BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pemahaman manusia terhadap makna agama menentukan sikap terhadapnya. Bagi para pemeluk agama yang berusaha taat, agama adalah jalan hidup yang menjadi acuan segala tindakan. Seorang yang memaknai agama sebagai ‘sesuatu yang adanya hanya berdasarkan keyakinan’ saja, melahirkan pemahaman agama yang taklid. Agama disikapi sebagai suatu prinsip yang tidak perlu diperdebatkan dan cukup diyakini saja. Sehingga, sikap mereka dalam berkehidupan (agama) cenderung tertutup (eksklusif). Sebaliknya, seseorang yang mempunyai pandangan bahwa, agama sebagai jalan hidup yang dinamis harus dimaknai secara kontekstual. Agama dihadirkan sebagai suatu ‘paket’ produk yang keberadaannya tidak lepas dari campur tangan manusia sehingga layak untuk dipertanyakan. Disisi lain, pesan kebijaksanaan yang melekat pada agama dinilai beberapa kalangan sebagai suatu ‘kerumitan yang tidak menemukan titik kepastian. Kebenaran yang dibawa agama tidak memberikan kejelasan ‘bukti terkait asal-usulnya. Sehingga, orang-orang yang mempunyai pemahaman demikian melahirkan sikap penolakan akan kebenaran agama. Pemahaman mereka tentang kebenaran menegasikan kebijaksanaan yang dibawa oleh agama. Pemaknaan terhadap agama demikian melahirkan pengamalan dan sikap terhadap agama yang beragam pula. Contoh sikap yang didasarkan pada pemahaman terhadap makna agama dapat diangkat pada berbagai periode zaman. Pada zaman modern misalnya; corak
1
2
pandang hidup di zaman modern adalah bertumpu pada rasio. Agama sebagai ‘wadah untuk kehidupan yang secara gamblang ditimbang secara rasional. Secara spesifik bagi kaum intelektual zaman modern, segala sesuatu yang misterius tidak lain adalah ketidaktahuan manusia sehingga harus dibuktikan secara positivistik. Padahal, sejatinya setiap agama tentunya mengandung nilai-nilai yang bersifat ortodoks (sakral) yang tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh nalar (rasio). Franz Magnis-Suseno (2006: 53) mengatakan, bagi kaum modern yang mengagungkan rasio, agama seluruhnya harus dapat dimengerti oleh nalar. Sehingga, agama direduksikan menjadi ajaran moral, suatu lembaga untuk membuat manusia bertindak beradab. Takhta rasionalitas dan makna tidak lagi milik Allah melainkan rasio dan kehendak manusia itulah yang menjadi titik fokus kesatuan dan arti (Wora, 2006: 55). Agama bagi kaum modern tidak lain adalah alat untuk suatu tujuan tertentu dan melepaskan makna agama sebagai suatu yang integral dalam kehidupan. Modernisme kemudian berkembang dan memuncak dengan lahirnya saintisme pada perumusan perkembangan budaya manusia melalui konsep positivisme yang dikembangkan Auguste Comte. Perumusan tersebut terdiri atas tiga tingkatan; pertama mitos-agama, kemudian tingkatan kedua yaitu filsafat dan tingkatan ketiga adalah positivistik. Atau dalam bahasa Magnis-Susno (2006: 56) yaitu hokum tiga tahap. Tiga tahap yang bersifat hirarkis ini menurut Comte yang menggerakkan peradaban umat manusia.
