BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya memang dapat dikatakan tidak merata. Terjadi ketimpangan antara masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah. Masyarakat kelas bawah Indonesia yang mayoritas hidup di pedesaan memiliki tingkat kesejahteraan yang kurang jika dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di perkotaan. Hal ini tentu saja menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah sebab mayoritas masyarakat Indonesia tinggal di pedesaan. Masyarakat desa pada umumnya memang tertinggal dalam kesejahteraan ekonomi jika dibandingkan dengan masyarakat kota yang mayoritas
memiliki
kesejahteraan
yang
lebih
baik.
Faktor
tidak
berkembangnya masyarakat desa atau pembangunan yang lambat dari masyarakat menjadi salah satu penyebab kurang berkembangnya masyarakat desa. Sarana infrastruktur yang kurang memadai juga menjadi faktor yang ditengarai menjadi penyebab kurang berkembangya kesejahteraan masyarakat desa. Selain faktor tersebut, faktor rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki masyarakat desa juga menjadi penyebab kurang berkembangnya masyarakat desa. Masyarakat desa Indonesia adalah salah satu stakeholder dalam negara dan pembangunan perekonomian negara Indonesia. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari faktor mayoritas masyarakat Indonesia terkonsentrasi di
pedesaan yang merupakan kondisi umum dari suatu negara berkembang. Selain itu dalam pengkajian pembangunan Indonesia terutama sebagai negara berkembang memang tidak lepas dari pertimbangan di wilayah pedesaan. Hal ini karena kondisi masyarakat desa Indonesia yang masih berada dalam garis kemiskinan. Dalam konteks Indonesia, agenda pembangunan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2006 difokuskan kepada penanggulangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan tingkat kesejahteraan, peningkatan kesempatan kerja, dan revitalisasi pertanian serta pedesaan. Kegiatan perekonomian di pedesaan sampai saat ini masih didominasi oleh usaha-usaha skala mikro dan kecil dengan pelaku utama petani, buruh tani, pedagang sarana produksi dan hasil pertanian, pengolah hasil pertanian, serta industri rumah tangga. Namun, yang menjadi masalah kemudian yaitu keterbatasan modal yang dimiliki para pelaku usaha masyarakat desa tersebut, dimana kecukupan akan modal merupakan unsur esensial dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat pedesaan, keterbatasan modal dapat mebatasi ruang gerak aktivitas di sektor pertanian dan pedesaan. Lemahnya permodalan yang dimiliki pelaku ekonomi di pedesaan ini disadari oleh pemerintah. Pemerintah kemudian memunculkan program untuk membantu permodalan masyarakat pedesaan seperti Kredit Bimas pada tahun 1972, Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Model Kerja Permanen (KMKP), Proyek Peningkatan Pendapatan Petani/Nelayan Kecil (P4K), Kredit
3
Usaha Tani (KUT), Kredit Ketahanan Pangan (KKP),1
dan yang masih
berlangsung sekarang yaitu Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang ditujukan untuk membantu permodalan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Selain dengan adanya program kredit untuk permodalan yang telah penulis sebutkan di atas, pemerintah juga membentuk beberapa lembaga keuangan yang dikhusukan untuk membantu kegiatan perekonomian masyarakat pedesaan seperti Bank Rakyat Indonesia (Bank BRI) dan berbagai Bank Perkreditan Rakyat (BPR) lainnya. Lembaga keuangan berbentuk bank tersebut selain juga membantu masyarakat dalam permodalan dengan memberikan kredit baik dengan agunan maupun tanpa agunan juga menyediakan jasa untuk menyimpan dana yang dimiliki masyarakat, kegiatan tersebut memang lazim dan mutlak dilakukan oleh suatu bank, yaitu menarik atau menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau dalam istilah perbankan disebut fungsi intermediasi. Menjawab permasalahan keterbatasan modal masyarakat pedesaan, serta mengingat kemampuan fiskal pemerintah yang semakin berkurang, salah satu jalan keluar yang dapat menjadi alternatif sumber dana bagi masyarakat pedesaan adalah melalui upaya optimalisasi potensi kelembagaan keuangan. Diantara beragam pola kelembagaan keuangan yang berkembang di masyarakat pedesaan, salah satu yang dapat dimanfaatkan dan didorong untuk membiayai kegiatan perekonomian di pedesaan dengan mayoritas usaha 1
Anshari. Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya. Hal 146.
