BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perubahan adalah hal yang sangat lumrah seiring dengan perkembangan jaman. Perubahan dapat terjadi di segala aspek dalam kehidupan manusia termasuk dalam cara hidup dan pola pikirnya serta organisasi dimana manusia tersebut ada di dalamnya. Perubahan juga menjadi sebuah fenomena dimana individu dan organisasi menghadapi keadaan tersebut setiap hari (Battilana, Gilmartin, et.al., 2010). Oleh karena itu, organisasi harus merespon secara cepat perubahan yang terjadi dan akan berdampak pada kepentingan organisasi itu sendiri. Hal ini dikarenakan organisasi dituntut untuk dapat bertahan hidup dan beradaptasi dengan tantangan yang meningkat baik dari faktor internal maupun eksternal organisasi (Martins, 2008). Konsekuensinya, dalam rangka untuk merespon tuntutan organisasi karena dampak dari lingkungan eksternal, berbagai hal yang harus dibenahi di dalam organisasi harus mencakup aspek proses rekayasa ulang, perbaikan secara terus menerus, restrukturisasi, perampingan dan penataan, merjer dan akuisisi (Kavanagh dan Ashkanasy, 2006; Martins, 2008). Tuntutan terhadap organisasi publik (birokrasi) untuk menjadi institusi yang adaptif terhadap tuntutan masyarakat tidak terlepas dari ekologi birokrasi sendiri yang tidak berada pada ruang yang hampa. Organisasi publik perlu untuk sering mengimplementasikan perubahan dalam pemerintahan, desain dan pelayanan publik (Pollitt dan Bouckaert, 2004; Fernandez dan Rainey, 2006).
1
Organisasi publik sangat dipengaruhi oleh globalisasi dan perubahan yang terjadi di masyarakat, dan agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut maka birokrasi harus membuka diri dan fleksibel serta tanggap terhadap perkembangan yang terjadi. Pelaksanaan perubahan organisasi tersebut merupakan tantangan besar bagi organisasi sektor publik (Isett, Glied, Sparer dan Brown, 2012; Piening, 2013; Karp dan Helgø, 2008; McNulty dan Ferlie, 2004). Salah satu upaya pemerintah dalam melakukan perubahan dalam birokrasi adalah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025 yang mengatur tentang acuan dasar bagi bagi Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah dalam melakukan reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Grand design yang dirancang oleh pemerintah ini kemudian ditindaklanjuti oleh Kementerian PAN dan RB dengan mengeluarkan Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyusunan Road Map Reformasi Birokrasi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Reformasi birokrasi merupakan upaya berkelanjutan yang setiap tahapannya memberikan perubahan atau perbaikan birokrasi ke arah yang lebih baik. Road Map Reformasi Birokrasi (RMRB) adalah bentuk operasionalisasi Grand Design Reformasi Birokrasi (GDRB) yang disusun dan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali sejak tahun 2010 dan merupakan rencana rinci pelaksanaan reformasi birokrasi dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya selama lima tahun dengan sasaran per tahun yang jelas. Ruang lingkup Road Map Reformasi Birokrasi mencakup program-program penyempurnaan kebijakan nasional di
2
bidang aparatur meliputi peraturan perundangan, organisasi, tata laksana dan sumber daya manusia baik pada tingkat makro, meso ataupun mikro dalam rangka melakukan perubahan mind set dan culture set birokrasi. Reformasi birokrasi yang digagas oleh pemerintah ini juga mencakup pada aspek sumberdaya manusia. Aspek SDM menjadi sangat penting karena sumberdaya manusia merupakan motor penggerak dalam pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam Perpres No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025 dijelaskan bahwa permasalahan yang terkait dengan aspek sumberdaya manusia adalah mengenai alokasi dalam hal kuantitas, kualitas, dan distribusi PNS menurut teritorial (daerah) yang tidak seimbang, serta tingkat produktivitas PNS masih rendah. Manajemen sumber daya manusia aparatur belum dilaksanakan secara optimal untuk meningkatkan profesionalisme, kinerja pegawai, dan organisasi. Selain itu, sistem penggajian pegawai negeri belum didasarkan pada bobot pekerjaan/jabatan yang diperoleh darievaluasi jabatan. Gaji