BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) memegang peranan yang besar dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan Badan Pusat Statistik dalam kurun waktu tahun 1997-2006, jumlah perusahaan yang dikategorikan UKM mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha di Indonesia, dan berkontribusi sekitar 96% atas penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Pada tahun 2005, peran UKM terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 53,54%, selebihnya sebesar 46.46% adalah kontribusi dari perusahaan besar. Pada tahun 2006, sebanyak 96,15% penyerapan tenaga kerja dihasilkan oleh UKM, atau sebesar 85.416.493 tenaga kerja, dimana meningkat sebanyak 2.62% dari tahun 2005. Besar kontribusi yang disumbangkan oleh UKM baik terhadap PDB maupun terhadap penyerapan tenaga kerja semakin meningkat dari tahun ke tahun. Di tahun 2010, peran UKM terhadap penciptaan PDB naik menjadi 57,12%, dan meningkat lagi hampir sebesar 1% di tahun 2011. Jumlah tenaga kerja yang mampu diserap sektor UKM pada tahun 2011 sebesar lebih dari seratus juta tenaga kerja atau 97,24% dari total penyerapan tenaga kerja yang ada. Jumlah ini meningkat sebesar 0,02% dari tahun sebelumnya. Secara umum, UKM dapat dibagi berdasarkan tipe bisnis, yaitu bisnis keluarga dan bisnis non-keluarga (Gabrielsson dan Huse, 2005). Pada dasarnya, bisnis keluarga tidaklah berbeda jauh dengan bisnis pada umumnya, dimana dijalankan untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham atau untuk
1
memaksimalkan keuntungan yang didapatkan. Namun secara definisi dan karakteristik, terdapat perbedaan antara bisnis keluarga dan bisnis non-keluarga (Soedibyo, 2012). Bisnis keluarga memiliki berbagai macam definisi, dibedakan berdasarkan keinginan keterlibatan anggota keluarga, berdasarkan kepemilikan dan/atau manajemen, atau berdasarkan kepemilikan saham oleh anggota keluarga yang terlibat (Dhewanto et al., 2012). Namun secara umum, bisnis keluarga merupakan suatu perusahaan dimana kepemilikan dikuasai/dimiliki secara penuh oleh seorang atau lebih anggota keluarga (Corbetta dan Tomaselli, 1996; Cowling dan Westhead, 1996; Gersick et al., 1997; dalam Gabrielsson dan Huse, 2005). Sementara, kepemilikan bisnis non-keluarga dimiliki oleh dua orang atau lebih, dimana antara mereka tidak terdapat hubungan kekerabatan. Bisnis non-keluarga juga dapat terbentuk dari penanaman modal oleh investor profesional agar dapat menghasilkan economic return yang signifikan (Fried dan Hisrich, 1995; Manigart dan Sapienza, 2000; dalam Gabrielsson dan Huse, 2005). Selain berdasarkan definisi, perbedaan bisnis keluarga dengan bisnis nonkeluarga juga dapat dilihat dari karakteristik masing-masing. Sistem pengawasan internal yang digunakan, strategi perusahaan, dan juga keterlibatan anggota keluarga dalam pengambilan keputusan merupakan beberapa karakteristik pembeda antara dua tipe bisnis tersebut (Dhewanto et al., 2012). Selain itu, karakteristik yang berbeda adalah bahwa bisnis keluarga lebih dipusatkan pada keinginan untuk melidungi anggota keluarga (Soedibyo, 2012).
2
Secara karakteristik kedua tipe bisnis ini memang berbeda, namun ketika mereka dihadapkan dengan situasi pasar yang dinamis dan kompleks, masingmasing harus dapat menunjukkan daya saing dalam ketatnya kompetisi pasar. Sayangnya, tidak sedikit UKM yang menghadapi hambatan-hambatan untuk bertahan
dan
mengembangkan
bisnis
mereka.
