1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Hampir setiap orang ingin menjadi manusia yang bahagia, atau dalam term yang lain, manusia yang sukses. Kondisi ini adalah ketika seseorang telah merasa sudah memaksimalkan dan mendapatkan apa yang menjadi cita-cita tertingginya dalam kehidupan. Kata kesuksesan kini seolah menjadi mitos dalam masyarakat. Mitos modern tersebut dapat pula menjadi logos ketika dipersoalkan lebih serius: kesuksesan dan kebahagiaan seperti apa yang diinginkan? Konsep tentang pribadi manusia seperti apakah yang ditawarkan? Keadaan yang ideal seperti apakah yang ingin diwujudkan dalam diri seorang? Kebaikan macam apakah dalam kehidupan ini yang harus diutamakan? Apakah yang dimaksud kehidupan yang baik itu? Itulah persoalan etis mengenai manusia berkeutamaan hidup (Wibowo, 2010:11). Budaya masyarakat kontemporer berkembang dengan sangat pesat seiring dengan arus globalisasi. Salah satu arus dominan yang bermuara pada masyarakat global sekarang adalah hedonisme dan konsumtivisme. Perkembangan hedonisme dan konsumtivisme sekarang bahkan dikhawatirkan mampu menghapus nilai-nilai primordial yang telah dianggap baik, mapan dan utama oleh masyarakat. Apakah cita-cita kesuksesan dan kebahagiaan hidup harus semata-mata diukur dengan kenikmatan konsumsi barang-barang material? Haruskah hedonisme, materialisme dan konsumtivisme benar-benar menjadi suatu alternatif sebagai pandangan etis yang tidak dapat ditolak, sehingga nilai-nilai yang primordial dan tradisional yang
2
mengajarkan tentang keluhuran dan keutamaan tidak dapat dipertahankan? Semua ini patut untuk direnungkan, direfleksikan dan ditemukan jawabannya (Prabowo, 2013: 71). Permasalahan tentang keutamaan tersebut melatar belakangi penelitian ini, yang berikutnya harus dicari jawabannya dengan meneliti kembali pemikiran etika dan moral dari seorang tokoh tertentu, kemudian menganalisisnya secara lebih mendalam. Permasalahan keutamaan telah menjadi kajian para filsuf sejak dahulu, dan masing-masing memiliki pemikirannya sendiri mengenai ajaran keutamaan. Beberapa tokoh, seperti Plato, adalah filsuf yang mengajarkan tentang keutamaan hidup (arête). Plato mengajarkan melalui karyanya Republik mengenai karakter manusia yang utama yang mengoptimalkan daya pengetahuan. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics telah memberikan fondasi yang mendasar bagi teori etika keutamaan melalui ungkapannya bahwa kebaikan merupakan aktivitas jiwa yang sesuai dengan virtue atau keutamaan, dan mengajarkan tentang kebijaksanaan atau phronesis. Aristoteles mengoreksi tradisi hedonisme Yunani, mengajarkan bahwa kehidupan yang baik bukan didasarkan pada hedos, melainkan kepada keutamaan untuk mencapai tujuan tertinggi eudaemonia. Sokrates yang hadir jauh lebih awal, juga memperkenalkan tentang keutamaan melalui dialog-dialog filosofis dalam tradisi sofisme dengan bertanya apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia. Ibnu Miskawaih juga mengajarkan di dalam kitabnya Tahdzîb al-Akhlâq wa Tathîr alA’râq mengenai pendidikan akhlak yang berbasis pada optimalisasi akal natiqoh, sebagaimana Plato mengajarkan pengendalian hasrat dan optimalisasi logistikon.
