BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Fenomena perpindahan penduduk sudah terjadi sejah dahulu kala dan bukanlah suatu hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Naim (1984:9) bahwa ada beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai mobilitas perpindahan yang cukup tinggi seperti orang Minangkabau, Banjar, Bugis, dan termasuk juga orang Batak. Bagian orang Batak yang cenderung intens melakukan migrasi adalah Batak Toba. Perpindahan penduduk Batak Toba dari dataran tinggi Toba Tapanuli Utara dalam era pra modern mulai sejak tahun 1900-an, terutama sejak terjadi ‘ledakan’ penduduk dan sulitnya memperoleh lahan persawahan. Pada awalnya daerah persebaran adalah ke daerah sekitarnya. Kemudian merembes ke daerah lain yang lebih jauh dari Tapanuli. Umumnya para migran didominasi oleh kaum tani dengan sasaran utama untuk memperluas areal pertaniannya. Mereka memasuki daerah Simalungun, Dairi, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tegah, Labuhan Batu, Deli Serdang, Aceh, bahkan sampai ke daerah Asahan (Purba, 1998:267). Dewasa ini, migrasi yang dilakukan oleh orang Batak Toba tidak hanya ke daerah pedesaan saja untuk memperluas areal persawahannya melainkan juga ke daerah perkotaan. Di samping itu, para migran Batak Toba juga tidak lagi didominasi oleh kaum tani melainkan kelompok masyarakat dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang lebih beragam. Hal ini dikarenakan,
Universitas Sumatera Utara
untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak migran Batak Toba harus memiliki bekal karena besarnya persaingan di kota baik dari kelompok etnik lokal maupun migran lainnya. Orang Batak Toba yang melakukan migrasi ke suatu daerah tentunya membawa serta budayannya. Di daerah yang baru tersebut, mau tidak mau orang Batak Toba akan berhadapan dengan masyarakat lain dengan kebudayaannya yang berbeda. Sebagaimana yang diungkapkan koentjaraningrat (1990:248) bahwa migrasi dapat menyebabkan pertemuan-pertemuan-pertemuan antar kelompok manusia dan kebudayaan yang berbeda, yang mengakibatkan individuindividu dalam kelompok itu dihadapkan dengan unsur kebudayaan yang lain. Salah satu kensekwensi arus migrasi Batak Toba adalah menjadikannya sebagai bagian dari keberagaman penduduk di daerah yang baru, selain keberagaman penduduk lokal dan migran lainnya. Daerah baru sebagai salah satu sasaran migrasi Batak Toba tersebut sebenarnya mencirikan masyarakatnya sebagai masyarakat yang heterogen. Suatu masyarakat heterogen memiliki keberagaman budaya yang berbeda dan tetap menjadi pedoman masing-masing warganya di tempat yang baru. Kenyataan tersebut juga diungkapkan oleh Pelly dalam Siallagan (1991:12) bahwa orang Batak Toba dimanapun berada akan tetap menggunakan norma-norma dan idiologi tradisionalnya untuk mengembangkan gaya hidup (sud budaya) sendiri, guna membedakan mereka dengan kelompok lain dalam situasi permukiman yang kontemporer. Orang Batak Toba yang melakukan migrasi juga memiliki kecenderungan untuk mengasosiasikan diri dalam suatu wadah
Universitas Sumatera Utara