4
penduduknya masuk dalam segmen mikro adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Dapat dikatakan bahwa keberadaan lembaga keuangan mikro Indonesia merupakan kepanjangan tangan bank-bank umum. Sebab mereka menjangkau segmen-segmen yang susah atau memiliki karakteristik risiko yang tidak dapat dijangkau oleh bank-bank umum. Kebanyakan lembaga keuangan mikro menempatkan dananya pada bank-bank umum dan BPR-BPR lainnya. Hal yang demikian menjadikan lembaga keuangan mikro sebagai salah satu mitra industri perbankan dan salah satu mesin penggerak pembangunan. Mengenai lembaga keuangan mikro di Indonesia, banyak sekali lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang terutama di daerah pedesaan, mengingat lembaga keuangan mikro memang ditujukan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah yang banyak terdapat di daerah pedesaan, meskipun ada juga beberapa lembaga keuangan mikro yang berada di daerah perkotaan. Namun lembaga keuangan mikro tetap diperuntukkan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Di beberapa daerah di Indonesia terdapat banyak lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang melayani masyarakat pedesaan dan masyarakat kelas menengah ke bawah seperti Badan Kredit Desa(BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), kelompok Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Badan
5
Keswadayaan Masyarakat (BKM) PNPM Mandiri Perkotaan, kelompok Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM Mandiri Pedesaan, Kelompok Unit Program Pelayanan Keluarga Sejahtera (UPPKS), Unit Pengelola Keuangan Desa (UPKD), Kelompok Tani Pemberdayaan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM), dan Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Dalam menjalankan kegiatannya Lembaga Keuangan Mikro tersebut melakukan kegiatan seperti bank yaitu fungsi intermediasi keuangan yaitu mengumpulkan dana dari masyarakat berupa simpanan kemudian menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pinjaman atau kredit. Bentuk dari Lembaga Keuangan Mikro kebanyakan adalah bukan bank dan bukan koperasi atau lebih sering disebut dengan Lembaga Keuangan Bukan Bank Bukan Koperasi (LKB3K).2 Dengan demikian menjadikan fungsi Lembaga keuangan Mikro sebagai bank bayangan (shadow banking). Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu hal yang unik, karena fungsi intermediasi yang dimiliki oleh bank maupun koperasi dijalankan oleh lembaga keuangan yang bukan merupakan bank dan juga bukan koperasi. LKM-LKM tersebut memang diarahkan untuk dapat menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR), namun untuk memperoleh status sebagai BPR ada beberapa persyaratan yang dipenuhi, sehingga jika belum memenuhi persyaratan sebagai BPR maka
2
Definisi mengenai LKB3K didasarkan pada status dari lembaga keuangan tersebut yang tidak memiliki izin dari instansi yang berwenang sehingga lembaga keuangan tersebut tidak memiliki status sebagai bank maupun koperasi meskipun memiliki kegiatan usaha seperti bank atau koperasi.