3
Seorang filsuf penyair, Muhammad Iqbal, mengajarkan keutamaan dalam konsep manusia sempurna atau insan kamil (dalam Asrar-i-Khudi atau Rahasia Diri). Salah satu filsuf etika keutamaan kontemporer, Michael Slote, memandang bahwa penting mengkaji permasalahan etika dari sisi etika keutamaan, setidaknya untuk mengatasi kesan ketidak berimbangan pengkajian etika kontemporer karena kurang memberi tekanan pada permasalahan tentang diri. Slote menyebutnya dengan moral asymmetry. Kajian etika keutamaan (semacam ini) berusaha untuk membangun moral yang simmetry, baik berorientasi kepada kedirian manusia, maupun juga kepada kaitan antara moral dengan relasi sosial seperti kewajiban, tanggung jawab, hak asasi, hati nurani, dan sebagainya (Slote, 1992: 3). Apabila direnungkan kembali tentang kecenderungan arus budaya kekinian yang banyak menjadi pembahasan etis maupun filosofis di atas (seperti tentang konsumerisme) maka sesungguhnya fenomena tersebut berkaitan erat dengan persoalan konsepsi diri, self-controlling, manajemen diri, tentang sejauh mana pribadi mampu untuk mengendalikan diri di tengah arus budaya tersebut. Inilah yang menjadi bagian dari bahasan etika keutamaan. Khasanah Jawa juga kaya dengan ajaran tentang keutamaan moral, yang terkandung baik dalam serat-serat, adat-istiadat, situs artefak, upacara, kesenian maupun dari pemikiran para tokoh Jawa.Penelitian ini akan menggali pemikiran etika keutamaan dari salah satu tokoh Jawa, Damardjati Supadjar, yang dianggap sebagai filsuf dan dikenal memiliki pemikiran yang radikal, orisinil, meski sedikit kontroversial. Damardjati meninggalkan cukup banyak warisan pemikiran yang patut untuk diteliti, dikaji dan dikembangkan lebih lanjut di universitas.
4
Peneliti memandang setidaknya terdapat beberapa alasan penting mengapa perlu untuk mengkaji pemikiran dan ajaran Damardjati Supadjar dan layak untuk diteliti. Pertama, Damardjati Supadjar adalah salah seorang pemikir lokal yang telah banyak mendapat pengakuan perihal kedalaman dan orisinalias pikirannya. Kedua, belum ada peneliti yang serius meneliti dan menulis tentang pemikiran Damardjati Supadjar dalam bidang etika.Ketiga, peneliti menganggap perlunya mengkaji dan mengembangkan khazanah kenusantaraan untuk dipublikasikan dan diperkenalkan kepada masyarakat luas. Keempat, peneliti menemukan moment yang mendukungsaat ini, ketika upaya untuk mengkonstruksi filsafat nusantara sedang ramai digalakkan oleh banyak pemerhati filsafat. Kelima, kajian Damarjati Supadjar dari aspek etika keutamaan akan dapat menyumbangkan pemikiran etika keutamaan dalam diskursus kontemporer dari lumbung filsafat nusantara. Pengkajian tentang etika keutamaan secara aktual juga sangat penting di tengah krisis keteladanan yang dialami oleh bangsa. Ajaran-ajaran yang luhur, moral, budi pekerti, etika dan etiket, tata krama, kearifan lokal yang membentuk kepribadian, sekarang ini menjadi sesuatu yang semakin dibutuhkan kehadirannya bagi pembangunan karakter pribadi dan masyarakat. Kompleksitas permasalahan yang dialami di tataran birokrasi pemerintah terkadang menghasilkan kesimpulan di kalangan masyarakat bahwa pada dasarnya kearifan dan kebaikan (manusia yang berkepribadian mulia) seolah lebih diutamakan dan lebih dibutuhkan untuk sekarang ini daripada sekedar memiliki daya intelektual yang mumpuni (manusia pintar). Peneliti merasa sangat penting untuk mengangkat pemikiran tokoh lokal
5
