BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Globalisasi sudah melewati proses sejarah yang sangat panjang, suatu fenomena yang dirasakan semakin kuat mencengkram memasuki abad dua puluh satu ini. Umat manusia menghadapi sebuah lompatan kuantum ke depan, menghadapi pergolakan sosial terdalam dan restrukturisasi kreatif sepanjang masa (Toffler dan Heidi, 2002: 1-2). Globalisasi telah menjadi ideologi baru dengan ciri-ciri seakan-akan dunia tanpa batas, ruang, dan waktu. Globalisasi menjadi suatu pertanda bahwa zaman baru telah datang dan tidak bisa dibendung ataupun ditolak. Globalisasi adalah penyebaran praktik, relasi, kesadaran, dan organisasi di seluruh penjuru dunia. Hampir setiap bangsa dan jutaan orang di seluruh dunia mengalami transformasi, sering dramatis, yang disebabkan globalisasi (Ritzer, 2012: 976). Hal ini memberikan dampak dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Terjadinya perubahan secara langsung maupun tidak langsung akan menggeser tata nilai yang lama dengan tata nilai yang baru di masyarakat. Walaupun demikian, bukan berarti globalisasi begitu saja dapat menyebabkan perubahan budaya suatu masyarakat tanpa reaksi masyarakat yang bersangkutan, karena sebagaimana dikemukakan Naisbitt dan Aburdene (dalam Ardika, 2007: viii) bahwa kecendrungan lain yang muncul di era globalisasi
1
2
sekarang ini adalah semacam penolakan (counter trend) terhadap homogenitas budaya, sehingga timbul hasrat untuk menegaskan keunikan kultural dan bahasa. Terkait dengan penolakan tersebut, berbagai strategi dan kebijakan telah diupayakan
oleh
berbagai
kelompok-kelompok
masyarakat
untuk
tetap
mempertahankan kebudayaannya. Strategi kebudayaan itu terkait dengan kondisi alam lingkungannya dan tradisi yang telah turun-temurun dari generasi ke generasi. Malinowski (1939) menyatakan segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu. Dengan demikian, kebudayaan merupakan penyeimbang (equilibrium) yang memuat totalitas ideologi dan konsepsi-konsepsi tata kehidupan mereka. Tradisi dalam kebudayaan masyarakat menurut Piliang (2005: 5) merupakan repitisi dan reproduksi atau keberlanjutan masa lalu ke masa kini. Tradisi dengan demikian adalah suatu yang tidak pernah berubah dan dilanjutkan dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai sebuah pengetahuan (knowledge),
kebenaran
(truth),
yang
tidak
perlu
dipertanyakan
atau
diinterpretasikan kembali (reinterpretation). Tradisi akan kehilangan sifat ‘tradisi’ apabila ia diubah. ‘Perubahan’ dianggap
sebagai ‘musuh’ tradisi, yang
mengancam keaslian, otensitas, dan keberlanjutannya. Pudentia (1998: vii) menyatakan dalam konteks pewarisannya, tradisi kadangkala diwariskan secara lisan (oral) dari satu generasi ke generasi berikutnya atau dikenal dengan istilah tradisi lisan. Etnis Dayak Lawangan hanya mengenal budaya lisan. Keberlanjutan tradisi secara turun-temurun dilangsungkan secara lisan. Demikian pula balian bawo, selalu diwartakan secara lisan. Menurut Giddens (2003: 47-48) tradisi
3
adalah medium identitas. Identitas adalah penciptaan konstansi dalam perjalanan waktu, yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Di dalam tradisi budaya masyarakat, selalu ada nilai-nilai dan kepercayaan yang disakralkan atau disucikan yang berfungsi sebagai pedoman yang memberi orientasi kepada kehidupan masyarakatnya. Lebih lanjut Haviland (1988: 207) menyatakan bahwa di antara berbagai unsur dalam suatu kebudayaan ada yang disebut inti (culture core) yang berupa unsur-unsur kebudayaan yang menentukan berbagai bentuk kehidupan suatu masyarakat yang telah terintegrasi ke dalam cara-cara hidupnya (the ways of social life) atau segala aspek kehidupannya (all aspects of social life). Jadi, terdapat korelasi timbal balik yang padu (integrated correlation) antara keseimbangan batin manusia dan keseimbangan holistik alam raya dalam mewadahi dan menghidupi manusia. Ritual balian hingga kini masih menjadi salah satu ritual utama yang ada dalam kehidupan masyarakat Dayak di pulau Kalimantan. Dalam praktiknya, ritual balian ini memiliki berbagai variasi di tiap wilayah atau
etnis yang
berbeda. Dalam komunitas Dayak Meratus di pengunungan Meratus Kalimantan Selatan, pengobatan balian dilakukan bersamaan dengan upacara selamatan atau baaruh. Di Kalimantan Timur, Kabupaten Kutai Barat dalam komunitas Dayak Benuaq di rumah panjang Papas Eheng Barong Tongkok, ritual balian digelar hingga 20 hari dengan upacara besar-besaran yang diakhiri dengan menyembelih beberapa ekor sapi (Ranan, 2011: 2). Sementara di Kalimantan Tengah, pelaksanaan ritual balian bawo mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan daerah Kalimantan lainnya, yang salah satunya bisa dilihat dalam ritual balian
