1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sebuah era baru di dalam perkembangan hukum dan peradilan di Indonesia ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya digunakan istilah UU KIP) pada tanggal 30 April 2008, yang berdasarkan ketentuan Pasal 64 ayat (1) UU KIP ditetapkan bahwa undangundang ini mulai berlaku dua tahun sejak tanggal diundangkan atau dengan kata lain UU KIP tersebut mulai efektif berlaku pada tanggal 30 April 2010. Lahirnya UU KIP telah memperkuat mandat bagi pelaksanaan keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan negara dan pengelolaan sumber daya publik di Indonesia. Pelaksanaan UU KIP diharapkan dapat mendorong upaya perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik, pelayanan publik, dan penguatan peran serta masyarakat dalam setiap bidang pembangunan nasional, oleh karena pada dasarnya akses terhadap informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi. Pada Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 F dinyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
2
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.1
Sebagai konsekuensi atas hak atas informasi tersebut adalah kewajiban negara untuk memenuhi hak atas informasi tersebut. UU KIP
merupakan
jaminan hukum yang diharapkan dapat mendorong terwujudnya keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan negara. Di negara-negara demokratis, pengakuan terhadap hak atas informasi sekaligus merupakan sarana untuk memantau dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan yang demokratis akan berusaha semaksimal mungkin membuka ruang informasi yang dibutuhkan publik. Itulah sebabnya, di negara demokratis konstitusional, keterbukaan informasi publik merupakan sarana untuk mengoptimalkan penyelenggaraan negara secara umum, mengoptimalkan peran dan kinerja badan-badan publik, serta segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) mensyaratkan pemerintahan yang terbuka sebagai salah satu fondasinya, dan kebebasan memperoleh informasi (public access to information) merupakan salah satu prasyarat untuk menciptakan pemerintahan terbuka (open government). Pemerintahan terbuka adalah penyelenggaraan pemerintahan yang transparan, terbuka, dan partisipatoris. Semakin terbuka penyelenggaraan negara untuk diawasi publik, maka penyelenggaraan negara tersebut makin dapat
1
R.I., Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bab XA, Pasal 28 F .
3
dipertanggungjawabkan. Pada tataran badan usaha, konsep pengelolaan yang baik (good corporate governance) juga sudah dianggap sebagai suatu kebutuhan. Tata kelola yang baik memiliki sejumlah indikator antara lain keterbukaan, partisipasi, akuntabilitas, efektivitas, dan koherensi.2 Menurut
Mas
Achmad
Santosa,
pemerintahan
yang
terbuka
mensyaratkan adanya jaminan atas lima hal, yaitu: (i) hak untuk memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan peran publiknya; (ii) hak untuk memperoleh informasi; (iii) hak untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan publik; (iv) kebebasan berekspresi yang antara lain diwujudkan dalam kebebasan pers; dan (v) hak untuk mengajukan keberatan terhadap penolakan atas keempat hak terdahulu. 3 Beranjak dari jaminan atas hak untuk mengajukan keberatan terhadap penolakan atas keempat hak terdahulu tersebut melahirkan sebuah konsekuensi berupa sebuah hal lain yang tidak kalah pentingnya yaitu perlunya mengatur mekanisme penyelesaian sengketa informasi dan lembaga independen yang menyelesaikan sengketa informasi. Sengketa informasi bisa saja muncul antara pemohon informasi dengan badan publik penyedia informasi. Ketiadaan mekanisme yang jelas justru berakibat pada ketidakpastian hukum. Penyelesaian sengketa informasi dengan baik sangat ditentukan oleh pengaturan mekanismenya lewat peraturan perundang-undangan. Inilah salah satu tujuan dibentuknya UU KIP tersebut. 2
Henri Subagiyo et al., 2009, Anotasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik ( Edisi Pertama ), Jakarta, Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia bekerja sama dengan Indonesian Center for Enviromental Law ( ICEL ) dan Yayasan Tifa, hlm. 4-5. 3 Mas Achmad Santosa, 2001, Good Governance dan Hukum Lingkungan, Jakarta, ICEL,hlm. 22
4
Adapun salah satu mekanisme upaya penyelesaian sengketa informasi publik sebagaimana diatur di dalam UU KIP adalah gugatan ke pengadilan dan kasasi, sebagaimana diatur di dalam Bab X UU KIP tentang Gugatan ke Pengadilan dan Kasasi. Tema dan fokus utama pembahasan di dalam tulisan ini adalah berangkat dari ketentuan di dalam Bab X, Bagian Kesatu, Gugatan ke Pengadilan, Pasal 47 ayat (1) UU KIP yang menyatakan bahwa, “Pengajuan gugatan dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara apabila yang digugat adalah Badan Publik Negara .“4
selanjutnya di dalam Penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU KIP dijelaskan bahwa, “ Gugatan terhadap Badan Publik Negara yang terkait dengan kebijakan Pejabat Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai dengan kewenangannya berdasarkan UndangUndang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. “5
Berangkat dari ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU KIP beserta Penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU KIP tersebutlah yang kemudian mengantarkan kepada beberapa problematika yuridis sebagai akibat pelaksanaan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (selanjutnya digunakan istilah PTUN) dalam menyelesaikan sengketa informasi publik, yang mana kewenangan PTUN dalam menyelesaikan sengketa informasi publik tersebut lahir berdasarkan UU KIP akan tetapi pelaksanaan kewenangan PTUN tersebut tetaplah harus sesuai dengan kewenangan PTUN berdasarkan Undang-Undang tentang Peradilan 4
R.I. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang “ Keterbukaan Informasi Publik “ , Bab X, Bagian Kesatu, Pasal 47, ayat 1. 5 Ibid, Penjelasan Pasal 47 ayat 1.