Damardjati Supadjar melalui penelitian ini guna menjawab masalah-masalah etika keutamaan, yang dirumuskan dalam beberapa rumusan sebagai berikut: 2. Rumusan Masalah a. Apa unsur-unsur keutamaan dalam etika keutamaan? b. Apa manusia utama dan unsur keutamaan menurut Damardjati Supadjar? c. Apa corak pandangan etika Damadjati ditinjau dari etika keutamaan? 3. Keaslian Penelitian Sejauh penyelidikan dan penelurusan peneliti, belum ada penelitian yang baku yang meneliti mengenai pandangan etika Damardjati Supadjar, terlebih dari tinjauan etika keutamaan. Penelitian tentang pemikiran etika Damardjati Supadjar belum pernah dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan mengenai pemikiran Damardjati Supadjar adalah skripsi yang meneliti tentang konsep ketuhanan yang berjudul Pandangan Kejawen tentang Tuhan Menurut Damardjati Supadjar tahun 2009 oleh Muhammad Fauzan di fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Salah satu tulisan atau buku yang menguraikan tentang sari-sari pemikiran Damardjati Supadjar adalah buku kecil yang ditulis oleh Heri Santoso berjudul Berfilsafat ala Prof. Dr. Damardjati Supadjar diterbitkan oleh Pustaka Rasmedia tahun 2010. Buku ini bermaksud memberikan uraian sistematis mengenai asas dan metode berfilsafat Damardjati Supadjar, asumsi-asumsi filosofis, epistemologis metafisis dan juga aksiologisnya.
6
4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan output yang memberikan manfaat antara lain: a. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini hendak menyumbangkan konsepsi mengenai hakikat manusia utama menurut Damardjati Supadjar. Konsepsi ini diharapkan memperkaya wacana dalam teori-teori keutamanaan. Bagi khazanah filsafat nusantara, pemikiran tentang nilai keutamaan ini akan merupakan satu bentuk pemikiran yang orisinil, digali dari khazanah lokal sehingga menjadi satu kearifan lokal yang berharga. b. Bagi filsafat, penelitian ini hendak menyumbangkan konsep filosofis dari tokoh atau filsuf yang belum pernah diangkat sebelumnya, mengangkat kembali pemikiran-pemikiran filosofis dari tradisi lokal tetapi genuine. c. Bagi bangsa Indonesia, konsepsi mengenai pribadi manusia yang utama tersebut nantinya menjadi sumbangan konseptual untuk turut membentuk karakter individu atau manusia yang berkepribadian luhur. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini tujuannya adalah untuk menemukan jawaban atas beberapa permasalahan pokok yang sudah dirumuskan dalam rumusan masalah penelitian: 1. Mendeskripsikan unsur-unsur keutamaan dalam etika keutamaan. 2. Mendeskripsikan pemikiran Damardjati tentang manusia utama. 3. Mendeskripsikan tentang unsur keutamaan dalam karya Damardjati. 4. Menganalisis secarakritis dan komparatif konsep-konsep keutamaan hidup yang diajarkan oleh Damardjati.
7
C. Tinjauan Pustaka Beberapa tulisan dan hasil penelitian juga membahas tentang pemikiran Damardjati Supadjar sebagai objek material penelitian ini. Franz Magnis Suseno juga merupakan filsuf yang concern meneliti isu tentang ajaran keutamaan moral Jawa, yang dituangkan dalam buku, di antaranya, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Pribadi manusia utama Jawa menurut Magnis tampak dalam ciri-ciri utama seperti: sepi ing pamrih rame ing gawe, pribadi yang mau membatasi kepentingan diri, tidak mencari keuntungan sendiri tanpa memperhatikan yang lain, dan sedia memenuhi kewajibannya dengan rasa tenang (Suseno, 1996: 205), atau dalam konsepsi wong utomo yang mirip dengan konsep virtuous person Aristoteles (Suseno, 2009: 42); serta masih banyak lagi ajaran yang dapat digali dari serat-serat klasik Jawa. Magnis menyebut etika Jawa sebagai etika keselarasan, baik keselarasan dalam pengertian relasi sosial dengan sesama maupun keselarasan kosmik dengan semesta, dan mengunggulkan