BAB I PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Pengampunan bukanlah sebuah tema baru, tema ini mewarnai berbagai kawasan; mulai dari etika, teologi, sosial politik, bahkan hukum. Namun demikian, pengampunan dalam arti apa pun adalah rumit dan tak pernah mudah. Karena pengampunan seolah mematahkan hukum sebab akibat, membuat pantulan reaksi yang tidak sama persis dengan aksi yang diterima/diberikan. Sedangkan, secara apriori, saya menyatakan akan lebih banyak masalah yang muncul jika tidak ada pengampunan. Belum lagi jika perkara pengampunan ini tidak berdiri dalam skala antarindividu, namun lebih luas, yaitu institusional (baik atas kesalahan publik, kesalahan atas nama publik, ataupun kesalahan yang dilakukan sepengetahuan publik). Alih-alih menjadi lebih sederhana, dalam ruang yang tidak lagi privat, bagaimanakah akhirnya bangunan konsep pengampunan yang tidak bergeser dari kualitas pengampunannya, namun sekaligus realistis dilakukan?
Adalah Jacques Derrida yang dilahirkan di Aljazair pada 15 Juli 1930. Dia dibesarkan dalam tradisi era 1950-an sampai 1970-an1. Era tersebut diramaikan oleh pergerakan besar-besaran modernitas menuju posmodernitas, modernisme menuju posmodernisme2, dari strukturalisme menuju postrukturalisme. Walaupun posmodernisme dan postrukturalisme sendiri berada dalam wilayah yang gelap – istilah yang sampai saat ini masih senantiasa kontroversial3, bahkan masih dipertentangkan keberadaannya – namun harus diakui bahwa oknum-oknum, di sini para pemikirnya, yang menempatkan diri mereka dalam wilayah ini seolah-olah telah mengkhususkan
1
Inyak Ridwan Muzir, Pengantar Penerjemah dalam Cristopher Norris. 2006. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida (terj. Inyak Ridwan Muzir). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, hlm. 6. 2 Lih. Frans Magnis Suseno. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:Kanisius dan Donny Gahral Adian. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 73-78. Mengenai pembedaan posmodernisme dan posmodernitas ini Donny Gahral Adian menyatakan bahwa posmodernitas adalah istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan realitas sosial masyarakat posindustri (sebuah arah baru dalam industri, ketika industri berubah dari barang sebagai komoditas utamanya menuju jasa, ketika semakin berkembangnya dimensi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta berkembangnya tensi antara para ekonom dengan para sosialis) sedangkan posmodernisme adalah pemikiran yang berbeda dengan modernisme, modernisme ini menurut Frans Magis Suseno memiliki 3 ciri menojol, yaitu humanisme, kapitalisme dan rasionalisme. Frans Magnis hanya menyatakan bahwa posmodernisme berjasa hanya sebatas memberikan nama kelompok untuk aliran-aliran filsafat yang berkembang menentang modernisme, walaupun aliran-aliran itu sangat bervariasi. 3 I. Bambang Sugiharto. 1996. Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius, hlm 15-21.
1
arah pemikiran mereka pada penentangan atau pengerucutan modernisme dan strukturalisme pada sebuah arah tertentu, yaitu dalam arah praktis fenomena yang membudaya paska berkembangnya neoliberalisme, secara lebih filosofis khususnya penentangan pada pola-pola yang kemudian telah menjadi mapan dalam modernisme dan strukturalisme. Derrida kemudian dikelompokkan dalam filsuf dengan corak pemikiran posmodernis-postrukturalis ini4. Secara pribadi pengelompokan-pengelompokan demikian bagi saya tidak semakin mempermudah justru sebaliknya, apalagi ketika akhirnya menemukan bahwa para pemikir yang dikelompokkan dalam kelompok-kelompok tersebut ternyata mempunyai tanggapan yang sama sekali berbeda atas fenomena sosial yang sama. Saya kemudian menjadi lebih bersepakat dengan Frans MagnisSuseno yang menyatakan bahwa pengklasifikasian demikian setidaknya berjasa untuk membuat orang akhirnya melihat kesatuan arah terjang dalam begitu banyak posisi filosofis yang sebelumnya umumnya tidak saling dikaitkan satu dengan yang lain5.