5
Tata Usaha Negara yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Jis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 Jis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya digunakan istilah UU PTUN). Satu tahun lebih sejak diberlakukannya UU KIP, timbullah beberapa problematika yuridis sebagai akibat pelaksanaan kewenangan PTUN dalam menyelesaikan sengketa informasi publik, dalam tinjauan taraf sinkronisasi horizontal UU KIP dengan UU PTUN, mengingat kewenangan PTUN dalam menyelesaikan sengketa informasi publik tersebut lahir berdasarkan UU KIP akan tetapi pelaksanaan kewenangan PTUN tersebut tetaplah harus sesuai dengan kewenangan PTUN berdasarkan UU PTUN. Salah satu sengketa informasi publik yang diperiksa oleh PTUN dalam kasus ini adalah PTUN Jakarta adalah sengketa informasi publik antara Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai pemohon informasi dengan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri) sebagai termohon informasi, sebagaimana tertuang di dalam Putusan Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia Nomor: 002/X/KIP-PS-A/2010 tanggal 8 Februari 20116, yang selanjutnya perkara tersebut didaftarkan ke PTUN Jakarta pada tanggal 1 Maret 2011, dengan nomor perkara 37/G/2011/PTUN-JKT, dengan para pihak terdiri atas Kepala Biro Pid Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Drs. Polisi Dzainal Syarief, S.H., M.H. sebagai Penggugat, dan Ketua
6
Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia, Putusan Nomor : 002 / X / KIP-PS-A / 2010, tanggal 8 Februari 2011, http://www.komisiinformasi.go.id/assets/data/arsip/putusan_ICWPOLRI1.pdf
6
Majelis Komisioner Komisi Informasi Pusat, Ahmad Alamsyah Saragih sebagai Tergugat. 7 Sengketa tersebut diawali dari permohonan informasi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Mabes Polri, pada tanggal 4 Agustus 2010, terkait pengumuman hasil pemeriksaan Mabes Polri pada tanggal 23 Juli 2010 terhadap 23 rekening anggota Polri sesuai Laporan Hasil Analisa (LHA) Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). Kala itu, Mabes Polri menyatakan 17 rekening dikategorikan wajar karena diperoleh secara wajar dan telah dipublikasikan kepada umum. Oleh ICW, Mabes Polri dinilai kurang transparan karena tidak menyebutkan siapa saja nama pemilik 17 rekening yang dinilai wajar itu. Karena tak kunjung memberikan informasi, ICW membawa masalah ini menjadi sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat8 (selanjutnya digunakan istilah KI Pusat). Majelis Komisioner KI Pusat yang memimpin sidang ajudikasi sengketa informasi publik tersebut selanjutnya memutuskan di dalam Putusan Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia Nomor: 002/X/KIP-PS-A/2010 tanggal 8 Februari 2011 yang di dalam Amar Putusannya memutuskan sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan bahwa informasi 17 nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar sesuai dengan pengumuman oleh Mabes Polri pada tanggal 23 Juli 2010 adalah informasi yang terbuka; 7
http://www.ptun-jakarta.go.id Komisi Informasi Pusat Digugat, Sesalkan Hal Ini Akibat Keterlambatan MoU dengan MA, 25 April 2011, http://hukumonline.com/berita/baca/lt4db5493994c3e/komisi-informasi-pusat-digugat 8
7
3. Membatalkan keputusan Termohon tentang penolakan untuk memberikan informasi 17 nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar; 4. Memerintahkan Termohon untuk memberikan informasi 17 nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar kepada Pemohon dalam jangka waktu selambatlambatnya 17 (tujuh belas) hari kerja sejak putusan berkekuatan hukum tetap. 9 Akan tetapi, Mabes Polri menolak Putusan Komisi Informasi Pusat tersebut dan selanjutnya mengajukan gugatan ke PTUN,10 berdasarkan ketentuan Pasal 48 ayat (1) UU KIP bahwa, “ Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) hanya dapat ditempuh apabila salah satu atau para pihak yang bersengketa secara tertulis menyatakan tidak menerima putusan Ajudikasi dari Komisi Informasi paling lambat 14 (empat belas ) hari kerja setelah diterimanya putusan tersebut . “ 11
Sengketa tersebut semakin rumit oleh karena berdasarkan ketentuan UU PTUN yang dapat mengajukan gugatan ke PTUN adalah orang atau badan hukum perdata, sedangkan Mabes Polri bukan merupakan badan hukum perdata, melainkan lembaga publik. Oleh karena itu maka Mabes Polri
9
Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia, Loc.cit.