aspek perasaan (Suseno, 1991: 71). Beberapa tulisan telah muncul tentang Damardjati Supadjar, baik dalam bentuk buku, penelitian, catatan-catatan dari beberapa rekan dan sahabat, dari informasi media masa dan lain-lain. Buku yang pertama yang membahas tentang pemikiran filsafat Damardjati Supadjar adalah berjudul Berfilsafat ala Prof. Dr. Damardjati Supadjar. Buku ini menekankan pada asumsi ontologis, epistemologis dan aksiologis. Penulis melihat bahwa inti ajaran moralitas yang dikembangkan Damardjati Supadjar adalah bahwa moral seharusnya berkembang menuju arah kesempurnaan (Santoso, 2010: 38). Salah satu bagian buku ini yang mendukung
8
untuk penelitian ini adalah bahwa tujuan metode berfilsafat menurut Damardjati adalah membantu mengarahkan orang pada peningkatan kualitas diri ke arah realitas yang paling hakiki, melalui tahapan jenjang-jenjang kenyataan. Buku ini mengutip pula jenjang perkembangan dimensi moralitas dalam diri seseorang. Diri seseorang tercitrakan melalui prinsip manunggaling kawula gusti. Sosok kawula atau hamba adalah orang yang mampu mempersonifikasikan sifat-sifat gusti sehingga tercipta citra kedirian yang bertindak dengan perilaku yang ilahiah (Santoso, 2010: 38). Buku ini tidak menjelaskan secara menyeluruh soal dimensi moralitas dan perwujudannya, mengingat bahwa tujuan buku ini adalah untuk menemukan dimensi umum asas-asas filsafat dalam pemikiran filsafat Damardjati Supadjar. Penelitian skripsi Muhammad Fauzan menjadikan pemikiran Damardjati sebagai objek material: Pandangan Kejawen tentang Tuhan Menurut Damardjati Supadjar. Fauzan mencoba menjawab soal pertanyaan ketuhanan, lebih khusus lagi konsepsi ketuhanan kejawen. Satu pergeseran konseptual yang ditonjolkan di sini adalah perubahan konsep mistis manunggaling kawula lan gusti menjadi manunggaling karsa kawula lan karsa gusti. Fauzan menganggap hal ini sebagai satu pandangan teologis baru yang ditawarkan Damardjati Supadjar dalam rangka mengkikis pemahaman kontroversial yang selama ini muncul terhadap konsep mistik Jawa tersebut. Damardjati memasukkan pemahaman baru tentang kehendak (karsa) sebagai modus interrelasi manusia dan Tuhan. Konsep tentang ihsan juga menjadi fundamen yang kuat bagi pemahaman teologis dan pembentukan citra diri yang manunggal (Fauzan, 2009:77-78). Hasil penelitian ini memberi manfaat
9
sangat signifikan bagi penelitian etika Damardjati Supadjar, kendatipun penelitian Fauzan ini bermuara pada konsepsi tentang pemahaman mengenai Tuhan yang transendental, bukan kepada konteks persoalan seputar etika dan moralitas. Beberapa kumpulan tulisan sebagai bentuk tribute to Damardjati juga telah dipublikasikan oleh beberapa civitas akademika filsafat, tetapi bukan dalam bentuk penelitian, melainkan tulisan kesan-kesan atributif tentang sosok pribadi Damardjati Supadjar dan karangan ilmiah apresiatif, sehingga tampaknya belum sampai menggambarkan wajah dari sosok, pemikiran, dan juga kehidupannya, agar lebih memberikan inspirasi bagi banyak orang pada masa yang akan datang _meminjam kalimat Ahmad Charis Zubeir (Zubeir, 2010: 9). Terdapat dua buku yang ditulis mengenai Damardjati Supadjar: 1. Universitas Jagad Raya Fakultas Kehidupan Jurusan Jalan Lurus (2005) Kumpulan tulisan ini dipublikasikan dalam rangka purna tugas sebagai pengajar di Fakultas Filsafat UGM. Tema utama dalam tulisan ini adalah Allah, manusia dan alam semesta menurut Islam (kontributor: Ahmad Charis Zubeir) dan konsep ego Sir Muhammad Iqbal (kontributor: Fahmi Muqoddas). Judul buku ini sudah barang tentu terinspirasi dari pemikiran Damardjati Supadjar. 2. Damardjati Supadjar: Cendekiawan Penghuni Kampung Pitungpuluhan (2010). Dua penulis pertama, Ahmad Charis Zubeir dan Farid Mustofa, memiliki ketersinggunan yaitu tentang logika othak-athik-mathuk yang dikatakan sebagai metode filsafat Damardjati Supadjar. Zubeir melihat itu sebagai lompatan logika yang terlalu jauh, tidak relevan dan illogical