organisasinya yang disebut dengan asosiasi klen 1. Asosiasi klen adalah suatu wadah tempat melakukan aktivitas yang berhubungan dengan adat dan kegiatan sosial dalam arti usaha tolong-monolong di antara sesama anggota klen di bawah pengaturan asosiasi (Situmorang, 1983:82). Selain terhimpun dalam asosiasi klen, orang Batak Toba juga membentuk asosiasi lainnya yang terhimpun dalam asosiasi sosial religi. Dalam asosiasi klen dan asosiasi sosial religi mereka dapat saling tolong-menolong dalam kaitannya dengan pelaksanaan upacara selingkaran hidup setiap individu seperti upacara kelahiran, upacara naik sidi atau upacara pada saat akil balik, upacara pernikahan, upacara kematian,dll. Demikian halnya orang Batak Toba yang bermigrasi ke Desa Gajah. Mereka membentuk asosiasi klen dan asosiasi sosial religius. Hal tersebut dapat dilihat dari keberadaan Puguan Raja Sonang, Gultom, Patambor (Manurun), Siagian,Toga Simatupang, Parna, Si Pitu Ama (Situmorang), Borbor Marsada (Malalu, Pasaribu, Lubis) dan lain-lain. Di samping itu, ada juga Serikat Tolongmenolong atau STM yakni STM Jalan Gereja, STM Jalan Kisaran, STM Jalan Siantar dan juga terdapat organisasi kepemudaan dari ketiga Serikat Tolongmenolong tersebut yaitu Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah yang disebut dengan PERMUSIMDES. Pembentukan asosiasi sesungguhnya didasarkan atas keinginan orang Batak Toba untuk membentuk kekuatan dalam melanjutkan budaya dan tradisi 1
Klen/clan adalah kelompok kekerabatan yang berdasarkan asas keturunan unilineal. Suatu kelompok kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat dengan menarik garis keturunan secara universal atau unilineal, yaitu melalui garis sepihak dari pihak ibu (matrilineal) atau garis ayah (patrilineal). Lihat Soyono, Ariyono & Aminuddin Siregar. 1985. Kamus Antropologi. Akademika Pressindo; Jakarta. Hal 204.
Universitas Sumatera Utara
Batak Toba. Pembentukan asosiasi dalam rangka melanjutkan budaya dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukan setiap asosiasi untuk menghidupkan atau melestarikan budaya Batak Toba yaitu gotong-royong yang tercermin dalam pelaksanaan upacara pernikahan, upacara mangoppoi jabu (upacara memasuki rumah baru), upacara kematian, dll. Dalam upacara tersebut mereka memberi sumbangan atau bantuan dalam bentuk uang, beras, dan tenaga. Sedangkan, pembentukan asosiasi dalam rangka melanjutkan tradisi dapat dilihat dari pelaksanaan tradisi gondang 2 Batak Toba. Orang Batak Toba mengenal 2 jenis emsambel gondang, yaitu ensambel gondang sabagunan dan ensambel gondang hasapi (Endo,1991:6). Kedua ensambel gondang ini digunakan sebagai pengiring tarian seremonial, yaitu tortor. Namun, bagi orang Batak Toba gondang sabagunanlah yang umumnya digunakan karena merupakan bagian integral dari adat dan merupakan simbol musikal adat (Purba, 2004:65). Ensambel gondang sabagunan merupakan ensambel yang memiliki suara yang besar sehingga selalu digunakan di luar ruangan dan hal ini sesuai dengan upacara yang selalu dilaksanakan orang Batak Toba yang selalu dilakukan di luar ruangan. Sedangkan, ensambel gondang hasapi merupakan ensambel yang suaranya kecil sehingga digunakan di dalam ruangan. Gondang sabagunan 3 memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan tradisional orang Batak Toba. Fungsi gondang sabagunan sendiri dalam
2
Kata gondang mempunyai banyak pengertian, bisa berarti instrument, ensambel musik, judul komposisi tunggal, judul komposisi kolektif, upacara, dan doa. Lihat Mauly Purba, 2000:25. 3 Gondang Sabangunan adalah seperangkat alat musik yang memiliki suara yang besar sehingga dimainkan di luar ruangan.