10
Admin Humas Mabes Polri – DIV HUMAS POLRI, Polri Menolak Putusan Hasil Sidang Adjudikasi, Kamis, 10 Februari 2011 @ 06:35:50, http://www.polri.go.id 11
R.I. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang “ Keterbukaan Informasi Publik “ , Bab X, Bagian Kesatu, Pasal 48, ayat 1.
8
mencabut gugatan tersebut12 dan Majelis Hakim PTUN Jakarta pemeriksa perkara tersebut mengeluarkan Penetapan Pencabutan pada tanggal 9 Juni 2011.13 Kepolisian Negara Republik Indonesia tetap tidak akan membuka nama 17 perwira pemilik rekening tak wajar, seperti yang diputuskan KI Pusat. Alasannya pembukaan rekening yang berasal dari laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan itu dapat melanggar undangundang. Selain itu, Polri menilai KI Pusat tidak memiliki kewenangan eksekutorial. Putusan KI Pusat juga dinilai belum bersifat final karena mekanisme banding terhadap putusan KI Pusat belum jelas dan berbenturan dengan undang-undang yang lain. Putusan KI Pusat tersebut juga belum memiliki kekuatan hukum tetap karena tidak ada proses banding yang dapat dijalankan. Putusan KI Pusat juga berbahaya jika dinilai berkekuatan hukum tetap, tanpa ada proses banding.14 Usman Abdhali Watik, salah seorang anggota KI Pusat mengatakan PTUN tak bisa mengadili putusan institusi pemerintah yang digugat institusi pemerintah lain. Polri mencabut gugatannya pada 7 Juni 2011 yang lalu. Sekarang sudah lebih dari empat belas hari. Putusan KI Pusat sudah inkracht. Polri harus mengikuti putusan KI Pusat. Menurut Ketua KI Pusat, KI Pusat berharap Mahkamah Agung (selanjutnya digunakan istilah MA) segera menerbitkan peraturan MA tentang hukum acara KIP dan mekanisme banding yang sesuai dengan hukum acara peradilan. Sebab, seperti yang dikatakan 12
Polisi Tak Mau Buka Rekening, Ini Puncak Negara Kleptokrasi, Kompas, 9 Juli 2011, hlm.5. http://www.ptun-jakarta.go.id 14 Kompas, Loc. cit. 13
9
Jimly Asshiddiqie, KI Pusat adalah semi peradilan sehingga putusannya adalah vonnis yang juga berkekuatan hukum.15 Hingga saat ini, belum ada penyelesaian atas sengketa tersebut, sehingga menimbulkan akibat hukum berupa tidak adanya kepastian hukum bagi para pihak pencari keadilan. Tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan ini lahir sebagai akibat dari pelaksanaan kewenangan PTUN dalam menyelesaikan sengketa informasi publik, mengingat kewenangan PTUN dalam menyelesaikan sengketa informasi publik tersebut lahir berdasarkan UU KIP akan tetapi pelaksanaan kewenangan PTUN tersebut tetaplah harus sesuai dengan kewenangan PTUN berdasarkan UU PTUN. Akan tetapi di dalam tataran
taraf sinkronisasi horizontal UU KIP dengan UU PTUN terjadi
ketidaksinkronan antara UU KIP dengan UU PTUN oleh karena terjadi perbedaan pengaturan norma hukum antara UU KIP dengan UU PTUN, yang mana di dalam perkara nomor: 37/G/2011/PTUN-JKT tersebut terjadi konflik norma antara Pasal 48 ayat (1) UU KIP dengan Pasal 1 angka 10 dan angka 12 UU PTUN, serta Pasal 53 ayat (1) UU PTUN. Berdasarkan ketentuan Pasal 48 ayat (1) UU KIP bahwa, “ Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat ditempuh apabila salah satu atau para pihak yang bersengketa secara tertulis menyatakan tidak menerima
15
Keputusan KIP Harus Dijalankan, Buka Rekening Tak Wajar Polri, Kompas, 8 Juli 2011, hlm.2.