10
thinking, sementara bagi Farid, hal yang demikian merupakan lompatan metalogis, sebagai pengantar kepada cakrawala pemikiran yang intuitif yang lebih luas, sehingga rasionalitas dan logika positivistik tidak terlalu relevan lagi. Perbedaan tesis Zubeir dalam buku ini dengan pandangan Saifudin Simon juga cukup menarik, yang menurut Zubeir, Damardjati sedikit banyak terpengaruh oleh nuansa Hindhu-Budha sebab Damardjati menginginkan keterlepasan secara total (moksa), sehingga mungkin dapat dikategorikan menurut trilogi Geertz ke dalam kaum abangan, sementara bagi Simon, ke-abangan dan ke-santrian Gerrtz secara teoritis sudah tidak relevan lagi seiring dengan dinamika masyarakat muslim di Jawa sendiri. Islam-kejawen nyatanya berkembang sangat dinamis sehingga Simon mengatakan Damardjati merupakan produk santrinisasi kaum abangan di Jawa. Heri Santoso mencoba menuliskan tentang salah satu aspek mistis terkait dengan Damardjati, yang menunjukkan keterkaitan antara filsafat teoritis dengan laku praktis, dan memposisikan filsafat sebagai pengantar hikmah. D. Landasan Teori Penelitian ini adalah penelitian di bidang etika. Etika sering disebut juga dengan istilah filsafat moral. Penulis etika Kees Bertens memandang etika sebagai ilmu mengenai moralitas, atau ilmu yang membahas tentang moralitas dan tentang manusia sejauh itu berkaitan dengan moralitas. Berdasarkan pendekatannya atau hampiran yang digunakan, etika terbagi menjadi tiga:aksiologis, mendekati dari sisi nilai; normatif, mendekati dari sisi norma atau pedoman moral; dan metaetik,
11
mendekati dari segi metode, bahasa, struktur logis dan penalaran yang digunakan untuk pengambilan putusan moral (Bertens, 2013:12). Etika secara garis besar juga terbagi menjadi tiga berdasarkan corak kajian yang dilakukan: etika deskriptif yang menjelaskan kualitas moral yang terdapat dalam suatu budaya masyarakat; etika normatif yang mengkaji tentang pendirianpendirian normatif yang sifatnya preskriptif bagi individu maupun masyarakat; dan metaetik yang mengkaji tentang penalaran dan argumentasi yang digunakan di balik putusan moral yang diambil. Etika keutamaan atau virtue ethics merupakan varian teori dalam cabang etikanormatif, salah satu cabang terbesar etika di atas, tempat dimana para filsuf berdiskusi tentang normativitas dan idealitas. Pertanyaan moral paling mendasar yang ingin dijawab di dalam kajian etika keutamaan adalah: saya harus menjadi orang yang seperti apa? atau karakter semacam apakah yang membuat seseorang menjadi pribadi yang baik? (Bertens, 2013:166; Rachels, 2003: 174). Thompson menjelaskan bahwa etika keutamaan adalah cabang etika yang berbicara tentang keutamaan yang menjadikan kehidupan orang menjadi utama. Pokok pembicaraannya adalah soal disposisi, watak atau kualitas yang dimiliki individu. Etika ini dibedakan dari pendekatan cabang-cabang etika yang lain yang berfokus pada aturan, bukan pada disposisi individu. Etika keutamaan membahas lebih dalam tentang orang atau pelaku moral, bukan pada jenis tindakan moralnya. Moralitas adalah tentang orangnya, bukan soal tindakannya. Moralitas adalah soal bagaimana membangun pribadi yang baik sehingga konsisten untuk berperilaku baik dan nantinya menghasilkan tindakan yang baik pula (Thompson, 2010: 1).
