BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia Okitatsu tokini Meguriai Nemureru Sunawachi Ibuki1 Inilah sepenggal bait puisi yang ditulis oleh Laksamana Muda
Tadashi Maeda yang ditujukan kepada Kaisar Jepang tepat pada hari ulang tahun Kaisar. Sebuah puisi refleksi diri yang diciptakan tanggal 11 Maret 1947 ketika Maeda berada di dalam penjara. Dari penggalan puisi tersebut, pesan yang hendak disampaikan Maeda bahwa Indonesia telah bangkit dari masa-masa kritis untuk menuju kemerdekaan yang sesungguhnya dan sejak saat itu sejarah besar pun telah terjadi. Maeda merupakan figur yang sudah tidak asing dalam historiografi
Indonesia.
Hal
ini
dapat
terlihat
dari
hasil
pencapaiannya sebagai figur dalam perjalanan sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Di dalam buku teks sejarah Indonesia,
“Kebetulan ada sebuah kesempatan, Indonesia bangkit, Puing-puing yang tertidur, Hidup kembali”. Puisi yang ditulis oleh Maeda dengan Judul Gokuchu Eika (Puisi yang dibuat di dalam Penjara) dan berjumlah 43 bait. Arsip Privat Nishijima Shigetada. 1
1
figur Maeda digambarkan sebagai seorang perwira tinggi Angkatan Laut
Jepang
yang
ikut
berjasa
dalam
menyelenggarakan
kemerdekaan Indonesia.2 Dipihak lain, di negara Jepang, figur Maeda kurang begitu dikenal.3 Hal inilah yang menyebabkan penulisan mengenai Maeda kurang diminati oleh sebagian sejarawan Jepang. Secara umum, Aiko Kurasawa juga menjelaskan bahwa orang Jepang tidak begitu paham sejarah perang di Asia Tenggara karena lemahnya memori
Penulisan figur Maeda dalam buku teks pelajaran sekolah maupun dalam Sejarah Nasional Indonesia dirasa belum cukup. Menurut Suhartono W.P, buku teks yang dihasilkan masih mengutip buku paket yang diterbitkan oleh pemerintah dan masih kekurangan bahan. Suhartono W.P. Kaigun Angkatan laut Jepang Penentu Krisis Proklamasi. (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 20. Perlu dipahami pula bahwa penjelasan mengenai Maeda di buku teks pelajaran sekolah menitikberatkan pada aspek spasional dan penjelasan singkat mengenai peran Maeda pada masa itu yang merujuk pada peristiwa perumusan naskah proklamasi. 2
Wawancara dengan Goto Ken’ichi dan Kyoichi Tachikawa. Tokyo 8 Februari 2015. Menurut Goto Ken’ichi penulisan figur Maeda dalam historiografi Jepang yang dilakukan oleh sejarawan Jepang dapat dikatakan sedikit. Kepala Pusat Sejarah Militer, National Institute for Defense Studies Kyoichi Tachikawa juga berpendapat senada. Lihat juga hasil wawancara dengan Kurasawa Aiko dalam https://islamindonesia.id/berita/wawancara-profaiko-kurasawa-1-secara-nurani-jepang-dukung-kemerdekaanindonesia-2.htm tanggal 21 Maret 2014. Diakses pada tanggal 1 Juli 2015. Disebutkan bahwa setelah perang, akses untuk Maeda selama di Jepang dibatasi bahkan ditutup karena telah menyinggung kehormatan bangsa Jepang, terkait usahanya dalam menerobos status quo. Oleh karena itu, Maeda beberapa kali pulang pergi Jepang-Indonesia untuk mencari dukungan dan simpati dari pemerintah Indonesia. 3
2
orang Jepang terhadap penyebutan istilah Perang Pasifik, bukan Perang Asia Timur Raya yang mengaburkan tujuan dan sifat perang tersebut, yakni untuk memerdekakan bangsa Asia.4 Tadashi Maeda lahir di Kajiki, perfektur Kagoshima, Kyushu, Jepang, sebuah kota yang termasuk dalam Satsuma han sewaktu Daimyou berkuasa. 5 Maeda terlahir dari Ibu bernama Tei dan Ayah bernama Jinzo. Ayahnya bekerja sebagai guru SD sekaligus menjabat sebagai kepala sekolah. Maeda dilahirkan dari keluarga sederhana dan memiliki banyak saudara. Salah satu kakak lakilakinya bekerja di Angkatan Laut dengan pangkat Laksamana (Kaigun Chuujo). Maeda mengikuti jejak sang kakak dengan memasuki Akademi Angkatan Laut dan lulus pada tanggal 21
Kurasawa, Aiko, Masyarakat dan Perang Asia Timur Raya, Sejarah dengan Foto yang Tak Terceritakan, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2016), hlm. xxv. 4
Dalam sistem Bakuhan Taisee, Tokugawa membagi dua pemerintahan yakni Bakufu yang dipimpin oleh Shoogun dan Han yang dipimpin oleh Daimyoo. Setiap han diberi keleluasaan untuk menentukan pemerintahannya, termasuk dalam menentukan undang-undang yang khusus diberlakukan di dalam wilayahnya. Namun, sistem ini juga menuntut setiap han untuk melapor dan membayarkan pajak kepada pemerintahan Bakufu. Han dapat dikatakan sejenis propinsi feodal pada era Tokugawa. Kodansha, Encyclopedia of Japan 3 (Tokyo: Kodansha, 1983), hlm. 189. 5
3
November 1918.6 Pangkat tertinggi Maeda adalah Laksamana Muda (Kaigun Shooso). Karir
Maeda
dalam
dunia
militer
memang
layak
diperhitungkan. Ia pernah menjabat sebagai atase militer Jepang di Denhaag dan Jerman sebelum Perang Asia Timur Raya meletus. Atas
dasar
pengalamannya,
ia
ditempatkan
sebagai
kepala
organisasi penghubung di Jakarta atau lebih dikenal dengan Jakarta Kaigun Bukanfu. Karena simpatinya terhadap Indonesia terkait dengan persiapan kemerdekaan, Maeda ditangkap oleh Sekutu. Maeda dipenjarakan di Glodok dan diinterogasi di penjara Changi, Singapura. Setelah itu, Maeda dipenjarakan di Struiswijk (Penjara Gang Tengah) selama setahun. Selama di penjara, Maeda dengan “jiwa” sastranya menulis beberapa karya berbentuk puisi.7 Ia dipulangkan ke Jepang pada tahun 1947. Maeda dianugerahi penghargaan Bintang Jasa oleh pemerintah Indonesia pada perayaan kemerdekaan 17 Agustus 1977 yang disampaikan oleh
Transkripsi wawancara Masuda Ato dan Goto Ken’ichi dengan Tadashi Maeda. Tokyo 19 Juni 1975 di Suiko Kaikan, kota Harajuku. Arsip Privat Goto Ken’ichi, hlm 1. Lihat juga Rirekisho (Daftar Riwayat Didup) mengenai Maeda, Arsip Privat Shigetada Nishijima. 6
Puisi-puisi yang diciptakan oleh Maeda ketika dipenjara berjudul Gokuchu Eika (Puisi di dalam penjara) dan Soshuu no Uta (Puisi orang-orang yang terpenjara). Selain itu, terdapat satu puisi tanpa judul mengenai seputar perundingan naskah Proklamasi. Arsip Privat Shigetada Nishijima. 7
4
Witono, Duta Besar Republik Indonesia di Tokyo. Maeda meninggal pada tanggal 13 Desember 1977 pada usia 79 tahun dan dimakamkan di Jepang.8 Historiografi
mengenai
Maeda
dalam
konteks
sejarah
Indonesia tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa seputar proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pendudukan Jepang di Indonesia (19421945) sangat menentukan bagi perjalanan sejarah Indonesia. Dengan kekalahan Jepang terhadap Sekutu, berakhir pula perang yang disebut sebagai Latest War 9 sehingga kesempatan untuk
8 Ahmad
Subardjo Djoyoadisuryo, surat kabar Kompas, In Memoriam “Laksamana Tadashi Maeda”, Senin 19 desember 1977, hlm. 5. Lihat juga Gema Angkatan 45, “Yang Belum Diceritakan Tentang Laksamana Maeda”, Dewan Harian Nasional Angkatan 45. 17 Februari 1974, hlm 24-25. Perlu dipahami mengenai keinginan Maeda ketika berada dipenjara Glodok. Dari artikel tersebut disebutkan bahwa harapan untuk hidup menurutnya sudah musnah. Maeda menitipkan sebuah surat kepada Pesik yang berisi keinginan untuk dimakamkan di suatu tempat di Indonesia ketika dia meninggal, karena menurut Maeda, Indonesia merupakan tanah air keduanya. Lihat juga Abdurrachman Suryomihardjo, dalam surat kabar Kompas, “Wawancara dengan Tadashi Maeda; Sebuah Kasus Sejarah Lisan”, Kamis 6 September 1973, hlm. 8 dan Arsip Nasional Republik Indonesia, Transkripsi wawancara Sejarah Lisan Abduracham Suryomiharjo dengan Tadashi Maeda. Keterlibatan Jepang dalam peperangan menjadi kontroversi, tidak terkecuali bagi Jepang sendiri. Penyebutan istilah Perang Dunia II, Perang Asia-Pasifik, Perang Asia Timur Raya, 15 tahun Perang dan beberapa istilah-istilah lain tidak disetujui oleh beberapa politisi dan juga kalangan akademisi. Pemerintah Jepang pun menghindari istilah-istilah tersebut dan merujuk pada pemakaian istilah Konji no Sensou (Latest War) atau Konji no Taisen (Latest Great War) sesuai dengan hukum dan regulasi-regulasi yang ada di Jepang. Shoji Jun’ichiro, "What Should the ‘Pacific War’ be 9
5
memproklamasikan kemerdekaan dapat terealisasi. Pemerintah pendudukan Jepang selama berkuasa di Indonesia memiliki tujuan untuk memperoleh Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia sebanyak-banyaknya demi kebutuhan perang. Kebijakan tersebut merujuk pada usaha eskploitasi ekonomi secara masif serta mobilisasi massa.