10
putusan Ajudikasi dari Komisi Informasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya putusan tersebut.”16 Pasal 48 ayat (1) UU KIP memuat norma hukum yang memberikan kesempatan mengajukan gugatan ke PTUN apabila salah satu atau para pihak yang bersengketa secara tertulis menyatakan tidak menerima putusan Ajudikasi dari Komisi Informasi. Norma hukum Pasal 48 ayat (1) UU KIP tersebut memberikan kesempatan kepada pihak pemohon informasi maupun termohon informasi untuk mengajukan gugatan ke PTUN yang dengan demikian berarti menjadi pihak Penggugat di dalam sengketa di PTUN atas tidak diterimanya suatu putusan Ajudikasi dari Komisi Informasi. Dengan demikian pula berarti Pasal 48 ayat (1) UU KIP memberikan kesempatan kepada Badan Publik Negara sebagai pihak termohon informasi untuk mengajukan gugatan ke PTUN atau menjadi pihak Penggugat di dalam sengketa di PTUN apabila Badan Publik Negara tersebut tidak menerima suatu putusan Ajudikasi dari Komisi Informasi. Sedangkan di sisi lain, Pasal 1 angka 10 dan angka 12 UU PTUN, menyatakan sebagai berikut: Pasal 1 angka 10: “ Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha
16
R.I. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang “ Keterbukaan Informasi Publik “ , Bab X, Bagian Kesatu, Pasal 48, ayat 1.
11
Negara,
termasuk
sengketa
kepegawaian
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku.17” Pasal 1 angka 12: “ Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. “18
Selanjutnya, Pasal 53 ayat (1) UU PTUN menyatakan sebagai berikut: “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. “19 Pasal 1 angka 10 dan angka 12 UU PTUN serta Pasal 53 ayat (1) UU PTUN menetapkan suatu norma hukum bahwa di dalam suatu sengketa tata usaha negara yang diperiksa di PTUN, yang dapat mengajukan gugatan ke PTUN adalah orang atau badan hukum perdata sebagai pihak Penggugat, sedangkan badan atau pejabat tata usaha negara adalah sebagai pihak Tergugat.
17
R.I. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang “Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara “ , Pasal 1 angka 10. 18 Ibid, Pasal 1 angka 12. 19 R.I. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang “Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara “ , Pasal 53 ayat ( 1 ).
12
Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampak jelas bahwa telah terjadi perbedaan norma hukum yang mengakibatkan terjadinya konflik norma antara UU KIP dengan UU PTUN, dimana UU KIP memberikan kesempatan kepada para pihak termasuk kepada Badan Publik Negara untuk mengajukan gugatan ke PTUN, sedangkan UU PTUN telah menentukan bahwa yang dapat mengajukan gugatan ke PTUN adalah orang atau badan hukum perdata. Lalu aturan hukum yang mana yang harus dipedomani dan dilaksanakan? Problematika yuridis tidak hanya berhenti sampai di sini saja. Apabila kita mengkaji lebih mendalam lagi tentang sinkronisasi horizontal UU KIP dengan UU PTUN maka akan ditemukan lagi beberapa problematika yuridis, yang apabila diuraikan beberapa problematika yuridis sinkronisasi UU KIP dengan UU PTUN yaitu sebagai berikut: 1. Apakah Badan Publik Negara dapat menjadi pihak Penggugat di dalam gugatan sengketa informasi publik yang diajukan ke PTUN, mengingat apabila ditinjau berdasarkan ketentuan Pasal 48 ayat (1) UU KIP dengan Pasal 1 angka 10 dan angka 12 UU PTUN, serta Pasal 53 ayat (1) UU PTUN, sebagaimana telah diuraikan di atas? 2.