3
Pola pemikiran yang digagas oleh Auguste Comte ini menjadi peletak dasar perkembangan ilmu pengetahuan yang diikuti dan terus dikembangkan oleh para intelektual/ilmuwan zaman modern. Mitos dan agama yang dianut masyarakat dianggap sebagai tahapan perkembangan kebudayaan manusia yang paling awal. Jadi, menurut Comte, cara berfikir manusia, juga masyarakat di mana pun akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah melampui tahap theologik dan metafisik (Wibisono, 6). Tahapan positivistik yang menurutnya puncak kebudayaan manusia dan dapat dipertanggungjawabkan. Peneliti memandang, dalam pola yang dikemukakan Comte tersebut terdapat kekeliruan. Hal ini disebabkan oleh pencampuran atara mitos dengan agama. Agama dinilai Comte adalah suatu yang setara dengan mitos. Padahal, dalam peranan perkembangan ilmu, keduanya an sich berbeda. Agama justru memungkinkan pendekatan ilmiah karena, dengan membedakan antara Tuhan dan alam dunia, agama memungkinkan pendekatan duniawi (Magniz-Suseno, 2006: 63). Hal inilah yang melatarbelakangi sikap orang modern terhadap kebenaran (dalam) agama secara skeptis dan cenderung atheis. Di zaman pra-modern (dimana semua agama-agama besar dunia dapat ditemukan di zaman ini), sikap masyarakat yang mempunyai corak pemikiran Postmodern, yang secara sistemtatis digagas oleh Jean Francois Lyotard memposisikan agama dalam pandangannya juga tidak kalah cerobohnya. Konsepsi individual yang memandang makna kebenaran didasarkan pada konteksnya masing-
4
masing membuat universalitas dalam agama gugur. Dalam postmodernisme, segala grand narrative (narasi besar)-jalur strategi intelektual yang mengklaim bahwa ada prinsip-prinsip kebenaran, kesejahteraan, makna kehidupan, dan moral yang bersifat universal- ditolak dan diganti dengan narasi-narasi kecil, dengan nilai-nilai mitos, spiritual, dan ideologinya yang spesifik (Haber, 1994: 4). Postmodernisme yang proyek besarnya lahir sebagai kritik terhadap pemikiran corak modern menyamakan universalitas kebenaran rasio yang dianut oleh kaum modern dengan konsepsi kebenaran universal yang terdapat dalam keyakinan umat beragama. Sehingga masyarakat dengan corak pemikiran Postmodern meyakini kebenaran yang pada kenyataannya adalah bersifat plural. Tidak ada kebenaran universal. Keyakinan akan pluralitas kebenaran kemudian akan melahirkan pemahaman makna hidup yang partikular. Corak pemikiran demikian-lah yang kemudian melahirkan pemahaman akan realitas dan makna hidup yang bermasalah. Kaum perenial berpendapat, pluralitas postmodernisme adalah sebuah pluralitas yang simpang siur, liar dan tak beraturan, serta penuh kontradiksi. Dalam pluralitas postmodernisme, tidak ada saling keterkaitan di antara unsur-unsur pluralitas tersebut (Wora, 2006: 105). Dengan penolakan konsep universalitas ala Lyotard tersebut secara otomatis juga menafikan pembahasan yang masuk pada ranah metafisika. Keyakinan akan adanya realitas dibalik realitas yang tampak dalam kajian metafisika menjadi nihil. Begitupun dalam memahami agama, Tuhan yang terdapat dalam keyakinan umat beragama menjadi tidak terbaca, baik itu Tuhan yang
5
bersifat personal (transendent), dan bahkan Tuhan yang diyakini adanya sebagai realitas yang impersonal (immanent). Faktor demikianlah yang menggeser hakikat agama dan pada saat yang sama mencabut rasa religiusitas di zaman ini. Realitas dalam pandangan modern dan postmodern adalah bersifat bineritas; modern dengan corak rasio yang bersifat universal, dan postmodernisme mengakui kebenaran yang bersifat plural, pada posisi tersebut kaum perennial menjadi sintesa dari keduanya. Perenialisme mengakui kebenaran yang plural sekaligus terdapat unsur yang bersifat universal. Pluralitas perenialisme adalah sebuah pluralitas terintegrasi (Wora, 2006: 112). Realitas dipandang sebagai suatu yang bersifat plural juga saling terkait satu sama lain. Jadi, pandangan terhadap realitas itu boleh berbedabeda, namun realitas itu sendiri Cuma satu, dan menyeluruh (Wora, 2006: 114). Adalah Frithjof Schuon sebagai salah satu tokoh religio Perennis yang beranggapan bahwa, salah satu penyelewenangan yang secara tidak langsung diwariskan Renaissance kepada kehidupan modern adalah kebingungan sekitar agama dan tanah air dalam kultus sentimental ‘humanisme’ (Schuon, 2002: 35). Menurut Schuon, realitas pada hakikatnya adalah satu. Pemahaman akan realitas yang hakiki tersebut adalah ditempuh dengan jalan intuisi. Namun demikian, meskipun pemahaman realitas didasarkan atas pengalaman intuisi yang bersifat personal, pengenalan akan dasar-dasar tentang realitas tersebut adalah dengan jalan agama. Agama adalah metode yang tidak dapat ditinggalkan untuk memahami hakikat realitas.