10
Untuk menjamin kelangsungan terhadap
dukungan orang-orang bumiputera, pada tanggal 1 Agustus 1943, Letnan Jenderal Harada Kumakichi mengumumkan kebijakan Seeji Sanyo atau partisipasi politik. Sebelumnya, Perdana Menteri Hideki Tojo pada tanggal 28 Januari 1943 mengumumkan kepada Imperial Diet11 bahwa Burma dan Filipina akan diberi kemerdekaan. Akan tetapi, mereka tidak
Named? A Study of the Debate in Japan”, dalam NIDS Journal of Defense and Security, No.12, tahun 2011, hlm. 70-73. http://www.nids.go.jp/. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2015. Menurut Nanpou Senryouchi Gyousei Jisshi Youryou (Prinsip-prinsip Pengaturan Pemerintahan di Wilayah-wilayah Selatan yang diduduki) yang disetujui pada tanggal 20 November 1941 berisikan bahwa “Untuk masa sekarang, pemerintahan militer harus dibentuk di wilayah-wilayah yang diduduki untuk memulihkan ketertiban umum, memperlancar perolehan sumbersumber yang pokok bagi pertahanan nasional dan memperkuat personil militer dengan ekonomi yang mandiri”. Sebagaimana dikutip Kurasawa, Aiko, Mobilisasi dan Kontrol, Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, (Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993), hlm. xvi dan xxviii-xxix. 10
Dewan Perwakilan tertinggi di dalam kekaisaran di bawah Konstitusi Meiji. http://www.britannica.com/topic/Diet-Japanesegovernment. Di akses pada tanggal 26 April 2016. 11
6
menyinggung mengantisipasi
isu
kemerdekaan
ketidakpuasan
terhadap
tokoh-tokoh
Indonesia. nasionalis,
Untuk maka
penguasa pusat di Tokyo mengirimkan Menteri Urusan Asia Timur Raya Aoki untuk meninjau keadaan di Jawa. Misi Aoki ke Jawa mendapat pertimbangan dan Perdana Menteri Hideki Tojo setuju untuk menyokong pemberian kemerdekaan kepada Indonesia. Di pihak lain, Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang menentang pemberian kemerdekaan kepada Indonesia dengan alasan bahwa hal itu akan mengancam usaha eksploitasi di daerah-daerah. Agar tidak terjadi perdebatan di kalangan petinggi Jepang, diambilah jalan tengah yaitu dengan menunda pemberian kemerdekaan kepada Burma dan Filipina. Partisipasi politik akan diberikan kepada Malaya, Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Partisipasi politik diberikan kepada penduduk sesuai dengan kemampuan masing-masing wilayah. Namun demikian, karena Jawa memiliki tingkat kemajuan yang tinggi dibanding wilayah-wilayah lainnya, partisipasi politik lebih mungkin dapat diterapkan di Jawa.12
Nishimura Otoshi. Interrogation of Major General Nishimura Otoshi on the Indonesian Independence Movement. Singapore, 31 Mei-6 Juni 1946, dalam Koleksi Nishijima, No inventaris AD 22. Universitas Waseda, hlm. 3. 12
7
Kebutuhan perang di tahun 1944 yang semakin meningkat dan serangan agresif tentara Sekutu ke daerah-daerah pendudukan Jepang mendesak membuat pemerintah Jepang untuk segera mungkin
mengambil
langkah-langkah
progresif
dalam
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. 13 Hal ini membangkitkan gelora tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Mereka berharap bahwa setelah
memperoleh
kemerdekaan,
Indonesia
14
akan
bebas
mengatur sistem pemerintahan sendiri tanpa intervensi pihak manapun.15 Pertahanan militer Jepang di daerah-daerah pendudukan semakin melemah dan hal ini membuat Perdana Menteri Koiso pada
Perdana Menteri Tojo mundur pada tanggal 17 Juli 1944 akibat reaksi politik yang semakin serius menyangkut pertahanan di daerah selatan, meliputi penguasaan sekutu atas laut dan udara yang telah memotong pelayaran ke dan dari Jawa. Ditambah dengan penyerangan pasukan Amerika ke Iwojima dan jatuhnya Manila ke tangan Sekutu. Selain itu Inggris mendesak ke selatan menuju Birma, Malaya dan Singapura. Oleh karena itu, untuk mengganti Perdana Menteri Tojo ditunjuklah mantan Gubernur Jenderal di Korea, Jenderal Koiso Kuniaki. ibid. 13
Luasan wilayah Indonesia memang telah dibahas pada sidang BPUPKI pada tanggal 10-11 Juli 1945. Kawasan Indonesia adalah seluruh wilayah Hindia Belanda ditambah Papua, koloni Portugal (Timor) dan Inggris (Kalimantan) sesuai dengan usulan M. Yamin yang telah disetujui oleh Jepang. P.J.Drooglever, Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm.127-129. 14
15 Surat
kabar Saudara Seperdjoeangan tanggal 6 Oktober 1967, “Soal Indonesia II”, via www.niod.nl.
