BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam yang berupa kayu saja, tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada lahan hutan. Kegiatan budidaya tersebut diperkirakan akan dapat membawa keuntungan baik dari segi ekonomis maupun dari segi ekologis, di mana kesuburan tanah akan tetap dapat dipertahankan tanpa mengubah fungsi pokoknya (Anonim, 2011). Perum Perhutani sebagai pemegang mandat dalam pengelolaan hutan di Pulau Jawa berupaya secara terus menerus untuk mensukseskan pelaksanaan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) guna menjamin kelangsungan fungsi dan manfaat sumber daya hutan. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan oleh Perhutani maupun masyarakat di sekitar hutan dalam rangka kegiatan pemanfaatan lahan di bawah tegakan tanaman pokok kehutanan yang dikenal dengan sistem tumpangsari (Sabarnurdin, 2003). Tumpangsari adalah salah satu bentuk agroforestri sederhana yang mengkombinasikan tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian dalam satu lahan (Sabarnurdin, 2003). Masyarakat, khususnya petani diberi ijin selama 3 tahun untuk menanam palawija maupun tanaman semusim lainnya di bawah tegakan muda. Seiring bertambahnya umur tegakan, tanaman pangan tidak dapat ditanam lagi di bawah tegakan. Hal ini disebabkan tidak semua jenis tanaman 1
pangan mampu hidup di bawah tegakan tua. Oleh karena itu diperlukan jenis tanaman pangan yang mampu hidup di bawah tegakan tua. Salah satu komoditas yang sesuai untuk dikembangkan pada lahan di bawah tegakan hutan adalah tanaman porang (A. oncophyllus). Porang adalah tanaman daerah tropis yang termasuk famili iles-iles (Faridah, 2005). Tanaman ini merupakan herba yang mempunyai batang tegak, lunak, batang halus berwarna hijau belang-belang putih. Tinggi tanaman dapat mencapai 1,5 m sangat tergantung umur dan kesuburan tanah (Ashadi, 2005). Salah satu sifat khas tanaman porang adalah mempunyai toleransi tinggi terhadap lingkungan yang ternaungi, sehingga tanaman ini tumbuh baik di pekarangan dan kawasan hutan (Pitojo, 2007). Porang juga mempunyai banyak manfaat dan nilai ekonomi yang cukup tinggi sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan dalam rangka Implementasi PHBM (Perum Perhutani, 2007). Salah satu manfaat porang adalah sebagai bahan pembuat konyaku (sejenis tahu) dan shirataki (sejenis mie) untuk masakan Jepang, serta sebagai pengganti agar-agar dan gelatin. Porang juga dapat dipakai untuk bahan perekat kertas, cat dan bahan mengkilapkan kain, serta bahan imitasi yang kualitasnya lebih baik dan lebih murah dibandingkan dengan amilum. Selain itu, porang juga bisa digunakan sebagai bahan negatif film, isolasi, dan pita seluloid karena sifatnya seperti selulosa. Umbi porang mempunyai kandungan glukomanan yang telah diteliti memiliki berbagai fungsi kesehatan, antara lain menurunkan kadar kolesterol, gula darah, dan berat badan (Vuksan et al., 1999). Hal ini yang menyebabkan minat
2
budidaya porang meningkat karena dapat diekspor. Jepang merupakan salah satu negara pengekspor terbesar porang. permintaan porang untuk Jepang sekitar 3000 ton per tahun, namun baru dapat tercukupi 600 ton per tahun (Pitojo, 2007). Tanaman porang sudah banyak dikembangkan oleh pihak Perhutani khususnya di desa Klangon, Perum Perhutani KPH Saradan, Jawa Timur. Di RPH Klangon, BKPH Pajaran, KPH Saradan, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, tanaman ini telah ada sejak tahun 1986 dan dibudidayakan secara intensif pada tahun 1999. Sebagian besar masyarakat desa Klangon menanam porang pada lahan di bawah tegakan (jati muda, sedang, tua, maupun sonokeling). Masyarakat desa Klangon dahulu mengenal tanaman porang sebagai tanaman liar yang tumbuh di hutan, pekarangan, dan kebun-kebun yang ternaungi pohon. Ketika itu masyarakat belum mengetahui manfaat dan nilai ekonomi tanaman porang yang cukup tinggi. Masyarakat desa Klangon umumnya menganggap bahwa tanaman porang ini sama dengan jenis suweg yang nilai jualnya rendah di pasaran. Tetapi saat ini harga jual porang cukup tinggi dan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010, harga umbi dalam keadaan basah Rp 2.500,00 – Rp 3.000,00 per kg, sedangkan dalam bentuk irisan kering Rp 20.000,00 – Rp 21.000,00 per kg.
3
1.2
Perumusan Masalah
Tanaman porang merupakan jenis tanaman yang mampu tumbuh di bawah naungan. Di desa Klangon, porang ditanam di bawah beberapa jenis tegakan, di antaranya di bawah tegakan jati dan sonokeling. Masalahnya, masyarakat belum mengetahui besarnya potensi produktivitas umbi porang yang dihasilkan pada tiap jenis tegakan. Selama ini potensi produktivitas hanya dilihat berdasarkan besarnya luasan lahan yang mereka kelola tanpa memandang jenis tegakan maupun kelas umurnya. Hal ini yang melatarbelakangi penelitian ini dilakukan. Besarnya potensi produktivitas umbi porang pada tiap jenis tegakan dengan intensitas cahaya yang berbeda selama ini belum diketahui. Hal ini penting untuk diteliti mengingat kemungkinan terdapat variasi produktivitas umbi porang pada tiap jenis tegakan dan intensitas cahaya, sehingga produktivitasnya dapat ditingkatkan.
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui pengaruh jenis tegakan terhadap produktivitas umbi porang di KPH Saradan. 2. Mengetahui pengaruh intensitas cahaya terhadap produktivitas umbi porang di KPH Saradan.
4
1.4
Manfaat Penelitian
1.
Bagi penulis, sebagai sarana pengembangan pola pikir dan sebagai syarat dalam menyelesaikan pendidikan sarjana kehutananan strata I pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
2.
Bagi masyarakat, untuk memberikan informasi mengenai jenis tegakan dan intensitas cahaya yang paling sesuai untuk pertumbuhan tanaman porang sehingga mampu meningkatkan produktivitas umbi porang.
3.
Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan menjadi bahan acuan untuk dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut.
5