1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan pemikiran dan peradaban manusia merupakan salah satu cikal bakal terjadinya kemajuan di bidang teknologi. Wujud nyata hal tersebut, salah satunya adalah dengan terciptanya alat komunikasi berupa handy talky. Tren alat komunikasi yang selalu mengalami pergeseran, membuat pemakai handy talky lambat laun beralih menggunakan handphone. Hal tersebut di latarbelakangi karena handphone dirasa lebih praktis dan fleksibel saat digunakan. Kendati demikian, hal tersebut tidak lantas
menghilangkan
keberadaan
handy
talky
di
tengah-tengah
masyarakat. PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta merupakan salah satu pihak yang masih memanfaatkan handy talky untuk berkomunikasi dalam kegiatan usahanya. Pemilihan handy talky ditengahtengah tren alat komunikasi yang berkembang pesat bukan tanpa alasan. Sebagai pusat pelayanan kelistrikan di Kota Yogyakarta dan bertugas mengatur seluruh distribusi energi listrik serta membawahi delapan Unit Pelayanan dan Jaringan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, membuat komunikasi memegang peranan penting guna berkoordinasi dalam pencapaian tujuan usaha. Penggunaan handphone yang membutuhkan
2
pulsa dalam pengoperasiannya dirasa kurang efektif apabila digunakan sebagai alat komunikasi bagi PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta. Atas dasar pertimbangan tersebut maka handy talky tetap menjadi pilihan alat komunikasi dalam kegiatan usahanya. Jangkauan handy talky banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal. Lokasi yang berada dalam kondisi ideal yakni tanpa halangan fisik seperti pepohonan dan gedung, memungkinkan komunikasi antar handy talky dapat menembus jarak lebih dari 10 kilometer, namun apabila terjadi hal sebaliknya akan mengakibatkan penggunaan jangkauannya terbatas, yakni 50 meter – 500 meter.1 Keterbatasan jangkauan tersebut harus diatasi mengingat cakupan kerja PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta yang cukup luas. Cara mengatasinya adalah dengan meningkatkan jangkauan komunikasi menggunakan sebuah sarana komunikasi pendukung yakni Radio Pemancar Ulang (RPU) atau biasa disebut dengan repeater. Repeater pada dasarnya merupakan alat yang sederhana yang berfungsi untuk memperbaiki dan memperkuat sinyal yang melewatinya. Repeater juga berfungsi untuk memperbesar batasan panjang satu segmen.2 Kebutuhan PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta akan sarana komunikasi repeater ini, dapat dipenuhi dengan cara menyelenggarakan pengadaan barang atau jasa. CV Harapan 1
Anonim, Pertanyaan FAQ, http://tokoradio.com/faq-ht, diakses pada tanggal 15 Januari 2016.
2
Andri Kristanto, 2003, Jaringan Komputer, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 225.
3
merupakan salah satu calon penyedia jasa dalam proses pengadaan jasa tersebut, yang sekaligus merupakan pemenang atau penyedia jasa yang telah ditetapkan oleh PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta selaku pihak pengguna jasa. Hal-hal yang telah disepakati oleh kedua belah pihak selama proses pengadaan jasa sewa sarana komunikasi repeater, dituangkan dalam perjanjian sewa menyewa yang berbentuk tertulis. Lahirnya perjanjian antara PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta dengan CV Harapan membuahkan hak dan kewajiban yang mengikat para pihak dalam perjanjian. Lazimnya dalam perjanjian, hak dan kewajiban antara para pihak haruslah seimbang dan tidak timpang, namun dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Ketimpangan hak dan kewajiban dalam suatu perjanjian, biasanya ditemukan dalam perjanjian yang berbentuk baku atau perjanjian standar. Perjanjian baku disebut juga perjanjian standar, dalam bahasa inggris disebut standard contract atau standard agreement. Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan. Perjanjian baku artinya perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau
4
pedoman dalam mengadakan hubungan hukum. Hal-hal yang dibakukan dalam perjanjian baku meliputi model, rumusan, dan ukuran.3 Perjanjian sewa menyewa repeater yang di dahului dengan proses pengadaan jasa ini, dapat dikategorikan sebagai perjanjian standar. Hal ini karena dalam pembuatan perjanjian dan penentuan syarat-syarat, bentuk serta ruang lingkupnya ditentukan secara sepihak oleh PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta. Disisi lain perjanjian ini juga merupakan representasi dari keinginan para pihak untuk menentukan sesuatu yang adil bagi dirinya, meskipun perwujudannya terbatas pada penentuan harga sewa saat mengajukan penawaran sebagai tahap negosiasi. Perjanjian baku timbul akibat perbedaan keadaan sosial ekonomi. Pihak di dalam perjanjian tidak selalu memiliki posisi tawar (bargaining power) yang sama. Pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah. Akibatnya, pihak yang lebih kuat yang akan membuat dan menentukan perjanjian secara sepihak. Pihak yang lebih lemah hanya bisa menyetujui dan melaksanakan perjanjian. Pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat dapat menentukan perjanjian secara sepihak. Hal ini dilandasi adanya asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Pasal 3
Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 6.