8
tanggal 7 September 1944 mengeluarkan deklarasi yang dikenal sebagai Deklarasi Koiso. 16 Kemudian, pemerintah pendudukan Jepang segera membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Setelah BPUPKI dibubarkan dibentuklah PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). 17 Sidang PPKI pertama akan dilangsungkan dan kemerdekaan yang akan dijanjikan segera diumumkan secara resmi setelah persiapanpersiapan terakhir dari pihak Jepang selesai.18
“As to the East Indies, Japan permitted to inhabitants to participate in politics according to their wish. The inhabitants throught out the East Indies have continuously endevored to carry out the Greater East Asia war, recognizing the real of Japan. They have also been cooperating remarkably with the military government there. In View of these facts we declare here that we intend to recognize their independence in the future in order to ensure the eternal happiness of the East Indian race”. Deklarasi Koiso yang menyinggung tentang masalah pemberian kemerdekaan dikemudian hari terlihat telah direncanakan sebagai upaya agar tokoh-tokoh nasionalis dapat lebih kooperatif dengan Jepang. Konsolidasi politik semacam ini telah memperlihatkan siapa sebenarnya yang paling kuat dalam posisi tawar-menawar antara keduanya. Kanahele, George. S, The Japanese Occupation of Indonesia: Prelude to Independence, (New York: Universitas Cornell, 1967), hlm. 58-59. 16
Surat kabar Asia Raya tanggal 7 Agustus 1945 “Pengumuman P.J.M Saiko Sikikan” dan tanggal 14 Agustus 1945 “Pengumuman Balatentara, Tentang Pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia”, via www.niod.nl. 17
Dalam Nishimura Statement, 31 Mei – 6 Juni 1946 diterangkan bahwa sesuai dengan instruksi tanggal 2 Agustus di Tokyo, PPKI dibentuk di bawah Panitia Pembimbing Penghubung untuk persiapan kemerdekaan. Para anggota Panitia Pembimbing Penghubung terdiri dari Nagano, Shimura, Maeda, Nishimura, Hamada, dan Kapten Yanagihara. Sebagaimana dikutip Ben 18
9
Pada tanggal 21 Juli 1945, keputusan mengenai pemberian kemerdekaan telah disahkan oleh Kabinet Perang dan akan disampaikan kepada Panglima Angkatan Darat ke 16, Jenderal Yuichiro Nagano di Jakarta. Namun, setelah kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Sekutu pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, Panglima Angkatan Darat daerah selatan Marsekal Hisaichi Terauchi mendapat perintah dari Tokyo untuk segera mempersiapkan kemerdekaan dan tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan pengumuman lebih lanjut sebelum kehadiran Rusia dalam perang sudah dekat. 19 Sesuai dengan perintah tersebut, maka rapat dilaksanakan di Saigon, Vietnam untuk membahas rincian-rincian yang menyangkut kemerdekaan Indonesia. Rapat tersebut juga dihadiri oleh Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat. Setelah mereka kembali ke Jakarta, rencana untuk segera melaksanakan kemerdekaan ditentang oleh penguasa militer Angkatan Darat Jepang di Jakarta. Mayor Jenderal Nishimura
Anderson. Revolusi Pemuda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1988), hlm. 85. Aneta (New York), 30 Agustus 1945, yang menyebutkan wawancara Nathan Brock (Christian Science Monitor) dengan Kolonel Yano (Penasihat politik Marsekal Terauchi yang terpercaya). Ben Anderson, ibid., hlm. 83. 19
10
Otoshi atas nama Letnan Jenderal Yamamoto Kepala Departemen Urusan Umum yang mewakili Gunseekan menyatakan bahwa Jepang sudah kalah dan harus tetap menjaga status quo20 sesuai perintah Sekutu. Dengan demikian, pemerintah pendudukan Jepang tidak dapat melanjutkan kembali usaha-usaha persiapan kemerdekaan yang telah dijanjikan sebelumnya. Kedatangan Soekarno dan Mohammad Hatta dengan ditemani oleh Tadashi Maeda ke rumah Jenderal Nishimura untuk membicarakan kelangsungan pelaksanaan kemerdekaan pun tidak menemui kesepakatan. Maeda menawarkan kediamannya yang berada di Myakodoori (Museum Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol Nomor 1) sebagai tempat
aman
bagi
perundingan-perundingan
persiapan
kemerdekaan lebih lanjut. Maeda mulai melakukan langkahlangkah percepatan persiapan kemerdekaan dan bertekad untuk melaksanakan penyerahan kedaulatan secara tertib. Maeda juga menawarkan diri untuk membantu menghadapi pejabat-pejabat militer Jepang dan menyusun beberapa konsep demi kepentingan
Menjaga status quo merujuk pada usaha-usaha untuk menciptakan ketertiban dan keamanan umum tanpa mengubah sistem administrasi dan politik yang ada. 20
11
semua pihak.21 Selain dibantu oleh Maeda, pihak Jepang lain juga ikut menjadi saksi dalam persiapan naskah Proklamasi. 22 Pihakpihak Jepang tersebut terdiri dari pihak sipil maupun militer,
Maeda, Tadashi. On the Eve of Indonesian Independence. 16 Agustus 1954, hlm. 6-7, dalam Koleksi Nishijima. Kode Inventaris PI 22, Universitas Waseda. Lihat juga Arsip Nasional Republik Indonesia. Transkripsi wawancara Sejarah Lisan Abduracham Suryomiharjo dengan Tadashi Maeda pada tanggal 23 Agustus 1973. Dalam wawancara tersebut, Maeda beranggapan bahwa pemerintah Jepang tidak semestinya menunda pemberian kemerdekaan dan hal itu dianggapnya sebagai kesalahan besar. Usaha-usaha yang dilakukan oleh Maeda terkait dengan perundingan seputar proklamasi kemerdekaan Indonesia di kediamannya merupakan inisiatif “pribadi” dan tidak mengatasnamakan Angkatan Laut Jepang. Keterangan Maeda sebenarnya dapat dimaknai sebagai bentuk disclaimer atas tuduhan yang menimpanya setelah perang, hlm. 10-15. 21
Terdapat dua versi mengenai keterlibatan tokoh Jepang dalam perumusan naskah Proklamasi. Versi pertama dari tokoh nasionalis menyebutkan bahwa tidak ada orang Jepang yang terlibat dalam perundingan seperti yang dituliskan oleh Mohammad Hatta. Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, (Jakarta: Tintamas, 1970), hlm. 56-62. Ahmad Subardjo, Lahirnya Republik Indonesia, Suatu Tinjauan dan Kisah Pengalaman, (Jakarta: P.T. Kinta, 1972), Hlm. 104-108. Lihat juga Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi, (Jakarta: Gunung Agung, 1978), Hlm. 331-334. Versi kedua dari tokoh Jepang menyebutkan bahwa perumusan naskah proklamasi melibatkan orang Jepang. Kesaksian Nishijima dalam wawancara tim NHK Jepang dengan Shigetada Nishijima dan B.M. Dhiah dalam NHK Supesharu Shirisu Ajia to Taiheiyou Senso Dai Ikkai Jakaruta no Ichiban Netsui Nichi, Indoneshia Dokuritsu Sengen (NHK Special Series Asia dan Perang Pasifik, Hari Yang Paling Menegangkan Jakarta, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia), NHK Jepang. Agustus 1991. 22
12
antara lain Shigetada Nishijima 23 , Yoshizumi Tomegoro 24 , dan Kolonel Miyoshi Sunkichiro 25 . Naskah Proklamasi hasil rapat
Shigetada Nishijima adalah orang sipil yang menjadi kaki tangan Tadashi Maeda, fasih dalam bahasa Indonesia dan Belanda, kelahiran kota Maebashi, perfektur Gunma, 4 Juni 1911. Ia dibaiat oleh Tan Malaka dengan nama Hakim. Sebelum pendudukan Jepang, ia pernah tinggal di Surabaya untuk bekerja di Chiyoda Hyakkaten dan kemudian pindah ke cabang Bandung. Karena pergaulannya sangat erat dengan tokoh pemuda Indonesia, dia ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda dan mendekam di kamp tahanan yang dihuni sekitar 500 orang. Surat kabar Kompas tanggal 16 Agustus 2001 ditulis oleh Basyral Hamidy Harahap “Shigetada Nishijima, Saksi Perumusan Naskah Proklamasi”, hlm. 28. Lihat juga surat kabar Jawa Pos tanggal 21 Agustus 1994. “Tokoh Tua Jepang tentang Proklamasi Kita”. Lihat Ben Anderson, op.cit., hlm. 468. 23