Universitas Sumatera Utara
kepercayaan agama tradisional dan upacara adat Batak Toba ialah sebagai salah satu elemen yang tidak dapat dipisahkan. Sama halnya dengan tortor dan gondang, keduanya berjalan seiring dalam suatu upacara adat Batak Toba. Dalam agama tradisional Batak Toba, gondang sabangunan di tempatkan sebagai media komunikasi antar manusia dan Tuhan Pencipta(http://kairo.nainggolan.net/?p=38). Kenyataan tersebut, terkait erat dengan adat hasipelebeguan 4. Gondang sabagunan digunakan diberbagai kesempatan atau upacara misalnya upacara religius, adat maupun hiburan. Penggunaan gondang sabagunan pada upacara religius seperti mamele (memuja roh nenek moyang), pesta bius (upacara kurban oleh komunitas desa) dan lain-lain. Pada upacara adat seperti acara pernikahan sekalipus mangadati (menyampaikan adat), manggoppoi jabu (memasuki rumah baru), mangokkal holi (memindahkan tengkorak orang mati), upacara kematian saur matua. Sedangkan, pada acara hiburan gondang sabagunan digunakan pada pesta gondang tunggal atau pesta muda-mudi (Nainggolan,1979:56). Orang Batak Toba di Desa Gajah juga menggunakan tradisi gondang sabagunan khususnya untuk kaum muda-mudi dalam pelaksanaan pesta yang dikenal dengan gondang naposo 5. Gondang sabagunan yang digunakan pada pesta gondang naposo tidak lagi murni menggunakan alat-alat musik dalam ensambel gondang sabagunan. Hal ini dikarenakan, masuknya ajaran agama kristen dan pengaruh budaya Barat ke tanah Batak yang membawa ensambel 4
Hasipelebeguan adalah kepercayaan pada dewa dalam mitologi Batak Toba, pada roh nenek moyang yang mendiami tempat-tempat sakral (Vergouwen, 1980:79). 5 Gondang Naposo adalah suatu kegiatan muda-mudi di Desa Gajah yang berlangsung selama 3 hari 2 malam yang diisi dengan acara menari/manortor yang diirngi oleh musik gondang. Acara Gondang Naposo juga dimeriahkan dengan kehadiran para undangan dari desa-desa lainnya.
Universitas Sumatera Utara
musik tiup atau musik Brass Barat, dll. Saat ini orang Batak Toba di Desa Gajah menggunakan musik tiup 6, keyboard, dan drum yang digabung dengan alat musik tradisi atau alat musik yang juga digunakan dalam gondang sabagunan. Misalnya taganing (seperangkat gendang yang terdiri dari 5 buah gendang) sedangkan sulim (seruling) adalah alat musik tiup. Godang naposo sebagai tradisi kaum muda-mudi di Desa Gajah merupakan kegiatan kaum muda-mudi yang terhimpun dalam asosiasi PERMUSIMDES (Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah). Aktivitas kaum muda-mudi di Desa Gajah yang tertuang di dalam pesta gondang naposo merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut dapat menunjukkan arti penting pelaksanaan gondang naposo bagi orang Batak Toba yang ada di Desa Gajah. Pelaksanaan gondang naposo dapat sebagai sarana hiburan di saat liburan, pencarian jodoh, sarana membangunan solidaritas, pengintegrasian orang Batak Toba di Desa Gajah, sarana komunikasi orang Batak Toba terhadap Tuhan dan sesama, sebagai kesinambungan budaya, sebagai sarana bagi kepentingan politik dan sebagai bentuk ekspresi idenditas orang Batak Toba terhadap kelompok etnik lain yang ada di Desa Gajah.
6
Musik tiup adalah ensambel yang berkembang khususnya sekitar tahun 1980-an sebagai satu ensambel yang berfungsi mengiringi upacara adapt pada masyarakat Kristen Batak Toba untuk menggantikan peranan ensambel musik gondang. Belakangan ada perkemabnagan dimana musik tiup yang didominasi oleh alat-alat musik Brass Barat yang digabung dengan alat musik tradisi yang berasal dari ensambel gondang dan alat-alat musik tradisi Batak Toba lainnya seperti sulim. Lihat Rithaony Hutajulu. 2006. Gondang Sabangunan Batak Toba. Hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana keberadaan gondang naposo sebagai suatu pesta muda-mudi Batak Toba di Desa Gajah ? Permasalahan ini diuraikan ke dalam 3 pertanyaan penelitian: 1. Bagaimana sejarah lahirnya gondang naposo di Desa Gajah ? 2. Bagaimana mekanisme pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah ? 3. Kepentingan apa saja yang termaktub melalui pesta gondang naposo?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tradisi gondang naposo yang ada di Desa Gajah. Untuk hal tersebut maka dideskripsikan sejarah lahirnya gondang naposo di Desa Gajah, mekanisme pelaksanaan gondang naposo (tahap persiapan, pembukaan, pelaksanaan, dan penutup), dan berikutnya mendeskripsikan kepentingan apa saja yang termaktub melaui pelaksanaan gondang naposo tersebut. Secara akademis penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan yang mengulas tradisi Batak Toba dalam rangka pelestarian tradisi gondang khususnya gondang naposo yang dapat dipahami sebagai simbol penguatan idenditas orang Batak Toba di luar daerah asal. Secara praktis penelitian ini dapat memberikan masukan-masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka membuat kebijakan yang terkait dengan pelestarian tradisi gondang Batak Toba khususnya gondang naposo.