5
tersebut menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kata “semua” dalam bunyi pasal tersebut mengandung arti bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan suatu perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan sendiri isi dan syarat-syarat dalam perjanjian, bebas untuk menentukan bentuk perjanjian dan bebas menentukan hukum yang berlaku bagi perjanjian yang dibuatnya. Asas kebebasan berkontrak tersebut tidak berlaku secara bebas mutlak, namun terdapat pembatasan-pembatasan terhadapnya agar tidak terjadi ketimpangan dalam membuat suatu perjanjian dan tidak disalahgunakan sebagai perbuatan para pihak yang tanpa batas. Pembatasan-pembatasan dalam pembuatan kontrak dapat dilakukan oleh negara, baik berdasarkan peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan. Pembatasan kebebasan berkontrak juga diatur dalam KUHPerdata. Salah satu hal yang membatasi berlakunya asas kebebasan berkontrak adalah asas itikad baik, dengan demikian proses penyusunan perjanjian juga harus dilaksanakan dengan itikad baik. Tahapan dalam penyusunan perjanjian menurut Van Dunne dapat dibedakan menjadi tiga tahap yaitu tahap pra kontrak atau pendahuluan, tahap kontraktual atau terbentuknya kontrak, dan tahap post kontrak atau
6
pelaksanaan kontrak.4 Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sebagaimana dipahami bahwa pemahaman substansi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tidak harus di interpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak. Itikad baik harus dimaknai dalam keseluruhan proses kontraktual, artinya itikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap pra kontrak, kontraktual dan post kontrak. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka penerapan asas itikad baik pun harus dilakukan oleh kedua belah pihak di setiap tahapan kontraktual pada perjanjian sewa menyewa repeater. Tata cara pengadaan barang atau jasa pada PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta berpedoman pada peraturan internal yakni Keputusan Direksi PT PLN (Persero) Nomor 305.K/DIR/2010 tentang Pedoman Pengadaan Barang atau Jasa di PT PLN (Persero) dan perubahan-perubahannya. Keputusan Direksi tersebut memuat pedoman mengenai pelaksanaan pengadaan barang atau jasa di lingkungan PT PLN (Persero) meliputi tahap perencanaan, proses pengadaan barang atau jasa hingga tahap pembuatan kontrak. Berdasarkan pedoman tersebut, salah satu hal yang harus dimuat dalam suatu perjanjian yang di dahului dengan pengadaan barang atau jasa di lingkungan PT PLN (Persero) adalah klausula mengenai keterlambatan 4
F.X. Suhardana, 2009, Contract Drafting Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. ke V, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 84.