Tomegoro Yoshizumi merupakan kepala intelijen di Jakarta Kaigun Bukanfu, Divisi III. Masa hidupnya di Indonesia setelah proklamasi Kemerdekaan dihabiskan untuk membantu gerakan revolusioner yang dipimpin oleh Tan Malaka. Oleh Tan Malaka dia dibaiat dengan nama Arif. Yoshizumi meninggal tanggal 10 Agustus 1948 dan dimakamkan di makam Angkatan Darat Blitar. Wenri Wanhar, Jejak Intel Jepang, Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi, (Jakarta: Kompas, 2014). 24
Miyoshi Sunkichiro merupakan staf juru bicara dari pihak Angkatan Darat. Sebelumnya, Ia menjadi pejabat konsulat di Den Haag (1921-1925), Surabaya (1926-1932), dan Batavia (1936-1939) dan Ia pun mahir bahasa Indonesia. Miyoshi merupakan teman Maeda karena pernah menjadi anggota misi perdagangan Kobayashi. Pada saat perundingan naskah proklamasi, Miyoshi dihubungi oleh Maeda untuk datang ke kediamannya. Miyoshi berpikir bahwa kedatangannya akan disambut oleh Maeda dengan sebotol sake (minuman keras) karena hasrat ingin mabuk, namun Maeda berupaya agar kedatangan Miyoshi dapat menjadi perwakilan dari pihak Angkatan Darat. Nishijima Shigetada dalam Zohou Indoneshia Dokuritsu Kakumei Hakim Nishijima no Shougen (Kesaksian oleh Hakim Nishijima, Revolusi Kemerdekaan Indonesia), (Tokyo: Rokuseisha, 1981), hlm 205-220. 25
13
kemudian dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di halaman rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 sebagai pernyataan kemerdekaan Indonesia. Perumusan naskah proklamasi di kediaman Maeda menjadi memori kolektif dalam perjalanan sejarah Indonesia. Berbicara mengenai Museum Naskah Proklamasi, maka akan selalu dikaitkan dengan figur Maeda. Masa lampau seseorang akan selalu hadir dan dikenang serta diingat. Kenangan dan ingatan mengenai figur Maeda dapat diwujudkan ke dalam berbagai bentuk, salah satunya dengan
munculnya
berbagai
komentar,
tanggapan,
dan
pernyataan.26 Penelitian 64 tahun yang lalu oleh sejarawan senior dan ahli di bidang studi Asia Tenggara George Mc Turnan Kahin dalam
Peran Maeda dalam pergerakan Kemerdekaan Indonesia menjadi memori kolektif, khususnya bagi orang-orang Indonesia. Hal tersebut nampak pada beberapa berita atau tulisan yang berkaitan dengan tokoh tersebut, terutama pada saat peringatan Kemerdekaan Indonesia. Berita mengenai kehadiran anak tunggal Maeda yang bernama Nishimura Toaji Maeda dalam peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke-70 tahun 2015 menjadikan sosok Maeda telah menjadi bagian dalam sejarah Indonesia.http://www.cnnindonesia.com/nasional/201508161503 14-20-72478/nishimura-toaji-mengenang-70-tahun-silampembelotan-sang-ayah/. Diakses pada tanggal 17 Agustus 2015. Perlu diketahui pula bahwa sebelumnya peringatan Kemerdekaan Indonesia juga pernah dihadiri oleh Maeda pada tahun 1973. Lihat koleksi foto Perpustakaan Nasional dengan No Induk: 4.847/PN/FOTO/2008. 26
14
disertasinya Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press (1952), kemudian dialihbahasakan dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, (2013), menyebutkan bahwa proses dalam mencapai kemerdekaan sebagian besar dipengaruhi oleh sikap dan kegiatan perwira Jepang, termasuk Maeda yang beraliran komunis. Selain itu, Maeda dan anak buahnya dianggap menganut prinsip Marxis.
27
Kahin juga
menyatakan bahwa terdapat hubungan secara ideologis antara Maeda dengan Tan Malaka. Salah satu murid Kahin yaitu Bennedict Richard O'Gorman Anderson dalam Java in a Time of Revolution. Occupation and Resistance, 1944-1946, Ithaca: Cornell University Press (1972), kemudian dialihbahasakan dalam Revolusi Pemuda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, dengan sumber-sumber Jepang yang mumpuni serta analisisnya yang sangat tajam menyebutkan bahwa Maeda merupakan sosok demokrat namun bukan sosialis. Dalam buku ini sebagian besar pembahasan mengarah pada persaingan kelompok revolusioner.28 Secara sederhana, baik itu karya Kahin maupun Anderson dapat dikatakan mewakili perspektif Barat. Begitu pula sejarawan Indonesia Suhartono. W.P dalam Kaigun; Angkatan Jepang Penentu Kahin, George McTurnan, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013). 27
28
Ben Anderson. ibid.
15
Krisis Proklamasi, Yogyakarta: Kanisius (2007) dengan argumenargumen dan pengalaman penelitian yang telah dilakukannya, ia menyebutkan bahwa Maeda merupakan sosok humanis dan futuris.29 Karya Suhartono ini dapat mewakili perspektif Indonesia dan mungkin dapat dikatakan pragmatis. Figur Maeda menjadi sangat menarik untuk dituangkan ke dalam beberapa sudut pandang, yaitu sudut pandang Jepang, sudut pandang Indonesia, dan sudut pandang Barat. Dengan melihat dari beberapa sudut pandang tersebut, diharapkan akan memunculkan penulisan sejarah yang sesuai dengan fakta-fakta historis baru. Oleh sebab itu, masa pendudukan Jepang menarik perhatian penulis dan memiliki tantangan tersendiri untuk dikaji lebih lanjut dalam usaha melengkapi historiografi Indonesia.30
Suhartono W.P. Kaigun Angkatan laut Jepang Penentu Krisis Proklamasi. (Yogyakarta: Kanisius, 2007). 29
Masih banyak yang dapat dikaji dari sumber-sumber berbahasa Jepang yang berkaitan dengan masa pendudukan Jepang di Indonesia. Sumber-sumber tersebut terdapat di Universitas Waseda. Soedjatmoko, Mohammad Ali, G.J Resink, G. Mct. Kahin (ed), Historiografi Indonesia, Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm.178-183. 30
16
1.2
Rumusan Masalah Masalah-masalah yang timbul dalam studi sejarah tentu
sangat kompleks dan beragam. Keterkaitan masalah antara emosi pribadi dan emosi kolektif membuat studi sejarah lebih menarik. Oleh karena itu, dalam usaha untuk mendapatkan konteks sejarah kritis, sejarawan dituntut untuk berhati-hati agar sejarah tidak dilihat secara parsial atau mengambil salah satu episode tertentu. Sejarah harus dilihat sebagai sebuah proses holistik dengan menyadari unsur subyektifitas, intersubyektifitas dan pemihakan.31 Tanpa mengurangi unsur-unsur tersebut di atas, terkait dengan penulisan mengenai Maeda, terdapat beberapa hal menarik dari figur tersebut. Maeda lahir dari keluarga sederhana dan bersaudara banyak. Maeda lahir di daerah yang dahulu merupakan basis dari Satsuma han. Orang tua Maeda merupakan seorang guru yang pada masa itu hanya mampu menyekolahkan Maeda sampai setingkat Sekolah Tinggi meskipun sebenarnya Maeda sangat cerdas. Dengan kecerdasannya, Maeda mampu menjadi perwira tinggi di Angkatan Laut Jepang. Sebelum Jepang menyerah kepada Sekutu, janji untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia telah disetujui. Hal tersebut dapat dilihat melalui usaha pemerintah pendudukan
Bambang Purwanto, Asvi Warman Adam, Menggugat Historiografi Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2013), hlm. 12-13. 31
17
Jepang dengan pembentukan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia).