Apakah Komisi Informasi tepat didudukkan sebagai pihak Tergugat di dalam gugatan sengketa informasi publik yang diajukan ke PTUN ? Sebenarnya bagaimanakah kedudukan Komisi Informasi? a. Apakah Komisi Informasi memenuhi unsur-unsur Pasal 1 angka 8 UU PTUN, terutama unsur “melaksanakan urusan pemerintahan“ sehingga Komisi Informasi adalah merupakan Badan atau Pejabat
13
Tata Usaha Negara yang memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 12 UU PTUN sehingga dapat didudukkan sebagai pihak Tergugat? mengingat apabila kemudian ditinjau dan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 4, Pasal 23, Pasal 29 ayat (2) beserta Penjelasan Pasal 29 ayat (2) UU KIP, sebagai berikut: Pasal 1 angka 8 UU PTUN : “ Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “20 Pasal 1 angka 12 UU PTUN : “ Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. “21 Pasal 1 angka 4 UU KIP: “ Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.”22
20
R.I. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang “Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara “ , Pasal 1 angka 8. 21 Ibid, Pasal 1 angka 12. 22 R.I. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang “ Keterbukaan Informasi Publik “ , Bab I, Pasal 1, angka 4.
14
Pasal 23 UU KIP: “Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melaui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.”23 Pasal 29 ayat (2) UU KIP: “ Sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh Pemerintah. “24 Penjelasan Pasal 29 ayat (2)UU KIP: “ Yang dimaksud dengan “pemerintah”adalah menteri yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang komunikasi dan informatika. “25 b. Ataukah Komisi Informasi adalah merupakan lembaga semi peradilan sehingga putusannya adalah vonnis yang juga berkekuatan hukum sehingga apabila para pihak tidak menerima putusan Ajudikasi dari Komisi Informasi maka upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak adalah dengan mengajukan Banding ke pengadilan yang lebih tinggi, dan bukan dengan mengajukan gugatan lagi di pengadilan tingkat pertama. Sebagaimana ketentuan Penjelasan Pasal 23 UU KIP yang menyatakan sebagai berikut: “ Yang dimaksud dengan “mandiri” adalah independen dalam menjalankan wewenang serta tugas dan fungsinya termasuk dalam memutuskan sengketa informasi publik dengan
23
Ibid, Bab VII, Bagian Kesatu, Pasal 23. Ibid, Bab VII, Bagian Ketujuh, Pasal 29 ayat ( 2 ). 25 Ibid, Penjelasan Pasal 29 ayat ( 2 ). 24
15
berdasar pada undang-undang ini, keadilan, kepentingan umum, dan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang
dimaksud
“Ajudikasi
Non
Litigasi”
adalah
penyelesaian sengketa ajudikasi di luar pengadilan yang putusannya memiliki kekuatan setara dengan putusan pengadilan. “ 26 c. Ataukah apabila memang Komisi Informasi adalah merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 8 UU PTUN, maka penyelesaian sengketa informasi melalui Ajudikasi Non Litigasi yang dilakukan oleh Komisi Informasi apakah merupakan bentuk upaya administratif, sebagaimana ketentuan Pasal 48 ayat (1) UU PTUN yang menyatakan sebagai berikut: “Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundangundangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang tersedia.”27
Sehingga dengan demikian penyelesaian sengketa informasi melalui Ajudikasi Non Litigasi yang dilakukan oleh Komisi Informasi memiliki 26
kesamaan
prosedur
dengan
penyelesaian
sengketa
Ibid, Penjelasan Pasal 23. R.I., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang “ Peradilan Tata Usaha Negara “, Pasal 48 ayat ( 1 ). 27
16
sebagaimana diuraikan di dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU PTUN yaitu yang berupa keberatan ataukah banding administratif, sebagai contoh adalah penyelesaian sengketa kepegawaian yang dilakukan oleh Badan Pertimbangan Kepegawaian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil maupun penyelesaian sengketa hubungan industrial oleh Panita Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat maupun Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, yang kini bukan lagi menjadi kewenangan PTUN setelah berlakunya
Undang-Undang
Nomor
2
Tahun
2004
tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 3. Apakah Putusan Ajudikasi Non Litigasi Komisi Informasi memenuhi kriteria Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 UU PTUN, yang menyatakan sebagai berikut: “ Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabata tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
17
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”28 sehingga dengan demikian Putusan Ajudikasi Non Litigasi Komisi Informasi dapat diterima sebagai objek gugatan di PTUN? Problematika yuridis tersebut muncul apabila dihubungkan dengan jawaban atas problematika yuridis point ke-2 sebelumnya yaitu apabila dihubungkan dengan kedudukan Komisi Informasi apakah sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang memenuhi kriteria Pasal 1 angka 8 dan angka 12 UU PTUN sehingga Putusan Ajudikasi Non Litigasi Komisi Informasi adalah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara, ataukah Komisi Informasi sebagai lembaga semi peradilan sehingga Putusan Ajudikasi Non Litigasi Komisi Informasi adalah merupakan vonnis, ataukah penyelesaian sengketa informasi publik yang dilakukan oleh Komisi Informasi adalah merupakan bentuk upaya administratif sehingga Putusan Ajudikasi Non Litigasi Komisi Informasi adalah merupakan Keputusan Hasil Upaya Administratif baik berupa Keberatan atau Banding Administratif. 4. Apakah memang tepat dan benar PTUN memiliki kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan gugatan sengketa informasi publik berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU KIP? Sehingga selanjutnya apabila pihak tidak menerima putusan PTUN dapat mengajukan kasasi
28
R.I. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang “Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara “ , Pasal 1 angka 9.