pokok yang ditetapkan berdasarkan golongan/ pangkat tidak sepenuhnya mencerminkan beban tugas dan tanggung jawab. Tunjangan kinerja belum sepenuhnya dikaitkan dengan prestasi kerja dan tunjangan pensiun belum menjamin kesejahteraan. Komitmen pemerintah akan reformasi birokrasi diwujudkan dengan setidaknya dalam 4 Undang-Undang (UU) yang telah ditandatangani Presiden SBY dan 1 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masih dalam pembahasan legislatif. Keempat UU tersebut adalah UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara, UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik, UU No.5 tahun 2014 tentang
3
Aparatur Sipil Negara dan UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Sementara satu RUU lainnya masih berbentuk RUU yakni RUU tentang Sistem Pengawasan Intern Pemerintah yang segera diundangkan setelah mendapat persetujuan legislatif. Kelima UU ini merupakan pilar penopang pelaksanaan Reformasi Birokrasi yang diharapkan dapat mendorong proses transformasi birokrasi yang berkualitas dan inovatif hingga tahun 2025 sesuai arah RPJP 20052025. Terkait dengan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pemerintah mencoba untuk melakukan reformasi birokrasi di bidang sumberdaya manusia. Undang-undang ini merubah tatanan manajemen kepegawaian karena memberikan konsep-konsep baru yang lebih tegas dan berbeda dengan UU sebelumnya, yaitu: 1) perubahan pendekatan terhadap pegawai dimana semula PNS tidak memiliki nama profesi dan posisi yang jelas kecuali sebagai pegawai administrasi menjadi sumber daya manusia yang merupakan aset berharga bagi organisasi untuk dikelola, dihargai dan dikembangkan. Menjadikan ASN sebagai sebuah profesi adalah upaya untuk membentuk profesionalisme tiap birokrat yang bekerja untuk negara dan masyarakat. Setiap birokrat harus memiliki standar pelayanan profesi dan melaksanakan nilai dasar kode etik profesi serta mengembangkan keahliannya (Prasodjo, 2014); 2) perubahan dari sistem karier tertutup menjadi sistem karier terbuka yang mengedepankan kompetensi dalam pengangkatan pejabat struktural; 3) perubahan penilaian kinerja PNS yang semula menyamaratakan penghargaan terhadap prestasi pegawai menjadi penghargaan prestasi kerja PNS berdasar sistem merit dan adanya renumerasi; 4) perubahan
4
pemisahan pejabat pembina kepegawaian dari semula pemimpin politik daerah kepada pemimpin pemerintah daerah, 5) pembentukan Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) dan kewenangan KASN dalam pengangkatan pejabat struktural; 6) ASN akan penghapusan eselonisasi jabatan IV dan V dan; 7) perpanjangan usia pensiun dari semula 56 tahun menjadi 58 tahun. Segala macam upaya yang dilakukan oleh pemerintah baik yang dilakukan melalui berbagai kebijakan melalui beberapa peraturan perundang-undangan baik yang berupa Undang-Undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri terkait, dan yang lainnya merupakan salah satu dari beberapa upaya dari pemerintah untuk menghadapi kemajuan teknologi, transformasi pola pikir dan sikap masyarakat yang makin kritis (Widiantari, 2014). Oleh karena itu, dalam reformasi birokrasi, aparatur sipil negara diharuskan untuk mau menerima perubahan dan siap untuk berubah dalam menghadapi tantangan organisasi dalam menghadapi segala macam wujud perubahan dan tantangan di era globalisasi ini. Organisasi adalah sistem sosial, organisasi sendiri merupakan kombinasi dari sains dan manusia – teknologi dan humanisme (Davis, 1987). Unsur pegawai merupakan unsur yang paling penting dalam suatu organisasi.Pegawai adalah orang yang membentuk organisasi dan merekalah yang merupakan sumber daya nyata, serta menjadi kendaraan untuk perubahan. Pegawai inilah yang memegang peranan penting akan menerima atau menolak perubahan.Perubahan dalam suatu organisasi
merujuk
pada
perubahan
yang
terjadi
pada
lingkungan
pekerjaan.Perilaku pegawai dalam merespon perubahan dipengaruhi perasaan
5