Usaha
untuk
memproklamasikan
kemerdekaan pada akhirnya tetap dilakukan meskipun hal tersebut mendapat larangan dari pihak militer Jepang, sesuai dengan status quo yang telah ditetapkan oleh Sekutu. Pada akhirnya, kemerdekaan Indonesia dapat tercapai karena “dipengaruhi” oleh pihak-pihak dari Jepang, khususnya dari kelompok Jakarta Kaigun Bukanfu. Dengan demikian mitos Proklamasi
tanpa
campur
tangan
pihak
luar
pun
dapat
diperdebatkan kembali. Tambahan pula dengan penyebutan tahun Jepang 2605 dalam naskah Proklamasi menjadikan mitos tersebut semakin luntur.32 Secara sederhana, Maeda dalam usahanya untuk membantu pergerakan
kemerdekaan
Indonesia
dapat
dianggap
telah
menerobos status quo. Dalam usahanya tersebut, perbedaan pendapat justru terjadi antara Angkatan Darat dengan Angkatan
Hasil wawancara antara Basyral Hamidy Harahap dengan Shigetada Nishijima mengenai seputar Proklamasi, disebutkan bahwa tuduhan Sekutu dalam keterlibatan pihak Jepang menyangkut perumusan proklamasi karena mencantumkan tahun Jepang (tahun 2605) dapat dibantah oleh Nishijima. Meskipun pada saat interogasi, pihak Belanda berusaha untuk mengecap kemerdekaan Indonesia sebagai buatan Jepang. Basyral Hamidy Harahap, Kompas, loc.cit. 32
18
Laut Jepang dalam rapat kecil pada tanggal 18 dan 19 Agustus 1945. Angkatan Darat Jepang beranggapan bahwa gencatan senjata untuk tetap menjaga status quo harus tetap dipatuhi agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap Kaisar. Maeda beranggapan bahwa pendapat Angkatan Darat itu justru akan memberikan dosa kepada Kaisar Jepang dan dianggap sebagai pelemparan tanggung jawab. Maeda juga menyatakan bahwa jika terbukti bersalah dengan menerobos status quo dan menimbulkan dampak negatif terhadap Kaisar, maka Ia siap melakukan harakiri (bunuh diri).33 Berdasarkan latar belakang tersebut, pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah; siapakah sebenarnya sosok Maeda hingga berani menerobos larangan Sekutu terkait dengan status quo yang telah ditetapkan. Pertanyaan ini perlu diajukan
untuk
mengungkap
latar
belakang
sosio-kultural,
pendidikan, pengalaman, dan usaha-usahanya dalam membantu persiapan kemerdekaan Indonesia.
1.3
Ruang Lingkup Dalam studi sejarah, tidak terdapat batasan-batasan yang
menjadi dasar mutlak dalam penulisan, baik dalam periodisasi
Transkripsi hasil wawancara Masuda Ato dan Goto Kenichi dengan Tadashi Maeda, op.cit., hlm. 6. 33
19
maupun segi spasional, namun perlu dipertimbangkan batasanbatasan secara khusus bahwa semakin pendek kerangka waktu, semakin mungkin dapat dikerjakan dengan baik dan dapat diteliti. Semakin terbatas daerah sasaran maka semakin mudah untuk diselidiki. Untuk mencapai hal tersebut di atas, menurut Sartono Kartodirdjo
perlu
dilakukan
identifikasi
masalah
serta
kemungkinan yang dapat dilakukan dalam penelitian.34 Sebagai seorang sejarawan, pertimbangan teoritis maupun praktis menjadi sangat penting dalam kajian sejarah sebagai ilmu.35 Batasan spasial (ruang) dalam penulisan ini yaitu Jakarta (Jawa) secara khusus dan perfektur Kagoshima secara umum. Batasan temporal (waktu), yaitu tahun 1918-1947. Pemilihan batasan temporal tersebut lebih berdasarkan pada pertimbangan praktis daripada
pertimbangan
teoritis.
Batasan-batasan
ini
sangat
diperlukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang suatu persoalan yang terjadi. Pembahasan diawali pada tahun 1918 pada waktu Tadashi Maeda lulus dalam Akademi Angkatan laut dan
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 89. 34
Ilmu sejarah memiliki relevansi yang signifikan terhadap proses perkembangan masa kini. Sartono Kartodirdjo, Sejak Indische Sampai Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2005), hlm. 92. 35
20
diakhiri tahun 1947 ketika Maeda dibebaskan dari penjara Struiswijk (Penjara Gang Tengah).
1.4
Tujuan Penelitian Proses penulisan sejarah tidak lepas dari definisi sejarah
secara umum bahwa sejarah merupakan gambaran pengalaman manusia pada masa lampau. 36 Oleh karena itu, studi sejarah bertujuan untuk memperoleh pengetahuan mengenai masa lampau dan sedapat mungkin disajikan secara ilmiah dalam kerangka akademis.
Selain
itu,
tujuan
penelitian
ini
bukan
hanya
mendeskripsikan kejadian historis melainkan merujuk pada kaitan antara sebab-akibat. Selanjutnya, penulisan ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui latar belakang sosio-kultural, pengalaman, pendidikan dan ideologi Maeda. 2. Mengetahui
latar
belakang
Maeda
dalam
usahanya
membantu tokoh-tokoh nasionalis dan untuk menjelaskan sejauh mana peranan Maeda dalam proses kemerdekaan. 3. Mengetahui bersedia
alasan-alasan membantu
yang
proses
menyebabkan percepatan
Maeda
persiapan
kemerdekaan dan berani melanggar status quo.
Mark M. Krug, History and The Social Sciences. (London: Blaindsel Publishing Company, 1967) hlm. 4. 36
21
1.5
Metode Penelitian Dalam penelitian sejarah, terutama penulisan figur atau
tokoh, tentu saja memiliki implikasi metodologis tersendiri. Beberapa konsep dalam ilmu-ilmu sosial juga akan berpengaruh terhadap kajian sejarah. Dalam proses sejarah pun, penjelasan secara komprehensif tidak hanya dijelaskan dengan satu faktor tetapi beberapa faktor. Dalam
studi
sejarah
terdapat
beberapa
hal
yang
mengendalikan perjalanan kronologis sejarah, yaitu dewa, rencana besar Tuhan, gagasan-gagasan yang dilahirkan oleh manusia, tokoh besar, dan keadaan sosial ekonomi. Dari beberapa hal tersebut, penulisan yang menyangkut tokoh semakin meningkat. Banyak tokoh-tokoh besar yang dikaji oleh para sarjana.
37
Berkaitan
dengan hal tersebut di atas, penulisan mengenai Tadashi Maeda sebagai “tokoh besar” dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia sudah sangat dikenal, terlebih dalam buku teks akademik. Namun sayangnya tokoh besar seperti Maeda kurang dikenal di Jepang, tidak seperti tokoh pendidikan Jepang Fukuzawa Zukichi.38
Syahrin Harahap. Metodologi Studi Tokoh dan Penulisan Biografi, (Jakarta: Prenada, 2014), hlm. 4. 37
Fukuzawa Zukichi merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan di Jepang. Ia lahir di Osaka tahun 1835. Demi membangun Jepang yang lebih modern, Ia melakukan perjalanan ke Eropa selama setahun sebelum restorasi 38
22
Dalam studi ini, pembahasan secara menyeluruh akan disajikan melalui sebuah rekonstruksi historis. Studi historis dituntut untuk beragumen tentang kebenaran yang terjadi. Melalui argumen yang tepat diharapkan mampu mencapai hasil studi yang maksimal dan ilmiah. Argumen itu sendiri merujuk pada data ilmiah. Melalui data ilmiah inilah, studi tentang Laksamana Muda Tadashi Maeda akan diperinci secara jelas. Sebagai seorang sejarawan, hal yang perlu diperhatikan ketika berhadapan dengan data ilmiah merujuk pada fakta-fakta yang merupakan bahan dasar penulisan. Untuk mendapatkan fakta-fakta historis tentu saja melalui tahapan-tahapan tertentu.39
Meiji untuk menemukan dasar pijakan masyarakat modern. Ia juga sangat produktif dalam menghasilkan karya baik buku maupun tulisan lain demi kemajuan bangsa Jepang. Sampai saat ini gambar Fukuzawa Zukichi dapat dilihat dalam mata uang Jepang pecahan 10.000 Yen. Shunsaku, Nishikawa. Dipublikasikan dalam Prospects: the quarterly review of comparative education (UNESCO: International Bureau of Education), vol. XXIII, no. 3/4, 1993, hlm. 493-506. http://www.ibe.unesco.org/. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2015. Tahap pertama yang perlu dilakukan oleh seorang sejarawan adalah proses pengumpulan informasi dari berbagai sumber (heuristik). Tahap selanjutnya adalah dengan melakukan kritik sumber dan interpretasi sumber. Inventarisasi, penyeleksian bahan-bahan, kritik dan interpretasi sangat menentukan bagi langkah berikutnya yang berupa sintesa historis. Melalui sintesa tersebut, kejelian seorang sejarawan dalam mempergunakan konsep, berpikir logis serta berimajinasi akan menentukan ciri dari sebuah karya sejarah. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah ( Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 1995), hlm 89. Lihat juga 39
23
Dalam
usahanya
untuk
mendapatkan
data-data
yang
lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, tentu saja melalui proses yang sangat panjang dan mendalam bahkan berulang-ulang. Hal tersebut bertujuan agar rekonstruksi historis dapat dipahami dengan mudah dan tidak ada data yang terbuang sia-sia. Penelusuran
arsip-arsip
yang
berkaitan
dengan
topik
permasalahan dilakukan baik penelusuran arsip-arsip yang berada di Jepang maupun arsip-arsip yang berada di dalam Negeri. Penelusuran arsip-arsip yang berada di Jepang dilakukan dengan riset singkat di Universitas Waseda, Jepang. Data-data interogasi, literatur yang ditulis oleh Maeda dan surat-surat resmi lainnya terdapat dalam koleksi Nishijima yang disimpan di Universitas Waseda. Kemudian data-data berupa arsip privat yang didapatkan secara personal meliputi transkripsi wawancara, daftar riwayat hidup, puisi-puisi, dan kesaksian-kesaksian lain. Penelusuran arsip juga dilakukan di National Institute for Defense Studies. Penelusuran arsip-arsip yang berada di dalam Negeri dilakukan dengan riset di Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Nasional, dan Perpustakaan Kolese St Ignatius. Bahan pendukung
Louis Gottschalk (terj), Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1986). Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994).
