BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Permasalahan. Kemajemukan merupakan realitas yang menjadi salah satu ciri dari kondisi masa sekarang ini. Di era modern yang untuk sementara kalangan sudah berlalu dan diganti dengan era paskamodern ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesatnya. Terutama sekali dalam perkembangan teknologi informasi membuat dunia seolah-olah menjadi semakin kecil. Beberapa peristiwa yang terjadi di suatu tempat dengan mudah dan cepat dapat saja diakses oleh orang yang berada dalam belahan dunia yang lain. Hal ini memungkinkan intensitas perjumpaan antara orang yang satu atau kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya menjadi semakin mungkin. Dunia ini tidak lagi menjadi sebuah tempat yang para penghuninya satu dengan yang lainnya sama sekali terasing melainkan secara alamiah terjadi suatu proses yang membuat dunia menjadi semakin global.
Proses tersebut memungkinkan setiap orang untuk menyadari bahwa di sekitarnya juga hidup orang lain yang sama sekali lain darinya. Proses ini bukanlah sebuah proses yang sederhana bahkan tidak jarang proses ini merupakan proses yang menyakitkan dan mungkin saja penuh dengan kekerasan. Untuk sebuah contoh sederhana saja, yang sering dialami dalam kehidupan sehari-hari kita di sini. Sebagai seorang Kristen apakah reaksi anda apabila anda melihat tayangan adzan di televisi? Atau apabila anda adalah seorang Muslim apakah reaksi anda ketika dalam masa paskah sebuah stasiun televisi menayangkan film Passion of The Christ? Atau kita dapat menyebutkan contoh yang lainnya. Tentu saja reaksi kita beraneka rupa, mungkin ada yang biasa saja tetapi tidak jarang atau bahkan mungkin kebanyakan terjadi ada reaksi yang sebenarnya mengungkapkan ketidaksukaan. Misalnya dengan segera mengganti saluran telivisi diiringi dengan omelan bernada mengejek. Contoh sederhana ini memperlihatkan betapa dengan perkembangan zaman saat ini kemajemukan menjadi realitas yang teramat faktual yang bahkan dapat menjumpai kita di ruang-ruang pribadi kita pada saat-saat yang juga sangat personal. Contoh ini juga membuktikan bahwa perjumpaan dari banyak hal yang berbeda itu tidaklah selalu mudah.
1
Tidak luput, kehidupan beragama pun menjadi semakin majemuk. Tentu saja hal ini merupakan sebuah problematika tersendiri. Apalagi dalam diri masing-masing agama itu terdapat nilai dan keunikannya masing-masing. Setiap agama memiliki misinya sendiri, dan hal ini semakin membuat kehidupan beragama dalam konteks kemajemukan itu menjadi penting untuk digumuli. Hidup dalam kemajemukan selalu mengandung tantangan tertentu dan mungkin saja ancaman. Hal ini bukanlah hal yang mudah tetapi hal ini tidak mungkin dihindari. Menolak kemajemukan menjadi usaha yang sangat mustahil di masa sekarang ini tetapi berkompromi begitu saja secara tanpa batas tentunya menjadi bumerang bagi identitas diri. Jadi perlulah setiap golongan agama memikirkan kembali mengenai keberadaannya di tengah konteks kehidupan yang majemuk sekarang ini.
I.2. Permasalahan. Secara sederhana esensi menjadi seorang Kristen dapat dimengerti sebagai upaya mengambil bagian dalam pelayanan kasih Kristus. Namun disini kita masih dapat terus bergumul dan merefleksikan lebih jauh dan lebih dalam mengenai hal tersebut. Refleksi – refleksi mengenai pokok tugas pelayanan kasih Kristus tidak lain adalah refleksi atas persoalan yang dikenal dengan istilah misi.
Apakah yang dapat direfleksikan tentang misi? Bagaimanakah misi itu dapat dimengerti ? David J Bosch seorang teolog yang memiliki spesialisasi mendalami misiologi mengatakan bahwa misi adalah pelayanan yang berwajah banyak1. Artinya dimensi misi itu dapat luas sekali mencakup berbagai bidang seperti contoh, kesaksian, pelayanan, pertobatan, oikumene, dsb. Oleh karena itu upaya untuk mendefinisikan misi ke dalam definisi yang tajam dan terperinci pada dasarnya akan mengaburkan arti misi yang sesungguhnya tetapi juga apabila segala sesuatu adalah misi maka tidak satupun yang dapat dikategorikan sebagai misi. Perlu juga misi itu didefinisikan namun pendefinisiannya bukanlah dalam artian teoritik tetapi lebih kepada penggambaran yang imajinatif dan kreatif yang menyentuh unsur afeksi.