pegawai dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam organisasi (Davis, 1987). Perubahan terkadang disikapi secara resisten oleh pegawai, hal ini muncul karena pegawai merasa enggan untuk melakukan perubahan karena mereka menolak untuk keluar dari zona nyaman mereka. Hal ini sama seperti kondisi PNS yang sebelumnya telah terbiasa berada dalam zona aman. Oleh karena itulah perubahan rentan terhadap penolakan (resistensi). Kotter dan Schlesinger (1979) mengatakan secara personal, individu mungkin hanya memiliki toleransi yang rendah untuk perubahan. Agar perubahan dalam suatu organisasi dapat berjalan lancar, maka manajer/pemimpin dituntut untuk bertanggungjawab dalam suksesnya perubahan tersebut karena merekalah yang mempunyai inisiatif untuk melakukan perubahan tersebut. Manajemen biasa disebut sebagai agen perubahan karena fungsi dan tugasnya untuk menginisiasi perubahan dan membantu agar hal tersebut dapat terlaksana (Davis, 1987). Walaupun manajemen memiliki inisiatif untuk melakukan perubahan akan tetapi pegawai yang memiliki kontrol akan hasil akhirnya. Pegawai inilah yang melakukan banyak perubahan di organisasi tersebut. Dukungan pegawai menjadi tujuan utama di dalam proses perubahan. Manajemen tidak selalu menjadi sumber dari perubahan yang terjadi dalam organisasi, banyak perubahan yang terjadi bersumber dari faktor eksternal seperti globalisasi, kemajuan teknologi, transformasi pola pikir masyarakat, dan perubahan pola hidup masyarakat. Banyaknya perubahan yang terjadi dalam suatu organisasi bergantung pada lingkungan dimana organisasi tersebut berada (Davis,
6
1987). Keadaan lingkungan yang stabil tidak membutuhkan banyak perubahan, sebaliknya lingkungan yang dinamis membutuhkan perubahan yang terus menerus. Pemerintah sebagai manajer dalam organisasi pemerintahan dihadapkan dalam situasi lingkungan yang dinamis. Hal ini menuntut pemerintah untuk melakukan perubahan secara terus menerus dan berkelanjutan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian PAN dan RB adalah dengan mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Perubahan yang menyebutkan bahwa dalam organisasi birokrasi perubahan meliputi struktur, proses, orang, pola pikir dan budaya kerja. Perubahan sebagaimana yang diinginkan reformasi birokrasi bukanlah proses sederhana dan perubahan berpeluang memunculkan resistensi pegawai dalam organisasi pemerintah. Tujuan dari ditetapkannya peraturan ini adalah: a) membantu Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah dalam
memahami manajemen perubahan sehubungan dengan pelaksanaan reformasi birokrasi; b) memberikan panduan kepada Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam merencanakan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan manajemen perubahan; c) memudahkan
Kementerian/Lembaga
dan
Pemerintah
Daerah
melaksanakan manajemen perubahan.
7
Perubahan dalam suatu organisasi dapat berhasil apabila pegawai di organisasi tersebut memiliki komitmen untuk melakukan perubahan. Komitmen merupakan salah satu faktor penting yang melibatkan pegawai dalam inisiatif untuk perubahan (Armenakis, Harris, dan Feild, 1999; Coetsee, 1999; Conner, 1992; Conner dan Patterson, 1982; Klein dan Sorra, 1996 dalam Herscovitch dan Meyer, 2002). Conner (1992) menggambarkan komitmen untuk berubah sebagai faktor perekat yang memberikan ikatan penting antara orang dan tujuan perubahan dan menurut Conner dan Patterson (1982), faktor yang paling umum yang berkontribusi terhadap kegagalan dari suatu proyek perubahan adalah kurangnya komitmen oleh pegawai. Komitmen pegawai untuk melakukan perubahan tidak dapat lepas dari motivasi dari pegawai itu sendiri. Salah satu teori yang mendasari motivasi pegawai adalah motivasi pelayanan publik (public service motivation/PSM). Motivasi pelayanan publik mengacu pada motivasi untuk melakukan pelayanan publik yang bermakna dan tanpa pamrih dalam membela kepentingan publik (Vandenabeele, 2008).Perry dan Wise (1990: 368) mendefinisikan motivasi pelayanan publik sebagai “kecenderungan individu untuk merespon motif didasarkan pada hal yang utama atau yang unik di lembaga-lembaga publik”. Sebagai catatan, Brewer, Selden, dan Face (2000), PSM penting tidak hanya untuk motivasi tetapi juga untuk produktivitas, praktek pengelolaan, akuntabilitas, dan kepercayaan dalam pemerintahan, menjadikannya salah satu topik utama investigasi dalam administrasi publik hari ini.