24
seperti surat kabar pada jaman pendudukan Jepang, majalah, buku-buku juga akan digunakan. Sebelum sekutu mengambil alih, pemerintah pendudukan Jepang memiliki waktu satu bulan untuk memusnahkan semua dokumen resmi agar Jepang tidak dicap sebagai penjahat perang. Oleh karena itu, surat kabar yang diterbitkan pada masa itu sangat penting untuk penelitian sejarah. Namun, interpretasi 40 mengenai data dan fakta yang ada dalam surat kabar juga harus ditelaah lebih lanjut, karena kemungkinan besar data-data yang ada sudah disensor atas otoritas pemerintah pendudukan Jepang. Sumber-sumber
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
merujuk pada sumber-sumber berbahasa Jepang, , Inggris, Belanda dan Indonesia. Selain itu, metode penelitian ini juga berupa wawancara (oral history) langsung dengan saksi sejarah apabila memungkinkan guna mendukung kredibilitas sumber data. Datadata yang diperoleh kemudian diseleksi berdasarkan keterkaitan dengan topik permasalahan. Data-data
yang
telah
diseleksi
kemudian
dirangkai
berdasarkan urutan kronologis agar dapat menjelaskan fakta-fakta sejarah yang terjadi. Setelah didapat deskripsi yang cukup memadai,
Interpretasi yang dimaksud adalah perumusan fakta dan penyajian pemikiran yang baru. Homer Carey Hockett, The Critical Method in Historical Research and Writing, (New York: The Macmillan Company, 1967), hlm. 9. 40
25
barulah fakta-fakta sejarah tersebut dianalisis secara komprehensif menurut topik permasalahan utama sehingga pada akhirnya didapat sebuah kesimpulan yang dapat menjawab permasalahan.
1.6
Kerangka Konseptual Pengalaman dan kejadian mengenai jaman pendudukan
Jepang menyebabkan pengetahuan mengenai jaman tersebut menjadi sangat luas. Karya-karya yang dihasilkan mengenai jaman pendudukan Jepang pun begitu masif dan sangat bervariasi. Dalam penelitian yang berjudul: Laksamana Muda Tadashi Maeda : Menembus Larangan Sekutu untuk Kemerdekaan Indonesia 19181947, karena merupakan studi sejarah yang berkaitan dengan figur, tentu saja membawa implikasi metodologis tersendiri seperti kajian sejarah analistis yang lebih menekankan pada pemahaman terstruktur mengenai peran seseorang. Pemililihan judul dalam studi ini bukan semata-mata spontan melainkan berdasar pada pertimbangan.
Pemilihan
kalimat
Laksamana Muda Tadashi
Maeda : Menembus Larangan Sekutu untuk Kemerdekaan Indonesia 1918-1947 mengacu pada konflik psikologis antara cita-cita Kaisar untuk
memerdekakan
bangsa
Asia
yang
sebenarnya
dapat
dimaknai sebagai usaha untuk memimpin Asia dibawah bendera Jepang. Setelah Jepang menyerah, perintah untuk mematuhi status quo yang ditetapkan oleh Sekutu juga harus dilaksanakan. Posisi
26
Maeda sangat dilematis, disatu sisi tindakan untuk melanggar status quo menurutnya sudah sesuai dengan jalan Kaisar, sedangkan di sisi lain justru dipermasalahkan oleh Angkatan Darat Jepang karena dianggap sebagai penghianat. Dengan memakai konsep intellectual history atau sejarah intelektual, dalam arti luas mengacu pada pokok masalah data apa saja yang ditinggalkan oleh aktivitas pikiran seseorang. 41 Konsep sejarah intelektual dapat dipakai untuk mengetahui latar-belakang seseorang terutama figur Maeda dengan mencoba mengkaji datadata yang ditinggalkan. Sejarah intelektual dapat diklasifikasi menjadi
tiga,
yaitu
(1)
sejarah
intelektual
yang
mencoba
mengembangkan fakta tentang siapa menulis apa dan bagaimana menulis, dalam bentuk apa dipublikasikan dan tentang fakta-fakta tentang
apa
menganalisis
yang
dihasilkan,
(2)
sejarah
dan
mensitesis
fakta-fakta
intelektual yang
ada
yang yang
berhubungan dengan ide-ide dengan menganalisis elemen-elemen terpilih dari pengelompokan ide dan (3) sejarah intelektual yang mengkaji hubungan antara apa yang dikatakan orang dan apa yang dilakukannya.42
Brinton, Crane, “Sejarah Intelektual” dalam Taufik Abdullah dan Abdurrahman Suryomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi, Arah, dan Perspektif, (Jakarta: PT Gramedia, 1985), hlm. 201. 41
42
ibid, hlm. 206-207 27
Menurut Sartono, aspek yang menarik dalam sejarah intelektual adalah dialektik yang terjadi antara ideologi dan penghayatan oleh penganutnya. Sejarah intelektual berusaha mengungkap faktor-faktor sosio-kultural yang mempengaruhinya. Dengan menunjukan argumentasi mengenai latar sosio-kultural serta aspek historisnya maka akan tampak keterkaitan antara kehidupan nyata dengan ide-ide sang figur. Hal terpenting dalam mengungkap “keberadaan” sang figur dalam konteks historis diperlukan beberapa aspek, diantaranya aspek pemikiran dan aspek perilaku. Aspek pemikiran untuk mengetahui pemikiran seseorang diperlukan kajian teks, kajian konteks
sejarah,
dan
kajan
hubungan
antara
teks
dan
masyarakatnya. Kajian teks berkaitan dengan pemikiran tokoh misalnya dalam buku, catatan pribadi, maupun media lainnya. Kajian konteks berkaitan dengan tempat seseorang, tumbuh dan berkembang. Kajian hubungan antara teks dan masyarakatnya mengarah pada sejauh mana pemikiran tersebut berpengaruh dalam masyarakat. Sedangkan
aspek
perilaku
dapat
dipahami
melalui
pendekatan situasional.43 Pemahaman mengapa berperilaku seperti
Berkhofer, Robert, Jr. A Behavioral Approach to Historical Analysis, (New York Collier Macwillan Limited London: The Free Press 1971), hlm. 46-70. 43
28
itu dan dampak yang terjadi merupakan elemen dalam berperilaku. Perilaku
tokoh
bukan
merupakan
reaksi
atas
rangsangan,
melainkan respon yang dibuat sesuai dengan media pemikiran dan kondisi jamannya. Dengan melihat latar belakang sosio-kultural historisnya maka perilaku seseorang akan tampak jelas.44 Oleh karena itu, pemahaman mengenai Kaisar Jepang sebagai unsur penting dalam Negara tidak dapat dipisahkan dari pemahaman mengenai sosial-kultural itu sendiri. Penghormatan terhadap Kaisar sebelum Perang Dunia II berakhir terkait dengan Undang-Undang Meiji (1889-1945) sangat berpengaruh pada tindakan seseorang. Tidaklah mengherankan jika peperangan didorong dengan semangat untuk kemuliaan Kaisar Jepang meskipun dibalut dalam kerangka nasional Jepang. Dengan demikian, pendekatan ilmu sosial menjadi titik acuan.