Derrida, secara khusus, dikenal sebagai pendiri dekonstruksi, atau setidaknya tokoh yang bergelut dan mengembangkan teori dekonstruksi. Dekonstruksi sendiri juga tidak pernah gamblang terselesaikan dengan tuntas. Dekonstruksi cenderung dilihat sebagai cara membaca narasi yang menggeser pusat sebagai acuan, dan membuka peluang pada pemikiran yang ada di pinggiran untuk berperan6, namun Derrida sendiri menyatakan bahwa dekonstruksi bukanlah metodologi7. Namun jika kita terimakan dekonstruksi seperti pengertian di atas, dekonstruksi akhirnya bisa dilihat sebagai usaha untuk menegasi kegiatan yang selalu cenderung mencari istilah yang bersifat umum untuk satuan-satuan yang bersifat konkret atau dalam kata lain mencari kesatuan makna/pengertian dari hal-hal yang beraneka ragam, mencari kesamaan dalam perbedaan, atau membuat penunggalan dalam kemajemukan (craving for unity)8. Dekonstruksi sendiri awalnya berkembang di bidang kritik sastra dengan menambahkan unsur melihat 4 Luc Ferry dan Alain Renaut memuji namun bersamaan dengan itu memparodikan para Filsuf Prancis tahun 60-an, mereka menyatakan bahwa para filsuf Prancis ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para filsuf Jerman, hanya saja mereka menyangatkan dengan gaya Prancis apa yang pernah diutarakan oleh para Filsur Jerman. Dia menyebut Derrida sebagai Heideggerianisme-nya Prancis. Lih. Luc Ferry dan Alain Renaut. French Philosophy of Sixties: An Essay of Antihumanism (Terj. Mary H. S. Cattani). 1985. Massachusetts: The University of Massachusetts Press. 5 Frans Magnis-Suseno. 2005. Pijar-pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, hlm 234. Secara khusus Magnis berbicara tentang Posrtmodernisme, namun secara tidak sengaja saya menemukan pandangan yang bernada sama dari Anthony Giddens mengenai Postrukturalis dalam esainya Strukturalisme, Postrukturalisme dan Produksi Budaya (Anthony Giddens, Strukturalisme, Postrukturalisme dan Produksi Budaya dalam Anthony Giddens dan Jonathan Turner (ed). 2008. Social Theory Today (terj. Yudi Santoso). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm 333- 335) 6 A. Sudiarja. Jacques Derrida: Setahun Sesudah Kematiannya, dalam Basis No.11-12, tahun ke-54, Nov-Des 2005, hlm 4. 7 J. Derrida. The Time of a Thesis: Puctuations, dalam Alam Montefiore (ed). 1983. Philosophy in French Today. Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 40. 8 Bdk. Mulyadi J. Amalik. Sembari Membaca Derrida, Lupakanlah Jasadnya, dalam Jacques Deridda. 2002. Dekonstruksi Spiritual (terj. Firmansyah Argus). Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 40
2
fenomena sosial sebagai teks/ tulisan, karena itu bisa sedemikian rupa ditarik-tarik dengan mempertimbangkan variabel-variabel penyusunan fenomena tersebut.
Tentu saja, jika dekonstruksi dipertemukan dengan pemikiran ‘awam’ yang cenderung mendikotomikan teori dan aksi, maka pemikiran dekonstruksi seolah-olah tak lebih dari usaha membuat teori-teori lagi. Dan lagi-lagi teori tidak begitu saja bisa dipertemukan dengan aksi. Karena itu, tidak jarang Derrida akhirnya dianggap sebagai seorang nihilis9. Hal ini bisa dipahami juga karena dekonstuksi tak jarang dipahami sekadar sebagai usaha destruksi atas sebuah fenomena sosial dan rekonstruksinya dianggap berangkat dari sebatas imaji akan dunia yang lebih baik (atau lebih bersesuian dengan pikiran para penggagasnya), dan secara lebih khusus lagi imaji bahasa. Namun tentu saja ini masih dapat didiskusikan lebih lanjut. Dan bab 2 saya akan berbicara tentang ini.