12
Etika keutamaan disebut juga dengan etika kebajikan. Kebajikan (virtues) adalah suatu keadaan yang unggul yang dimiliki, sehingga memungkinkan orang atau manusia bisa berfungsi secara bajik. Keunggulan ini lazimnya tertanam dari kualitas akal dan terbangun dari latihan dan kebiasaan. Kebajikan ini menjadi asas moral, sekaligus sebagai ciri kualitatif yang melekat pada diri seseorang, sehingga membuat seseorang tersebut menjadi baik wataknya, pemikirannya, perbuatannya. Jadi, etika kebajikan merupakan etika yang mengkaji ihwal keunggulan watak, keunggulan yang dimiliki oleh pribadi yang bajik (Mudhofir, 2009: 495). Pendekatan etika keutamaan bisa dikatakan juga bersifat aksiologis, karena mendekati nilai kebaikan. Etika keutamaan mengkaji kebaikan sebagai ciri-ciri atau unsur-unsur keutamaan, tetapi kebaikan yang dikaji bukanlah kebaikan yang atributif semata, yang seringkali menyebabkan orang mudah terjebak ke dalam subjektivisme moral karena menjustifikasi kebaikan sesuatu berdasarkan selera subjektif dirinya, sebagai ekspresi atas kesenangan dan pilihan pribadi, melainkan kebaikan yang bersifat predikatif, yang lebih luas lagi sehingga membentuk klaim dan pandangan tertentu mengenai dunia. Kebaikan predikatif adalah berupa nilainilai yang tebal, sebagaimana yang dikonsepsikan Aristoteles, misalnya, sebagai ciri dari keutamaan atau virtue yang menghantarkan manusia kepada kebahagiaan, seperti: keberanian, pengendalian diri, kecerdasan, kebijaksanaan, persahabatan, kemurahan hati, keadilan, dan lain sebagainya (Graham, 2014: 80). Gordon Graham, etikawan Inggris, melihat pengkajian terhadap konsepkonsep moral yang tebal seperti keberanian, keadilan dan sebagainya tersebut lebih memberikan manfaat yang banyak daripada kajian yang tipis yang selama
13
ini, di Eropa, telah banyak menyita perhatian, seperti baik-buruk dan salah-benar. Secara teoritis setidaknya ada tiga signifikansi dari pendekatan etika keutamaan sekarang ini. Pertama, pendekatan teori keutamaan memberikan alternatif bagi perdebatan antara subjektivisme etis dan realisme moral. Kedua, pengkajian teori keutamaan akan memberikan deskripsi yang sebenar-benarnya mengenai suatu fenomena, terlepas dari unsur subjektivitas seseorang. Ketiga, tidak berhenti pada tataran dekriptif, konten deskriptif dari kata-kata nilai atau keutamaan memiliki elemen normatif yang lebih bersifat preskriptif bagi seseorang atau bagi orang lain (Graham, 2014: 88). Ahli etika Inggris Rachels (Rachels, 2004:175) juga menulis bahwa seruan untuk kembali kepada pendekatan Aristotelian dan kembali kepada teori tentang keutamaan mengemuka kembali pada abad pasca modern, terutama melalui artikel terkenal Elisabeth Anscombe “Modern Moral Philosophy” (1958). Artikelnya ini mengajak untuk mengembangkan kembali teori etika keutamaan pasca dianggap gagalnya bangunan hukum moral yang dibangun sejak abad pertengahan hingga modern, seperti etika kewajiban, etika utilitarian, etika kontraktarian dan lain-lain, yang berkutat pada permasalahan tindakan benar-salahdan bukan pada karakter manusianya sendiri yang menghasilkan tindakan yang baik dan yang benar. Teori keutamaan sejauh ini dikembangkan lagi dan sedangmenjadi bahandiskursus di Eropa kontemporer. Arah baru teori etika ini, yang berbeda dari etika deontologi Kant dan utilitarianisme Bentham, mempengarui kajian etika kekinian, sehingga sering disebut dalam diskursus etika sebagai aretaic turn: „pembalikan kembali arah diskursus kepada etika keutamaan, kembali kepada warisan nenek moyang‟.