45
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm 180-182. 44
Menurut Sartono Kartodirdjo, pendekatan antara ilmu sejarah dan ilmu sosial disebabkan oleh beberapa hal, antara lain; pertama, sejarah deskriptif-naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan masalah atau gejala yang kompleks. Kedua, pendekatan multidimensional atau social-scientific adalah yang paling tepat untuk dipakai sebagai cara menggarap permasalahan atau gejala tersebut di atas. Ketiga, ilmu-ilmu sosial telah mengalami perkembangan pesat, maka disediakan berbagai teori dan konsep yang merupakan alat analitis yang relevan sekali untuk keperluan analisis historis. Keempat, studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian hal-hal informatif tentang apa, siapa, kapan, di 45
29
Studi ini mengajukan hipotesis bahwa pergerakan yang dilakukan oleh Maeda dengan menerobos larangan Sekutu terkait status
quo
didasari
oleh
kesadaran
pribadi
tanpa
mengatasnamakan Angkatan Laut Jepang serta pemaknaan dan pemahaman akan Tennoisme menjadikan Maeda tetap pada pendiriannya bahwa apa yang dilakukannya sesuai dengan cita-cita Kaisar. Penulisan figur memang dituntut kehati-hatian agar tidak terjebak dalam sebuah fantasi yang menempatkan figur tersebut lebih
dominan.
Salah
kesalahan-kesalahan.
46
satu
caranya
Penulisan
dengan
mengenai
meminimalisir Maeda
akan
dikerucutkan pada biografi seputar tindakan dan aktivitasnya selama pendudukan berlangsung sampai pada proses pergerakan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, biografi dan historiografi
mana, dan bagaimana saja, tetapi juga ingin melacak pelbagai struktur masyarakat, pola kelakuan, kecenderungan proses dalam berbagai bidang, dan lain-lain. Kesemuanya itu memerlukan dan menuntut adanya alat analitis yang tajam dan mampu mengekstrapolasikan fakta, unsur, pola, dan sebagainya. Sartono Kartodirdjo, ibid., hlm. 120. Ketika menulis Biografi tanpa pretensi apapun, maka akan muncul pertanyaan apakah tokoh Dia dapat ditonjolkan dengan apa adanya?, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor lain, seperti halnya dengan nilai seni. M. Misbahul Amri, “Auto/Biografi Indonesia: Sejarah Dan Telaah Singkat” dalam jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2015. 46
30
merupakan dua hal pokok yang tidak dapat dipisahkan. Penulisan biografi secara tidak langsung akan berurusan dengan aspek kronologis.47 Menurut Louis Gottschalk, studi biografi akan lebih menarik jika menceritakan figur seseorang sejak lahir sampai meninggal, daripada mengisahkan peristiwa yang kritis dalam hidupnya. Pertimbangan berikutnya bahwa penulisan figur seseorang yang sudah dikenal oleh banyak orang akan lebih laku dibanding dengan penulisan figur yang jarang dikenal.48 Selain itu, terdapat beberapa aspek yang dapat dipahami untuk menjelaskan suatu peristiwa sejarah. Tidak cukup hanya menjelaskan dari hubungan kausal dengan peristiwa-peristiwa lain, melainkan penjelasan terhadap aspek sosio-kultural yang telah dijelaskan sebelumnya. Kajian yang dibahas dalam penulisan ini harus mencakup beberapa konsep penulisan biografi seorang tokoh yang berkaitan erat dengan historiografi. Pemahaman yang jelas mengenai
Biografi,
Autobiografi,
Prosopografi,
dan
Memoar
Gerry van Klinken, “Aku Yang Berjuang: Sebuah Sejarah Penulisan Tentang Diri Sendiri Pada Masa Orde Baru” dalam Henk Schulte, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, 2008), hlm. 127. 47
Louis Gottschalk, Understanding A Primer og Historical Method. (terj) Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 14. 48
31
merupakan suatu hal yang penting. Secara singkat, biografi merupakan riwayat kehidupan sang tokoh atau figur yang ditulis oleh orang lain, baik tokoh tersebut masih hidup atau sudah meninggal. Otobiografi merupakan riwayat hidup sang tokoh atau figur yang ditulis oleh dirinya sendiri dan lebih bersifat pengalaman nyata. 49 Memoar memiliki kedekatan dengan otobiografi, namun memoar lebih menekankan pada satu peristiwa yang dianggap penting.
50
Prosopografi merupakan biografi kolektif mengenai
riwayat hidup sang tokoh atau figur. Tidak dapat dipungkiri bahwa figur Maeda dalam historiografi Indonesia kurang mendapat proporsi yang seimbang. Perbedaan pendapat
antara
golongan
tua
dan
golongan
muda
dalam
perjalanan sekitar proklamasi kemerdekaan melahirkan beberapa tulisan yang pada masanya memperlihatkan subyektifitas si penulis. Situasi jaman yang berbeda tentu saja berpengaruh pada penulisan sejarah. Hal tersebut menjadikan penulisan biografi seseorang akan menemui beberapa kesulitan. Kesulitan yang sering dihadapi ketika menulis biografi adalah adanya persamaan ideologi, kepentingan
Louis M. Smith, “Metode Biografis” dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, terj. Dariyanto dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 367. 49
Kuntowijoyo, Metodologi Wacana, 2003), hlm. 205. 50
32
Sejarah,
(Yogyakarta:
Tiara
politik, kepentingan sosial, kepentingan pribadi dan lain-lain. Penulisan biografi dapat memberikan penjelasan mengenai proses dan struktur perkembangan bersejarah dari figur seseorang yang dijadikan
sebagai
sosiologis-historis
objek dalam
penulisan. penulisan
Penekanan figur
pada akan
aspek dapat
menggambarkan secara jelas keadaan masyarakat dari figur tersebut dalam konteks historisnya.51 Perjalanan sejarah tentang Maeda bukan hanya diketahui sebagai figur yang secara sederhana membantu dalam persiapan kemerdekaan, melainkan dari sisi pendidikan, motif tindakan, faham, dan pikiran juga perlu untuk diketahui. Dalam studi ini, penulisan mengenai Maeda merupakan bentuk apresiasi sekaligus pemicu khususnya bagi diri pribadi dan sejarawan lainnya bahwa masih banyak fakta-fakta sejarah pendudukan Jepang yang perlu dikaji lebih dalam, meskipun sumber-sumber yang tersedia di Indonesia cukup terbatas.
