BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Gunungapi Kelud merupakan salah satu gunungapi paling aktif dan
berbahaya di Indonesia karena tipe erupsinya yang sulit diprediksi (Bourdier et al., 1997). Tipe erupsi Gunungapi Kelud pada dasarnya adalah eksplosif, namun pada erupsi tahun 2007 berganti menjadi efusif. Pergantian tipe erupsi tersebut menyebabkan danau kawah yang berada di puncak hilang (Gambar 1.1a.) dan digantikan oleh kubah lava yang muncul di tengah danau kawah (Gambar 1.1b.). Tipe erupsi eksplosif kembali ditunjukkan oleh Gunungapi Kelud pada erupsi tahun 2014, tepatnya tanggal 13 Februari.
Gambar 1.1. Danau kawah Gunungapi Kelud: (a) sebelum; (b) sesudah erupsi tahun 2007 (Sumber: Kusumadinata, 2011) Gunungapi Kelud juga terkenal dengan kejadian laharnya, yaitu lahar tipe syn-eruptive dan lahar tipe post-eruptive. Lahar syn-eruptive terbentuk dari campuran air danau kawah, lumpur, pasir, dan bebatuan dengan kecepatan aliran mencapai 18 m/s atau sekitar 65 km/jam (Kusumadinata, 2011). Lahar tipe posteruptive terbentuk karena dipicu oleh curah hujan intensif di puncak gunung (Rodolfo dan Alguden, 1991). Pasca erupsi tahun 2014, lahar yang terbentuk bertipe post-eruptive. Kejadian lahar mulai terjadi pada tanggal 18 Februari 2014, namun tidak semua sungai yang berhulu di Gunungapi Kelud mengalaminya. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Maritimo et al. (2014) dan Heriwaseso et al. (2014), setidaknya ada tujuh sungai yang telah terjadi lahar, yaitu: Sungai Konto, 1
Sungai Srinjing, Sungai Icir, Sungai Soso, Sungai Lekso, Sungai Semut, dan Sungai Pulo-Jengglong. Jika dibandingkan dengan keenam sungai lainnya, maka lahar di Sungai Konto merupakan lahar yang terbesar. Kejadian lahar post-eruptive yang melalui suatu alur sungai dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) tutupan vegetasi; (2) volume dan ketebalan material yang mengisi lembah sungai; (3) karakteristik fisik material seperti permeabilitas, porositas, dan ukuran butir; (4) durasi dan intensitas curah hujan; (5) kerapatan drainase; serta (6) kemiringan lereng dan kemiringan sungai (Lavigne dan Thouret, 2002). Faktor-faktor tersebut berbeda karakteristiknya pada setiap sungai. Oleh karenanya, potensi lahar di masing-masing sungai berbeda. Aliran lahar sering kali meluap di sisi kanan dan kiri sungai. Lahar tersebut dapat merusak dan/atau menghanyutkan berbagai penggunaan lahan, seperti: (1) permukiman; (2) lahan pertanian; maupun (3) infrastruktur lainnya termasuk bangunan pengendali lahar. Lebih jauh, kejadian lahar juga dapat menyebabkan hilangnya nyawa manusia. Faktor yang mengontrol luapan lahar tersebut adalah morfologi sungai, seperti: (1) lebar dan kedalaman lembah sungai; (2) gradien sungai; dan (3) bentuk datar alur sungai. Morfologi sungai umumnya digambarkan dalam profil memanjang, profil melintang, dan bentuk datar alur (tipe alur dan indeks sinusitas). Pemantauan dan pemulihan sungai pasca kejadian lahar menjadi hal yang sangat penting. Di dalam kurun waktu yang lama pasca erupsi, bahaya vulkanik yang melalui alur sungai dapat terjadi dan bahkan mengancam keselamatan masyarakat yang beraktivitas dan bermukim di sepanjang alur sungai tersebut (Gran dan Montgomery, 2005). Oleh sebab itulah, penelitian mengenai perubahan morfologi Sungai Konto pasca erupsi Gunungapi Kelud tahun 2014 dilakukan. Tujuannya adalah untuk meminimalkan dampak aliran lahar di masa yang akan datang serta sebagai pengembangan ilmu geomorfologi fluvial di lingkungan gunungapi. Penelitian dilakukan dengan suatu pendekatan, yaitu pendekatan geografi. Pendekatan geografi yang digunakan adalah pendekatan keruangan (spatial approach), yaitu pendekatan yang menekankan analisisnya terhadap eksistensi 2
ruang. Ruang yang dimaksud adalah wadah yang mengakomodasi kegiatan manusia dalam menjelaskan fenomena geosfer sebagai objek kajian ilmu geografi (Yunus, 2008). Ada dua dari sembilan tema pendekatan keruangan yang digunakan dalam penelitian. Tema yang pertama adalah analisis pola keruangan (spatial pattern analysis). Tema tersebut digunakan untuk mengetahui dan menjelaskan persebaran luapan lahar dan karakteristik morfologi sungai sepanjang alur sungai. Tema kedua adalah analisis proses keruangan (spatial process analysis). Proses adalah salah satu kunci utama dalam kajian ilmu geografi khususnya cabang ilmu geomorfologi. Hutton (1785; Thornbury, 1969) mengungkapkan bahwa proses fisik yang terjadi saat ini juga terjadi pada zaman geologi, meskipun dengan intensitas yang tidak selalu sama. Selain itu, setiap proses geomorfologi akan meninggalkan bekas tertentu pada permukaan bentuklahan dan setiap proses geomorflogi yang berkembang akan mencirikan karakteristik tertentu pada bentuklahannya. Visualisasi dari suatu proses adalah adanya perubahan ruang. Perubahan ruang diketahui dengan mengkaji alur Sungai Konto pada dua titik waktu, yaitu sebelum dan sesudah erupsi Gunungapi Kelud tahun 2014. Kombinasi dari kedua tema di atas diharapkan mampu menjelaskan fenomena perubahan alur Sungai Konto karena lahar secara menyeluruh.
1.2
Perumusan Masalah Erupsi tahun 2014 merupakan fase baru bagi perkembangan kejadian lahar
di Gunungapi Kelud. Fase perkembangan Gunungapi Kelud berdasarkan potensi kejadian laharnya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) sebelum erupsi tahun 2007; (2) setelah erupsi tahun 2007 sampai sebelum erupsi tahun 2014; dan (3) setelah erupsi tahun 2014. Sebelum erupsi Gunungapi Kelud tahun 2007, lahar yang terjadi ada dua tipe, yaitu lahar post-eruptive yang dipicu oleh hujan lebat dan lahar syn-eruptive yang dipicu keberadaan danau kawah di puncak gunung. Tipe erupsi yang berbeda ditunjukkan oleh Gunungapi Kelud pada tahun 2007. Tipe erupsinya adalah efusif yang menyebabkan danau kawah di puncak hilang dan digantikan oleh munculnya kubah lava. Akibatnya, aliran lahar tidak terjadi pada 3
saat maupun pasca erupsi Gunungapi Kelud tahun 2007. Karakteristik erupsi Gunungapi Kelud akhirnya kembali ke semula, yaitu erupsi eksplosif di tahun 2014 yang menyebabkan hancurnya kubah lava di tengah kawah dan lahar yang terjadi bertipe post-eruptive. Lahar post-eruptive terjadi di tujuh sungai dan salah satunya adalah Sungai Konto. Tidak meratanya kejadian lahar pada
sungai-sungai yang berhulu di
Gunungapi Kelud disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya adalah tutupan vegetasi, arah lontaran material, volume material yang mengisi lembah sungai, karakteristik material, karakteristik DAS, kemiringan lereng dan kemiringan sungai, serta durasi dan intensitas curah hujan. Alur sungai sebagai koridor lahar memiliki karakteristik tertentu yang berkorelasi positif dengan besarnya aliran lahar dan dampak yang ditimbulkan. Karakteristik tersebut disebut dengan morfologi sungai yang mencakup morfometri dan morfografi. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dapat dirumuskan pokok pertanyaan penelitian ini adalah apakah kajian perubahan morfologi sungai pasca erupsi tahun 2014 dapat dimanfaatkan untuk prediksi wilayah luapan lahar di masa yang akan datang?. Pokok permasalahan tersebut kemudian diuraikan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian lahar di Sungai Konto?
2.