1
Lih. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen – Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997, hlm. 786.
2
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah seperti penggambaran yang disebutkan di atas. Misi adalah tugas pelayanan kasih Kristus oleh gereja di dunia. Kita dapat melihat bahwa penggambaran ini masih dapat dikembangkan lebih jauh lagi. Kata kunci dari penggambaran tersebut adalah pada kata Kristus. Misi gereja pada dasarnya adalah penerusan karya Kristus di dunia, Kristus menjadi pusat dari misi. Namun tepat di sinilah persoalan itu muncul, bagaimanakah misi itu dijalankan apabila gereja yang melakukan misi Kristus itu berjumpa dengan komunitas yang berkepercayaan lain? Apakah sikap yang tepat yang harus diambil dalam konteks kemajemukan agama?
Melalui kesempatan kali ini penulis akan mencari jawaban dari pertanyaan tersebut dengan menggali dari pemikiran seorang pendeta jemaat yang juga salah satu teolog Indonesia, yaitu Pdt. Eka Darmaputera. Eka Darmaputera adalah seorang cendikiawan kristen yang menaruh perhatian yang cukup besar pada persoalan kemajemukan Indonesia dan bergulat dengan sangat serius untuk menghadirkan gereja sebagai gereja yang misioner dalam konteks tersebut. Dalam menyikapi kemajemukan di Indonesia Eka Darmaputera memandang Pancasila sebagai cara pengelolaan yang terbaik yang telah dipilih oleh bangsa Indonesia. Bahkan Eka sangat yakin bahwa Pancasila merupakan solusi terbaik bagi bangsa ini untuk mengatasi persoalan kemajemukan. Keyakinan atas Pancasila yang begitu kuat akhirnya membuat Eka terpacu untuk menempatkan Pancasila sebagai konteks berteologi bagi gereja di Indonesia, dan sebagai seorang pendeta jemaat Eka termasuk orang yang paling konsisten menyerukan keyakinan ini bahkan ketika Pancasila itu sendiri pada dekade terakhir ini banyak mendapatkan kritikan dan hujatan dari sebagian kelompok tertentu. Dalam situasi seperti itu sekalipun Eka tetap pada keyakinannya sampai ia menutup usia.
Lalu, persoalannya adalah, bagaimanakah gereja menjadi gereja yang misioner di tengah kemajemukan agama, Bagaimanakah Eka memahami dan menggambarkan misi? Apakah kenyataan kemajemukan agama menjadi perhatian Eka dalam pemahaman misinya?
Dalam kaitannya dengan konteks masyarakat Indonesia yang majemuk dengan Pancasila sebagai cara pengelolaannya secara khusus dalam hal kemajemukan agama, Eka menawarkan sikap
3
pluralisme dengan cara pengelolaan ”pro-eksistensi-kreatif”. Apakah yang dimaksud dengan sikap tersebut?
Apakah dalam pemahaman Eka mengenai misi dan sikapnya terhadap kenyataan kemajemukan agama di Indonesia, Eka sudah cukup memberikan tempat atas mereka Yang lain-Yang berbeda kepercayaan? Trisno S. Sutanto dalam catatan pengantar untuk buku penghargaan bagi Eka Darmaputera yang memuat teks teks terpilih Eka, menilai bahwa sikap Eka terhadap kemajemukan agama di satu sisi dapat dikatakan merelatifkan agama-agama namun di sisi lain juga dapat dikatakan tidak2. Maksudnya, agama-agama oleh Eka tidak serta merta dipandang sama saja (sedaya agami sami mawon) tetapi Eka melihat bahwa secara eksistensial, agamaagama itu memiliki kesamaan secara fungsional yaitu sebagai alat bagi Allah untuk mendatangkan kesejahteraan bagi dunia dan manusia. Apakah sikap atau cara pandang Eka ini merupakan sikap yang cukup memberikan tempat kepada Yang Lain-Yang Berbeda mengingat bahwa terdapat unsur perbedaan partikular dalam masing agama-agama?
