BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat
disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya, bakteri, virus, dan parasit. Dari ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan penyakit menular dari hewan ke hewan maupun dari hewan ke manusia atau yang dikenal dengan penyakit zoonosis. Salah satu gejala klinis dari penyakit yang dapat terjadi karena infeksi bakteri E. coli yaitu hemolictic uremic syndrom (HUS) dan strain bakteri ini biasanya ditemukan pada ternak sapi sebagai reservoirnya (Andriani, 2005). Sapi bali (Bos sondaicus) adalah jenis sapi asli Indonesia yang diduga dari keturunan banteng yang sudah didomestikasi dan merupakan plasma nutfah ternak asli Indonesia (Wibisono, 2010). Sapi bali juga mudah beradaptasi di lingkungan yang buruk dan tidak selektif terhadap makanan. Selain itu, sapi bali cepat beranak, jinak, mudah dikendalikan dan memiliki daya cerna terhadap makanan serat yang baik (Batan, 2006). Escherichia coli merupakan flora normal sistem pencernaan hewan berdarah panas dan Manusia (Kaper et al., 2004). E. coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek yang memiliki panjang sekitar 2 µm, diameter 0,7 µm, lebar 0,4 - 0,7µm dan bersifat anaerob fakultatif. E. coli membentuk koloni yang bundar, cembung dan halus dengan tepi yang nyata (Smith-Keary, 1988 ; Jawetz et al., 1995). E. coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran pencernaan meningkat atau berada di luar usus. E. coli menghasilkan
1
2
enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare. E. coli berasosiasi dengan enteropatogenik menghasilkan enterotoksin pada sel epitel (Jawetz et al., 1995). Beberapa strain Escherichia coli merupakan bakteri yang patogen, karena kemampuannya menyebabkan penyakit saluran cerna pada manusia seperti diare (Hendrayana et al., 2012). Escherichia coli patogen didefinisikan dan dibagi menjadi
enam
verotipe:
enterohemorrhagic
Escherichia
coli
(EHEC),
enteropathogenic E. coli (EPEC), enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroaggregative E. coli (EAEC), diffusely adherent E. coli (DAEC), enteroinvasive E. coli (EIEC) (Nataro and Kaper, 1998). Virotipe Enterohemorrhagic E. coli diketahui sebagai agen bakteri yang membahayakan dan bersifat zoonosis yang salah satu serotipenya adalah serotipe E. coli O157:H7 (Heuvelink et al., 1999). Hewan yang sehat, terutama jenis ruminansia (sapi, kambing, domba) dan babi diketahui mengandung sejumlah besar shigella toxin escherichia coli (STEC) dan E. coli O157:H7 dalam kotoran mereka, sehingga dilaporkan bahwa jenis hewan tersebut dikenal sebagai reservoir alami E. coli O157:H7 (Rey et al., 2006). Resistensi bakteri terhadap antibiotika terjadi ketika bakteri berubah dengan cara mengurangi atau menghilangkan efektivitas obat-obatan, bahan kimia atau agen lain yang dirancang untuk menyembuhkan atau mencegah infeksi (Bisht et al., 2009). Resistensi E. coli terhadap berbagai antibiotika telah banyak dilaporkan, khususnya antibiotika golongan β-laktam (Noviana, 2004). Kecamatan Abiansemal adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Badung Utara Wilayah Abiansemal termasuk dataran rendah yang memiliki ketinggian
3
antara 75 – 350 meter diatas permukaan laut dengan suhu terendah 22ºC dan suhu maksimum 28ºC. Rata-rata curah hujan di Kecamatan Abiansemal yaitu 180,2 mm. Menurut data puskeswan Abiansemal tahun 2013 antibiotika yang sering dipergunakan untuk pengobatan adalah ampisilin, oxytetracycline, penisilin, streptomisin, dan sulfametoksazol. Bertitik tolak dari permasalahan diatas, maka penelitian tentang kepekaan E. coli O157:H7 isolat lokal sangat diperlukan sehingga apabila terjadi kasus penyakit yang disebabkan bakteri ini dapat dipilihkan antibiotika yang tepat dalam rangka pengobatan terhadap ternak yang sakit akibat infeksi bakteri ini. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut : Bagaimana pola kepekaan E. coli O157:H7 yang diisolasi dari feses sapi terhadap antibiotika Penisilin G, Ampisilin, Sulfametoksazol dan Streptomisin. 1.3