Apa karakteristik morfologi Sungai Konto sebelum dan sesudah erupsi Gunungapi Kelud tahun 2014?
3.
Apa saja dampak aliran lahar tahun 2014?
4.
Dimana lokasi yang berpotensi terdampak lahar berdasarkan karakteristik morfologi Sungai Konto? Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan
tersebut, maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “KAJIAN PERUBAHAN
MORFOLOGI
SUNGAI
TERDAMPAK
LAHAR
DI
SUNGAI KONTO, KABUPATEN KEDIRI PASCA ERUPSI GUNUNGAPI KELUD TAHUN 2014”.
4
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.
Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian lahar di Sungai Konto.
2.
Mengidentifikasi karakteristik morfologi Sungai Konto sebelum dan sesudah erupsi Gunungapi Kelud tahun 2014.
3.
Mengidentifikasi dampak aliran lahar pada tahun 2014.
4.
Mengidentifikasi lokasi yang berpotensi terdampak lahar berdasarkan karakteristik morfologi Sungai Konto.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah mengetahui karakteristik morfologi Sungai
Konto. Informasi ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam perencanaan mitigasi struktural maupun non struktural dalam upaya menghadapi kemungkinan luapan lahar di masa yang akan datang. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi penelitian mengenai morfologi sungai dan lahar, khususnya di wilayah Gunungapi Kelud.
1.5
Telaah Pustaka
1.5.1 Erupsi Gunungapi Kelud Gunungapi adalah bentukan muka bumi yang terbentuk dari aktivitas geologi yang seringkali menunjukkan aktivitas vulkanisme yang tidak menentu (stochastic processes) (Sumaryadi et al., 2006). Padahal di sekitar kawasan gunungapi,
khususnya
Gunungapi
Kelud
banyak
masyarakat
yang
menggantungkan hidupnya dari potensi pariwisata maupun lahan pertanian yang subur oleh material vulkanik. Aktivitas vulkanisme yang tidak menentu tersebut dapat menjadi suatu bencana dan menyebabkan berbagai dampak. Definisi bencana yang dimaksud adalah bahaya yang telah terjadi atau mempengaruhi kehidupan manusia sehingga manusia mengalami kerugian atau menjadi korban (Sunarto, 2011).
5
Gunungapi Kelud adalah salah satu gunungapi aktif bertipe strato yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Lokasinya terletak pada koordinat 7°56’ LS dan 112°18’ BT (Ratdomopurbo et al., 2000). Lokasi Gunungapi Kelud secara administratif terletak di dua kotamadya dan tiga kabupaten, yaitu: Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang (Rahmadana et al., 2014). Periode erupsi Gunungapi Kelud berbeda-beda dari waktu ke waktu. Periode erupsi Gunungapi Kelud sebelum tahun 1900 rata-rata sekitar 9 hingga 75 tahun dan berubah menjadi 15-31 tahun pada abad ke 20 (Zaennudin, 2009). Waktu
erupsinya
yang tergolong pendek,
yaitu
hanya
beberapa
jam
(Ratdomopurbo et al., 2000) menggambarkan bahwa dapur magma Gunungapi Kelud tergolong kecil (Reksowirogo, 1979; Zaennudin, 2009). Meskipun begitu, material erupsinya mencapai ratusan juta meter kubik, lebih dari 10 kali lipat produk rata-rata erupsi Merapi (Ratdomopurbo et al., 2000). Sebagai contoh, erupsi pada tahun 1990 yang berlangsung selama 4 jam menghasilkan sekitar 0,13 km3 material piroklastik termasuk material jatuhan, aliran, dan rombakan (Bourdier et al., 1997). Semenjak abad ke-18 hingga abad ke-21 saat ini, Gunungapi Kelud telah mengalami 19 kali erupsi. Sejarah mencatat bahwa Gunungapi Kelud telah mengalami erupsi sebanyak 5 kali pada abad ke-18, 7 kali pada abad ke-19, dan 5 kali pada abad ke 20 (Ratdomopurbo et al., 2000). Pada abad ke-21 setidaknya telah tercatat dua kali kejadian erupsi, yaitu tahun 2007 (Kusumadinata, 2011) dan 2014 (Triastuty et al., 2014a). Semua kejadian erupsi Gunungapi Kelud memiliki VEI (Volcanic Explosivity Index) antara 3 hingga 5 (Mastin dan Witter, 2000). Erupsi terbesar Gunungapi Kelud terjadi pada tahun 1586 yang menelan korban 10000 jiwa dan pada tahun 1919 yang menelan 5160 jiwa (Thouret et al., 1998). Berdasarkan kejadian khasnya, Gunungapi Kelud termasuk dalam tipe erupsi Plinian (Siebert et al., 2011), yaitu erupsi eksplosif yang disertai dengan semburan gas dan abu vulkanik hingga ketinggian 50 km dan melontarkan batu apung dalam jumlah besar (Adams dan Lambert, 2006). Sebelum erupsi pada tahun 2007, erupsi Gunungapi Kelud terdiri dari tiga fase, yaitu: (1) fase erupsi 6
freatik yang eksplosif; (2) fase erupsi freatomagmatik, yaitu fase saat air danau kawah bercampur dengan material piroklastik; dan (3) fase erupsi magmatik, yaitu fase yang dicirikan adanya lontaran material piroklastik yang terkadang diikuti runtuhan dinding kawah yang mana dapat memicu terjadinya aliran piroklastik (Bourdier et al., 1997). Akan tetapi, fase erupsi pada tahun 2007 dan tahun 2014 tidak lagi demikian karena tipe erupsi Gunungapi Kelud berganti, yaitu dari tipe efusif di tahun 2007 menjadi tipe eksplosif di tahun 2014. Di tahun 2007, tipe erupsi Gunungapi Kelud berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kejadian erupsi diawali dengan perubahan warna danau kawah dari warna hijau menjadi kuning pada pertengahan Agustus 2007. Temperatur danau juga mengalami peningkatan yang disertai bualan-bualan gas di tengah danau kawah (Zaennudin, 2009). Pada 10 September 2007 tercatat 15 gempa vulkanik terjadi pada kedalaman 2 hingga 3,5 km di bawah permukaan danau kawah. Aktivitas kegempaan terus berfluktuasi hingga awal November 2007 (Belizal et al., 2012). Kubah lava akhirnya muncul ke permukaan pada tanggal 4 November 2007 pagi, namun diperkirakan kubah lava telah muncul pada malam harinya. Pertumbuhan kubah lava berlangsung hingga Juni 2008 yang ditandai dengan tidak adanya gempa vulkanik dalam maupun dangkal yang terekam. Kubah lava mengisi hampir seluruh danau kawah sehingga menyisakan sedikit air danau di bagian barat daya (Zaennudin, 2009). Tinggi kubah lava mencapai 250 m dengan volume total mencapai 35 juta m3 (Belizal et al., 2009). Beberapa erupsi Gunungapi Kelud juga pernah diakhiri dengan tumbuhnya kubah lava seperti pada tahun 2007, namun tetap didahului oleh fase eksplosif seperti pada erupsi tahun 1334, 1920, dan 1990 (Pratomo, 1992; Belizal et al., 2009). Tipe erupsi Gunungapi Kelud pada tanggal 13 Februari 2014 kembali ke tipe semula, yaitu tipe eksplosif (Triastuty et al., 2014a). Zaennudin (2009) mengungkapkan bahwa erupsi setelah tahun 2007 kemungkinan merupakan erupsi eksplosif cukup kuat yang menghasilkan material piroklastik berupa aliran dan jatuhan. Bukti dari kuatnya erupsi tahun 2014 adalah hancurnya kubah lava hasil erupsi 2007 (Heriwaseso et al., 2014).
7
1.5.2 Kejadian Lahar Gunungapi Kelud Lahar berasal dari istilah Indonesia yang kali pertama dikenalkan oleh Scrivenor
(1929; Rodolfo dan Alguden, 1991) untuk menyebut campuran
material vulkanik dan air hasil erupsi Gunungapi Kelud pada tahun 1919. Lavigne dan Thouret (2002) mendefinisikan lahar sebagai campuran material vulkanik dan air yang mengalir deras (lebih dari kondisi aliran secara normal) dari suatu gunungapi dan bergerak ke daerah yang lebih rendah atau hilir. Neall (1976) menjelaskan bahwa kejadian lahar dapat disebabkan oleh lima faktor, yaitu: (1) runtuhnya danau kawah; (2) bercampurnya awan panas dengan air; (3) adanya kejadian hujan; (4) lelehan salju dan es yang mengikuti kejadian erupsi; dan (5) erupsi freatik yang eksplosif atau semburan langsung. Lavigne (2006) mengklasifikasikan kejadian lahar menjadi tiga tipe, yaitu syn-eruptive, posteruptive, dan non-eruptive (Gambar 1.2.).