I.3. Judul Skripsi. Berdasarkan latar belakang permasalahan dan permasalahan maka dipilihlah judul:
“SIKAP EKA DARMAPUTERA MENGENAI PERGULATAN KEHADIRAN MISIONER GEREJA DAN INTERELASINYA DENGAN PENGANUT AGAMA LAIN DALAM MASYARAKAT MAJEMUK INDONESIA ” Perjumpaan Antara Eka Darmaputera Dengan Paul F. Knitter I.4. Alasan dan Tujuan Penulisan. Eka Darmaputera dalam berbagai kesempatan dengan kerendahan hati selalu mengatakan bahwa dirinya bukanlah seorang teolog. Baginya, ia melihat dirinya sendiri sebagai “biasa-biasa” saja. Hanyalah seorang pendeta jemaat. Ia merasa tidak pernah bekerja dengan kerangka atau berdasarkan ide-ide besar tertentu. Yang ia kerjakan adalah sebuah respon atas realitas yang dihadapinya. Namun justru di sinilah letak kekuatan dari Eka Darmaputera, yakni, bahwa pemikirannya adalah refleksi yang langsung dan intens dengan realitas/pergumulan konkret 2
Martin L. Sinaga, Trisno S. Sutanto, Sylvana Ranty – Apituley, dan Adi pidekso (peny), PKKI, teks-teks terpilih Eka Darmapuetera,Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2001, hlm. 92-93.
4
kehidupan jemaat. Dengan demikian kita akan mendapatkan sebuah sumbangan pemikiran yang otentik karena disaksikan dari pengalaman otentik Eka selaku pengerja gerejawi, sebuah pemikiran yang sifatnya operatif – fungsional dan pada saat yang sama, oleh Eka, betapapun ia berangkat dari konteks di ”lapangan” ia selalu mendasarkan pemikirannya dengan dasar-dasar teologis yang berbobot sehingga tidak kehilangan kedalamannya.
Menarik pula untuk menyimak komentar dari almarhum Th. Sumartana mengenai Eka Darmaputera. Beliau mengatakan bahwa Eka Darmaputera ( baca: pemikiran ) dapat menjadi representasi dari kehidupan gereja di Indonesia. Mempelajari Eka Darmaputera berarti sekaligus juga mempelajari gerak kehidupan gereja (baca: Protestan) di Indonesia3. Agaknya ungkapan tersebut di atas tidaklah terlalu berlebihan untuk dikenakan kepada Eka Darmaputera. Mengingat di aras praksis kehidupan jemaaat, baik itu dalam lingkup yang kecil (jemaat lokal – GKI ) maupun yang lebih luas ( PGI bahkan CCA sampai DGD ), Eka Darmaputera memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi arah kebijakan organisasi, terutama sekali akan terasa betul dalam lingkup PGI. Pada masanya, pemikiran Eka Darmaputera ikut membentuk kebijakan PGI dalam hal sikap gereja tentang tempat, peran, dan tanggungjawabnya dalam relasinya dengan masyarakat dan negara.
I.5. Metode Penulisan. Akan dipakai metode penulisan analisa deskriptif dan penelitian pustaka terhadap tulisan-tulisan dari Eka Darmaputera.
Buku acuan yang utama adalah buku yang berjudul Pergulatan
Kehadiran Kristen di Indonesia – Teks-teks terpilih Eka Darmaputera. Sebuah Eka Darmaputera Reader yang disunting oleh Martin L. Sinaga, Trisno S. Sutanto, Sylvana RantiApituley, dan Adi pidekso, terbitan dari BPK Gunung Mulia. Pada bagian analisa penulis secara khusus memanfaatkan pemikiran Paul F. Kniter yang telah membuat pengelompokan sikap kristen ke dalam empat macam sikap kristen terhadap agama lain. Analisa Kniter itu ditulisnya
3
Martin L. Sinaga,”Debat Bersama T.H. Sumartana: Berteologi Pasca Eka Darmaputera”, dalam Jurnal Proklamasi No. 1/Th. I/September/ 2001, hlm. 22.
5
dalam sebuah buku yang berjudul No Other Name? A Critical Survey Of Christian Attitudes Toward the World Religions.
I.6. Sistematika Penulisan.
I.6.1.Bab I. Pendahuluan. Pada bagian ini memuat latar belakang permasalahan, permasalahan, judul, alasan dan tujuan penulisan, sistematika penulisan dan metode penulisan.
I.6.2. Bab II. Riwayat Hidup Eka Darmaputera dan Gagasan-gagasan Pokok Dalam Pemikiran Eka Darmaputera. Pada bagian ini akan dimuat riwayat hidup Eka Darmaputera, pemahaman misiologi Eka, dan Sikap Eka menghadapi realitas kemajemukan agama di Indonesia.
I.6.3. Bab III. Analisa Terhadap Pemikiran Eka Darmaputera. Pada bagian ini akan diuraikan mengenai empat model sikap Kristen atas agama-agama yang ditawarkan oleh Paul F. Kniter dan mengkategorikan sikap Eka masuk dalam kategori yang mana. Akan dipaparkan pula ulasan evaluatif atas sikap Eka terhadap realitas kemajemukan agama.
I.6.4.Bab IV. Penutup. Pada bagian ini akan berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan dan saran.
6