6
LKM tersebut tetap berbentuk LKM. Beberapa diantara LKM tersebut seperti Badan Kredit Kecamatan di berbagai daerah di Jawa Tengah sudah berbentuk BPR. Lembaga
Keuangan
Mikro
mempunyai
potensi
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan masyarakat menengah ke bawah sehingga keberadaan dari LKM perlu didukung oleh pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Namun sampai dengan tanggal 7 Januari 2013 belum ada payung hukum berupa Undang-Undang yang mengatur tentang Lembaga Keuangan Mikro yang sudah ada dan berkembang sangat lama. Selama ini lembaga Keuangan Mikro hanya diatur melalui Peraturan Daerah di tingkat propinsi dan tingkat Kabupaten/Kota. Ada juga LKM yang diatur melalui pranata hukum adat seperti Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang ada di Bali. Atas permasalahan tersebut kemudian pada tanggal 8 Januari 2013 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro sehingga terciptalah kepastian hukum dan payung hukum dari LKM yang ada di Indonesia. Mengenai kedudukan lembaga keuangan mikro yang bukan bank dan bukan koperasi dalam Undang-Undang Perbankan Indonesia terdapat ketentuan yang mengatur tentang Badan Kredit Kecamatan dan beberapa LKM lainnya diberi status sebagai BPR dengan cara memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Dalam pasal 16 UU Perbankan menyebutkan bahwa terdapat larangan bagi setiap pihak untuk menghimpun dana dari masyarakat tanpa izin dari Bank Indonesia kecuali ditentukan dengan Undang-Undang
7
tersendiri. Bila melanggar ketentuan ini maka terdapat ketentuan pidana yang mengancamnya. Lembaga Keuangan Mikro memiliki banyak jenis di Indonesia dan berbeda-beda di tiap daerah. Seperti di Jawa Tengah, Lembaga Keuangan Mikro yang berkembang salah satunya adalah Badan Kredit Kecamatan (BKK). BKK berbentuk Perusahaan Daerah (PD) sehingga disebut dengan Perusahaan Daerah Badan Kredit Kecamatan (PD BKK). PD BKK dibentuk di tiap kabupaten/kota yang berada di Jawa Tengah dan beroperasi di tiap kecamatan. PD BKK menjadi wewenang dari Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan kegiatannya. PD BKK diatur melalui Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 19 Tahun 2002 tentang Perusahaan Daerah Badan Kredit Kecamatan. Dalam melaksanakan kegiatannya PD BKK yang merupakan salah satu lembaga keuangan/lembaga kredit mikro yang menjalankan fungsi intermediasi keuangan berupa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurukan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Pada awalnya BKK hanya diperbolehkan untuk menyalurkan kredit dan tidak boleh melakukan pengumpulan dana dalam bentuk simpanan. Kemudian dengan persetujuan Menteri Keuangan No. S.624/MK/011/1984 tanggal 23 Juni 1984 memberikan izin kepada BKK untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, maka BKK kemudian telah diakui dan memperoleh izin sebagai Lembaga Keuangan, dalam arti dapat
8
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana masyarakat tersebut dalam bentuk kredit. Beberapa diantara PD BKK tersebut sudah mendapat pengukuhan status sebagai BPR, sehingga PD BKK tersebut berubah menjadi Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit kecamatan (PD BPR BKK), dan sebagian lagi belum menjadi BPR karena ada persyaratan yang harus dipenuhi unutk menjadi BPR, PD BKK yang belum memenuhi syarat atau belum merubah diri untuk menjadi BPR tetap berstatus sebagai PD BKK. Salah satunya adalah Perusahaan Daerah Badan Kredit Kecamatan Sukoharjo (PD BKK Sukoharjo) yang terletak di Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Seperti yang sudah dijelaskan penulis sebelumnya bahwa fungsi intermediasi keuangan yang dijalankan oleh Lembaga Keuangan Mikro yang bukan bank dan bukan koperasi merupakan suatu hal yang unik karena menjalankan fungsi yang dimiliki oleh bank sehingga sering disebut dengan istilah bank bayangan (shadow banking). Sebenarnya di dalam UU Perbankan sendiri, Badan Kredit Kecamatan dan beberapa Lembaga Keuangan Mikro lainnya yang dipersamakan dengan itu statusnya telah diakui mengingat lembaga-lembaga tersebut telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan masih diperlukan keberadaannya oleh masyarakat. Mengenai status yang diberikan kepada lembaga tersebut adalah BPR hal tersebut ditujukan untuk memberikan kejelasan status dari lembaga-lembaga tersebut dan untuk menjamin kesatuan dan keseragaman dalam pembinaan dan pengawasan, maka dengan Peraturan