Gambar 1.2. Tipe lahar (Sumber: Lavigne, 2006) Komposisi sedimen dan air di dalam lahar tidak tetap atau dengan kata lain muatan sedimen berfluktuasi selama aliran lahar terjadi (Lavigne dan Thouret, 2002). Berdasarkan komposisi sedimen dan air, lahar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) aliran debris (debris flow), yaitu aliran yang memiliki konsentrasi sedimen >60% dari volume aliran total, sortasi sedimen buruk, kekentalan atau viskositasnya tinggi, serta umumnya menunjukkan aliran yang laminar; dan (2) aliran konsentrasi tinggi (hyperconcentrated flow), yaitu aliran yang memiliki konsentrasi sedimen 20-60% dari volume total, bertekstur pasir kasar hingga 8
kerikil halus, serta sortasi buruk (Beverage dan Culberston, 1964; Pierson dan Scott, 1985; Pierson dan Costa, 1987; Pierson et al., 1996). Faktor yang mempengaruhi tipe aliran tersebut antara lain distribusi ukuran butir, komposisi fisik sedimen, gaya angkut suatu cairan per unit area (shear stress), yield stress, dan suhu air (Lavigne dan Thouret, 2002). Gunungapi Kelud merupakan salah satu gunungapi yang memiliki bahaya lahar paling tinggi di Pulau Jawa. Terdapat tiga faktor yang menyebabkannya, yaitu: (1) adanya danau kawah; (2) sistem aliran sungai; dan (3) melimpahnya material yang erodibel di dalam sistem aliran sungai. Pemicu terjadinya lahar di Gunungapi Kelud juga ada tiga proses, yaitu: (1) air yang berasal dari danau kawah bercampur dengan endapan aliran piroklastik panas pada fasies proksimal; (2) bercampurnya air danau kawah dengan abu dan lapili pada saat fase awal erupsi terjadi; dan (3) bercampurnya lahar dengan debit aliran yang tinggi pada sungai selama musim penghujan (Thouret et al., 1998). Faktor dan proses yang memicu kejadian lahar di atas sesuai untuk kejadian erupsi sebelum tahun 2007 yang mana Gunungapi Kelud masih memiliki danau kawah di puncaknya. Erupsi Gunungapi Kelud terkenal pula dengan kejadian lahar syn-eruptive yang disebabkan oleh keberadaan danau kawah di puncaknya (Bourdier et al., 1997). Erupsi yang menghasilkan lahar paling berbahaya terjadi pada tahun 1919. Material erupsi yang mencapai 190 juta m3 dan air kawah dengan volume 40 juta m3 tumpah dalam kejadian tersebut. Akibatnya, 104 desa rusak berat dan 1571 ekor binatang mati (Kusumadinata, 2011). Setelah kejadian erupsi pada tahun 1919 dibuatlah terowongan pembuangan air untuk mengurangi volume danau (Hadikusumo, 1974). Bangunan ini kali pertama dirancang oleh Von Steiger, namun karena mengalami kesulitan teknik perhitungan akhirnya proyek dibatalkan pada Maret 1923. Selanjutnya, proyek terowongan pembuangan air dikerjakan oleh Hettinga Tromp pada Juni 1923. Tahun 1951 erupsi kembali terjadi dan bangunan tersebut nyatanya efektif untuk mengurangi bahaya lahar. Tercatat hanya tujuh orang yang dilaporkan meninggal di daerah puncak selama erupsi. Meskipun begitu, terowongan
9
Hettinga Tromp rusak karena erupsi tahun 1951. Akhirnya terowongan dibangun kembali dengan rancangan Yzendoorn (Zen dan Hadikusumo, 1965). Kejadian lahar dengan frekuensi paling tinggi terjadi saat erupsi Gunungapi Kelud tahun 1990, yaitu 33 kali kejadian lahar dari tanggal 15 Maret hingga 28 Maret 1990. Lahar tersebut melewati Sungai Konto, Sungai Mangli, Sungai Abab, Sungai Bladak, Sungai Gedog, Sungai Petungkobong, Sungai Sumberagung, Sungai Pulo Jengglong, Sungai Putih, Sungai Semut, Sungai Itjir, Sungai Soso, dan Sungai Lekso. Oleh sebab itulah, beberapa bangunan pengendali lahar akhirnya dibangun di Sungai Bladak, Sungai Putih, dan Sungai Konto untuk mengurangi jarak tempuh lahar hingga 10 km untuk aliran debris (debris flow) dan 27 km untuk aliran distal (distal flow) (Thouret et al., 1998). Lahar tidak lagi terjadi pada erupsi tahun 2007 karena tumbuhya kubah lava pada danau kawah (Belizal et al., 2012). Di tahun 2014 lahar terjadi di beberapa sungai, yaitu: Sungai Konto, Sungai Srinjing, Sungai Icir, Sungai Soso, Sungai Lekso (Maritimo et al., 2014), Sungai Semut, dan Sungai Pulo-Jengglong (Heriwaseso et al., 2014). Sementara itu di Sungai Bladak dan Sungai Putih yang seringkali dilalui aliran lahar belum menunjukkan adanya kejadian lahar (Maritimo et al., 2014). 1.5.3 Daerah Aliran Sungai (DAS) Suprayogi et al. (2014) mendefiniskan DAS sebagai suatu ekosistem dan bentuklahan yang dibatasi oleh punggung-punggung gunung dan berfungsi sebagai pengumpul, penyimpan, penambat, dan penyalur air beserta bahan tersuspensi, bahan terlarut, dan material dasar yang keluar melalui satu titik tunggal (outlet tunggal). Fungsi hidrologi DAS memiliki keterkaitan dengan kemampuan DAS dalam beberapa hal, yaitu: (1) transmisi air; (2) penyangga pada puncak kejadian hujan; (3) pelepasan air secara perlahan; (4) memelihara kualitas air; dan (5) mengurangi perpindahan massa tanah (Suprayogi dan Werdiningsih, 2014). Penggunaan istilah DAS dalam bahasa asing biasanya dipadankan dengan istilah drainage basin, catchment, dan watershed. Drainage basin merupakan 10
istilah yang sering dipakai pada literatur Amerika dan didefiniskan sebagai wilayah yang dibatasi oleh sistem limpasan permukaan. Istilah catchment sering dipakai pada literatur Inggris yang bermakna daerah tangkapan air (Eagleson, 1970). Istilah DAS juga dipadankan dengan istilah watershed yang artinya sistem air (Notohadiprawiro; Suyono, 1996; Suprayogi et al., 2014). Respon DAS ada dua, yaitu limpasan langsung (direct run off) dan limpasan dasar (baseflow) (Van de Greind, 1979: Suprayogi et al., 2014). Limpasan langsung terjadi apabila intensitas hujan lebih besar dari kapasitas infiltrasinya (Suprayogi et al., 2014). Charlton (2008) mengungkapkan ada lima faktor yang mempengaruhi respon DAS, yaitu: (1) tanah dan geologi; (2) vegetasi dan penggunaan lahan; (3) karakteristik fisik DAS; (4) karakteristik alur sungai; dan (5) kondisi meteorologi. Kajian geomorfologi tidak hanya pada alur sungai itu sendiri, tetapi juga pada morfologi dimana alur sungai itu berada, yaitu morfologi DAS (Morisawa, 1968). Karakteristik DAS juga penting untuk diketahui karena berperan dalam mengontrol jalur dan tingkat pergerakan air serta tipe dan jumlah partikel yang terangkut dalam jaringan sungai (Dingman, 2009). Karakteristik DAS di antaranya adalah panjang sungai, panjang DAS, kerapatan drainase, keliling DAS, luas DAS, dan bentuk DAS. Panjang sungai berbeda dengan panjang DAS. Panjang sungai meliputi panjang sungai utama dan panjang anak-anak sungai. Sungai utama merupakan sungai terbesar pada DAS yang membawa aliran serta sedimen ke titik tunggal (outlet). Panjang DAS adalah panjang maksimum yang diukur dari titik tunggal ke titik jauh dari batas DAS (Triatmodjo, 2008). Kerapatan drainase adalah panjang sungai per unit area [1]. Kerapatan drainase dipengaruhi oleh faktor iklim dan karakteristik fisik suatu DAS (Morisawa, 1969). Alur sungai akan terbentuk apabila kecepatan limpasan permukaan mencapai nilai kritis sehingga erosivitas semakin tinggi (Eagleson, 1970). Tingkat erosivitas di DAS dikontrol oleh tipe dan jenis batuan. Apabila batuan bersifat resisten, maka sulit tererosi dan begitu sebaliknya. Umumnya, DAS yang tersusun atas material lempung dan serpih akan memiliki kerapatan 11
drainase yang tinggi, sedangkan DAS yang tersusun atas material batupasiran memiliki kerapatan drainase yang kecil (Morisawa, 1969). Keliling DAS adalah batas luar yang membatasi area DAS dan bersifat satu dimensi, sedangkan luas DAS bersifat dua dimensi. Luas DAS akan berpengaruh terhadap debit sungai. Semakin besar luas DAS, maka debit sungai dan limpasan permukaan juga semakin besar dan begitu pula sebaliknya (Triatmodjo, 2008). Cepat lambatnya konsentrasi aliran yang terkumpul dipengaruhi oleh bentuk DAS Konto. Bentuk membulat memberikan konsekuensi yaitu hampir bersamaannya waktu kedatangan aliran dari segala penjuru. Apabila terjadi hujan yang merata di seluruh DAS, maka akan terjadi banjir besar. Sebaliknya, bentuk DAS yang memanjang akan menyebabkan debit banjirnya relatif kecil karena waktu perjalanan aliran dari anak-anak sungainya berbeda-beda (Soewarno, 2014). Ada berbagai metode dalam menentukan bentuk DAS. Rasio kebundaran (circularity ratio)(Rc) dan rasio memanjang (elongation ratio) (Re) merupakan metode yang lebih praktis untuk mengetahui karakteristik hidrologi dari suatu DAS. Nilai Re berkaitan erat dengan relief DAS. Ketika suatu DAS memiliki lereng yang curam dan relief yang tinggi, maka nilai Re umumnya berkisar antara 0,6 hingga 0,8 (Eagleson, 1970).