Yang menarik adalah bahwa di tengah dekonstruksi Derrida yang tampaknya cenderung merelatifkan banyak hal terutama yang mendakukan dirinya sebagai kebenaran mutlak10 dalam kelompok tertentu, ternyata terdapat sebuah wacana mengenai pengampunan11. Saya terutama sekali mengambil wacana ini dari tulisannya On Forgivenss dalam bukunya On Cosmopolitanismism and Forgiveness. Lagi-lagi Derrida mendekonstruksi, dan kali ini yang didekonstruksinya adalah fenomena sosial yang bertitel pengampunan, secara khusus pengampunan bersyarat. Menarik karena pengampunan selama ini seolah-olah tidak berada dalam kawasan bahasan ilmu sosial pada umumnya, tapi lebih etis dan spiritual.
Lebih menarik lagi adalah pandangannya tentang pengampunan adalah dinyatakan bahwa pengampunan sejati adalah mengampuni yang tidak terampuni12, Deridda menyatakan:
“If one is only thing to prepared to forgive what appears forgivable ... then the very idea of forgiveness would disseapear”13.
9 Bnd. A. Sudiarja, Jacques Derrida: Setahun Sesudah Kematiannya, dalam Basis No.11-12, tahun ke-54, Nov-Des 2005, hlm 4. 10 A. Sudiarja, Jacques Derrida: Setahun Sesudah Kematiannya, dalam Basis No.11-12, tahun ke-54, Nov-Des 2005, hlm 5. 11 Dan dalam sebuah paper yang pernah saya buat, dosen saya, Paulus S. Widjaja, malah berkomentar bahwa konsep pengampunan ini bukan sekadar usaha dekonstruksi Derrida tapi bahwa Yesus, jauh sebelum Derrida sudah menyatakannya. 12 J. Derrida. 2001. On Cosmopolitanism and Forgiveness,. London dan New York: Routledge, hlm 32. 13 J. Derrida. 2001. On Cosmopolitanism and Forgiveness, hlm. 32.
3
Pengampunan adalah pengampunan ketika pengampunan itu tak bersyarat sama sekali. Bahkan dia menyatakan bahwa mengharapkan penyesalan orang yang bersalah pun termasuk syarat dalam pengampunan, dia mengatakan:
Imagine, then, that I forgive on the condition that the guilty one repents, mends his ways, ask forgiveness, and thus would be changed by a new obligation, and thath from then on he would no longer be exactly the same as the one who was found to be culpable. In this case, can one still speak of forgiveness?14
Konsep pengampunan Derrida menjadi perkara yang tidak lagi mudah, tanpa batas yang benarbenar kentara ala tips-tips majalah metropolitan, yang ada adalah hanya sebuah penyataan ‘tanpa syarat’. Dan akhirnya diakuinya sendiri sebagai konsep pengampunan murni pada akhirnya tak lain adalah kemustahilan pengampunan (impossibility of forgiveness) visi yang etis hiperbolis, yang dalam tataran empirisnya senantiasa bertentangan dengan proses pragmatis dalam rekonsiliasi yang hakikatnya membutuhkan syarat-syarat. Ini juga sesuatu yang menarik, biasanya pengampunan senantiasa berada dalam kerangka rekonsiliasi, namun bagi Derrida, pengampunan berada di seberang rekonsiliasi sebagai dua kutub yang yang masing-masing saling tidak bisa direduksi namun pada saat yang sama tidak terpisahkan15. Walaupun pada akhirnya Derrida sendiri menyatakan bahwa dia memang ‘without power, desire, or need’16 untuk memilih konsep mana yang seharusnya lebih diutamakan. Mengutamakan salah satu diantaranya seperti dengan sewenang-wenang hendak memisahkan antara tataran hukum dan tataran politis, dua hal yang pada hakikatnya memang tidak (pernah bisa) terpisah. Sampai di sini, ditemukan pola aporia (jalan buntu) muncul kembali dalam tulisan-tulisan terakhir Derrida, ketika sebuah konsep menemui jalan buntu dalam imposibillity-nya. Ada sebuah alur yang menarik ketika mencermati tulisan-tulisan Derrida dari awal masa berjayanya (Writing and Difference, Of Grammatology, Speech and Phenomena) serangan dekonstruksi yang optimis tampaknya sangat menggebu dilancarkan, namun menjelang tulisan-tulisan akhirnya yang bernuansa politis dan etis (Specters of Marx, Politics of Friendship, The Gift of Death, termasuk On Cosmopolitans and Forgiveness ini) upaya dekonstruksi memang muncul, tetapi tidak seoptimis tulisan-tulisan awalnya. Nuansa aporia mewarnai tulisan-tulisannya belakangan, walaupun dia senantiasa menaruh harapan bahwa yang sekarang tampaknya mustahil itu suatu saat bisa menjadi mungkin.