7
pelaksanaan pekerjaan. Maksud dari keterlambatan pelaksanaan pekerjaan tersebut adalah keterlambatan yang dapat dilakukan oleh pihak penyedia jasa yakni CV Harapan maupun oleh pihak pengguna jasa yakni PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta. Sanksi/denda akan dikenakan kepada pihak penyedia jasa apabila terlambat melaksanakan kewajibannya, sedangkan ganti rugi akan dikenakan kepada pihak pengguna jasa apabila terlambat melaksanakan kewajibannya. Praktiknya, pembuatan perjanjian sewa menyewa repeater hanya mencantumkan klausula sanksi/denda bagi pihak CV Harapan sebagai akibat dari keterlambatan pelaksanaan pekerjaan yang menjadi kewajibannya. Hal ini merupakan ketimpangan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak dan merupakan wujud itikad buruk yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta sebagai pihak yang lebih kuat kedudukannya. Perjanjian sewa menyewa repeater yang dibuat dan disepakati oleh para pihak diwujudkan dalam pelaksanaan perjanjian. Pelaksanaan perjanjian dilakukan dalam rangka memenuhi hak dan kewajiban para pihak serta ketentuan lainnya yang telah disepakati bersama. Perjanjian yang telah diatur sedemikian rupa, seringkali tetap saja memunculkan permasalahan diantara para pihak. Masalah tersebut berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban yang tidak selalu berjalan sesuai dengan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
8
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam suatu perjanjian disebut dengan prestasi.5 Pelaksanaan pemenuhan prestasi seringkali tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal ini disebabkan oleh dua hal yakni kesalahan pihak debitur dan karena adanya keadaan memaksa (force majeure) yang dialami oleh pihak debitur. Kesalahan pihak debitur dapat dibedakan menjadi kesengajaan atau kelalaian. Prestasi yang tidak dapat dipenuhi sesuai dengan perjanjian, dimana penyebabnya adalah kesalahan salah satu pihak maka pihak tersebut dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, namun apabila alasan tidak dapat memenuhi prestasi karena adanya keadaan memaksa (force majeure) tidak dapat dikatakan wanprestasi. Perjanjian sewa menyewa repeater antara PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta dengan CV Harapan pun tidak lepas dari permasalahan dimana pemenuhan prestasi tidak selalu sesuai dengan apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam perjanjian. Kasus yang penulis temukan adalah keterlambatan dalam pemenuhan prestasi yang berwujud memberikan sesuatu yakni membayar harga sewa. PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta selaku pihak penyewa dalam perjanjian sewa menyewa repeater ini kerap terlambat dalam melakukan pembayaran harga sewa setiap bulannya yang disebabkan oleh panjangnya proses pencairan harga sewa pada PT PLN (Persero) Area
5
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Cet. ke III, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 17.
9
Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta. Kasus lain yang penulis temukan adalah keterlambatan dalam pemenuhan prestasi yang dilakukan oleh CV Harapan. Wujud prestasi yang terlambat untuk dipenuhi berupa berbuat sesuatu, dimana CV Harapan selaku pihak pemilik persewaan terlambat dalam memperbaiki barang yang disewa yang dapat mengakibatkan barang yang disewa tidak dapat digunakan untuk berkomunikasi serta tidak dapat mengakses ke semua radio mobil unit yang dimiliki oleh pihak penyewa. Keterlambatan pemenuhan prestasi yang dilakukan oleh pihak pemilik persewaan disebabkan karena adanya keadaan memaksa (force majeure) berupa padamnya listrik di kedua lokasi repeater, kemacetan menuju lokasi pemasangan repeater, terbakarnya repeater akibat terkena petir dan hujan yang lebat. Terhadap keterlambatan pembayaran harga sewa yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta, CV Harapan seharusnya mempunyai hak untuk meminta ganti rugi atas keterlambatan pembayaran harga sewa yang seringkali dilakukan oleh PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta, sama seperti halnya hak PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta untuk mendapatkan pembayaran denda sebagai ganti rugi atas tidak terpenuhinya prestasi sesuai dengan yang diperjanjikan yang dilakukan oleh CV Harapan. Akibat tidak dicantumkannya hak bagi CV Harapan untuk meminta ganti rugi, maka pihak pemilik persewaan tidak dapat
10
berbuat apa-apa dikarenakan PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta berlindung di balik perjanjian baku tersebut. Itikad tidak baik juga dilakukan oleh PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta saat CV Harapan tidak dapat memenuhi prestasi sesuai dengan yang diperjanjikan berupa keterlambatan memperbaiki barang yang disewa sehingga komunikasi tidak dapat berjalan dengan baik. Keterlambatan pemenuhan prestasi tersebut disebabkan karena adanya keadaan memaksa (force majeure) pada diri pihak pemilik persewaan. Terhadap hal ini, PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta tetap mengenakan denda/sanksi kepada pihak pemilik persewaan sebagai bentuk ganti rugi. Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta dan CV Harapan menjalankan asas itikad baik dalam setiap tahap kontraktual dalam perjanjian sewa menyewa repeater serta mengkaji upaya penyelesaian terhadap keterlambatan pemenuhan prestasi pada perjanjian sewa menyewa repeater sebagai dasar penulisan hukum dengan judul “Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Sewa Menyewa Repeater antara PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta dengan Pemilik”.