1.5.4 Geomorfologi Fluvial Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuklahan (Thornbury, 1969). Bentuklahan adalah kenampakan permukaan bumi yang terjadi akibat genesis tertentu sehingga menimbulkan bentuk khas. Bentuk khas tersebut mencirikan beberapa sifat fisik material akibat proses alami yang dominan dan dapat pula dikaitkan dengan struktur tertentu dalam perkembangannya (Sunarto, 2004; Sunarto; 2014). Proses geomorfologi adalah semua proses baik fisik maupun kimia yang mampu mengubah bentuk permukaan bumi menjadi bentukan positif (agradasi) atau bentukan negatif (degradasi) (Thornbury, 1969). Proses yang berlangsung 12
berasal dari dalam, luar, maupun permukaan bumi. Faktor dari dalam terdiri dari gejala tektonisme dan vulkanisme. Hasil dari kedua gejala ini selanjutnya terubah oleh proses-proses permukaan seperti pelapukan, pembentukan tanah, erosi, longsor, dan sedimentasi. Proses-proses inilah yang membentuk bentuklahan tertentu yang memiliki karakteristik berbeda dengan bentuklahan asal proses tektonisme dan vulkanisme (Sartohadi, 2007). Bentuklahan tidak hanya dihasilkan dari pengaruh fisik, namun juga pengaruh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung (Goudie, 2004). Istilah fluvial berasal dari bahasa Yunani fluvius, yang berarti sungai. Ketika membahas sistem fluvial, maka kajiannya tidak hanya alur sungai, tetapi juga jaringan sungainya (Schumm, 2005). Geomorfologi fluvial adalah ilmu yang mengkaji hubungan antara bentuk alur sungai dan proses yang terjadi di dalamnya berdasarkan ruang dan waktu tertentu. Berdasarkan prosesnya, sistem fluvial dapat dibedakan menjadi tiga zona, yaitu (Gambar 1.3.): (1) zona produksi; (2) zona transportasi; dan (3) zona pengendapan. Zona produksi merupakan zona sumber pasokan sedimen yang berasal dari proses erosi dan gerak massa. Zona transportasi adalah zona perpindahan material sedimen ke daerah di bawahnya. Ketika energi pengangkut material mulai melemah seiring dengan penurunan gradien sungai, maka proses yang terjadi adalah pengendapan (Charlton, 2008).
Gambar 1.3. Pembagian zona sistem fluvial (Sumber: Schumm, 1977; Charlton, 2008)
13
Pemanfataan ilmu geomorfologi fluvial dalam manajemen sungai memiliki beberapa keuntungan, yaitu: (1) pendekatan geomorfologi fluvial dapat menjelaskan keterkaitan antara proses yang terjadi dalam alur sungai dengan proses dan manajemen DAS; (2) kaitannya dengan strategi, geomorfologi fluvial dapat digunakan untuk memprediksi hasil dari penilaian lingkungan terhadap usaha perbaikan alur dan habitat sungai; (3) kaitannya dengan pencegahan, geomorfologi fluvial dapat digunakan untuk manajemen banjir termasuk penjagaan dan pemulihan morfologi sungai serta pembuatan desain bangunan untuk meminimalkan erosi dan sedimentasi; (4) kaitannya dengan regulasi, geomorfologi dimanfaatkan untuk menilai dan mempertimbangkan boleh atau tidaknya suatu pekerjaan sungai berjalan yang mana dapat berdampak pada perubahan morfologi sungai serta muatan sedimen; (5) kaitannya dengan hukum aksi reaksi, geomorfologi dimanfaatkan dalam mencari dan mengetahui penyebab dari perubahan alur sungai dan menjadi pedoman dalam memahami berbagai fenomena yang terjadi dalam alur sungai; dan (6) penggunaan pendekatan geomorfologi fluvial selalu menghasilkan keuntungan terhadap manajemen sungai yang dilakukan (Sear et al., 2003).
1.5.5 Morfologi Sungai Sungai adalah alur memanjang yang berfungsi sebagai tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan (Sosrodarsono dan Tominaga, 2008). Maryono (2007) menyatakan sungai adalah suatu sistem yang sifatnya komplek, namun memiliki keteraturan (complex but not complicated). Suatu sistem yang komplek tersusun atas berbagai komponen yang saling terkait dan berpengaruh dalam suatu sistem yang sinergis serta mampu menghasilkan produk yang efisien. Sistem yang teratur yaitu sistem yang tersusun atas berbagai komponen yang memiliki karakteristik yang teratur. Kekomplekan sistem sungai tergambar dari berbagai komponen penyusunnya, seperti: bentuk alur dan percabangan sungai, formasi dasar sungai (river bed form), morfologi sungai (river morphology), dan ekosistem sungai (river ecosystem).
14
Di dalam kajian ilmu geomorfologi, aspek morfologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu morfografi dan morfometri. Morfografi adalah pemerian suatu bentukan muka bumi, sedangkan morfometri adalah aspek kuantitatif dari bentukan muka bumi (Zuidam, 1979). Morfografi sungai diantaranya adalah teras sungai, tanggul alam, dan kipas aluvial. Sementara itu, morfometri sungai antara lain kemiringan lereng dan beda tinggi (Endarto, 2007). Mangelsdrof dan Scheuermann (1980; Maryono, 2002) menyebutkan ada empat faktor yang menjadi syarat awal pembentukan morfologi alur sungai dan turut berperan dalam perubahannya, yaitu: tektonik, geologi, iklim, dan vegetasi (Gambar 1.4.). Setelah ada debit air, maka proses transportasi sedimen dari hulu hingga hilir dan tumbuhnya vegetasi di sepanjang alur sungai terjadi. Keterkaitan berbagai faktor tersebut dapat dilihat dari geometri atau morfometri sungai berupa tampang memanjang, tampak atas, dan tampak melintang.