8
Perry dan Wise (1990) menyatakan bahwa individu dengan kesadaran yang tinggi akan kepentingan publik lebih mungkin untuk memilih karir pelayanan publik, sebuah pernyataan yang didukung oleh bukti dari berbagai tingkat PSM antara sektor publik dan swasta (Houston 2000; Rainey 1982; Wittmer 1991). Dengan bergabung dalam suatu organisasi, anggota dengan tingkat PSM yang tinggi muncul untuk berkontribusi secara positif: mereka lebih bersedia untuk terlibat dalam sistem whistle-blowing untuk melindungi kepentingan publik (Brewer dan Selden 1998); mereka menunjukkan tingkat komitmen organisasi yang lebih tinggi (Crewson 1997); mereka percaya bahwa pekerjaan mereka adalah penting, yang pada gilirannya, menyebabkan mereka untuk bekerja lebih keras (Wright 2003); mereka lebih cenderung berkinerja tinggi dan menikmati kepuasan kerja yang lebih tinggi; dan mereka cenderung untuk tidak meninggalkan pekerjaan mereka (Naff dan Crum 1999). Salah satu aspek lain dalam mendukung komitmen pegawai untuk melakukan perubahan di dalam organisasi adalah dukungan organisasi yang dirasakan oleh pegawai (perceived organizational support/POS). Dukungan organisasi yang dirasakan (POS) adalah adalah tingkatan sejauh mana pegawai percaya bahwa organisasi atau perusahaan menghargai kontribusi pegawai dan peduli tentang kesejahteraan mereka dan memenuhi kebutuhan sosial dan emosi pegawai (Rhoades dan Eisenberger, 2002). Dukungan organisasi yang dirasakan pegawai umumnya dianggap sebagai kontribusi organisasi untuk mendapatkan timbal balik positif yang dinamis dengan pegawai, pegawai cenderung untuk melakukan yang lebih baik untuk membalas imbalan yang diterima dan perlakuan
9
istimewa yang telah diberikan oleh organisasi. Eisenberger, dkk (1986) mengemukakan dua aspek untuk mengetahui kondisi dukungan organisasi yang dirasakan pegawai. Kedua aspek tersebut adalah: penghargaan organisasi terhadap kontribusi pegawai dan perhatian organisasi terhadap kesejahteraan pegawai. Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002), terdapat tiga bentuk umum perlakuan dari organisasi yang dianggap baik dan akan dapat meningkatkan dukungan organisasi yang dirasakan pegawai, yaitu: keadilan, dukungan atasan, dan imbalan-imbalan dari organisasi dan kondisi kerja. Terdapat beberapa studi yang meneliti hubungan antara dukungan organisasi dirasakan dan komitmen organisasi. Dalam studi ini, dukungan organisasi dirasakan merupakan faktor penting dalam mengungkap komitmen organisasi (Buchanan, 1974; Tansky dan Cohen, 2001; Yoon dan Thye, 2002; Riggle et al, 2009).Selain itu, terdapat penelitian yang meneliti hubungan antara dukungan organisasi yang dirasakan dan dimensi komitmen organisasi (afektif, normatif, dan berkesinambungan) secara terpisah. Dukungan organisasi dirasakan memiliki
mempengaruhi
pada
komitmen
afektif
(Eisenberger
et
al,
1986;.Eisenberger et al, 1990; Hutchison, 1997; Randall et al, 1999; O'Driscoll dan Randall, 1999; Aube et al, 2007.; LaMastro, 2008). Dukungan organisasi yang dirasakan pegawai juga terkait dengan komitmen pegawai, yang dapat terpengaruh secara negatif oleh rasa tidak berdaya dalam hal perubahan. Dukungan organisasi yang dirasakan pegawai lebih tinggi ketika karyawan berpikir bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan langsung dari perubahan organisasi.