1.7
Tinjauan Pustaka Pendudukan Jepang di Indonesia telah banyak mengundang
para peneliti untuk melakukan studi, baik oleh peneliti asing
Bambang Purwanto, Biografi dalam Historiografi Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1985, Laporan penelitian), hlm 7. 51
33
maupun peneliti Indonesia. Studi mengenai figur orang Jepang terutama Maeda dikatakan sangat jarang. Hal ini disebabkan oleh saksi sejarah yang sudah tidak ada atau sumber data yang langka. Di tahun 1967, sebuah disertasi Universitas Cornell yang berjudul The Japanese Occupation of Indonesia: Prelude to Independence, ditulis oleh George S. Kanahele. Dalam tulisannya, pembahasan
merujuk
pada
interaksi
dan
perkembangan
nasionalisme Indonesia-Jepang pada masa pendudukan Jepang di Indonesia sampai pada kemerdekaan. Aspek penting kaitannya dangan topik penelitian lebih ditekankan pada bab III The Partitioning and Collaboration dan bab IX Towards Independence, namun secara khusus tidak menyinggung secara detail mengenai figur Maeda. Karya lain yang menyinggung reaksi pemuda revolusioner sebagai akibat dari kebijaksanaan yang dibuat pemerintah Jepang dan perubahan kondisi politik dalam tahuntahun terakhir pendudukan Jepang berjudul Revolusi Pemuda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, (1988) karya Ben Anderson sangat membantu dalam memahami situasi politik yang ada saat itu. Kemudian buku babon Aiko Kurasawa yang berjudul Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, (1993). Buku ini berisi tentang perubahan-perubahan
sosial
ekonomi
sebagai
dampak
dari
pendudukan Jepang. Karya ini membantu dalam memahami
34
bagaimana proses eksploitasi dan mobilisasi massa serta dampak yang ditimbulkannya. Karya-karya yang telah disebutkan di atas mengenai sejarah pendudukan Jepang yang dihasilkan dalam rangka
penulisan
disertasi
sebagian
besar
dilakukan
oleh
sejarawan asing. Tinjauan buku lainnya yakni karya M.A. Aziz, berjudul Japan’s
Colonialism
and
Indonesia
(1955),
mengarah
pada
pembahasan peran pemuda dan seputar pendudukan Jepang terkait perkembangan nasionalisme. Karya-karya yang berkaitan dengan topik penelitian khususnya orang Jepang yang bersimpati terhadap Indonesia pada masa pendudukan Jepang masih sangat terbatas. Tahun 2007, Suhartono W.P menulis buku yang berjudul Kaigun Angkatan Laut Jepang: Penentu Krisis Proklamasi. Karya Suhartono banyak memfokuskan pada peran Kaigun Bukanfu, termasuk di dalamnya membahas figur Maeda namun masih dalam skala kecil. Dalam tulisannya, sumber-sumber yang digunakan Suhartono masih terbatas dan belum menggunakan sumbersumber berbahasa Jepang. Karya Wenri Wanhar yang berjudul Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi, merujuk pada pembahasan figur orang Jepang Tomegoro Yoshizumi atau yang lebih dikenal dengan Bung Arif, nama baru yang diberikan oleh Tan Malaka. Karya ini membantu dalam mengulas gambaran seputar pergerakan Yoshizumi sebagai kepala Divisi III bidang
35
intelijen dalam Jakarta Kaigun Bukanfu, organisasi yang didirikan oleh Maeda. Goto Ken’ichi dalam bukunya Showaki Nihon to Indonesia (Tokyo, 1986) dan diterjemahkan dengan judul Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (1998). Secara singkat, kajian ini membantu untuk merujuk bagaimana sikap Jepang terhadap Indonesia dan penjelasan mengenai teori ekspansi ke wilayah Selatan serta peran beberapa orang sipil Jepang dalam membentuk hubungan-hubungan
informal
antara
Indonesia
dan Jepang
sebelum pendudukan Jepang. Karya-karya yang didapat dari Universitas Waseda dalam Koleksi Nishijima serta karya-karya yang diterbitkan dalam bahasa Jepang.52 Termasuk artikel yang ditulis oleh Maeda setelah perang berakhir berjudul On the Eve of Indonesian Independence. Artikel ini mengarah pada kondisi, peristiwa dan kesaksian Maeda setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Kesaksian dari Yasukawa Yasushi (Anggota Jakarta Kaigun Bukanfu) yang berjudul Maeda Bukan no Ashiato wo Shinonde (Mengenang Jejak Maeda), berisi kenangan tentang bagaimana Maeda berusaha untuk menjadi
Data-data didapatkan dari penelitian singkat di Universitas Waseda, Graduate School of Asia-Pasific Studies dengan arahan Prof. Hayase Shinzo (Universitas Waseda), Prof. Goto Ken’ichi (Universitas Waseda), Yako Kozano (Universitas Perfektur Aichi), Kaoru Kochi (Universitas Perfektur Aichi), dan Yamasaki Isao (Universitas Saga). 52
36
perwira Angkatan Laut sampai pada usaha-usahanya untuk membentuk Jakarta Kaigun Bukanfu. Kesaksian Satsuki Mishima (asisten Rumah Tangga Maeda) yang berjudul Maeda Bukan no Omoide (Kenangan Maeda), berisi kesaksian seputar perumusan naskah proklamasi, dalam Shinobu ga Oka, Maeda Jakaruta Zaikin Kaigun Bukan, Indoneshia Dokuritsu Sengen ni Hatashita sono Yakuwari. Kesaksian Nishijima Shigetada dalam Zohou Indoneshia Dokuritsu Kakumei Hakim Nishijima no Shougen (Kesaksian oleh Hakim Nishijima, Revolusi Kemerdekaan Indonesia), merupakan autobiografi yang sebagian besar membahas masalah revolusi kemerdekaan
Indonesia
dan
figur
Maeda
dalam
usahanya
membantu tokoh nasionalis serta latar belakang dibentuknya Jakarta Kaigun Bukanfu. Sementara itu memoar yang ditulis dari pelaku sejarah Indonesia berkaitan dengan sekitar Proklamasi Kemerdekaan seperti Sekitar Proklamasi (1982) oleh Mohammad Hatta. Riwayat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 (1982) oleh Adam Malik dan Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi (1978) karya Ahmad Subardjo Joyoadisuryo. Beberapa tokoh tersebut, mengetengahkan kesaksiannya pada masa Pendudukan Jepang.
37
1.8
Sistematika Penulisan Proses kreatif eksplanasi sejarah memerlukan kerangka
sistematis dan kronologis yang diperlukan sebagai pedoman penulisan. Bertolak dari masalah yang telah diuraikan di atas, secara garis besar, tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian utama
selain
pengantar
dan
kesimpulan.
Bagian
pertama
menggambarkan perfektur Kagoshima sebagai wilayah cikal bakal Angkatan Laut Jepang dan kota Kajiki sebagai tanah kelahiran Tadashi
Maeda.
Bagian
kedua
lebih
mengkhususkan
pada
pembentukan Jakarta Kaigun Bukanfu dan aktivitas-aktivitasnya. Bagian ketiga merujuk pada kondisi dan pergerakan Maeda setelah perang berakhir. Penyajian pembahasan dalam tulisan ini akan mengikuti kaidah-kaidah yang ditetapkan sebagai berikut: Bab pertama berisi tentang latar belakang dan permasalahan, yang merupakan pengantar untuk memahami permasalahan. Ruang lingkup dan tujuan penulisan, metode penulisan, kerangka konseptual,
tinjauan
pustaka,
serta
sistematika
penulisan
diuraikan dalam bab ini. Bab kedua menggambarkan perfektur Kagoshima sebagai tanah kelahiran Tadashi maeda. Dalam bab ini secara khusus lebih merujuk pada penjelasan aspek sosio-kultural, perkembangan militer Angkatan Laut Jepang, pandangan Angkatan Laut Jepang terhadap ekspansi ke Selatan (Hindia-Belanda), hubungan Maeda
38
dengan kegiatan intelijen yang dilakukan oleh orang sipil dan lahirnya intelektualitas Maeda dengan segudang pengalaman militer yang diperolehnya di Angkatan Laut. Bab ketiga menggambarkan tentang organisasi Jakarta Kaigun Bukanfu yang dibentuk oleh Tadashi Maeda. Pembahasan awal dimulai dari asal mula pembentukan Jakarta Kaigun Bukanfu secara umum, struktur organisasi dan personel Jakarta Kaigun Bukanfu sampai pada hubungan antara Maeda dengan tokoh-tokoh perjuangan kaitannya dengan Asrama Indonesia Merdeka. Bab keempat menggambarkan proses kronologis bagaimana Tadashi Maeda dalam persiapan kemerdekaan sampai pada akhirnya ia dipenjara. Dalam bab ini akan dipaparkan analisis dari interogasi-interogasi yang diberikan kepada Tadashi Maeda di pengadilan internasional serta analisis puisi-puisi yang dibuatnya terkait dengan tindakan untuk menembus status quo. Bab
kelima
kesimpulan
yang
berisi
jawaban
atas
permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam bab pendahuluan.
39