Syarat Alamiah
Tektonik
Geologi
Iklim
Vegetasi Proses Transport
Sedimen
Geometri Sungai
Tampang memanjang
Debit
Tampak atas
Tampak melintang
Gambar 1.4. Sistem pembentukan morfologi sungai (Sumber: Mangelsdrof dan Scheuermann, 1980; Maryono, 2002) Ketiga morfologi sungai di atas dapat berubah bentuk maupun ukuran karena pengaruh erosi maupun aktivitas manusia. Alur yang terbentuk pada material aluvium yang lepas-lepas memiliki resistensi yang lebih rendah terhadap erosi dibandingkan dengan alur yang terbentuk pada batuan dasar (bedrocks channel). Hal tersebut disebabkan oleh kecilnya energi yang bekerja (Charlton, 2008).
15
A.
Alur sungai Kondisi alur suatu sungai dipengaruhi oleh dua komponen utama, yaitu
variabel pemicu dan kondisi batasan. Variabel pemicu terdiri atas masukan air dan masukan material sedimen. Input air di dalam alur sungai berasal dari limpasan permukaan ataupun limpasan langsung yang berada dalam DAS, sedangkan masukan sedimen berasal dari proses erosi yang terjadi di dalam alur maupun di DAS. Keseimbangan antara masukan air dan sedimen akan berpengaruh terhadap proses degradasi dan agradasi di dalam alur sungai. Besarnya masukan air dan sedimen di dalam alur sungai dipengaruhi oleh kondisi iklim, geologi, serta karakteristik vegetasi yang ada di dalam DAS (Thorne, 1997). Kondisi batasan merupakan kondisi dari alur tersebut yang terdiri atas material dasar dan tebing sungai, kemiringan lembah, serta keberadaan vegetasi di sekitar alur sungai. Kemiringan lembah akan berkaitan dengan besarnya energi potensial dan energi kinetik dari suatu aliran yang berpengaruh terhadap nilai stream power (Thorne, 1997). Stream power merupakan daya aliran per satuan panjang alur sungai (Dingman, 2009). Stream power oleh Thorne (1997) didefiniskan sebagai kapasitas aliran sungai dalam mentransporkan sedimen yang asalnya dari hulu. Material dasar dan tebing sungai berperan dalam mengontrol tingkat erosivitas suatu alur sungai. Semakin keras suatu batuan, maka tingkat erosivitasnya semakin kecil. Kondisi batasan yang terakhir adalah keberadaan vegetasi di sekitar alur sungai yang beperan dalam mengontrol stabilitas alur sungai. Hasil penelitian dari Hey dan Thorne (1986; Thorne, 1997) memberikan kesimpulan bahwa semakin lebat suatu vegetasi, maka alur sungainya akan semakin sempit dan begitu sebaliknya. Variabel kontrol dari penelitian tersebut adalah nilai debit alirannya sama. Kedua komponen di atas merupakan variabel yang berdiri sendiri karena merupakan warisan dari proses geomorfologi masa lalu. Variabel yang tidak dapat berdiri sendiri adalah bentuk alur sungai yang merupakan hasil dari interaksi antara variabel pemicu dan kondisi batasan (Sear et al., 2003). Bentuk alur sungai direpresentasikan ke dalam penampang melintang, penampang memajang, dan bentuk datar alur seperti yang ditampilkan pada Gambar 1.5. di bawah ini. 16
Gambar 1.5. Faktor pengontrol alur sungai (Sumber: Thorne, 1997) Ada dua hubungan timbal balik antara bentuk alur dengan karakteristik hidraulika aliran, yaitu karakteristik hidraulika aliran mempengaruhi bentuk alur dan bentuk alur mempengaruhi karakteristik hidraulika aliran (Charlton, 2008). Keduanya merupakan faktor yang saling mempengaruhi seperti pada Gambar 1.6. Gambar tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan dampak yang mungkin terjadi dari berbagai perlakuan yang diberikan kepada sistem sungai. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa bentuk alur suatu sungai merupakan hasil dari serangkaian proses yang terjadi di dalam DAS. Ketiga hasil tersebut kemudian berinteraksi dengan sistem kimia dan biologi, lalu menghasilkan habitat fisik dan biologi sungai. Di dalam skala yang lebih besar, bentuk alur dan habitat sungai adalah penyusun bentuklahan fluvial (Sear et al., 2003). Debit sungai Distribusi kecepatan
Kecepatan aliran
Hidraulik geometri Kekasaran dasar
Bentuk alur Karakteristik material dasar
Tegangan geser (shear and stress) pada dasar sungai
Erosi dan sedimentasi Seleksi material
Ketersediaan sedimen
Transportasi material dasar
Kompetensi dan kapasitas
Gambar 1.6. Hubungan antara aliran, sedimen, dan bentuk alur pada sungai bermaterial dasar kasar (Sumber: Ashworth dan Ferguson, 1986; Charlton, 2008) 17
Rust (1978; Sear et al., 2003) membagi tipe alur sungai menjadi empat, yaitu: (1) alur lurus; (2) alur meander; (3) alur bercabang; dan (4) alur teranyam (alur yang memiliki alur lurus, meander, dan teranyam) (Gambar 1.7.). Alur lurus terdapat pada sungai yang tebingnya tersusun atas material yang resisten dan pasokan sedimennya sedikit (Charlton, 2008). Alur meander merupakan alur sungai yang berkelok-kelok dan dijumpai pada sungai yang memiliki kemiringan dasar rendah (Maryono, 2008). Alur bercabang terbentuk pada sungai yang bertebing lebar dan rendah. Gosong-gosong sungai yang terbentuk akan membagi sungai ke dalam beberapa alur (Sear et al., 2003). Alur teranyam terbagi menjadi beberapa alur yang saling terhubung satu dengan lainnya (Charlton, 2008).
Gambar 1.7. Tipe alur sungai (Sumber: Rust, 1978; Sear et al., 2003) Meander atau tidaknya suatu alur sungai dapat dinyatakan dengan indeks kelengkungan atau indeks sinusitas. Indeks sinusitas merupakan perbandingan antara panjang alur sungai dan panjang lembah. Klasifikasi nilai indeks sinusitas ada tiga, yaitu: (1) <1,1 termasuk alur lurus; (2) 1,1 – 1,5 termasuk sinus atau melengkung; dan (3) > 1,5 termasuk meander (Leopold dan Wolman, 1957; Thorne, 1997). Pengukuran indeks sinusitas ini dapat dilakukan melalui interpertasi peta, foto udara, maupun citra satelit (Charlton, 2008). Perhitungan nilai sinusitas juga perlu memperhatikan tali arus (thalweg), yaitu garis yang menunjukkan aliran tercepat yang arahnya mengalami perpindahan sepanjang alur sungai. Tali arus sangat nampak pada alur sungai lurus dan sering kali berasosiasi dengan perkembangan riffles, pools, dan gosong sungai (Charlton, 2008). Riffle adalah morfologi dasar sungai yang lebih dalam 18
dari sekitarnya dan menunjukkan penampang sungai yang tidak terlalu curam. Pool adalah morfologi dasar sungai yang lebih dalam dari sekitarnya dan berasosiasi dengan lengkungan meander serta gosong sungai pada lengkung dalam maupun luar alur sungai (Knighton, 1984). B.
Profil melintang sungai Profil melintang adalah bentukan dua dimensi yang memotong arah aliran
sungai dan tersusun atas parameter lebar, kedalaman, dan bentuk penampang (Morisawa, 1968). Dingman (2009) menyebutkan bahwa suatu penampang melintang itu kedua sisinya diakhiri oleh ketinggian bankfull yang mana di setiap tempat berbeda-beda batasnya. Charlton (2008) menambahkan bahwa ketinggian bankfull akan berkaitan dengan debit bankfull, yaitu debit maksimum yang dapat ditampung oleh suatu alur dengan penampang melintang tertentu. Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui ketinggian bankfull, yaitu (Rosgen, 1996; Dingman, 2009): 1.
Puncak ketinggian dari suatu endapan yang berada di sisi alur sungai.
2.
Adanya perubahan ukuran sedimen karena ukuran butir yang lebih halus di sisi-sisi sungai biasanya diendapkan oleh luapan atau banjir.
3.
Bekas gerusan pada bebatuan yang ada pada alur sungai.
4.
Kenampakan akar-akar tanaman di bawah lapisan tanah yang masih utuh yang mengindikasikan adanya erosi oleh aliran.