Universitas Sumatera Utara
D. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Gajah tepatnya di Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan. Alasan pemilihan lokasi adalah karena Desa Gajah merupakan salah satu daerah perantauan orang Batak Toba di Asahan. Di Desa Gajah orang Batak Toba melaksanakan gondang naposo sebagai wujud ekspresi idenditas di tengah kelompok etnik lainnya. Lokasi penelitian merupakan daerah yang didominasi oleh mayoritas orang Batak Toba atau kampung Batak dan ditambah lagi Desa Gajah merupakan tempat kelahiran peneliti.
E. Tinjauan Pustaka Berbagai kajian terhadap masalah-masalah tradisi gondang Batak Toba telah dilakukan. Seperti kajian Simarmata (1992) tentang sikap masyarakat Batak Toba di Lumban Pea terhadap penggunaan seperangkat alat musik tiup pada upacara adat. Simarmata menjelaskan bahwa penetrasi agama kristen protestan ke Desa Lumpan Pea telah menimbulkan perubahan yang berhubungan dengan sistem religi tradisional yang umumnya tidak terlepas dengan tradisi gondang sabagunan. Namun, setelah masuknya agama kristen protestan gondang sabagunan di rubah dengan seperangkat alat musik tiup dalam acara gereja maupun dalam acara adat. Di samping itu, penggunaan alat musik tiup dapat menaikkan penghasilan di luar sektor pertanian bagi pemain musik dan dapat menaikkan prestise bagi warga masyarakat yang menjalankan adat. Kajian Simanjuntak (1993) tentang makna simbolik tortor Batak Toba, menjelaskan bahwa tortor dilaksanakan sehubungan dengan adanya masa-masa
Universitas Sumatera Utara
krisis dalam kehidupan seorang individu atau sekelompok orang yang dianggap penuh dengan keajaiban dan dapat menimbulkan malapetaka bagi bagi mereka. Pelaksanaan tortor tidak terlepas dari tradisi gondang sabagunan. Pelaksanaan tortor diiringi gondang sabagunan ini berhubungan dengan tata cara dan adat istiadat Batak Toba yang tidak terlepas dari unsur Dalihan Na Tolu. Di samping itu, tortor dilaksanakan karena berfungsi sebagai alat dalam upacara religi yang sakral, sebagai refleksi dan validasi organisasi sosial dan sistem kekerabatan, sebagai alat simbolisasi dan komunikasi, sebagai alat hiburan dan estetika. Kajian Kusuma (1995) tentang penggunaan alat musik tiup dalam upacara kematian saur matua suku bangsa Batak Toba. Kusuma menjelaskan bahwa setelah masuknya Zending Jerman di tanah Batak melahirkan perubahan pada kegiatan “margondang”. Pihak gereja melarang penggunaan gondang sabagunan yang selalu dikaitkan dengan kepercayaan asli orang Batak Toba yaitu sipelebegu (pemuja setan atau roh nenek moyang), seperti upacara magokkal holi (upacara pemindahan tengkorak), sibaran (upacara melepas kemalangan) dll. Dari ketiga kajian telah diuraikan sebelumnya menjelaskan mengenai pelaksanaan tradisi gondang Batak Toba secara umum. Sedangkan, masalah yang akan di kaji dalan penelitian ini secara khusus membicarakan pelaksanaan budaya gondang Batak Toba yaitu gondang naposo. Gondang naposo yang dilaksanakan di Desa Gajah menunjukkan suatu upaya penghidupan kembali tradisi Batak Toba di luar daerah asalnya. Dapat di pahami bahwa orang Batak Toba yang melakukan migrasi kesuatu daerah tak lupa membawa budayanya yang dijadikan sebagai pedoman di tempat yang baru.