Tujuan Penelitian Mengetahui pola kepekaan bakteri E. coli O157:H7 yang diisolasi dari feses
sapi lokal terhadap antibiotika Penisilin G, Ampisilin, Sulfametoksazol dan Streptomisin. 1.4
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang pola
kepekaan bakteri E. coli O157:H7 yang diisolasi dari feses sapi terhadap antibiotika Penisilin G, Ampisilin, Sulfametoksazol dan Streptomisin. Sehingga
4
dapat digunakan sebagai pedoman dalam pengobatan infeksi E. coli O157:H7 pada ternak sapi. 1.5
Kerangka Konsep Kesehatan hewan dan kesehatan manusia sangat erat kaitannya karena
adanya sejumlah besar penyakit zoonosis dan dampak dari ternak yang tidak sehat pada makanan manusia. Oleh karena itu organisasi dunia untuk kesehatan hewan (OIE) membantu untuk mengembangkan konsep 'One Health' dan fokus kebijakan strategis pada kebutuhan, untuk memastikan kesehatan hewan dan kesejahteraan manusia di seluruh dunia (Orand, 2012). Escherichia coli O157:H7 adalah bakteri yang mempunyai peran cukup penting dalam penyakit zoonosis. Infeksi E. coli O157:H7 pada manusia menyebabkan gejala haemorragic colitis (HC) dan haemolytic uraemic syndrome (HUS), sedangkan pada ternak sapi infeksi E. coli O157:H7 menunjukkan gejala diare berlendir sampai berdarah dalam 18 jam pasca infeksi, tetapi sapi dewasa yang terinfeksi E. coli O157:H7 tidak menunjukkan gejala klinis atau asimptomatis (Suardana et al., 2013). Penisilin adalah antibiotika semi-sintetis yang berasal dari cetakan genus Penicillium dan banyak digunakan pada manusia dan obat-obatan dokter hewan. Penisilin G adalah benzylpenisilin, biasanya disediakan sebagai garam natrium atau kalium. Efek bakterisidal dari penisilin disebabkan inhibisi sintesis dari dinding sel bakteri (Wagner et al., 2012). Antibiotika ampisilin bersifat bakterisidal yang menghambat sintesis dinding sel bakteri untuk berikatan dengan Enzim peptidoglycan (Bangen et al., 2004). Karena berasal dari antibiotika β-laktam maka mekanisme resistensi penisilin dan ampisilin memiliki kesamaan,
5
yaitu terjadinya pembentukan enzim betalaktamase yang di ekskresikan keluar oleh bakteri Gram negatif dirongga periplasmik diantara membran sitoplasma dan dinding sel bakteri. Kebanyakan jenis β-laktamase dihasilkan oleh bakteri melalui kendali genetik oleh plasmid. Enzim autolisin bakteri tidak bekerja sehingga timbul sifat toleran bakteri terhadap obat. Bakteri dapat resisten terhadap antibiotika golongan aminoglikosida karena terjadi kegagalan penetrasi obat ke dalam bakteri, karena rendahnya afinitas obat pada ribosom atau inaktivasi obat oleh enzim bakteri. Resistensi pada sulfonamid disebabkan oleh mutasi yang meningkatkan produksi p-aminobenzoic acid (PABA) atau mengubah struktur molekul enzim yang berperan dalam sintesis folat sedemikian rupa sehingga afinitasnya terhadap sulfonamid menurun (Gan dan Istiantoro., 2007). Memperhatikan permasalahan diatas diketahui jika penggunaan antibiotik dari waktu ke waktu dapat berkurang daya sensitifitasnya atau bahkan resisten terhadap E. coli O157:H7. Hal ini ditunjang dengan hasil penelitian Reuben et al. (2013) yang menunjukkan aktivitas antibiotika sulfametoksazol / trimetoprim 84,2% resisten, penisilin 100 % resisten, streptomisin 42,1 % resisten. Berdasarkan kerangka konsep diatas maka penelitian tentang uji sensitivitas (sensitivity test) E. coli O157:H7 asal feses sapi di Kecamatan Abiansemal terhadap antibiotika penisilin G, ampisilin, sulfametoksazol dan streptomisin dilakukan, dengan harapan dapat dipertimbangkan penggunaan antibiotika yang tepat terhadap infeksi E. coli O157:H7.