5.
Adanya lumut atau tanaman di sepanjang alur sungai yang hilang padahal di bagian atasnya kedua spesies tersebut ada. Hal tersebut mengindikasikan adanya erosi oleh aliran atau banjir.
Rosgen (1996; Dingman, 2009) juga merekomendasikan beberapa prinsip dasar dalam pengaplikasian beberapa indikator di atas, yaitu: 1.
Perlunya konfirmasi data aliran dan kejadian banjir pada 1-2 tahun sebelumnya di Stasiun Pengamatan Aliran Sungai (SPAS).
2.
Indikator yang digunakan atau dipilih harus disesuaikan dengan tipe aliran dan lokasinya.
3.
Menggunakan beberapa indikator jika memungkinkan. 19
4.
Mengetahui banjir yang terakhir kali terjadi dan sejarah kekeringan pada wilayah kajian untuk menghindari kekeliruan identifikasi endapan banjir. Bentuk penampang melintang pada sungai alami umumnya berbentuk
cekung, iregular, dan asimetris (Dingman, 2009). Bentuk profil melintang sungai di berbagai tempat adalah fungsi dari aliran, jumlah dan karakteristik pergerakan sedimen, komposisi material yang membentuk dasar dan tebing sungai, serta vegetasi pada sungai alami (Leopold et al., 1964). Tabel 1.1. menunjukkan beberapa parameter yang digunakan untuk mendeskripsikan morfometri penampang melintang sungai dan Gambar 1.8. adalah visualisasinya. Tabel 1.1. Definisi dari beberapa parameter penampang melintang Simbol Definisi Parameter ukuran ABF Luas penampang melintang pada aliran bankfull A Luas penampang melintang pada alur yang terisi oleh air; A ≤ ABF PwBF Perimeter basah pada bankfull Pw Perimeter basah pada alur yang terisi oleh air; Pw ≤ PwBF RBF Radius hidraulik pada bankfull; RBF = ABF / PwBF R Radius hidraulik pada alur yang terisi oleh air; R = A / Pw WBF Lebar penampang pada bankfull: lebar muka air pada kondisi bankfull W Lebar penampang pada alur yang terisi oleh air; W ≤ WBF ᴪBF Kedalaman maksimum pada kondisi bankfull ᴪ Kedalaman maksimum pada alur yang terisi oleh air; ᴪ ≤ ᴪBF YBF Rata-rata kedalaman pada kondisi bankfull; YBF = ABF / WBF Y Rata-rata kedalaman pada alur yang terisi oleh air; Y = A /W Yl Kedalaman pada lokasi tertentu pada suatu penampang yang terisi oleh air; Yl ≤ ᴪ Parameter bentuk WBF / YBF Rasio lebar/kedalaman pada kondisi bankfull W/Y Rasio lebar/kedalaman pada alur yang terisi oleh air Sumber: Dingman, 2009
20
Gambar 1.8. Penampang melintang suatu sungai dan parameter morfometrinya (Sumber: Dingman, 2009)
Bentuk penampang melintang sungai akan berubah seiring dengan perubahan tinggi muka air dan debit aliran. Semakin besar debit alirannya, maka kedalaman penampang semakin besar (Morisawa, 1968). Proses erosi dan sedimentasi yang terjadi pada suatu alur sungai juga dapat digambarkan dari bentuk penampang melintang (Maryono, 2008). WMO (2003) membagi profil melintang sungai menjadi dua kategori, yaitu profil melintang pada stasiun pengukuran dan profil melintang sepanjang sungai. Profil melintang pada stasiun pengukuran merupakan perubahan ukuran penampang dalam ruas pendek atau pada penampang dengan debit yang berbeda. Profil melintang sepanjang sungai merupakan perubahan ukuran penampang pada sungai yang berbeda atau perbedaan ruas atas dan ruas bawah pada sungai yang sama.
C.
Profil memanjang sungai Profil memanjang mendeskripsikan gradien muka air sepanjang alur sungai
(Charlton, 2008). Profil memanjang sungai dibagi menjadi tiga zona, yaitu: (1) zona hulu (upstream); (2) zona tengah (middle stream); dan (3) zona hilir (downstream) (Leopold et al., 1964). Masing-masing zona memiliki ciri-ciri tersendiri. Di zona hulu proses yang mendominasi adalah erosi vertikal sehingga 21
bentuk profilnya cembung. Di zona tengah dicirikan dengan arus yang tidak deras, adanya erosi vertikal dan horisontal, serta lembah yang berbentuk U. Di zona hilir gejala erosi sangat kecil, namun proses pengendapannya besar. Oleh sebab itu bentuk penampangnya U. Selain itu, zona hilir dicirikan pula dengan adanya meander sungai dan delta (Endarto, 2007). Umumnya profil memanjang berbentuk cekung, namun tidak menutup kemungkinan ada yang berbentuk cembung dan lurus (Charlton, 2008). Kecekungan profil memanjang sungai disebabkan perbedaan proses geomorfologi yang bekerja dari hulu hingga hilir (Morisawa, 1968). Kecekungan profil memanjang juga dipengaruhi oleh ukuran butir material dasar. Semakin halus ukuran butir ke arah hilir, maka profil memanjang sungai berbentuk cekung. Sebaliknya, semakin kasar ukuran butir ke arah hulu, maka profil memanjang sungai berbentuk cembung. Secara umum bentuk dari profil memanjang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu debit aliran, material sedimen, ukuran material, resistensi aliran, kecepatan aliran, kedalaman penampang, lebar penampang, dan kemiringan aliran (Leopold et al., 1964). Richards (1982) menyebutkan bahwa kondisi geologi pada alur sungai juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap bentuk profil memanjang sungai. Kondisi geologi yang dimaksud antara lain batuan penyusun dan struktur geologi. Resistensi batuan akan berpengaruh pada jumlah dan ukuran material sedimen yang terangkut oleh aliran. Maryono (2008) menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara kemiringan memanjang dengan bentuk alur sungai. Jika kemiringan memanjang sungai <2%, maka tipe alur yang terbentuk adalah tipe alur meander. Jika kemiringan memanjang sungai 2-4%, maka tipe alur yang terbentuk adalah bercabang dan teranyam. Jika kemiringan memanjang sungai 4-10%, maka tipe alur sungai relatif lurus.
22
1.5.6 Bangunan Pengendali Lahar Sungai merupakan jalur aliran air dan sedimen di atas permukaan bumi. Aliran sedimen yang tidak terkendali dapat merusak dan membahayakan manusia. Salah satunya adalah aliran lahar (Sosrodarsono dan Tominaga, 2008). Salah satu cara untuk mengendalikan aliran lahar adalah pembuatan bangunan pengendali seperti sabo dam/check dam, dam konsolidasi, dan kantong lahar. Sabo dam adalah bangunan melintang yang berfungsi untuk menahan sedimen, mengurangi kecepatan banjir lahar, dan mencegah erosi tebing sungai. Sabo dam biasanya dibangun di hulu sungai. Dam konsolidasi adalah bangunan penahan sedimen berbentuk melintang yang mana skalanya lebih kecil dibandingkan sabo dam. Fungsi dari dam konsolidasi adalah memantapkan elevasi dasar sungai agar tidak tergerus, melindungi bangunan di sebelah hulunya seperti jembatan, dan pengambilan air irigasi. Kantong lahar adalah bangunan penahan aliran sedimen yang letaknya lebih di hilir dibandingkan sabo dam atau berada di tempat yang datar yang mana tebing sungai sudah tidak ada lagi. Bangunan ini terdiri dari tanggul di kanan dan kiri sungai serta tanggul yang melintang. Di bagian aliran sungai pada hilir kantong lahar dibangun pula overflow atau pelimpas sebagai jalur keluarnya aliran air. Konstruksi pelimpas mirip dengan dam konsolidasi. Apabila kantong lahar penuh, maka material harus diangkut keluar (Suparman et al., 2011). Bangunan sabo dam di sungai-sungai yang dialiri lahar Gunungapi Kelud berjumlah 140 unit dengan kapasitas tampung ±71 juta m3. Sebagian volume mati (dead storage) dari beberapa bangunan tersebut sudah terisi penuh sehingga volume tampungan yang tersisa adalah ±21,35 juta m3. Tidak semua sabo dam berfungsi sebagai penampung material lahar, namun ada pula yang berfungsi menstabilkan dasar sungai terencana (Kementrian Pekerjaan Umum, 2009). Jumlah total sabo dam di Sungai Konto terdiri dari 14 unit yang terdiri dari 5 sabo dam/check dam, 8 konsolidasi dam, dan 1 kantong lahar (PPK Gunungapi Kelud, 2014). Keberadaan sabo dam dapat membantu upaya pengurangan dampak bencana, namun di sisi lain dapat pula mengurangi karakteristik aliran sungai. 23
Kontuinitas aliran sedimen terganggu karena adanya kontruksi bangunan. Jika sebagian besar aliran sedimen tertahan pada bangunan penahan, maka aliran selanjutnya akan membawa sedikit sedimen. Hal ini akan berpengaruh terhadap pola alur sungai yang mana dipengaruhi oleh pasokan sedimen (Kondolf, 1997).