14
J. Derrida. 2001. On Cosmopolitanism and Forgiveness, hlm. 38. J. Derrida. 2001. On Cosmopolitanism and Forgiveness, hlm. 51. 16 J. Derrida. 2001. On Cosmopolitanism and Forgiveness, hlm. 51. 15
4
Dalam On Cosmopolitanism and Forgiveness sebenarnya Derrida memang secara khusus berbicara mengenai dilema rekonsiliasi dan amnesti yang dewasa ini banyak terjadi di tengah berbagai trauma berdarah-darah menuntut bentuk pengampunan17, dia membicarakan pengampunan ini dalam kerangka politik bukan etika apalagi teologis. Namun argumennya mengenai pengampunan didapatkan dari usaha penelusurannya secara kritis atas bahwa pengampunan dalam Abrahamic Religion, secara khusus Yudeo-Kristen18. Karena itu hal tersebut semakin membukakan kesempatan untuk melihat tulisan Derrida ini dalam ruang teologi Kristen, dan dengan konteks yang saya hidupi sekarang, GKJW.
Akan menarik dan akan menjadi kajian teologis yang membangun jika pandangan Derrida ini dipertemukan dengan teologi Kristen, termasuk yang diikuti GKJW, yang secara kasat indera mengisyaratkan adanya pertobatan sebagai syarat bagi pengampunan19. Jika melihat sampai di sini, tampak sepertinya ada perbedaan konsep pengampunan dalam tradisi Kristen yang diikuti oleh GKJW (yang muncul dalam Tata dan Pranata GKJW, sebut saja mengenai syarat mengikuti Perjamuan Kudus, Penggembalaan Khusus, bahkan syarat keanggotaan – yang mengisyaratkan pertobatan sebelum ada ‘pengampunan Allah’ dan penerimaan sebagai anggota Gereja dan Kerajaan Allah) dan yang menjadi pijakan On Forgiveness Derrida. Dari perbedaan inilah, saya mencoba mencari perbandingan. Dan dari perbandingan itu, jika mungkin, kemudian saya akan menyusun sebuah teologi pengampunan yang bersesuaian dengan konteks GKJW saat ini.
I.2 MASALAH
Saya akan membahas dan membatasi bahasan saya terutama pada:
1. Siapakah Jacques Derrida dan bagaimanakah pemikirannya terutama mengenai dekonstruksi dan aporia, karena bagi saya ini adalah aliran utama pemikiran Derrida dan pola berpikir demikian yang menjadi dasar dari pemikiran-pemikiran Derrida yang lain, termasuk ketika Derrida membuat On Forgiveness. 17 Samuel Rachmat, Rekonsiliasi: Mengampuni yang Tak Terampuni, dalam Basis No.11-12, tahun ke-54, Nov-Des 2005, hlm 32. 18 Samuel Rachmat, Rekonsiliasi: Mengampuni yang Tak Terampuni, dalam Basis No.11-12, tahun ke-54, Nov-Des 2005, hlm 32. 19 Sampai titik ini saya masih menggunakan landasan apriori berdasarkan beberapa ayat Alkitab, seperti Yoh 3:16, Yoh 14:6.
5
2. Bagaimanakah
konsep
pengampunan
menurut
Derrida
dalam
bukunya
On
Cosmopolitanismism and Forgiveness, dan jika dimungkinkan kritik atasnya.
3. Bagaimanakah pengampunan Derrida jika diperbandingkan dengan konsep pengampunan yang berkembang di GKJW (karena keduanya berangkat dari tradisi yang sama: YudeoKristen) dan jika memungkinkan mencari kemungkinan pengampunan yang lebih bersesuaian dengan konteks GKJW sekarang.