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana yang diungkapkan Ermansyah (2005:25) bahwa keberadaan seseorang atau sekelompok orang di tempat yang baru dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda mewujudkan 3 (tiga) proses sosial yang saling berkaitan, yaitu: Pertama, pengelompokan kembali di dalam latar belakang sosial budaya yang baru. Proses ini merupakan proses penting dalam hubungannya dengan proses adaptasi atau adanya kecenderungan dari seseorang atau sekelompok orang untuk tetap berhubungan dan menetap bersama warga kelompok asalnya di tempat yang baru. Kedua, proses rekonstruksi sejarah kehidupan seseorang atau sekelompok orang karena ada fase kehidupan yang baru terbentuk. Hal ini memiliki arti yang sangat berbeda bagi seseorang atau sekelompok orang, karena latar sosial budaya yang berbeda dengan latar sosial budaya dimana mereka menjadi bagian sebelumnya. Ketiga, proses rekonfigurasi “proyek-proyek” etnik mereka. Seseorang atau sekelompok orang yang berbeda di tempat baru akan menyusun kembali dan menegaskan idenditas kelompok atau kebudayaannya. Perubahan konteks atau latar sosial budaya menimbulkan kesadaran seseorang atau sekelompok orang untuk menegaskan kembali asal-usul dan idenditas kebudayaanya. Hal ini menunjukkan suatu proses reproduksi
Universitas Sumatera Utara
kebudayaan dapat dipahami dari 3 (tiga) aspek (Irwan Abdullah dalam Ermansyah, 225:26), yaitu: Pertama, aspek kognitif, yang melihat kebudayaan sebagai sistem gagasan yang merupakan pedoman hidup manusia. Untuk itu, gagasan dan berbagai aspek kehidupan seseorang atau sekelompok orang akan dikaji untuk melihat sistem kosmologis dalam rangka menjelasakan bentuk-bentuk reproduksi kebudayaan. Kedua, aspek evaluatif, yang merupakan standar nilai yang masih direproduksi dan digunakan untuk menilai kehidupan di tempat yang baru. Hal ini mengarah kepada analisis norma-norma dan nilai yang masih berperan dalam kehidupan seseorang atau sekelompok orang, meskipun di dalam latar belakang sosial budaya yang berbeda. Ketiga, aspek simbolik, yang merupakan bentukbentuk ekspresi kebudayaan yang dapat dilihat dari berbagai upacara dan kegiatan yang berlangsung. Keberadaan berbagai upacara tanda penting dari pelestarian kebudayaan. Demikian halnya orang Batak Toba yang ada di Desa Gajah juga mereproduksi kebudayaannya melalui pesta gondang naposo. Pesta gondang naposo merupakan kebudayaan Batak Toba yang di bawa dari daerah asal (bona pasogit). Gondang naposo tersebut direproduksi kembali di Desa Gajah. Proses reproduksi yang dimaksud adalah bahwa tradisi gondang naposo yang ada di
Universitas Sumatera Utara
daerah asal dilahirkan kembali di daerah yang baru atau di Desa Gajah dengan bentuk dan kepentingan yang berbeda. Perbedaan bentuk antara gondang naposo yang dilaksanakan di daerah asal dengan yang dilaksanakan di Desa Gajah dapat dipahami melalui perbedaan penamaan. Di daerah asal gondang naposo disebut sebagai gondang tunggal (pesta muda-mudi) dan Poltak Bulan Purnama sebaliknya di Desa Gajah disebut dengan pesta gondang naposo. Gondang naposo yang dilaksanakan di daerah asal berlangsung
selama
tujuh
malam
berturut-turut
(Nainggolan,
1979:77).