6
Frijhtof Schuon hadir dengan corak filsafat perennial juga religius. Schuon adalah pemikir Muslim kontemporer penganjur pluralisme religius (M. Legenhausen, 2010: 51). Meskipun ia mengakui perbedaan berupa pluralitas kebenaran yang terdapat dalam setiap agama, namun ia juga mengharuskan seseorang yang ingin memahami realitas sejati dengan mengikuti satu jalan (bentuk) melalui agama tertentu, meskipun pada akhirnya akan berakhir pada muara yang sama, yaitu hakikat kebenaran. Menurut Schuon, agama Islam, Kristen, Yahudi dan lain-lain adalah hanya sebuah bentuk. Agama, merupakan jalan-jalan yang dapat mencapai pemahaman akan realitas sejati, yaitu Tuhan. Bagi Schuon, inti agama ditemukan dalam realitas transenden (Smith, 2003: xxi). Hal inilah yang menarik peneliti untuk mengkaji pemikiran Schuon, tentang hakikat agama: adalah bentuk dan Tuhan adalah esensi merupakan pendekatan yang baru dalam ulasan teologis-filosofis. Selain itu, masih jarangnya penelitian yang mengangkat Frithjof Schuon sebagai tokoh kajian menjadi alasan tersendiri bagi peneliti untuk mengkaji pemikirannya. B. Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan tiga masalah kajian dalam penelitian ini. Rumusan masalah tersebut, yaitu: 1. Apa makna agama dalam perspektif filsafat agama? 2. Apa pandangan Frithjof Schuon tentang makna agama? 3. Apa relevansi Pemikiran Frithjof Schuon dengan pluralitas agama di Indonesia?
7
C. Keaslian Penelitian Peneliti telah melakukan telaah atas berbagai karya baik berupa buku-buku ilmiah, skripsi, tesis, jurnal, ataupun sumber ilmuah lain, dan berpendapat belum ada kajian pemikiran Frithjof Scoun dalam pespektif filsafat agama di lingkungan Universitas Gadjah Mada. Meskipun banyak pemikir, ahli sejarah dan perbandingan agama sering memakai pola pemikiran yang dikembangkan Schuon sebagai landasan atau dasar dalam teori/konsep mereka, namun belum ada yang mengkaji pemikiran Schuon dengan tema demikian secara sistematis. Peneliti beranggapan, ada beberapa literatur yang relevan dan dapat mendukung penelitian ini baik yang didapat dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan berbagai penelitian di beberapa lingkungan akademik lainnya . Berikut ulasan singkat terkait penelitian tersebut. Pertama, Metafisika Frithjof Schuon, adalah skripsi yang disusun oleh Guruh Salafi pada tahun 2004. Guruh Salafi menjelaskan dalam skripsinya tersebut pengertian dan konsep matafisika secara umum dalam pandangan Fritjhof Schuon. Kedua, Laporan Penelitian (LAPEN) yang berjudul Filsafat Agama yang disusun oleh Mustofa Anshori Lidinillah pada tahun 2007. Dalam tulisan tersebut, Mustofa Anshori tidak menyinggung pemikiran Frithjof Schuon, ia hanya mengulas pengertian filsafat agama sebagai metode untuk memahami agama secara filosofis. Ketiga, Disertasi di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2011 berjudul Pluralitas Agama: Studi Komparatif Pemikiran Frithjof Schuon
8
dan Nurcholish Madjid. Disertasi yang disusun oleh Ngainun Naim ini mengkaji pemikiran spiritual subjektif Frithjof Schuon yang kemudian ditarik Naim dalam rangka menjawab problem konflik agama di Indonesia. Naim membandingkan pemikiran agama Frithjof Schuon yang bertitik tolak pada pengalaman agama yang bersifat personal dengan pemikiran sosial agama yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid. Naim berpendapat bahwa terdapat keselarasan pemikiran kedua tokoh tersebut dalam menjawab problem pluralitas agama di Indonesia yang masih sering muncul. Hasilnya, pluralitas agama di Indonesia dinilai tidak menjadi penghalang untuk kelangsungan dalam berkehidupan di Indonesia. Keempat, penelitian Disertasi tahun 2012 oleh Dinar Dewi Kania yang berjudul Studi Komparatif Pemikiran Epistemologi Frithjof Schuon dan Syed Muhammad Nuqaib al-Attas di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor. Dinar dalam penelitian ini mengulas konsep epistemologi yang menjadi landasan dalam Frithjof Schuon. Dinar mengemukakan bahwa, intuisi yang dikembangkan Schuon telah membuka cakrawala pemikirannya yang lebih luas. Epistemologi dalam corak intuisi Schuon merupakan suatu tawaran perspektif dalam menghadapi krisis kebijaksanaan di abad modern. Berdasarkan hasil telaah peneliti terhadap berbagai karya yang relevan sebagaimana telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada penelitian yang sama dengan akan akan disusun peneliti, baik dalam pemikiran Frithcjof Schuon ataupun konsep eksoterisme dan esoterisme dalam perspektif filsafat agama.