10
Salah satu aspek yang tidak kalah penting dalam menumbuhkan komitmen pegawai untuk berubah adalah kepemimpinan. Kepemimpinan umumnya dianggap sebagai sesuatu yang penting untuk perubahan organisasi (Burke, 2010; Borins, 2002). Tanpa kepemimpinan, organisasi hanya akan menjadi sebuah institusi yang terdiri dari manusia dan mesin. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk membujuk orang lain agar antusias untuk mencari definisi dari tujuan (Davis, 1987). Kepemimpinan merupakan faktor manusia yang mengikat kelompok menjadi satu dan memotivasi kelompok untuk mencapai tujuan (Davis, 1987). Kepemimpinan dapat mentransformasi sebuah potensi menjadi realita. Kepemimpinan merupakan tindakan utama yang membawa semua potensi sukses yang terdapat dalam organisasi termasuk didalamnya pegawai. Kepemimpinan adalah bagian dari manajemen, tetapi tidak secara keseluruhan. Manajer dibutuhkan untuk merencanakan dan mengorganisasi, akan tetapi seorang pemimpin dibutuhkan untuk mempengaruhi bawahan agar mengikuti arahan. Pada kenyataannya, mereka dapat mempengaruhi orang lain untuk mengikuti arahan akan tetapi belum tentu arahan tersebut tepat dan sesuai dengan tujuan organisasi yang diharapkan. Burke (2010) berpendapat bahwa kepemimpinan di tingkat yang lebih tinggi mungkin memiliki peran yang penting selama tahap awal atau inisiasi perubahan organisasi, tetapi manajer/pimpinan tingkat menengah dan bawah yang lebih penting selama pelaksanaan perubahan. Pemimpin yang kuat dapat menjadi manajer yang lemah karena mereka tidak mempunyai kapasitas yang cukup dalam merencanakan dan mengorganisasi atau hal-hal lain yang terkait dengan tugas seorang manajer (Burke, 2010). Walaupun
11
mereka dapat membuat kelompok mereka berjalan, akan tetapi mereka tidak dapat membawa kelompok untuk berjalan kearah tujuan yang sudah ditetapkan oleh organisasi. Hal sebaliknya pun dapat pula terjadi, manajer dapat lemah untuk menjadi seorang pemimpin akan tetapi masih dapat menjadi seorang manajer. Kombinasi dari keadaan ini yang kemudian menjadikan harapan bagi organisasi untuk dapat mendapatkan manajer yang hebat dan disatu sisi juga memiliki kemampuan kepemimpinan yang tangguh. Pemimpin merupakan kunci dari sumberdaya manusia dalam organisasi. Pemimpin yang baik dapat mengembangkan pegawai untuk menjadi lebih baik, dan kombinasi dari dua faktor ini akan menghasilkan tujuan yang lebih baik. Dengan berbagai perkembangan tersebut, pemberdayaan karyawan dan delegasi yang efektif telah mendapatkan momentum sebagai kriteria penting untuk efektivitas kepemimpinan (Conger dan Kanungo, 1988). Dengan demikian, sekarang ini pemimpin menghadapi permasalahan yang terkait komitmen untuk melakukan inisiatif pemberdayaan (Collins, 1999), dan mereka mungkin berjuang untuk memberdayakan bawahan mereka, jika bawahan tidak termotivasi untuk membuat perubahan ini (Humborstad dan Kuvaas, 2013). Istilah "pemberdayaan" relatif baru dalam profesi manajemen, tetapi masalah ini bukanlah masalah yang baru. Selama beberapa dekade, pendelegasian kekuasaan dan otoritas telah menjadi isu kunci dalam organisasi (misalnya Shapira, 1976; Tannenbaum, 1968). Dalam arti sederhana, pemberdayaan, dapat digambarkan sebagai "delegasi yang bekerja", kekuasaan dan tanggung jawab yang diterima oleh bawahan dan bawahan yang bertanggung jawab.