1.6
Kerangka Pemikiran Kejadian erupsi Gunungapi Kelud menghasilkan material piroklastik yang
besar. Material tersebut mengisi lembah-lembah sungai, namun besarnya tidak sama di setiap lereng. Lembah sungai yang paling banyak mendapatkan pasokan material berada pada lereng sebelah utara dan sebelah timur laut. Hujan lebat yang turun di wilayah puncak gunung dapat menyebabkan aliran lahar, yaitu aliran yang berasal dari campuran material piroklastik dan air yang mengalir lebih deras dari aliran sungai biasa. Salah satu sungai yang terjadi aliran lahar pasca erupsi Gunungapi Kelud tahun 2014 adalah Sungai Konto. Besarnya aliran lahar di Sungai Konto menyebabkan lahar meluap di sisi-sisi sungai. Selaras dengan hal tersebut, maka dampak yang ditimbulkan juga besar. Dampak yang dimaksud antara lain dampak terhadap lahan pertanian, bangunan pengendali lahar, permukiman, dan infrastruktur lainnya. Sungai sebagai wadah aliran air dan sedimen di permukaan bumi memiliki karakteristik morfologi sungai tertentu yang mengontrol besar kecilnya luapan lahar yang terjadi pada suatu alur sungai. Karakteristik morfologi sungai dapat dilihat dari penampang melintang, penampang memanjang, dan bentuk datar alur sungai. Ketiganya dapat mengalami perubahan bentuk dan ukuran dalam kurun waktu yang lama maupun singkat. Salah satu penyebab perubahan morfologi sungai secara singkat adalah aliran lahar. Masing-masing gambaran morfologi sungai memiliki fungsi masingmasing. Penampang melintang sungai menggambarkan lebar dan kedalaman lembah yang dapat digunakan untuk mengukur kapasitas tampungan maksimum. Penampang memanjang sungai dapat menggambarkan proses yang bekerja dari hulu hingga hilir. Bentuk datar alur dapat menggambarkan daerah yang berpotensi terluap berdasarkan nilai indeks sinusitas dan tipe alur sungai. Kombinasi dari 24
ketiga karakteristik morfologi sungai tersebut dapat digunakan untuk mengetahui lokasi yang berpotensi mengalami luapan lahar di masa yang akan datang. Kerangka pemikiran penelitian yang dipaparkan di atas ditunjukkan pada Gambar 1.9. Erupsi Gunungapi Kelud tahun 2014
menimbulkan
dipengaruhi oleh
Kejadian lahar pada Sungai Konto
Dampak negatif
Vegetasi, volume material, karakteristik material, curah hujan, dan gradien sungai
Luapan lahar
dikontrol oleh
Morfologi sungai
Sebelum lahar
Sesudah lahar
1. Penampang memanjang sungai 2. Penampang melintang sungai 3. Bentuk datar alur sungai
Lokasi Potensial Luapan Lahar di Sungai Konto Gambar 1.9. Kerangka pemikiran penelitian 1.7
Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai aktivitas gunungapi termasuk ancaman bahayanya
telah banyak dilakukan. Namun demikian, untuk wilayah kajian Gunungapi Kelud masih jarang dilakukan. Penelitian terdahulu lebih memfokuskan kajiannya pada deformasi puncak Kelud, aktivitas kawah, dan karakteristik endapan lahar. Penelitian mengenai morfologi sungai pada sungai yang berhulu di Gunungapi Kelud sangat sedikit dilakukan.
Padahal, sungai sebagai wadah aliran air di 25
permukaan bumi memainkan peranan penting dalam fungsi kontrol aliran. Oleh sebab itulah, penelitian ini mempelajari salah satu morfologi sungai yang berhulu di Gunungapi Kelud. Penelitian morfologi sungai beberapa kali telah dilakukan di sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi. Penelitian di Sungai Code dilakukan oleh Solikhah (2011) dengan tujuan untuk mengetahui perubahan morfologi Sungai Code yang terjadi pasca erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010 dan dampak perubahannya bagi lingkungan fisik sekitar sungai. Data yang digunakan yaitu data titik ketinggian dasar sungai tahun 2002 dan 2011 serta citra satelit Quickbird untuk interpretasi penggunaan lahan dan penentuan penggal. Lokasi penelitian adalah penggal Sungai Code dari Jembatan Sardjito sampai Jembatan Kewek. Di daerah atas daerah penelitian (Jembatan Sardjito-Jembatan Gondolayu) memiliki pola alur cenderung berkelok, sedangkan pada bagian bawah (Jembatan GondolayuJembatan Kewek) memiliki pola alur yang cenderung lurus. Hasil penelitian menyatakan bahwa kedalaman dasar sungai semakin dangkal. Hal ini disebabkan oleh besarnya pasokan sedimen dari hulu. Profil melintang setiap segmen juga menunjukkan terdapat kenaikan ketinggian dasar sungai antara tahun 2002 dan 2011. Pada penggal pola alur sungai yang berkelok proses sedimentasi berlangsung intensif, sedangkan pada pola alur lurus material endapan merata di semua sisi. Penelitian mengenai morfologi sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi juga dilakukan oleh Suryani (2011) dengan lokasi penelitian yang diambil adalah Sungai Putih. Tujuannya adalah mengetahui karakteristik morfologi Sungai Putih sebelum erupsi tahun 2010, debit aman maksimum yang dapat ditampung Sungai Putih, perubahan penampang memanjang dan melintang Sungai Putih, serta pengaruh morfologi sungai terhadap luapan lahar. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan penampang melintang yang semakin kecil dari hulu ke hilir. Hasil perhitungan debit sebelum dan sesudah erupsi Merapi menunjukkan adanya penurunan dan peningkatan daya tampung. Lahar mulai meluap pada daerah dengan kemiringan sekitar 8-15%, sedangkan pada kemiringan 0-8% tidak terjadi luapan lahar. 26
Penelitian lahar di Gunungapi Kelud sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Salah satunya oleh Thouret et al. (1998). Tujuan penelitian adalah menganalisis endapan yang dihasilkan oleh aliran debris (debris flow) dan aliran konsentrasi tinggi (hyperconcentrated flow), membandingkan aliran debris (debris flow) dan aliran konsentrasi tinggi (hyperconcentrated flow) dengan endapan piroklastik aliran, serta mengetahui perbedaan empat perilaku aliran. Pengumpulan data penelitian telah dilakukan sejak tahun 1990 hingga tahun 1992. Data sekunder diperoleh dari Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dan koran. Data stratigrafi diperoleh dari identifikasi lapangan, data analisis butir dari uji laboratorium, dan dinamika aliran lahar dari video oleh K. Kraftt. Hasil penelitian menunjukkan bahwa endapan terdiri dari endapan jatuhan batu apung dan lapili (P), aliran piroklastik batu apung (PF), dan endapan aliran piroklastik scoria (SF). Ada empat tipe aliran pada erupsi tahun 1990 yang menunjukkan perilaku aliran, yaitu: (1) aliran piroklastik batu apung atau scoria; (2) aliran debris non kohesif dan kohesif; (3) aliran konsentrasi tinggi; dan (4) aliran cair (dilute) yang berubah menjadi aliran normal. Kajian morfologi sungai untuk penentuan potensi lahar di Gunungapi Kelud dilakukan oleh Maritimo, et al. (2014). Penelitian ini belum bersifat khusus pada satu sungai melainkan seluruh sungai yang berhulu di Gunungapi Kelud. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji persebaran potensi lahar di lereng bawah Gunungapi Kelud pasca erupsi tahun 2014. Data yang digunakan adalah data persebaran endapan piroklastik dan data morfologi sungai. Sebaran endapan material diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan dan interpretasi citra satelit. Garis kontur Peta Rupabumi Indonesia Skala 1:25.000 digunakan untuk identifikasi morfologi sungai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sungai yang telah dialiri lahar hingga tanggal 4 Maret 2014 adalah Sungai Konto, Sungai Srinjing, Sungai Soso, Sungai Icir, dan Sungai Lekso. Material yang terangkut berukuran debu hingga pasir. Ada lima sungai yang belum terjadi lahar dan berpotensi terjadi aliran lahar, yaitu Sungai Semut, Sungai Putih, Sungai Bladak, Sungai Sumberagung, dan Sungai Ngobo. Setidaknya ada 162 desa yang berpotensi dilalui lahar di semua sungai. 27
Peneliti (Tahun) Judul Dian Eva Perubahan Morfologi Solikha (2011) Sungai Code Akibat Aliran Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010
Trimida Suryani Pendekatan (2011) Morfologi Sungai untuk Analisis Luapan Lahar Akibat Erupsi Merapi Tahun 2010 di Sungai Putih, Kabupaten Magelang
Thouret, J.C, K.E. Abdurrachman, dan J.L Boudier (1998)
Origin, Characteristics, and Behaviour of Lahars Following The 1990 Eruption of Kelud Volcano, Eastern Java (Indonesia).