9
Pemerintah ditetapkan persyaratan dan tata cara pemberian status lembagalembaga tersebut sebagai Bank Perkreditan Rakyat. Dalam pasal dan penjelasan pasal tersebut jelas menunjukkan bahwa LKM-LKM diarahkan untuk menjadi BPR. Berdasarkan UU Perbankan tersebut kemudian BKK-BKK tersebut mengubah status menjadi BPR sehingga statusnya menjadi PD BPR BKK, namun ada juga yang belum menjadi BPR sehingga statusnya adalah PD BKK. Salah satu penyebab BKK tersebut adalah belum mendapat izin dari Bank Indonesia sehingga belum memenuhi syarat sebagai BPR. Dengan belum adanya izin dari BI untuk menghimpun dana dari masyarakat maka sebenarnya kegiatan tersebut melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan maka BKK-BKK yang ada di Jawa Tengah harus menyesuaikan dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang tersebut. Pelaksanaan fungsi intermediasi keuangan oleh lembaga keuangan bukan bank bukan koperasi dapat juga disebut dengan shadow banking (bank bayangan) yang sudah dijelaskan sebelumnya oleh penulis, keberadaan bank bayangan tersebut dapat berdampak positif dan berdampak negatif pula. Berdampak positif karena mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan, dan menutupi segmen pasar dari bank-bank umum yang tidak terbaca. Dampak negatifnya adalah jika terjadi bila terjadi kredit macet dalam jumlah besar maka hal tersebut juga berdampak pada perbankan nasional
10
karena lembaga-lembaga tersebut juga banyak menempatkan dananya dalam jumlah yang besar pada bank-bank umum dan BPR-BPR lainnya untuk menjaga likuidasi lembaga keuangan tersebut. PD BKK sebagai salah satu lembaga keuangan mikro yang bukan bank dan bukan koperasi adalah lembaga yang sudah ada lama dan keberadaannya banyak memberikan manfaat bagi masyarakat pedesaan di Jawa Tengah. Namun dengan diundangkannya UU Perbankan terkendala juga dengan legalitasnya dalam menjalankan fungsi intermediasi keuangan terkait statusnya bukan sebagai bank atau sebagai koperasi. Agar legal maka PD BKK tersebut harus berubah menjadi BPR dan mendapat izin dari Bank Indonesia. Sampai sekarang masih ada banyak PD BKK yang belum menjadi BPR bahkan ada yang hanya memperoleh izin dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah belum ada izin dari Kementerian Keuangan atau Bank Indonesia. Padahal dalam ketentuan di dalam Perda Jateng tentang PD BKK menyebutkan bahwa PD BKK harus mendapat izin dari Kementerian Keuangan atau Bank Indonesia. PD BKK Sukoharjo adalah salah satu PD BKK yang ada di Jawa Tengah yang belum menjadi BPR, Apakah PD BKK tersebut sudah memiliki izin dari Kementerian Keuangan atau Bank Indonesia? Apakah legal kegiatan tersebut berdasarkan peraturan Undang-Undang yang ada? Lalu bagaimana juga keberadaan Lembaga tersebut berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Jika kemudian melihat legalitas lembaga tersebut berdasarkan UU Perbankan, dalam UU Perbankan dijelaskan larangan mengumpulkan atau
11
menghimpun dana masyarakat tanpa izin dari Bank Indonesia. Akan tetapi kemudian Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sebagai pemilik PD BKK mengeluarkan Perda Jateng tentang PD BKK yang memberi izin PD BKK yang belum memperoleh izin dari BI untuk menjalankan kegiatan fungsi intermediasi
keuangan,
bertentangankah
Perda
tersebut
dengan
UU
Perbankan? Suatu lembaga keuangan dalam menjalankan kegiatan usahanya juga memerlukan pembinaan dan pengawasan, lalu bagaimana bentuk pembinaan dan pengawasan terhadap PD BKK terutama PD BKK Sukoharjo? Apakah BI dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap PD BKK yang belum menjadi BPR? Permasalahan-permasalahan yang ada dalam PD BKK sebagai lembaga keuangan bukan bank dan bukan koperasi (LKB3K) tersebut memerlukan kajian hukum lebih lanjut demi kemajuan industri keuangan dan perekonomian di Indonesia terutama masyarakat pedesaan dan masyarakat menengah ke bawah. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik mengadakan Penelitian dengan judul “TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN FUNGSI INTERMEDIASI KEUANGAN OLEH PERUSAHAAN DAERAH BADAN KREDIT KECAMATAN (PD BKK) SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK BUKAN KOPERASI (LKB3K) Sukoharjo)”.