18
kepada MA, berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU KIP, yang menyatakan sebagai berikut: “ Pihak yang tidak menerima putusan Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri.”29
Problematika yuridis ke-4 ini muncul apabila dihubungkan dengan problematika yuridis point ke-2.c. sebelumnya, yaitu apabila penyelesaian sengketa informasi publik yang dilakukan oleh Komisi Informasi adalah merupakan bentuk upaya administratif, maka berdasarkan ketentuan Pasal 48 ayat (2) UU PTUN menentukan sebagai berikut: “ Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.”30
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU PTUN menentukan sebagai berikut: Pasal 51 ayat (3): “ Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di
29
R.I. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang “ Keterbukaan Informasi Publik “ , Bab X, Bagian Kedua Kasasi, Pasal 50. 30 R.I., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang “ Peradilan Tata Usaha Negara “, Pasal 48 ayat ( 2 ).
19
tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48. “31 Pasal 51 ayat (4): “ Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 3 ) dapat diajukan permohonan kasasi.”32
Berdasarkan uraian di atas, UU KIP mengatur apabila para pihak tidak menerima Putusan Ajudikasi Non Litigasi Komisi Informasi, maka prosedur upaya hukum yang ditempuh adalah mengajukan gugatan ke PTUN dan selanjutnya apabila pihak tidak menerima putusan PTUN maka dapat mengajukan kasasi ke MA. Sedangkan UU PTUN mengatur apabila memang Putusan Ajudikasi Non Litigasi Komisi Informasi adalah merupakan Keputusan Upaya Administratif, maka apabila pihak tidak menerima keputusan tersebut maka yang berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tersebut adalah PT TUN dan bukan PTUN, dan selanjutnya apabila pihak tidak menerima putusan PT TUN maka dapat mengajukan kasasi ke MA. Problematika yuridis - problematika yuridis tersebut sebagaimana telah diuraikan di atas menunjukkan bahwasanya apakah memang terjadi ketidakserasian dan ketidaksinkronan di antara UU KIP dengan UU PTUN di dalam taraf sinkronisasi horizontal antara UU KIP dengan UU PTUN? Kemudian peraturan perundang-undangan yang mana yang harus dipedomani 31 32
Ibid, Pasal 51 ayat ( 3 ). Ibid, Pasal 51 ayat ( 4 ).
20
dan dilaksanakan? Selanjutnya, akibat hukum atas ketidaksinkronan antara UU KIP dengan UU PTUN tersebut melahirkan persoalan hukum baru di dalam praktek pelaksanaan teknis hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara di lapangan yang pada akhirnya melahirkan permasalahan hukum yaitu apakah kepastian hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam pelaksanaan kewenangan PTUN di dalam menyelesaikan sengketa informasi publik dapat terwujud? Pada akhirnyapun di dalam pelaksanaan kewenangan PTUN di dalam menyelesaikan sengketa informasi publik apakah dapat memberikan kepastian hukum bagi pencari keadilan? Dengan demikian, perlu kiranya suatu kejelasan dan kepastian atau petunjuk untuk menyelesaikan problematika yuridis kewenangan PTUN dalam menyelesaikan sengketa informasi publik berdasarkan UU KIP dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi pencari keadilan, yang menurut penulis sangat penting untuk dikaji secara teoritis menurut Konsep Teori Negara Hukum, Konsep Teori Peradilan Tata Usaha Negara, Konsep Teori Lembaga Semi Peradilan, Konsep Teori Upaya Administratif, Konsep Teori Sinkronisasi Horizontal Undang-Undang, dan Konsep Teori Kepastian Hukum, sebagai dasar teoritis di dalam menganalisis beberapa masalah utama di dalam penulisan ini, yang didasari oleh pemikiran bahwa konsep-konsep tersebut di atas bermuara pada satu hal yang esensial, yaitu prinsip judicial control. Atas pertimbangan hal tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian berjudul,
“Kewenangan
Pengadilan
Tata
Usaha
Negara
Dalam
Menyelesaikan Sengketa Informasi Publik Berdasarkan Undang-Undang
21
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Dalam Rangka Memberikan Kepastian Hukum Bagi Pencari Keadilan “. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas dapat dirumuskan suatu masalah. Masalah dapat diartikan sebagai suatu informasi yang mengandung pertanyaan atau yang dapat dipertanyakan, mengandung ketidakjelasan atau ketidakpastian.33 Permasalahan merupakan kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan apa yang senyatanya, antara apa yang diperlukan dengan apa yang tersedia, antara harapan dengan capaian atau singkatnya antara das sollen dengan das sein. dilakukan selalu berangkat dari masalah.