Keterbatasan
informasi,
keterbatasan akses untuk mendapatkan sumber daya (modal, teknologi, dan juga manusia), serta kurangnya tata kelola perusahaan yang baik dalam menjalankan bisnis tersebut merupakan beberapa hambatan yang dihadapi UKM (Mead dan Liedholm, 1998; Swierczek dan Ha, 2003; Indarti dan Langenberg, 2004; dalam Indarti et al., 2013). Sebagian besar UKM lalu lebih memfokuskan diri untuk memperkuat akses dalam mendapatkan sumber daya tersebut sehingga dapat bertahan dalam kompetisi. Sementara faktor tata kelola perusahaan kurang terlalu diperhatikan penerapannya oleh sebagian besar UKM. Padahal, secara tidak disadari tata kelola perusahaan memegang peranan yang penting dalam menentukan kualitas bisnis (Indarti et al., 2013). Dengan mengadopsi pelaksanaan tata kelola yang baik dapat memberikan keuntungan lebih bagi UKM. Dengan menjalankan tata kelola yang baik, manajemen bisnis tersebut akan dapat menjadi lebih tertata (Abor dan Adjasi, 2007). Bisnis tersebut berkesempatan untuk mencapai tujuan tertinggi dan terbaik dari bisnisnya seperti memaksimalkan keuntungan,
memperbaiki
strategi,
menciptakan
lapangan
pekerjaan,
meningkatkan kemampuan pegawai, dan melayani seluruh pemegang saham termasuk pemilik modal, pegawai, konsumen, pemasok, dan komunitas (Aronoff
3
dan Ward, 2011 dalam Dhewanto et al., 2012). Dari segi pendanaan, bisnis tersebut juga akan menjadi lebih bankable (Abor dan Adjasi, 2007). Permasalahan mendasar dalam tata kelola perusahaan adalah pemisahan antara kepemilikan dan kontrol perusahaan (Berle dan Means, 1932 dalam Indarti et al., 2013). Secara umum, pada perusahaan besar, pemegang saham terpisah dari manajemen perusahaan. Kondisi ini memungkinkan terjadinya masalah keagenan (agency problem), dimana terjadi perbedaan kepentingan antara beberapa pihak dalam perusahaan, khususnya antara pemegang saham dengan manajemen. Oleh karena itulah penerapan tata kelola banyak dilakukan di perusahaan-perusahaan besar, untuk dapat mengatasi masalah keagenan tersebut (Abor dan Adjasi, 2007). Sementara itu, sebagian besar bisnis kecil menengah merupakan bisnis dimana pemilik juga merangkap sebagai pihak manajemen (Hart, 1995). Kontrol bisnis akan secara otomatis ada di tangan pemegang saham dan masalah keagenan tidak timbul dalam kondisi bisnis seperti ini. Hal ini yang menjadi alasan mengapa banyak bisnis kecil dan menengah tidak menerapkan tata kelola perusahaan (Lane et al., 2006). Padahal, di Indonesia, lebih dari 90% jumlah unit usaha adalah bentuk usaha kecil dan menengah, dimana usaha-usaha tersebut berkontribusi pada lebih dari 95% penyerapan tenaga kerja di Indonesia (Biro Pusat Statistik, 2011). Oleh karena itu, untuk membantu para pelaku bisnis dalam mencapai penerapan tata kelola perusahaan yang baik, maka dibuatlah acuan pelaksanaan tata kelola tersebut, yang dituangkan ke dalam kode-kode tata kelola. Di Indonesia, kode-kode tersebut dituangkan dalam Indonesia Code of GCG 2006.
4
Kode ini bukan merupakan peraturan dan tidak memiliki ikatan legal, tetapi berfungsi untuk mengarahkan pelaku bisnis dalam menjalankan tata kelola bisnis atau manajemen secara baik. Tata kelola perusahaan yang baik terdiri dari lima aspek penting yaitu transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan keadilan (National Committee on Governance, 2006).