Tabel 1.2. Perbandingan penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang Lokasi Tujuan Metode Sungai Code, 1. Mengkaji perubahan Pengukuran morfologi DI. morfologi Sungai Code sungai setelah erupsi Yogyakarta. pasca erupsi Gunungapi dan ekstraksi Merapi. morfologi sungai 2. Mengetahui dampak sebelum erupsi pada perubahannya bagi beberapa penggal lingkungan fisik sekitar sungai. sungai. Sungai Putih, 1. Mengetahui karakteristik Pengukuran morfologi Kabupaten morfologi Sungai Putih sungai setelah erupsi Magelang sebelum erupsi Merapi dan ekstraksi tahun 2010 morfologi sungai dari 2. Mengetahui perubahan citra sebelum erupsi penampang memanjang pada beberapa segmen dan melintang Sungai sungai serta Putih sebelum dan perhitungan debit sesudah erupsi Merapi aman maksimum. tahun 2010. 3. Mengetahui pengaruh morfologi sungai terhadap luapan lahar. Sungai 1. Menganalisis endapan Mengidentifikasi Bladak dan yang dihasilkan oleh lithofasies endapan Sungai Putih, aliran debris (debris flow) lahar dan analisis Kabupaten dan aliran konsentrasi ukuran butir. Kediri. tinggi (hyperconcentrated flow) 2. Membandingkan aliran debris dan aliran
1. 2.
Hasil Penelitian Profil penampang memanjang sungai tahun 2002 dan 2011. Profil penampang melintang sungai pada pola alur lurus dan berkelok tahun 2002 dan 2011.
1. Karakteristik morfologi Sungai Putih sebelum dan sesudah erupsi Merapi tahun 2010. 2. Debit maksimum aman yang dapat ditampung oleh Sungai Putih sebelum dan sesudah erupsi Merapi tahun 2010. 3. Perubahan profil memanjang dan melintang Sungai Putih sebelum dan sesudah erupsi Merapi tahun 2010. 4. Pengaruh morfologi Sungai Putih terhadap luapan lahar. 1. 2. 3.
Karakteristik lahar pada erupsi Kelud tahun 1990. Penampang stratigrafi endapan lahar di Sungai Putih dan Sungai Bladak. Karakteristik ukuran butir pada endapan aliran debris.
28
Maritimo, Febrian, Puspita Indra Wardhani, dan Garri Martha Kusuma (2014)
konsentrasi tinggi) dengan endapan piroklastik aliran. 3. Mengetahui perbedaan empat perilaku aliran. Potensi Kejadian Sungai yang Mengkaji persebaran potensi Banjir Lahar di berhulu di lahar sekunder di lereng Lereng Bawah Gunungapi bawah Gunungapi Kelud Gunungapi Kelud Kelud pasca erupsi 2014 Pasca-erupsi 2014
Etik Siswanti Kajian Perubahan (2015) Morfologi Alur Sungai Terdampak Lahar di Sungai Konto Pasca Erupsi Gunungapi Kelud Tahun 2014.
Sungai Konto, Kabupaten Kediri.
1. Mendeskripsikan faktorfaktor yang mempengaruhi kejadian lahar di Sungai Konto 2. Mengidentifikasi karakteristik morfologi Sungai Konto sebelum dan sesudah erupsi Gunungapi Kelud tahun 2014. 3. Mengidentifikasi dampak aliran lahar pada tahun 2014. 4. Mengidentifikasi lokasi yang berpotensi terdampak lahar berdasarkan karakteristik morfologi Sungai Konto.
Kuantitatif, deskriptif, 1. komparatif, dan pengumpulan data sebaran dan ketebalan 2. endapan piroklastik dan karakteristik 3. morfologi sungai.
Peta persebaran potensi sumber material lahar di lereng Gunungapi Kelud pasca erupsi 2014. Data desa-desa yang berpotensi dilalui aliran lahar. Penampang melintang lembah sungai di sekitar dam teratas Sungai Putih.
Kuantitatif dan 1. Deskripsi faktor-faktor yang deskriptif tentang mempengaruhi kejadian lahar di penampang Sungai Konto. memanjang, 2. Karakteristik morfologi Sungai Konto penampang melintang, sebelum dan sesudah erupsi Gunungapi indeks sinusitas, dan Kelud tahun 2014 (penampang tipe alur. Kualitatif melintang, penampang memanjang, dan deskriptif tentang nilai indeks sinusitas, dan peta dampak aliran lahar perubahan alur sungai per segmen). serta lokasi potensial 3. Dampak aliran lahar pada tahun 2014 luapan lahar. terhadap lahan pertanian, bangunan pengendali lahar, jembatan, dan permukiman. 4. Lokasi yang berpotensi terdampak aliran lahar berdasarkan karakteristik morfologi Sungai Konto.
29
1.8
Batasan Operasional Batasan istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Lahar adalah campuran material vulkanik dan air yang mengalir deras (lebih dari kondisi aliran secara normal) dari suatu gunungapi dan bergerak ke daerah yang lebih rendah atau hilir yang merupakan suatu kejadian bukan sebagai suatu endapan (Lavigne dan Thouret, 2002) . 2. DAS adalah suatu ekosistem dan bentuklahan yang dibatasi oleh punggung-punggung gunung dan berfungsi sebagai pengumpul, penyimpan, penambat, dan penyalur air beserta bahan tersuspensi, bahan terlarut, dan material dasar yang keluar melalui satu titik tunggal (outlet tunggal) (Suprayogi et al., 2014). 3. Tipe alur sungai ada empat, yaitu: alur lurus, meander, bercabang, dan alur teranyam (alur yang memiliki alur lurus, meander, dan teranyam) (Rust, 1978; Sear et al., 2003) 4. Indeks sinusitas merupakan perbandingan antara panjang alur sungai dan panjang lembah. Klasifikasi nilai indeks sinusitas ada tiga, yaitu: (1) <1,1 termasuk alur lurus; (2) 1,1 – 1,5 termasuk sinus atau melengkung; dan (3) > 1,5 termasuk meander (Leopold dan Wolman, 1957; Thorne, 1997). 5. Tali arus (thalweg) adalah garis yang menunjukkan aliran tercepat yang arahnya mengalami perpindahan sepanjang alur sungai. Tali arus sangat nampak pada alur sungai lurus dan sering kali berasosiasi dengan perkembangan riffles, pools, dan gosong sungai (Charlton, 2008). 6. Profil melintang adalah bentukan dua dimensi yang memotong arah aliran sungai dan tersusun atas parameter lebar, kedalaman, dan bentuk penampang (Morisawa, 1968). 7. Profil memanjang mendeskripsikan gradien muka air sepanjang alur sungai. Umumnya profil memanjang berbentuk cekung, namun tidak menutup kemungkinan ada yang berbentuk cembung dan lurus (Charlton, 2008). 30