35
34
Setiap penelitian yang akan
Rumusan masalah dimaksudkan
untuk penegasan masalah-masalah yang akan diteliti sehingga memudahkan dalam pekerjaan serta pencapaian sasaran. Adapun permasalahan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pelaksanaan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara
dalam
menyelesaikan
sengketa
informasi
publik
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik?
33
Taliziduhu Ndraha, 1997, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Jakarta, PT. Rineka Cipta, hlm. 3031. 34 Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 103-104. 35 Sugiyono, 2004, Metode Penelitian Bisnis, Bandung, CV. Alfabeta, hlm. 25.
22
2. Bagaimanakah analisis yuridis sinkronisasi horizontal antara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara? 3. Apakah kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa informasi publik berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dapat memberikan kepastian hukum bagi pencari keadilan? 4. Langkah-langkah hukum apa yang ditempuh agar kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa informasi publik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dapat memberikan kepastian hukum bagi pencari keadilan? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan deskriptif untuk menggambarkan mengenai bagaimanakah pelaksanaan
kewenangan
Pengadilan
Tata
Usaha
Negara
dalam
menyelesaikan sengketa informasi publik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta bagaimanakah analisis yuridis sinkronisasi horizontal antara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008
tentang
Keterbukaan Informasi Publik dengan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
23
2. Tujuan kreaktif untuk menganalisis kemampuan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa informasi publik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi pencari keadilan; 3. Tujuan inovatif untuk memberikan jalan keluar yang diperlukan tentang langkah-langkah hukum apa yang ditempuh agar kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa informasi publik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dapat memberikan kepastian hukum bagi pencari keadilan. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Administrasi Negara khususnya Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa informasi publik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur dalam kepustakaan Hukum Kenegaraan (Hukum Tata Negara) dan Hukum Administrasi Negara;
24
c. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya. 2. Manfaat Praktis a. Secara khusus hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam penyempurnaan pembuatan peraturan pelaksanaan UU KIP khususnya pelaksanaan dari ketentuan Pasal 47 ayat (1) yang pelaksanaannya berdasarkan UU PTUN, sehingga terwujud kesinkronan dan keserasian antara UU KIP dengan UU PTUN, demi kepastian dan kesebandingan hukum yang serasi, sehingga memberikan sumbangan yang nyata bagi upaya pembangunan hukum yang dapat memberikan kepastian hukum dan mewujudkan keadilan hukum; b. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan bagi Hakim Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tata usaha negara yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa informasi publik, mengingat ketentuan tersebut dalam praktik masih menimbulkan ketidakpastian hukum; c. Hasil penelitian ini dapat membantu memberikan pemahaman kepada para pihak pencari keadilan terhadap pentingnya kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa informasi publik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik agar dapat memberikan kepastian hukum bagi pencari keadilan.
25
E. Keaslian Penelitian Keaslian penelitian dapat diartikan bahwa masalah yang dipilih belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya, atau harus dinyatakan dengan tegas bedanya dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan.36 Dari penelusuran pustaka yang dilakukan penulis di beberapa perpustakaan meliputi Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Fisipol UGM, Perpustakaan Pascasarjana UGM, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Perpustakaan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta, dan sebagainya, sepengetahuan penulis belum ada penelitian (skripsi, tesis, disertasi) yang meneliti tentang permasalahan di atas. Namun apabila penelitian yang dicari adalah tesis mengenai PTUN secara luas yaitu meneliti mengenai kompetensi PTUN, maka ditemukan beberapa tesis yang memiliki relevansi terhadap penulisan tesis ini diantaranya: Pertama, tesis yang berjudul Perbuatan Hukum Publik Oleh Pejabat Administrasi Yang Melanggar Hukum Dapat Digugat ke Pengadilan Administrasi Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, oleh Agus Budi Susilo, S.H., M.H., disusun dalam rangka memenuhi persyaratan program Magister Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran, Tahun 2003.37 Tesis tersebut membahas mengenai makna perbuatan melanggar
36
Maria S.W. Sumardjono, 2001, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 18. 37 Agus Budi Susilo, 2003, “Perbuatan Hukum Publik Oleh Pejabat Administrasi Yang Melanggar Hukum Dapat Digugat ke Pengadilan Administrasi Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia”, Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran.