14
E. Metode Penelitian 1. Bahan atau materi penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif kepustakaan atau literatur. Data untuk penelitian ini digali melalui studi kepustakaan terhadap bahan-bahan penelitian yang dibagi menjadi dua: bahan primer dan bahan sekunder. Bahan primer merupakan karya-karya asli pengarang (interpretandum), sementara bahan sekunder adalah bahan penunjang secara tidak langsung atau(interpretans) untuk sampai pada pemahaman (understanding) yang baik tentang objek penelitian, lalu menganalisisnya lebih dalam menggunakan model analisis tertentu. a. Sumber primer Bahan utama penelitian adalah buku-buku utama Damardjati: 1. Mawas Diri: Dari Diri yang Tanggal ke Diri yang Terdaftar, Diakui, Disamakan yakni Diri yang Terus Terang dan Terang Terus, Yogyakarta: Philosophy Press (2001). 2. Nawang Sari: Butir-Butir Renungan Agama, Spiritualitas, Budaya, Yogyakarta: Fajar Pustaka (1993). 3. Sumurupa Byar-e: Menyingkap Rahasia Awal Akhir Lahir Batin, Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila (2010). b. Sumber sekunder Literatur ilmiah tentang etika keutamaan di antaranya: 1.
Introduction to Virtue Ethics oleh Raymond J. Devettere (2002)
2.
Arete: Hidup Sukses Menurut Platon oleh A. Setyo Wibowo (2010)
3.
Xarmides: Platon: Keugaharian oleh A. Setyo Wibowo (penj) (2015)
15
2. Jalan penelitian Berdasarkan sistematika dan metodologi penelitian filsafat Anton Bakker (Bakker, 1992: 61), penelitian ini merupakan penelitian tentang hal historis faktual dalam bidang etika menurut pandangan tokoh. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dilakukan dengan metode kefilsafatan deskriptif dan analisis filosofis dengan langkah pelaksanaan berikut ini: a.
Inventarisasi data: karya Damardjati Supadjar yang dikumpulkan adalah tiga buku utamanya, buku yang pertama Mawas Diri adalah kumpulan tulisan, buku kedua Nawang Sari adalah refleksi spiritual dan keagamaan, buku yang ketiga Sumurupa Byar-e adalah karya yang lebih berupa ajaran dan refleksi tentang agama, spiritualitas dan konteksualisasinya.
b.
Klasifikasi: memilah-milah data secara tematis berdasarkan bab-bab yang sudah tersusun dalam karya-karyanya tersebut, agar pemikiran etika yang terkandung di dalamnya bisa dipahami secara sistematis.
c.
Deskripsi: memaparkan tentang pandangan etika keutamaan dalam karya tersebut yang didapatkan dari hasil pemahaman. Penjelasan deskriptif diperlukan untuk menjelaskan konsep-konsep paling inti seperti lahir, batin, awal, akhir, mawas diri, keutamaan, dan lain-lain.
d.