9
D. Manfaat Penelitian Penelitian pemikiran dalam filsafat agama dengan tokoh Frithjof Schuon ini diharapkan dapat membawa manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap wawasan
dan
khazanah
keilmuan
filosofis
terkait
makna
dan
pengahayatan agama. Penelitian ini bisa membawa manfaat bagi kaum intelektual dan akademisi di lingkungan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta secara khusus, maupun bagi bangsa dan Negara secara umum untuk bersikap ilmiah, religius dan bijaksana dalam berbagai segi kehidupan 2. Manfaat Praktis 1. Memperoleh pengetahuan tentang konsep esoterisme dan eksoterisme Frithjof Schuon dalam penghayatan agama. 2. Sebagai
tambahan
pengetahuan/perspektif
untuk
mendukung
pembangunan karakter bangsa Indonesia.
E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1.
Menjabarkan dan menganalisis makna agama dalam perspektif filsafat agama.
10
2.
Menjabarkan, menganalisis, dan menginterpretasikan makna agama dalam pemikiran Fitjhof Schoun dalam perspektif Filsafat Agama.
3.
Kontekstualisasi konsep atau makna agama dalam pandangan Frithjof Shuon dengan pluralitas agama di Indonesia.
F. Tinjauan Pustaka Peneliti telah melakukan tela’ah terhadap karya-karya yang terbatas, beberapa karya yang relevan dengan penelitian ini antara lain adalah karya Frithjof Schuon sendiri, yaitu, “The Transcendent Unity of Religions” (1975) yang dialihbahasakan oleh Saafroedin Bahar menjadi Mencari Titik Temu Agama-agama. Pembahasan makna agama dalam buku ini cukup komprehensif. Schuon memaparkan dasar-dasar filosofis dalam pemikirannya, antara lain tentang metafisika dan kebenaran, dan pegertian agama-agama besar dunia. Dimensi-dimensi filosofis tersebut kemudian diulas kembali oleh Schuon dalam karya selanjutnya, “Islam and The Perennial Philosophy” (1976) yang dialihbahasakan oleh Rahmani Astuti menjadi Islam dan Filsafat Perenial. Pembahasan tentang keragaman agama yang merupakan manifestasi dari Tuhan (yang satu) juga terdapat dalam buku ini, hanya saja, penjelasan tentang agama Islam mendapat porsi yang lebih banyak. Berbeda dengan kedua buku di atas, karya Schuon yang berjudul “The Transfiguration of Man” (1995) yang diterjemahkan oleh Fakhruddin Faiz menjadi Transfigurasi
Manusia:
Refleksi
Antrosophia Perennialis (2002)
mengulas
11
perkembangan manusia berkaitan dengan agama. Selain itu, agama-agama besar dalam buku itu diulas dari garis sejarah lahirnya. Pandangan Frithjof Schuon tentang agama sebagaimana yang didiskripsikan di atas, pernah diulas oleh Komar dalam kajian tesisnya yang berjudul Konsep Kesatuan Transenden sebagai Salah Satu Solusi Konflik Atas Nama Agama: Perspektif Filsafat Perennial Frithjof Schuon tahun 2007. Dalam kajian tersebut, Komar (2007: iv) mengatakan bentuk agama-agama yang dimaksud Frithjof Schuon adalah dalam dimensi eksoteris yang bersifat relatif, namun di dalamnya terkandung muatan substansi yang sama dan mutlak pada dimensi esoteris. Inilah yang disebut dengan kesatuan transenden agama-agama. Dalam kajiannya tersebut, Komar berpendapat bahwa pemikiran Frithjof Schuon tersebut sangat relevan untuk dijadikan pintu masuk dialog antar umat beragama. Ngainun Naim dalam disertasinya yang berjudul Pluralitas Agama: Studi Komparatif Pemikiran Frithjof Schuon dan Nurcholish Madjid (2011) mempunyai harapan yang sama akan terciptanya pluralitas agama melalui dialog antar agama. Konsep eksoterisme dan esoterisme yang dikemukakan Frithjof Schuon menurut Naim adalah keniscayaan. Keragaman agama-agama adalah kenyataan yang harus dihormati (Naim, 2011: x). Riset kepustakaan yang diterapkan Naim dalam penelitiannya ini adalah dengan metode historis, komparatif, deskriptif-analisis dan sintesis (Naim, 2011: 30-33).