Sedangkan, gondang naposo yang dilaksanakan di Desa Gajah berlangsung selama dua hari dua malam. Alat musik yang digunakan di daerah asal masih murni seperangkat alat musik gondang sabagunan sedangkan alat musik yang digunakan pada pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah menggunakan alat musik tradisi yang dikombinasikan dengan alat musik modern seperti sulim, taganing, drum, keyboard, dll. Pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah memiliki nilai-nilai seperti yang terkandung dalam pelaksanaan gondang naposo di daerah asal. Hal ini dapat dipahami bahwa gondang naposo yang dilaksanakan di daerah asal maupun yang ada di Desa Gajah sama-sama sebagai sarana menjalin kebersamaan atau solidaritas, sebagai sarana komunikasi orang Batak Toba dengan Tuhan dan sesama. Hal ini tercermin dari gerak tari atau tortor yang dipagelarkan yakni gondang mula-mula yang merupakan tanda penghormatan kepada Tuhan, dan sesama. Sedangkan, gondang hasahatan si tio-tio merupakan ungkapan rasa
Universitas Sumatera Utara
terima kasih kepada Tuhan atas keselamatan yang telah diberikan kepada mereka (Lusiati dalam Malau, 2007:3). Melalui pelaksanaan gondang naposo sesama orang Batak Toba yang berada di Desa Gajah dan yang ada di sekitar Desa Gajah dapat terintegrasi. Sesama orang Batak Toba bertemu pada pelaksanaan gondang naposo, mereka saling melepas rindu dan menari bersama sehingga nilai-nilai dalam kehidupan orang Batak Toba yang berupa kegembiraan, kesedihan, perjuangan hidup, dan pengharapan diwujudkan melalui tortor yang diiringi oleh musik gondang (Sinaga, 1994:9). Salah satu nilai Batak Toba yang terlihat melalui pelaksanaan gondang naposo adalah nilai gotong-royong. Nilai ini tercermin melalui pemberian sumbangan berupa uang yang disebut dengan “silua” atau “santisanti” dari para undangan kepada penyelenggara pesta gondang naposo (suhut) secara timbal balik. Menurut Koenjaraningrat (1972:165) bahwa dalam masyarakat kecil prinsip timbal balik merupakan penggerak masyarakat dalam melakukan tindakan tolongmenolong. Demikian halnya sumbangan yang diberikan oleh undangan dalam pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah juga merupakan tindakan tolongmenolong yang juga mengharapkan balasan saat para undangan melaksanakan gondang naposo. Bagi orang Batak Toba yang ada di daerah asal, pelaksanaan gondang naposo hanya sebagai acara adat dalam rangka perwujudan kebudayaan saja. Namun, bagi orang Batak Toba yang ada Di Desa Gajah pelaksanaan gondang naposo direproduksi sebagai wujud ekspresi idenditas orang Batak Toba
Universitas Sumatera Utara
dihadapan kelompok etnik lain yang ada di Desa Gajah seperti Melayu, Jawa, Tapanuli Selatan, Nias dan Karo. Kenyataan tersebut dikuatkan oleh pendapat Koentjaranigrat (1974:104) bahwa kesenian (dalam hal ini gondang) merupakan satu-satunya unsur kebudayaan dari tujuh unsur kebudayaan universal yang dapat menonjolkan sifat khas atau idenditas. Jadi dapat dipahami bahwa gondang naposo yang dilaksanakan orang Batak Toba yang ada di Desa gajah bukanlah sekedar kegiatan muda-mudi semata, melainkan sebagai simbol penegasan idenditas orang Batak Toba di perantauan.