Analisis: analisis dilakukan terhadap data yang sudah diperoleh dan dilakukan dengan unsur atau bentuk analisis sebagai berikut:
16
3. Analisis Data Cara menganalisis data dengan menggunakan metode hermenutik dengan beberapa unsur analisis di antaranya sebagai berikut: a. Interpretasi Interpretasi diperlukan untuk menangkap maksud, makna dan nuansa pemikiran yang khas yang terdapat dalam karya-karya inti Damardjati Supadjar. Adanya jarak historis antara peneliti sebagai interpreter dan Damardjati Supadjar sebagai objek interpretasi atau interpretandum tidak terlalu signifikan. b. Deskripsi Deskripsi diperlukan dalam penelitian ini untuk menjelaskan konsep keutamaan menurut Damardjati Supadjar. Konsep-konsep pokok dan inti pemikiran Damarjati Supadjar akan dideskripsikan atau dijelaskan secara jernih dan terang. c. Komparasi Komparasi diperlukan untuk memperbandingkan konsepsi keutamaan Damardjati Supadjar dengan gagasan, pikiran atau konsepsi dari tokoh yang lain. d. Holistika Holistika diperlukan untuk memahami konsepsi Damardjati Supadjar secara menyeluruhdan holistik sehingga bisa menemukan keseluruhan corak visinya mengenai manusia yang utama. e. Heuristika
17
Heuristika diperlukan untuk menemukan pandangan yang baru atau interpretasi baru mengenai keutamaan di dalam pemikiran Damardjati Supadjar. F. Sistematika Penulisan Konten penelitian ini nantinya disajikan dalam lima bab utama, sehingga memudahkan pemahaman dalam penelitian, agar lebih terarah dan sistematis. Bab pertama merupakan bagian pendahuluan, yang memuat langkah-langkah baku dalam sebuah penelitian, yang mencakup di antaranya: latar belakang masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab kedua mencakup deskripsi atau penjelasan tentang objek formal, yaitu tentang teori etika keutamaan sebagai pisau analisis teoritis dalam penelitian ini. Pembahasan ini mencakup tentang etika dan percabangannya secara umum, dan kedudukan teori etika keutamaan sebagai salah satu cabang dalam etika normatif. Sub pembahasan tentang etika keutamaan antara lain: tentang sekilas sejarah etika keutamaan, makna keutamaan, distingsi prinsip keutamaan, beberapa komponen penting dalam teori keutamaan, dan yang penting pula adalah perkembangan teori etika politik kontemporer. Bab ketiga adalah interpretasidan deskripsi objek materi penelitian, yaitu tentang profil dan karya-karya Damardjati Supadjar, dan pandangan etikanya yang mencakup:konsep tentang kemawas dirian, hubungan mawas diri dengan kualitas batin seseorang, problem kedirian seputar kemawas dirian, dan karakterserta figur seorang yang mawas diri. Salah satu karakter utama orang yang mawas diri adalah
18
menyeimbangkan antara intelektualitas dan spiritualitas, antara tabiat saleh secara ritual dan saleh secara sosial. Moralitas pribadi mawas diri juga didominasi oleh pengandalan kepada hati nurani. Secara teleologis kebahagiaan menjadi orientasi yang ingin dicapai dengan keutamaan. Bab keempat merupakan analisis komparatif dan tinjauan filosofis hasil interpretasi atas pikiran Damardjati Supadjar guna mengetahui bagaimana corak pandangan Damardjati tentang keutamaan (teosentrisme),yang ciri utamanya adalah subordinasi diri terhadap kehendak Tuhan. Konsep kemawas dirian juga akan dikomparasikan dengan konsep sophrosune dalam empat keutamaan pokok, konsep keburukan yang tujuh, konsep keutamaan teologis dari St.Augustinus dan keutamaan intelektual Aristoteles. Berikutnya akan dilakukan analisis holistik, yaitu melihat corak umum pandangan keutamaan Damardjati, dan menemukan empat penekanan utamanya kepada: disiplin meditatif, kesadaran subordinatif, kedirian transformatif dan pengetahuan inspiratif. Bab kelima, yang terakhir, upaya heuristifikasi, berisi tentang kesimpulankesimpulan penting sebagai catatan terakhir atas hasil dari penelitian ini, sekaligus sebagai sekilas jawaban atas rumusan masalah yang sudah dikemukakan.