12
Nurcholish Madjid dalam Pengantar untuk buku Tiga Agama Satu Tuhan (1990:xxvii) menarik konsep tersebut kerana yang lebih praktis, ia menghimbau kaum inklusif (Muslim) diperintahkan untuk membuka diri dan mengajak kaum ahli kitab menuju ke “pokok-pokok kesamaan”, yaitu menuju ke ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa (Monoteisme, tawhid). Dengan mengutip N.J. Woly (1998), Nurcholish Madjid memetakan perlunya dialog antar agama untuk memperjernih makna agama dalam tiga sikap dialog berikut: Pertama, sikap yang ekslkusif dalam melihat agama lain. Kedua, sikap inklusif dengan memandang agama-agama lain adalah bentuk implisit agama yang dianut. Ketiga, sikap pluralis dalam pengertian, memandang agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama. Agamaagama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran yang sama. Adapun beberapa karya lain yang cukup relevan dalam penelitian ini diantaranya: Budhy Munawwar-Rachman (2010: 690) dalam buku Reorientasi Pembaruan Islam;Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Barus Islam Indoneia memberikan pandangan makna agama terkait eksoterisme dan esoterisme. Dalam buku tersebut Budhy mengungkapkan; Eksoteris adalah kebenaran dalam partikulasi agama-agama yang berbeda sedangkan esoteris adalah kebenaran agama yang bersifat ebsolut. Akan tetapi keduanya saling berhubungan dan mempengaruhi satusama lain.
13
Pentingnya perbincangan bentuk (eksoterik) dan esensi (esoterik) dalam agama juga ditegaskan oleh Eric J. Sharpe (1975: 253) dengan tiga poin berikut: 1. Meningkatkan pengetahuan yang lebih baik antara pemeluk agama dan tradisi. 2. Menegaskan unsur-unsur yang universal di semua agama. 3. Membangkitkan keyakinan bahwa agama-agama mempunyai tanggung jawab besar untuk bekerja sama menyebarkan moralitas di dunia. Beragam bentuk agama (eksoterik) yang bersifat manifestasi dari ‘yang hakikat’ dipandang berbeda oleh George A. Lindleck (1985: 16) yang dikutip oleh Emanuel Wora (2006: 107-109) dalam buku Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme. George A. Lindleck memandang bahwa pentingnya rekonsiliasi doktrin untuk memahami permasalahan mengenai agama. Ragamnya bentuk agama dipandang Goerge sebagai ekspresi rasa dan skema interpretatif-komprehensif yang biasanya terkandung di dalam mitos atau cerita yang kemudian diritualkan. Bentuk agama yang identik dengan doktrin-doktrinnya yang kemudian dihadirkan sebagai produk budaya (seperti layaknya mitos). Berbeda dengan tokoh-tokoh yang telah diulas di atas, Sigmund Freud (1927: 30) memandang bahwa kebenaran agama bukanlah kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan, atau kesimpulan logis yang didasarkan pada bukti ilmiah. Kebenaran agama adalah kebenaran yang diinginkan oleh pemeluk-pemeluknya. Kebenaran agama adalah harapan umat manusia yang paling mendesak dan oleh
14
karena itu rahasia kekuatannya adalah harapan akan kebenaran itu sendiri. Pengalaman (individual) keagamaan bagi Freud tak lain adalah neurosis psikologis yang akan mengakibatkan neurosis obsesional universal (Freud, 1927: 150). Buku selanjutnya yaitu Tren Pluralisme Agama yang disusun oleh Anis Malik Thoha (2005). Sebagai pemikir/ahli tentang agama, Anis Malik (2005:266) memandang berbeda terkait penggalian hakikat agama secara filosofis. Menurutnya, pendekatan filosofis terhadap agama (khususnya yang dikemukakan John Hick) adalah gagasan yang meredusir dan meminggirkan peran agama. Namun demikian, meskipun kritik yang dikemukakan Anis Malik cukup ketat dan kritis, pada karyanya tersebut, Anis Malik tidak memaparkan secara jelas terkait konsep pengganti dalam mengelola pluralitas agama yang ada. Ia hanya menghimbau kepada umat Muslim dalam menyikapi pluralitas yang ada dengan