Tabel 1.1 Lima Aspek dalam Indonesia Code of GCG 2006 Aspek Transparansi Akuntabilitas Tanggung jawab Independensi Keadilan
Pemberitahuan informasi, standar pelaporan, dan evaluasi dewan direksi Kejelasan pembagian tugas dan tanggung jawab, kejelasan kepemilikan, dan cara yang benar dan terukur dalam menjalankan perusahaan Tanggung jawab dari aspek ekonomi, aspek hukum, aspek etika dan aspek kemanusiaan Kepercayaan, mekanisme kontrol, dan pelaksanaan audit Sistem kompensasi, dan pelaksanaan atas pengakuan dan penghargaan atas kepentingan dari berbagai pemangku kepentingan
Sumber: Aston dan Anca (2011); Indarti et al. (2013)
Aspek transparansi menyebutkan bahwa perusahaan harus dapat selalu menjaga tingkat objektivitas dalam menjalankan bisnis. Aspek akuntabilitas menekankan bahwa perusahaan harus dapat dikelola dengan cara yang sesuai dan terukur, sesuai dengan keinginan perusahaan dan para pemangku kepentingan. Aspek tanggung jawab menjelaskan bahwa perusahaan sangat dianjurkan untuk mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku dan memenuhi tanggung jawab perusahaan kepada komunitas dan lingkungan. Aspek independensi menekankan bahwa perusahaan harus dapat dijalankan dengan pembagian kekuasaan di antara
5
para pemangku kepentingan sesuai dengan kebutuhan. Dan yang terakhir, aspek keadilan, menjelaskan bahwa perusahaan harus dapat memperhatikan kepentingan pihak-pihak terkait dalam bisnis sesuai dengan kontribusi masing-masing (National Committee on Governance, 2006). Kenyataan bahwa sebagian besar bisnis di Indonesia adalah usaha kecil menengah dan bahwa pada prakteknya hanya sebagian kecil dari mereka yang sudah menerapkan tata kelola perusahaan yang baik, menjadi fenomena yang menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Selain itu penerapan tata kelola pada bisnis keluarga dan bisnis non-keluarga dengan skala kecil dan menengah juga menarik untuk dicermati. Belum banyak penelitian yang memfokuskan untuk mempelajari penerapan tata kelola bisnis yang baik dalam bisnis skala kecil dan menengah, khususnya yang membandingkan penerapan tata kelola pada bisnis keluarga dengan bisnis non-keluarga. Banyak penelitian tentang tata kelola perusahaan difokuskan pada perusahaan-perusahaan berskala besar (publik) (e.g Memili, 2011; Culasso et al., 2012). Penelitian tentang tata kelola pada bisnis kecil menengah yang sudah pernah dilakukan lebih banyak difokuskan pada bisnis keluarga dan hanya menggunakan aspek tertentu dalam tata kelola (e.g Corbetta dan Salvato, 2004; Bennet dan Robson, 2004; Gabrielsson dan Huse, 2005; Lane et al., 2006).
6
I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dikatakan bahwa kualitas suatu perusahaan dan keberlangsungan perusahaan tersebut dapat ditentukan oleh tata kelola perusahaan yang baik. Hampir semua penelitian yang telah dilakukan mengungkapkan implikasi penerapan tata kelola pada perusahaanperusahaan besar (e.g Memili, 2011; Culasso et al., 2012). Masih relatif sedikit penelitian yang membahas tentang penerapan tata kelola pada bisnis skala kecil menengah (Johannison dan Huse, 2000; van den Heuvel et al., 2006). Secara spesifik bisnis kecil menengah dibagi menjadi dua tipe berdasarkan karakteristik bisnisnya yaitu bisnis keluarga dan bisnis non-keluarga. Penelitian-penelitian tentang tata kelola pada bisnis kecil menengah yang sudah pernah dilakukan sebelumnya lebih banyak membahas dalam lingkup bisnis keluarga (e.g van den Heuvel et al., 2006; Johannison dan Huse, 2000; Brenes et al., 2011). Masih sedikit penelitian yang melihat perbandingan penerapan tata kelola dalam bisnis keluarga dan bisnis non-keluarga. Kalaupun ada, penelitian-penelitian tersebut hanya membahas penerapan tata kelola dilihat dari aspek tertentu saja, seperti peran direksi (e.g Bennett dan Robson, 2004), direksi eksternal (e.g Gabrielsson dan Huse, 2005), kontrol dari anggota keluarga (e.g Allouche et al., 2008), aspek finansial (e.g Claessens et al., 1999), dan aspek-aspek lainnya. Hal inilah yang menjadi dasar dilakukannya penelitian untuk mengetahui penerapan tata kelola pada bisnis keluarga dan bisnis non-keluarga berskala kecil menengah di Indonesia. Secara lebih spesifik, penelitian ini akan mempelajari terlebih dahulu penerapan tata kelola pada bisnis keluarga dan bisnis non-keluarga
7
secara terpisah, lalu membandingkan penerapan tata kelola diantara kedua tipe bisnis tersebut. Lima aspek dalam Indonesia Code of GCG 2006 (aspek transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan keadilan) digunakan dalam penilitian ini sebagai acuan penerapan tata kelola perusahaan.