F. Metode Penelitian Penelitian ini bertipekan eksploratif deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan menggambarkan secara terperinci tradisi gondang naposo sebagai suatu kegiatan kaum muda-mudi di Desa Gajah yang terhimpun dalam asosiasi PERMUSIMDES (Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah). Penelitian ini juga mendeskripsikan sejarah lahirnya gondang naposo di Desa Gajah, mekanisme pelaksanaan gondang naposo (tahap persiapan, pembukaan, pelaksanaan, dan tahap penutup), dan berikutnya menjelaskan kepentingan yang termaktub melalui pesta gondang naposo tersebut. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui 2 kelompok yaitu melalui data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh di lapangan. Sedangkan, data sekunder merupakan data yang diperoleh dari lapangan, dari berbagai buku, jurnal dan lain-lain. Buku, jurnal dan yang lainnya terutama diarahkan untuk mendapatkan gambaran-gambaran tertulis mengenai
Universitas Sumatera Utara
kebudayaan Batak Toba secara khususnya data mengenai tradisi gondang naposo, data tertulis mengenai data kependudukan desa, teori-teori yang mendukung masalah penelitian, dll. Data primer diperoleh melalui observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Adapun hal yang diobservasi adalah proses pelaksanaan gondang naposo (tahap persiapan,pelaksanaan, tahap penutup), siapa-siapa saja pihak yang terlibat dalam sejarah pembentukan gondang naposo yang masih hidup dan pembentuknya sekarang, alat-alat apa saja yang digunakan dalam gondang naposo, tarian yang dipagelarkan dan lain-lain. Observasi partisipasi yang dilakukan dilengkapi dengan kamera photo untuk mengabadikan hal-hal yang tidak terobservasi peneliti di lapangan dan sebagai penegasan data yang diperoleh di lapangan. Selain observasi partisipasi, wawancara mendalam juga dilakukan dengan bantuan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan terhadap informan kunci dan informan biasa. Informan kunci merupakan orang-orang yang mempunyai keahlian mengenai suatu masalah yang ada di dalam masyarakat atau orang yang memahami masalah penelitian. Dalam hal ini informan kunci yaitu pemuka desa, kepala desa, tokoh masyarakat, pengerak atau panitia gondang naposo, pargorsi dan lainnya. Sedangkan,
informan biasa merupakan orang-orang
yang
memberikan informasi mengenai suatu masalah sesuai dengan pengetahuannya dan bukan ahlinya. Dalam penelitian aini yang menjadi informan biasa adalah masyarakat sekitar lokasi penelitian yang tidak terlibat secara langsung dalam
Universitas Sumatera Utara
kepanitiaan pelaksanaan gondang naposo, seperti muda-mudi maupun orang tua serta kelompok etnik lain yang ada disekitar lokasi penelitian. Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan kunci yaitu mengenai sejarah kedatangan orang Batak Toba di Desa Gajah, sejarah lahirnya gondang naposo, mekanisme pelaksanaan gondang naposo, siapa-siapa saja orang-orang yang ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan gondang naposo, alat-alat ayang digunakan dalam pelaksanaan gondang naposo khususnya alat musik yang digunakan dan kepentingan apa yang mereka dapat dari peleksanaan gondang naposo tersebut. Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan biasa yaitu mengenai bagaimana pandangan mereka mengenai pelaksanaan gondang naposo dan bagaimana mekanisme pelaksanaan gondang naposo serta kepentingan apa saja yang mereka peroleh dari pelaksanaan gondang naposo tersebut. Wawancara mendalam yang dilakukan menggunakan Tape Recorder sebagai alat bantu karena daya igat peneliti yang terbatas. Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara bertujuan atau purposif dalam arti bahwa orang-orang yang akan dipilih menjadi informan sudah diketahui oleh peneliti. Penentuan informan didasarkan atas kriteria umur, jenis kelamin, lama tinggal, dan lainnya. Dalam penelitian ini jumlah informan disesuaikan dengan kebutuhan data.
Universitas Sumatera Utara
G. Analisa Data Data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif. Proses analisa data penelitian dimulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan di lapangan. Data dikategorikan menurut kategori tertentu yang terkait diinterpretasikan sesuai dengan data dan kemampuan peneliti. Analisa data dilakukan mulai pada saat meneliti atau selama proses pengumpulan data berlangsung hingga penulisan laporan penelitian.
Universitas Sumatera Utara