bertumpu pada penegasan jati diri atau identitas keagamaan dan pemberdayaan hubungan dengan agama, serta pengakuan terhadap peran agama yang meliputi kehidupan manusia. Dalam karyanya tersebut, Anis menegasikan konsep yang dibawa melalui pendekatan ilmu (sejarah, antropologi, budaya dll.), filsafat dan perenial dalam meneropong agama, namun hal ini tidak diafirmasi lebih lanjut dengan menghadirkan konsep pengganti. Peneliti memandang perlunya memperkaya perspektif dalam melihat pemaknaan hakikat agama. Oleh karena itu, peneliti juga menghadirkan pandangan berbeda terkait pendekatan filosofis dalam melihat agama. Hal ini dilakukan dengan
15
harapan terjadinya dialektika perspektif dalam melihat dan kemudian menganalisis konsep-konsep terkait objek material dan objek formal dalam penelitian ini agar dapat mendapatkan makna yang jelas dan komprehensif.
G. Landasan Teori Peneliti mengangkat pemikiran tokoh Frithjof Schuon tentang Hakikat agama dalam perspektif filsafat agama. Objek formal ini dimaksudkan untuk menjernihkan makna agama yang terkadang masih menjadi masalah. Perbincangan filsafat agama tentang hakikat agama adalah penggalian bentuk dan hakikat agama. Frithjof Schuon, dalam buku Mencari Titik Temu Agamaagama (1975: 77) sebagai objek material dalam penelitian ini mengatakan: Agama adalah “bentuk” dari “jiwa”. Agama dianggap sebagai sesuatu yang bersifat esensi dan termanifestasi menjadi bentuk-bentuk agama tertentu. Huston Smith (1975: 11), selaku Pengantar dalam buku tersebut berpendapat semua agama hanya berbeda dalam bentuknya saja yaitu pada ranah. Meskipun kesatuan absolut, yaitu Tuhan, tidak dapat dilukiskan atau bahkan dijelaskan secara tepat, akan tetapi penjelasan seperti itu tetap diperlukan. Seyyed Hossein Nasr (1975: 8) dengan memakai istilah yang sering digunakan Frithjof Schuon; religio perennis atau religio cordis adalah dengan menggabungkan wawasan metafisika dengan pengetahuan yang luas mengenai berbagai agama dalam aspek doktrinal, etika dan artistik. Pemahaman akan suatu
16
bentuk, yaitu agama akan mengantarkan manusia pada pemahaman yang hakiki. Menurut Nasr, religio perenis adalah penjelasan tentang aspek-aspek yang lebih dalam dari tradisi-tradisi (khususnya yang berkaitan dengan agama) dengan bahasa yang dapat dimengerti secara murni sekaligus setia kepada kebenaran Kekal. Filsafat agama mempunyai orientasi penggalian makna hakikat dari setiap agama. Wilfred Cantwell Smith dalam The Meaning and The End of Religion (1962: 17) menyatakan perlunya mengkaji ulang terminologi agama. Menurut Smith, terminologi agama sangat problematik, ambigu, kontroversial yang mengundang polemik tak berujung dan tidak dapat dikenali di alam nyata. Sehingga menurut Smith, pentingnya pengkajian ulang atas terminologi agama baik secara historis maupun filosofis (filsafat agama). Whitehead memandang agama sebagai entitas yang terus berproses. Menurutnya, agama selalu dalam ‘proses menjadi’ dan proses situ tidak akan pernah selesai dan tidak dapat didefinisikan dalam konteks das sein (Religion as it is) melainkan lebih pada agama sebagai das sollen (“religion as it should be”) (Whitehead, 2009: 33). Muhammad Iqbal (1966:4) berpendapat terkait perbincangan filsafat tentang hakikat agama, menurutnya, filsafat (agama) diharapkan tidak menempatkan agama lebih rendah dari pada ilmu-ilmu lain. Agama bukanlah bagian dari masalah kehidupan manusia, bukan hanya sekedar pikiran, bukan hanya sekedar tindakan saja, agama adalah pernyataan manusia yang selengkapnya. Jadi, didalam menilai agama,
17
filsafat mesti mengakui posisi agama yang asasi, dan tidak menganggap agama sebagai alternatif lain dalam proses pemikiran yang sintesis melainkan harus menerimanya sebagai suatu sumber kekuatan.
H. Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu cara bertindak menurut sistem aturan yang bertujuan agar kegiatan praktis terlaksana secara rasional dan terarah sehingga dapat mencapai hasil yang optimal (Anton H. Barkker: 1986, 6). Adapun metode dalam penelitian ini dilalui dengan penentuan tiga tahap berikut: 1. Bahan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan berdasarkan dua macam bahan yakni pustaka utama dan pustaka sekunder. Pustaka utama terdiri atas karya-karya Frithjof Schuon, sedangkan pustaka sekunder merupakan materi yang bersumber dari berbagai buku, jurnal, artikel dan tulisan lain, yang terkait dengan tema penelitian ini. a. Pustaka utama: i. “Islam and The Perennial Philosophy” (1976) dialihbahasakan oleh Rahmani Astuti menjadi Islam dan Filsafat Perenial (Bandung: Mizan, 1993). ii. “Esoterism as Principle and as Way” (1978).
18
iii. “The Transfiguration of Man” (1990) dialihbahasakan oleh Fakhruddin Faiz menjadi Transfigurasi Manusia (Yogyakarta: Qalam, 2002). iv. “The Transcendent Unity of Religions (1945). Dialihbahasakan oleh Saafroedin Bahar menjadi Mencari Titik Temu Agama-agama (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003). v. Ringkasan Metafisika yang Integral dalam Ahmad Norma Permata (ed.), Perennialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996).
b. Pustaka sekunder: i.
Aymard, Jean-Baptiste dan Laude, Patrick, 2005, Frithjof Schuon; Life and Teachings, Suhail Academy Lahore, Pakistan.
ii.
Magniz-Suseno, Franz, 2006, Menalar Tuhan, Kanisius, Yogyakarta.
iii.
Nasr, Seyyed Hossein, 1975, Kata Pengantar dalam Frithjof Schuon, 1993, Islam dan Filsafat Perenial, Mizan, Bandung.
iv.
Smith, Huston, 1973, Kata Pengantar dalam Frijhtof Schuon, 1994, Mencari Titik Temu Agama-agama, (terj.) Safroedin, 1994, Pustaka Firdaus, Jakarta.
v.
Smith, Huston, 1991, Agama-agama Manusia Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
19
vi.
Thoha, Anis Malik, 2005, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Perspektif, Jakarta.
2. Jalan Penelitian Proses penelitian akan dilaksanakan melalui tahapan-tahapan berikut: i. Pembagian objek kajian. Pembagian ini berdasarkan pada objek formal dan objek material. Data yang pertama berisi pustaka mengenai filsafat agama. Data yang kedua terbagi pada dua objek, pertama berisi tentang pustaka mengenai pemikiran Frithjof Schuon yang terdapat dalam karya-karyanya yang merupakan sumber primer dan, kedua berupa kajian tokoh yang berkaitan dengan objek (formal dan material) yang diangkat. ii. Pengklasifikasian data. Jika pada tahap pengumpulan data penulis mengumpulkan data sebanyak mungkin, maka pada tahap ini data-data yang telah diperoleh mulai diklasifikasikan dan dipilah-pilah berdasarkan bab dan sub-sub bab yang telah penulis susun sesuai dengan rencana dan kebutuhan penelitian. iii. Analisis data. Data yang telah diklasifikasikan dianalisis oleh peneliti sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. iv. Penyajian data, pada tahap ini peneliti akan memaparkan hasil analisis secara sistematis berdasarkan sub-sub bab yang telah ditentukkan. Penyajian data
20
diawali dari pokok-pokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar dan sederhana, kemudian menuju pada pokok pembahasan yang lebih rumit.