26
hukum oleh pejabat administrasi menurut hukum administrasi, kriteria perbuatan melanggar hukum oleh pejabat administrasi yang dapat digugat ke pengadilan administrasi, dan bagaimana implementasi penegakan hukum administrasi terhadap perbuatan melanggar hukum oleh pejabat administrasi sebagai upaya perlindungan hukumbagi rakyat Indonesia. Kedua, tesis yang berjudul Perluasan Kompetensi Absolut Peradilan Administrasi, karya Maftuh Effendi, S.H., M.H., disusun dalam rangka memenuhi persyaratan Program Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana,Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun 2010.38 Tesis tersebut membahas mengenai perluasan kompetensi absolut Peradilan Administrasi. Ketiga, tesis yang berjudul Perkembangan Peradilan Administrasi Dalam Dimensi Sejarah Dan Politik Hukum karya Enrico Simanjuntak, S.H., M.H., Program Magister Hukum Dan Kehidupan Kenegaraan, Universitas Indonesia, Januari 2014.39 Tesis tersebut menganalisis sinkronisasi kebijakan legislasi
dan
regulasi
dari
lima
undang-undang
mutakhir
yang
memperluas/menegaskan kewenangan Peradilan Administrasi dalam sistem hukum nasional yaitu : 1) UU. Keterbukaan Informasi Publik; 2) UU. Pelayanan Publik; 3) UU. Pemilu Anggota DPR/D dan DPD; 4) UU. Pengelolaan Lingkungan Hidup; 5) UU. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, yang pada akhirnya, Peneliti tesis tersebut berkesimpulan bahwa
38
Maftuh Effendi. 2010, “Perluasan Kompetensi Absolut Peradilan Administrasi, Tesis, Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Magister Ilmu Hukum”, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang. 39 Enrico Simanjuntak, 2014, “Perkembangan Peradilan Administrasi Dalam Dimensi Sejarah Dan Politik Hukum”, Program Magister Hukum Dan Kehidupan Kenegaraan, Universitas Indonesia.
27
politik hukum yang mengatur dan mengelola sistem penyelesaian sengketa antara warga masyarakat atau badan hukum dengan pemerintah dalam kebijakan legislasi maupun regulasi harus disusun dalam suatu grand design perubahan
yang mencerminkan hakikat
perlindungan
hukum
kepada
masyarakat. Namun perlindungan hukum ini akan lebih bermakna apabila kompentensi peradilan administrasi tidak dibatasi oleh ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 9 UU PERATUN, maupun pembatasan-pembatasan hukum lainnya, namun mencakup semua tindakan hukum publik administrasi pemerintahan. Berdasar beberapa tesis tersebut di atas, Tesis yang penulis susun memiliki karakteristik (keaslian penelitian) tersendiri. Pertama, penelitian ini akan menguraikan dan menganalisis tentang bagaimanakah pelaksanaan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa informasi publik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; Kedua penelitian ini akan menguraikan tentang bagaimanakah analisis yuridis sinkronisasi horizontal antara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara; dimana kewenangan PTUN dalam menyelesaikan sengketa informasi publik tersebut lahir berdasarkan UU KIP akan tetapi pelaksanaan kewenangan PTUN tersebut tetaplah harus sesuai dengan kewenangan PTUN berdasarkan UU PTUN. Akan tetapi di dalam tataran
taraf sinkronisasi
horizontal UU KIP dengan UU PTUN terjadi ketidaksinkronan antara UU KIP
28
dengan UU PTUN oleh karena terjadi perbedaan pengaturan norma hukum antara UU KIP dengan UU PTUN; Ketiga, penelitian ini membahas mengenai mampu tidaknya kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa informasi publik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberikan kepastian hukum bagi pencari keadilan; Keempat, setelah mengetahui mengenai kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa informasi publik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka di bagian keempat penelitian ini akan ditawarkan mengenai jawaban terhadap solusi atas permasalahan yang diteliti.