I.3 JUDUL
Dari latar belakang dan pembatasan yang saya buat untuk permasalahan dalam skripsi ini. Maka judul skipsi ini adalah:
KONSEP PENGAMPUNAN MENURUT JACQUES DERRIDA DARI DAN UNTUK GKJW
Konsep pengampunan menurut Jacques Derrida saya ambil secara khusus dari tulisannya On Forgiveness dari bukunya On Cosmopolitanism and Forgiveness. Saya akan melihat konsep pengampunan ini dalam kerangka filsafat Derrida yang lebih besar, yaitu dekonstruksi dan aporia. Untuk menajamkan wacana (serta kebutuhan) teologisnya, sekaligus supaya konsepnya bisa dipergunakan sebagai landasan praktis bagi tindakan pengampunan, maka saya memperbadingkan konsep pengampunan Jacques Derrida ini dengan konsep pengampunan yang terdapat dalam di GKJW, secara khusus Tata dan Pranata GKJW. Hal tersebut menimbang bahwa bagi GKJW, Tata dan Pranata GKJW adalah sebuah buku pedoman kehidupan bergereja.
Dari dan untuk GKJW, secara khusus berarti:
a. Dari GKJW, saya akan melihat konsep pengampunan Derrida dalam On Forgiveness dari konsep pengampunan yang selama ini dihidupi oleh GKJW dalam aras literernya, kemudian memperbandingkan kedua konsep pengampunan tersebut. Dalam hal ini terlebih dahulu saya akan menggali bagian-bagian buku pedoman penataan kehidupan bergereja di GKJW (Tata dan Pranata GKJW) yang berkenaan dengan pengampunan – dan membandingkan secara 6
kualitatif konsep pengampunan menurut Derrida dengan konsep pengampunan yang diikuti dalam tradisi GKJW.
b. Untuk GKJW berarti bahwa dari pertemuan dan perbandingan yang saya buat atas dua ‘teks’ ini, saya akan mencoba mencari konsep pengampunan yang realistis dan bersesuaian untuk konteks GKJW saat ini.
I.4 METODE PENULISAN
Dalam penulisan skripsi ini saya akan menggunakan metode deskriptif analitis, dengan menggunakan studi literatur. Metode ini adalah usaha menjelaskan sebuah pokok permasalahan dengan mendeskripsikan pokok-pokok pemikiran saya – dan yang saya afirmasi (dari kantongkantong pemikiran yang menyusunnya; dan dalam kerangka skripsi ini berarti tulisan On Forgiveness dan tulisan lain yang relevan dengan On Forgiveness dan Tata dan Pranata GKJW beserta perangkat, terutama teologis, penyusunnya). Dan mengujinya dengan usaha analisis kritis.
I.5 SISTEMATIKA PENULISAN
Berikut adalah sistematika penulisan yang saya rencanakan untuk mendeskripsikan secara analitis tema “Konsep Pengampunan Menurut Jacques Derrida dari dan untuk Konteks GKJW”:
BAB I Pendahuluan Bagian ini berisi latar belakang permasalahan, rumusan dan pembatasan atas masalah, berikut judul, metode penulisan, serta sistematika penulisan skripsi.
BAB II Derrida dan Pemikirannya Bagian ini akan mengulas mengenai siapakah Jacques Derrida beserta pokok-pokok pemikirannya. Dalam bab ini saya akan mengkhususkan terutama pada pokok pemikiran dekonstruksi dan aporia. 7
BAB III Konsep Pengampunan Derrida Pada bagian ini akan dipaparkan rumusan pengampunan menurut Derrida terutama dari tulisannya On Forgiveness dalam bukunya On Cosmopolitanism and Forgiveness. Dalam bab ini saya juga akan memberikan beberapa catatan kritis atas konsep pengampunan yang diajukan oleh Derrida ini.
BAB IV Pengampunan Derrida dari dan untuk Tata Pranata GKJW Dalam Bab ini saya akan melihat konsep-konsep dalam Tata dan Pranata GKJW (beserta landasan teologis penyusunannya) yang berhungan dengan tema pengampunan. Dan setelah melihat bagaimanakah konsep pengampunan yang ditawarkan oleh Derrida dan bagaimana upaya saya melihatnya secara analitis kritis, dalam bagian ini juga saya akan memperbandingkan pengampunan Derrida dengan konsep-konsep dalam Tata dan Pranata GKJW yang bersangkut paut dengan pengampunan. Serta berusaha mencari kemungkinan pengampunan yang lebih bersesuaian dengan konteks GKJW saat ini.
BAB V Penutup Bab ini akan berisi kesimpulan dari keseluruhan bab dalam skripsi saya.
8