3. Analisis Penelitian Analisis data adalah usaha konkrit untuk memberikan interpretasi terhadap data-data yang telah tersedia. Penelitian ini akan menggunakan analisis kualitatif karena data-data yang digunakan adalah data kualitatif, serta penjelasannya dalam bentuk ungkapan-ungkapan dan kalimat. Data dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan metode Hermeneutika yang terdiri atas tiga unsur metodis; deskriptif, verstehen dan interpretasi. i.
Deskriptif:
konsep-konsep
pemikiran
filsuf dijabarkan
dan
dijelaskan dalam bentuk kalimat penjabaran maupun parafrase, sehingga dapat dipahami pola pemikiran, paham-paham apa yang mempengaruhinya dan kemungkinannya mempengaruhi pemikir lain. ii.
Verstehen: data yang telah dikumpulkan akan dipahami karakteristik masing-masing, kemudian diketahui makna tiap-tiap data.
iii.
Interpretasi: pemahaman diketahui
maknanya
memberikan
atas
melalui
pandangan
data
yang
telah diperoleh dan
penerjemahan
penulis
atas
karya
karya-karya
filsuf
dan
tersebut.
Pembahasaan peneliti atas pemahaman terhadap pemikiran yang diteliti.
21
I. Jadwal Penelitian Penelitian ini dijadwalkan akan berlangsung secara kondisional, dengan dua pembagian tahap penelitian. Tahap pertama adalah pengumpulan bahan berupa materi atau data yang terkait dengan penelitian ini. Tahap selanjutnya adalah penyusunan hasil penelitian sesuai dengan analisis sebagaimana yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya. Tahap yang terakhir adalah penjabaran deskriptif-analisis. Tahap ini
akan
dilengkapi
dengan
hasil konsultasi atau
bimbingan, revisi dan diskusi dengan pembimbing penelitian, sehingga rumusan masalah dapat terjawab, dan tujuan penelitian dapat dipenuhi.
J. Sistematika Penulisan Penulisan
hasil
penelitian
ini
akan
dipaparkan
sesuai
dengan
sistematika berikut: Bab I, memaparkan penjelasan secara umum penelitian terkait isi penelitian. Secara berurutan: terdiri atas latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, jadwal penelitian, dan sistematika penulisan dalam penelitian. Bab II, berisi paparan tentang filsafat agama: terdiri dari definisi filsafat agama, ruang
lingkup
filsafat
agama,
hubungan
filsafat
agama
dan
pengertian/hakikat agama, dan persoalan-persoalan yang menjadi kajian dalam Filsafat Agama.
22
Bab III, berisi biografi Frithjof Schuon. Pada bagian ini akan dijabarkan secara garis besar karya-karya, tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran, pokok pemikiran, paradigma dan orientasi pemikiran Frithjof Schuon. Bab IV, memaparkan hasil analisis atas pemikiran Frithjof Schuon tentang makna agama. Pada bab ini akan dijelaskan makna agama berupa hakikat dan bentuk dalam pandangan Frithjof Schuon. Hakikat dan bentuk dalam bahasa Frithjof Schuon adalah Esoterisme dan Eksoterisme dalam pengahatan agama. Urutan penyusunan hasil analisis penelitian ini adalah analisis filosofis terkait sikap Frithjof Schuon terhadap keberagaman agama, pengertian istilah dan batasan-batasan Eksoterisme. Dalam bab ini juga akan dijelaskan Konsep Esoterisme dalam pandangan Frithjof Schuon, meliputi pengertian esoterisme dan konsep universalitas dalam agamaagama. Bab V, berisi kontribusi pemikiran Frithjof Schuon tentang hakikat agama. Kontribusi tersebut dijabarkan dalam poin-poin berikut, pertama, dijelaskan terlebih dahulu agama-agama yang terdapat di Indonesia. Kedua, pemaparan bentuk penghayatan (Religious Experience) masyarakat Indonesia terhadap agama yang dianut. Ketiga, analisis peneliti berupa pertautan hakikat agama dalam pandangan Frithjof Schuon dengan pluralitas agama di Indonesia. Bab VI, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan umum dari semua bab, dan pengusulan beberapa saran dari peneliti.