11
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana penerapan asas itikad baik pada perjanjian sewa menyewa repeater antara PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta dengan pemilik? 2. Bagaimana upaya penyelesaian terhadap keterlambatan pemenuhan prestasi pada perjanjian sewa menyewa repeater antara PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta dengan pemilik? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui dan mengkaji penerapan asas itikad baik dalam perjanjian sewa menyewa repeater antara PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta dengan pemilik. b. Untuk mengetahui dan mengkaji upaya penyelesaian terhadap keterlambatan pemenuhan prestasi pada perjanjian sewa menyewa repeater antara PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta dengan pemilik. 2. Tujuan Subjektif a. Untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap dan akurat tentang objek yang diteliti.
12
b. Sebagai bahan dasar penyusunan penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dalam penulisan hukum ini dibagi ke dalam dua bagian, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan masukan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum, khususnya mengenai penerapan asas itikad baik dalam setiap tahap kontraktual perjanjian sewa menyewa antara pihak swasta dengan pihak BUMN, serta bermanfaat bagi penelitian-penelitian di bidang hukum selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak swasta maupun pihak BUMN untuk melakukan perbaikan ataupun meningkatkan pelayanan terkait pelaksanaan perjanjian di setiap tahap kontraktual.
13
E. Keaslian Penelitian Judul penulisan hukum yang penulis angkat adalah “Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Sewa Menyewa Repeater antara PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta dengan Pemilik”. Sepanjang pengetahuan penulis melalui penelitian kepustakaan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, telah ada satu penelitian dengan topik penerapan asas itikad baik dalam perjanjian sewa menyewa, yaitu penelitian July Suryono dengan judul skripsi “Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Sewa Menyewa Alat Multimedia antara Mahasiswa dan Pengelola Persewaan di Masjid Mardliyah D.I Yogyakarta” pada tahun 2013. Penelitian ini membahas mengenai penerapan asas itikad baik dalam perjanjian sewa menyewa dan bentukbentuk wanprestasi yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian sewa menyewa alat multimedia secara lisan. Penelitian penulis berbeda dengan penelitian sebelumnya. Adapun perbedaan tersebut terdapat pada : 1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dalam penulisan hukum ini dilakukan di PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta dan di CV Harapan, sedangkan lokasi penelitian pada penulisan hukum oleh July Suryono tersebut dilakukan di Masjid Mardliyah D.I Yogyakarta. Perbedaan lokasi tersebut mengakibatkan hasil
14
penelitian yang dilakukan oleh penulis ini akan berbeda dengan penelitian yang telah ada sebelumnya. 2. Objek Sewa Objek sewa dalam penulisan hukum ini adalah sarana komunikasi berupa repeater, sedangkan objek sewa pada penulisan hukum oleh July Suryono tersebut adalah alat multimedia berupa proyektor. Perbedaan objek sewa tersebut mengakibatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis ini akan berbeda dengan penelitian yang telah ada sebelumnya. 3. Pihak dalam Perjanjian Pihak dalam perjanjian pada penulisan hukum ini adalah pihak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta yang berbentuk Persekutuan Komanditer, sedangkan pihak dalam penulisan hukum oleh July Suryono tersebut adalah perseorangan. Perbedaan pihak dalam perjanjian tersebut mengakibatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis ini akan berbeda dengan penelitian yang telah ada sebelumnya. Penelitian ini dilakukan dengan itikad baik dengan menjunjung orisinalitas sesuai dengan etika akademik dengan tidak melakukan plagiasi ataupun kejahatan akademik lainnya, apabila di luar pengetahuan penulis ternyata telah ada penelitian serupa, maka diharapkan penelitian ini dapat
15
melengkapi penelitian sebelumnya serta menambah literatur ilmu hukum, khususnya bidang hukum perdata.