Square Jumlah Rokok per hari dan Skor FTND
Klasifikasi jumlah rokok dan Klasifikasi Skor FTND Klasifikasi Skor FTND
Klasifikasi jumlah rokok
<= 4,40
> 4,40
Total
<= 13,2
36
15
51
> 13,2
7
20
27
43
35
78
Total
Chi-Square Tests Asymp. Sig. Exact Sig. Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
df
(2-sided)
a
1
.000
12.487
1
.000
14.615
1
.000
14.236 b
Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Exact Sig.
(2-sided)
(1-sided)
.000
.000
78
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.12. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
6.857
2.398
19.606
For cohort Klasifikasi Skor FTND = <= 4,40
2.723
1.405
5.277
For cohort Klasifikasi Skor FTND = > 4,40
.397
.246
.642
Odds Ratio for Klasifikasi jumlah rokok (<= 13,2 / > 13,2)
N of Valid Cases
78
117
Lampiran 8 Uji Chi-Square Jumlah Rokok per hari dan Lama Kebiasaan Merokok
Klasifikasi Jumlah Rokok dan Klasifikasi Lama Merokok Klasifikasi lama merokok
Klasifikasi jumlah rokok
<=11.7
>11.7
Total
<= 13,2
34
17
51
> 13,2
12
15
27
46
32
78
Total
Chi-Square Tests Asymp. Sig. Exact Sig.
Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
b
Value
df
(2-sided)
3.603
a
1
.058
2.743
1
.098
3.584
1
.058
Fisher's Exact Test N of Valid Cases
Exact Sig.
(2-sided)
(1-sided)
.090
.049
78
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.08. b. Computed only for a 2x2 table
118
Lampiran 9 Uji Chi-Square Gen CYP2A6 dan Jumlah Rokok per hari
Interpretasi Hasil dan Klasifikasi Jumlah Rokok Klasifikasi jumlah rokok
Interpretasi Hasil
<= 13,2
> 13,2
Total
Negatif
23
5
28
Positif
28
22
50
51
27
78
Total
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig.
Exact Sig.
(2-sided)
(1-sided)
.026
.017
Value
df
(2-sided)
a
1
.020
4.326
1
.038
5.756
1
.016
5.420 b
Asymp. Sig.
Fisher's Exact Test N of Valid Cases
78
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.69. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval
Odds Ratio for Interpretasi Hasil (Negatif /
Value
Lower
Upper
3.614
1.183
11.041
1.467
1.086
1.981
.406
.173
.953
Positif) For cohort Klasifikasi jumlah rokok = <= 13,2 For cohort Klasifikasi jumlah rokok = > 13,2 N of Valid Cases
78
119
Lampiran 10 Uji Chi-Square Gen CYP2A6 dan Skor FTND
Interpretasi Hasil dan Klasifikasi Skor FTND Klasifikasi Skor FTND
Interpretasi Hasil
<= 4,40
> 4,40
Total
Negatif
22
6
28
Positif
21
29
50
43
35
78
Total
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
b
Asymp. Sig.
Exact Sig.
Exact Sig.
(2-sided)
(1-sided)
.002
.002
Value
df
(2-sided)
9.704
a
1
.002
8.282
1
.004
10.183
1
.001
Fisher's Exact Test N of Valid Cases
78
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.56. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
5.063
1.749
14.661
For cohort Klasifikasi Skor FTND = <= 4,40
1.871
1.281
2.732
For cohort Klasifikasi Skor FTND = > 4,40
.369
.175
.780
Odds Ratio for Interpretasi Hasil (Negatif / Positif)
N of Valid Cases
78
120
Lampiran 11 Uji Mann-Whitney U antar Kelompok Cigarettes Pack-Years berdasar Skor FTND
Ranks Klasifikasi Skor
Nilai Rokok x Tahun
Mean
FTND
N
Rank
Sum of Ranks
<=4,4
43
31.34
1347.50
>4,4
35
49.53
1733.50
Total
78
Test Statisticsa Nilai Rokok x Tahun Mann-Whitney U
401.500
Wilcoxon W
1347.500
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
-3.531 .000
a. Grouping Variable: Klasifikasi Skor FTND
121
Lampiran 12 Uji Mann-Whitney U antar Kelompok Cigarettes Pack-Years berdasar Gen CYP2A6
Ranks Interpretasi
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Negatif
28
31.23
874.50
Positif
50
44.13
2206.50
Total
78
Hasil Nilai Rokok x Tahun
Test Statisticsa Nilai Rokok x Tahun Mann-Whitney U
468.500
Wilcoxon W
874.500
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
-2.414 .016
a. Grouping Variable: Interpretasi Hasil
122
Lampiran 13 Gambar Hasil PCR dan Hasil Restriksi DNA
Hasil Optimasi PCR
Ilustrasi Hasil Optimasi PCR
Marker
1338 bp
Ilustrasi Hasil Digesti dengan Eco81I
Marker
800 bp 434 bp
104 bp