(Studi Kasus PD BKK
12
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang penulis jelaskan tersebut, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan fungsi intermediasi keuangan yang dijalankan oleh PD BKK Sukoharjo? 2. Bagaimana konsekuensi dari pelaksanaan fungi intermediasi keuangan terhadap PD BKK Sukoharjo terkait dengan statusnya sebagai lembaga keuangan bukan bank bukan koperasi (LKB3K)? 3. Bagaimana bentuk pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pembina dan Dewan Pengawas terhadap PD BKK Sukoharjo? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Subjektif Sebagai syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S1) di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2. Tujuan Objektif 1) Untuk mengetahui pelaksanaan fungsi intermediasi keuangan yang dijalankan oleh PD BKK Sukoharjo 2) Untuk mengetahui konsekuensi dari pelaksanaan fungsi intermediasi keuangan yang dijalankan oleh PD BKK Sukoharjo sebagai lembaga keuangan bukan bank bukan koperasi (LKB3K)
13
3) Untuk mengetahui perbedaan pelaksanaan fungsi intermediasi keuangan yang dijalankan oleh bank dengan lembaga keuangan mikro yang bukan bank dan bukan koperasi 4) Untuk mengetahui bentuk pembinaan dan pengawasan PD BKK Sukoharjo. D. Keaslian Penelitian Dengan ini Penulis menyatakan bahwa Usulan Penelitian Hukum ini tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi lain, dan sepengetahuan Penulis di dalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Berdasarkan hasil pencarian penulis, belum ada karya yang membahas tentang “Tinjauan Hukum Pelaksanaan Fungsi Intermediasi Keuangan oleh Perusahaan Daerah Badan Kredit Kecamatan (PD BKK) Sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank Bukan Koperasi (LKB3K) (Studi Kasus PD BKK Sukoharjo)”. Dengan demikian karya ini adalah asli karya penulis sendiri. E. Manfaat Penelitian a. Bagi Peneliti Untuk menambah pengetahuan di bidang hukum dagang terutama dalam hukum perbankan dan lembaga keuangan. Sehingga peneliti dapat mengetahui secara langsung dari lapangan. Selain itu peneliti juga tertarik
14
dan berminat untuk menggeluti dunia perbankan setelah lulus dari kuliah sehingga peneliti dapat memulai proses belajar dari sekarang. b. Bagi Pemerintah Untuk sebagai rekomendasi bagi pembangunan masyarakat desa dan optimalisasi peran lembaga keuangan mikro dalam pembangunan masyarakat desa yang merupakan fokus khusus dari lembaga keuangan mikro. c. Bagi Ilmu Pengetahuan, Untuk memperkaya ilmu pengetahuan di bidang perbankan dan lembaga keuangan mikro di Indonesia.