I.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, dapat ditarik beberapa pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Bagaimana penerapan tata kelola pada bisnis keluarga dan bisnis nonkeluarga berskala usaha kecil menengah di Indonesia? 2. Bagaimana perbedaan penerapan tata kelola pada bisnis keluarga dan bisnis non-keluarga berskala usaha kecil menengah di Indonesia?
I.4 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Untuk mengidentifikasi penerapan aspek tata kelola perusahaan pada bisnis keluarga dan pada bisnis non-keluarga berskala UKM di Indonesia. 2. Untuk mengidentifikasi perbedaan dalam penerapan aspek tata kelola perusahaan pada bisnis keluarga dan pada bisnis non-keluarga berskala UKM di Indonesia.
8
I.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perusahaan berskala UKM dan bagi akademisi (penelitian selanjutnya), yaitu sebagai berikut: 1. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menerapkan sistem tata kelola pada bentuk bisnis keluarga dan pada bentuk bisnis non-keluarga skala kecil menengah. 2. Penelitian ini diharapkan dapat mengisi kekurangan referensi tentang tata kelola perusahaan pada usaha kecil menengah, yang secara lebih spesifik membahas tentang perbandingan penerapannya pada bisnis keluarga dan bisnis non-keluarga.
I.6 Ruang Lingkup Penelitian Pembatasan masalah perlu dilakukan untuk memfokuskan kajian yang dilakukan, sehingga tujuan penelitian dapat dicapai dengan tepat dan baik. Beberapa batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Definisi UKM yang digunakan adalah definisi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia, yaitu berdasarkan jumlah tenaga kerja. 2. Kriteria bisnis keluarga yang digunakan adalah bisnis yang seluruh kepemilikannya dipegang oleh suatu keluarga, baik melalui status keturunan maupun status pernikahan 3. Kriteria bisnis non-keluarga yang digunakan adalah bisnis yang kepemilikannya dipegang oleh lebih dari satu orang yang tidak memiliki
9
hubungan keluarga dan bentuk kepemilikan dapat berupa perusahaan modal ventura atau partnership.
1.7 Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari lima bab, yang terdiri dari pendahuluan, tinjauan literature, metode penelitian, hasil penelitian, serta kesimpulan dan saran penelitian. Bab I membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batas penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II menguraikan beberapa kajian literatur yang berkaitan dengan bisnis keluarga dan bisnis non-keluarga. Bab ini juga membahas mengenai teori-teori yang berkaitan dengan tata kelola; termasuk definisi, implikasi penerapan tata kelola, serta aspek-aspek penunjang penerapannya. Bab III menjelaskan mengenai tentang metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini; penjelasan mengenai jenis penelitian, lokasi dan objek penelitian, metode pengumpulan data, uji keabsahan data dan metode analisis data. Gambaran singkat mengenai profil perusahaan akan dideskripsikan pada Bab IV. Selain itu Bab IV juga menguraikan mengenai analisis dan pembahasan penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Terakhir, Bab V berisi simpulan dan keterbatasan penelitian dari hasil penelitian serta implikasi teoritis dan praktis yang dihasilkan.
10