12
Pemberdayaan terkait dengan berbagai individu dan hasil organisasi, seperti kinerja pekerjaan (Ahearne, Mathieu, dan Rapp, 2005), perilaku peran ekstra pegawai (Raub dan Robert, 2010), kepuasan kerja (Vecchio, Justin dan Pearce, 2010), motivasi intrinsik (Zhang dan Bartol, 2010), suara pegawai (Gao, Janssen, dan Shi, 2011), dan komitmen organisasi (Konczak, Stelly, dan Trusty, 2000). Lebih jauh, proses pemberdayaan karyawan dipandang sebagai komponen utama dari efektifitas manajerial dan organisasi sebagai kekuatan organisasi dan efektifitas tumbuh ketika supervisor/pemimpin berbagi kekuasaan dan kontrol dengan bawahan (Conger dan Kanungo, 1988). Oleh karena itu, pemberdayaan sering digunakan untuk menjelaskan dan menjadi pendorong kinerja organisasi (Ahearne et al., 2005). Pada saat ini, pemberdayaan sering dianggap sebagai cara untuk memimpin organisasi dalam menanggapi persaingan ekonomi global yang bergejolak, dan struktur manajemen hirarkis disarankan untuk diganti oleh karyawan yang diberdayakan untuk memungkinkan lebih banyak fleksibilitas dalam organisasi (Arnold et al., 2000). Pegawai akan lebih sering melakukan tugas-tugas yang sebelumnya dilakukan oleh pimpinan, mengubah peran pimpinanyang sebelumnya mengendalikan struktur hirarkis yang ketat menjadi menjalankan kepemimpinan dengan cara baru, yang fokus pada pengembangan dan motivasi (Arnold et al, 2000;. Hakimi, van Knippenberg, dan Giessner, 2010). Zhang
(2010)
berpendapat
bahwa
prinsip-prinsip
dan
tindakan
kepemimpinan yang memberdayakan menempatkan fokus pemimpin langsung pada kebutuhan bawahan/tim mereka untuk memfasilitasi pencapaian tujuan yang
13
spesifik. Dengan berfokus pada pemberdayaan pribadi melalui delegasi, pemimpin dapat mendorong kinerja tim yang luar biasa (Zhang dan Bartol, 2010). Pemimpin yang memberdayakandapat menyelaraskan harapan mereka dengan harapan dari pegawai; manajer tradisional, di sisi lain, cenderung untuk fokus pada spesifikasi mencapai tujuan dan sasaran untuk meningkatkan produktivitas (Zhang dan Bartol, 2010). Zhang (2010) menjelaskan bahwa tindakan seorang pemimpin selalu diarahkan kepada empat harapan pegawai yakni: bahwa mereka membangun keamanan, praktek kejujuran dan keadilan, fokus pada pemenuhan individu, dan menciptakan rasa keterlibatan pribadi. Pemimpin yang memberdayakan akan terus bekerja untuk menciptakan lingkungan kerja yang kuat, efisien, dan sangat efektif yang beroperasi di lingkungan yang memiliki kepercayaan, penghormatan dan penerimaan (Conger dan Kanungo, 1988). Pemimpin yang memberdayakan diharapkan dapat mendorong pegawai untuk memiliki komitmen dalam mendukung perubahan yang terjadi dalam sebuah organisasi. Subjek dari penelitian ini adalah pegawai pada lingkup Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. Keinginan dari Pemda DIY untuk menciptakan iklim kerja yang kompetitif, profesional, dan handal hanya dapat diwujudkan dengan dukungan SDM yang mempunyai kapabilitas dan berkomitmen pada organisasi. Secara faktual, kondisi di lapangan sangatlah memprihatinkan. Pegawai yang memiliki motivasi kerja yang rendah sehingga kurang memiliki “sense of belonging” terhadap organisasi akan memunculkan persoalan pelik dalam melakukan perubahan dalam organisasi. Hingga saat ini masih terdapat
14
beberapa persoalan terkait dengan disiplin pegawai yang keluar pada jam kerja, mengajukan mutasi karena merasa kurang mampu dengan beban pekerjaan yang ada, tidak cocok dengan ketugasannya di instansi yang baru atau merasa kurang berkembang dan diberdayakan oleh pimpinan, tidak masuk kerja tanpa alasan jelas dan mengelabuhi jam kerja dengan datang, menghilang lalu kembali pada saat jam pulang. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya mengelola SDM tidak cukup sampai pada pegawai dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan ketugasannya saja. Disamping itu, secara faktual Pemda DIY sangat terkait dengan keberadaan masyarakat dan juga sektor swasta yang memiliki perhatian serius terhadap proses transformasi birokrasi yang dilakukan oleh Pemda DIY. Pemikiran masyarakat dan sektor swasta yang kritis, intelek dan asertif serta proaktif berpartisipasi dalam pembangunan akan sangat memberikan pengaruh dan kontribusi dalam setiap pengambilan kebijakan yang diambil oleh Pemda DIY. Terkait dengan tujuan untuk membuat pegawai agar berkomitmen pada perubahan, Kotter (1995) mengatakan proses perubahan berjalan melalui sebuah fase bertahap dan membutuhkan waktu yang panjang. Upaya melompat adalah sebuah ilusi dan tidak pernah akan memberikan hasil yang memuaskan. Hal-hal yang bersifat destruktif pada tahap manapun dapat memberikan pengaruh yang merusak, memperlambat momentum dan menyulitkan pencapaian keberhasilan. Oleh karena itu, penelitian ini sekiranya dapat membantu Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk melakukan penjajakan terhadap komitmen pegawai untuk melakukan perubahan dimana pada tujuan selanjutnya dapat
15
mendukung kesiapan organisasi untuk berubah sesuai yang diamanatkan dalam Permenpan Nomor 10/2011.
1.2 PERUMUSAN MASALAH Organisasi publik perlu untuk mengimplementasikan perubahan dalam pemerintahan, desain dan pelayanan publik. Namun, sedikit yang diketahui tentang pelaksanaan perubahan organisasi dalam konteks sektor publik. Salah satu upaya pemerintah dalam melakukan perubahan dalam birokrasi adalah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025 yang mengatur tentang acuan dasar bagi Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah dalam melakukan reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Grand design yang dirancang oleh pemerintah ini kemudian ditindaklanjuti oleh Kementerian PAN dan RB dengan mengeluarkan Peraturan Menteria PAN dan RB Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyusunan Road Map Reformasi Birokrasi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Reformasi birokrasi merupakan upaya berkelanjutan yang setiap tahapannya memberikan perubahan atau perbaikan birokrasi ke arah yang lebih baik. Dalam konteks organisasi publik, perubahan terkadang disikapi secara resisten oleh PNS, hal ini muncul karena PNS merasa enggan untuk melakukan perubahan karena mereka menolak untuk keluar dari zona nyaman mereka. Dan akan sangat sulit melakukan perubahan tanpa kerjasama dari pegawai, keberhasilan
pelaksanaan
perubahan
organisasi
sangat
tergantung
pada
16
penerimaan atau dukungan pegawai. (van der Voet, J., Kuipers, B., dan Groeneveld, S., 2013). Kotter dan Schlesinger (1979) mengatakan secara personal, individu mungkin hanya memiliki toleransi yang rendah untuk perubahan. Menurut Conner dan Patterson (1982), faktor yang paling umum berkontribusi terhadap gagalnya proyek terkait dengan perubahan adalah kurangnya komitmen dari pegawai. Herscovitch (1999) juga menyinggung potensi pentingnya menilai dan membina komitmen karyawan untuk memunculkan inisiatif perubahan. Komitmen pegawai untuk berubah ini dapat dipengaruhi oleh motivasi pegawai untuk melakukan pelayanan publik. Behaj (2012) mengemukakan bahwa motivasi pelayanan publik/PSM terkait dengan kepuasan kerja yang tinggi dan komitmen organisasi dalam organisasi sektor publik. Vandenabeele (2009) menegaskan bahwa kehadiran PSM mengarah ke tingkat komitmen yang lebih tinggi dan kepuasan bagi karyawan yang bekerja di lingkungan sektor publik, sehingga memberikan tingkatan yang lebih tinggi dari kinerja. Komitmen pegawai untuk berubah dapat juga dipengaruhi oleh dukungan organisasi yang dirasakan pegawai. Dukungan organisasi dirasakan merupakan faktor penting dalam mengungkap komitmen organisasi (Buchanan, 1974; Tansky dan Cohen, 2001; Yoon dan Thye, 2002;. Riggle et al, 2009). Selain itu, terdapat penelitian yang meneliti hubungan antara dukungan organisasi yang dirasakan dan dimensi komitmen organisasi (afektif, normatif, dan berkesinambungan) secara terpisah.
17
Selain dua variabel tersebut, komitmen pegawai untuk berubah dapat juga dipengaruhi oleh kepemimpinan yang memberdayakan. Kepemimpinan umumnya dianggap sebagai sesuatu yang penting untuk perubahan organisasi (Burke, 2010; Borins, 2002). Sekarang ini, pemimpin menghadapi permasalahan yang terkait komitmen untuk melakukan inisiatif pemberdayaan (Collins, 1999), dan mereka mungkin berjuang untuk memberdayakan bawahan mereka, jika bawahan tidak termotivasi untuk membuat perubahan ini (Humborstad dan Kuvaas, 2013). Sejumlah peneliti telah mengidentifikasi komitmen organisasi sebagai prasyarat penting untuk keberhasilan pelaksanaan perubahan organisasi (Bellou 2007; Darwish 2000; Lau dan Woodman 1995; Vakola dan Nikolaou 2005: Yousef 2000). Perubahan manajer cenderung bergantung pada komitmen karyawan mereka ketika menerapkan perubahan organisasi (Bennet dan Durkin 2000). Raub dan Roberts (2012) berargumen secara teoritis bahwa hubungan antara kepemimpinan yang memberdayakan dan komitmen organisasi didukung oleh gagasan timbal balik (Gouldner 1960). Kepemimpinan yang memberdayakan memberi sinyal kepada individu bahwa kontribusi mereka dihargai dan bahwa organisasi
peduli
terhadap
kesejahteraan
mereka
(Raub
dan
Roberts.
2012).Individu cenderung membalas kepemimpinan yang memberdayakan dengan menunjukkan identifikasi kuat dan komitmen terhadap organisasi (Liden, Wayne, dan Sparrowe 2000). Permasalahan yang dihadapi oleh Pemda DIY terkait dengan perubahan organisasi adalah upaya untuk menyelaraskan komitmen dari pegawai untuk mendukung reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah pusat melalui
18
Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Penelitian mengenai motivasi pelayanan publik, dukungan organisasi yang dirasakan pegawai, kepemimpinan yang memberdayakan, serta komitmen pegawai untuk berubah masih belum ada yang mengaitkan hubungan antar variabel-variabel tersebut terhadap keadaan PNS di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, peneliti menganggap relevan diangkatnya penelitian mengenai pengaruh motivasi pelayanan publik, dukungan organisasi yang dirasakan pegawai, dan kepemimpinan yang memberdayakan terhadap komitmen pegawai untuk berubah.
1.3 TUJUAN PENELITIAN Dalam rangka pemecahan permasalahan diperlukan kerangka tujuan yang jelas. Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan: 1. Menguji pengaruh motivasi pelayanan publik terhadap komitmen pegawai untuk berubah. 2. Menguji pengaruh dukungan organisasi yang dirasakan pegawai terhadap komitmen pegawai untuk berubah. 3. Menguji
pengaruh
kepemimpinan
yang
memberdayakan
terhadap
komitmen pegawai untuk berubah.
19
1.4 MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran bagi organisasi publik dan ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu administrasi publik pada khususnya terutama yang menyangkut faktorfaktor penting yang mempengaruhi komitmen pegawai untuk berubah dengan variabel motivasi pelayanan publik, dukungan organisasi yang dirasakan pegawai, dan kepemimpinan yang memberdayakan. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan telaah akademis bagi Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta terutama terkait dengan faktor-faktor penting yang mempengaruhi komitmen pegawai untuk berubah. Diketemukannya besarnya pengaruh dari variabelvariabel dan aspek-aspek yang diukur dalam penelitian ini dapat menjadi masukan bagi manajemen sumberdaya manusia aparatur di Pemerintah Daerah
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
untuk
pengembangan
dan
pengelolaan SDM lebih lanjut.
20