4
bawo komunitas Dayak Lawangan di daerah Dusun Tengah. Sampai saat ini, pelaksanaan ritual balian bawo di Dusun Tengah ini tidak bisa dilepaskan dari ritus siklus kehidupan orang Dayak Lawangan. Ritual balian bawo dan balian bawo merupakan inti kebudayaan yang penting, tidak sekadar sebagai stimulate of emotion, tetapi menjaga keselarasan antarmanusia dengan manusia dan manusia dengan kosmos. Dalam menjaga keselarasan manusia diingatkan akan hakikat kemanusiaannya bahwa ada kekuatan-kekuatan lain di luar kemampuan jangkauan pikiran manusia. Van Gennep (dalam Koentjaraningrat, 1985: 32) menyatakan bahwa siklus hidup dalam tahap-tahap pertumbuhan sebagai individu, yaitu sejak ia lahir, kemudian masa kanak-kanaknya, melalui proses menjadi dewasa dan menikah, menjadi orang tua, dan hingga saatnya ia meninggal. Manusia mengalami perubahan biologi serta perubahan dalam lingkungan sosial budaya yang dapat memengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis mental. Van Gennep (dalam Koentjaraningrat, 1985: 33) menganggap rangkaian ritus dan upacara sepanjang tahap-tahap pertumbuhan, atau lingkaran hidup (life cycle rites), sebagai rangkaian ritus dan upacara yang paling penting, mungkin paling tua dalam masyarakat, dan kebudayaan manusia. Dalam komunitas etnis Dayak Lawangan di Dusun Tengah, siklus kehidupannya dimulai dari fase kelahiran sampai dengan kematian. Setiap fase dalam siklus kehidupannya (life cycle rites) diikuti juga dengan pelaksanan ritual balian, seperti ritual balian palas bidan (ritual setelah kelahiran), balian nyapu ipar (ritual setelah upacara kematian), memohon rejeki, balian burung juei (pesta
5
pernikahan tingkat yang paling tinggi), membangun rumah, pengobatan, menolak bala atau membersihkan alam semesta, dan syukur terhadap panen yang melimpah. Dilihat dari siklus kehidupan orang Dayak Lawangan di Dusun Tengah meliputi lima aspek, yaitu: (1) kelahiran, (2) kematian (ritual pasca kematian), (3) kesejahteraan, (4) keselamatan/kedamaian, dan (5) kesehatan. Dalam setiap aspek tersebut melibatkan peran utama seorang balian bawo sebagai pelaksana ritual. Contohnya dalam aspek kesehatan, peran seorang balian bawo akan menjadi sangat penting dalam ritual pengobatan sebagai sentral dari hubungan antara penyembuh dengan penderita yang dapat mendatangkan kekuatan supranatural menjadi energi penyembuh. Balian bawo itu berusaha menembus ruang bawah sadar pasien, memengaruhi pikiran pasien untuk membebaskannya dari rasa takut. Kekuatan pasien dirangsang dijadikan penyembuh alami. Ritual balian bawo berjalan secara turun-temurun sehingga merupakan sebuah konstruksi budaya yang berkaitan dengan keyakinan Hindu (Kaharingan) yang mereka anut. Kebudayaan mempunyai hubungan yang timbal balik yang sangat erat dengan agama atau sistem kepercayaan (believe system). Kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa sering melahirkan suatu agama atau sistem kepercayaan tertentu. Sebaliknya suatu sistem kepercayaan tertentu yang dianut oleh mayoritas penduduk di suatu tempat merupakan manifestasi dari sistem budaya yang berlaku di situ atau paling tidak memiliki kesesuaian dengan sistem nilai yang dianut oleh penduduk yang bersangkutan (Florus, 1994: 18). Ritual balian bawo sebagai sarana komunikasi dengan ilahi, para leluhur atau nenek
6
moyang, dan ‘sahabat’. Namun, globalisasi dengan segala implikasinya telah membawa pengaruh ke dalam kehidupan komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah. Salah satunya terlihat dari keberadaan balian bawo belakangan ini
yang semakin langka
terdegradasi oleh arus modernisasi. Menurut Giddens (2003: 67), globalisasi membawa
prinsip
budaya
modernitas
sehingga
memunculkan
berbagai
permasalahan sosial dalam peradaban manusia. Hal ini mengancam eksistensi budaya lokal akan menjadi rusak atau bahkan mengantarkan budaya lokal menuju kepunahan (Strey dalam Alkausar, 2011: 54). Pada saat ini para penutur balian bawo tersebut semakin kurang diminati oleh generasi penerus. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan tokoh masyarakat, didapatkan informasi bahwa pada periode tahun 19801990 jumlah balian bawo ada duabelas orang; pada periode tahun 1991-2008 sekitar delapan orang balian bawo; tahun 2009-2010 sekitar lima orang dan pada periode tahun 2011 sampai sekarang lima orang balian bawo yang terdiri atas dua orang usia lanjut dan fisik lemah, sedangkan tiga orang masih sehat. Saat ini keadaan penutur balian bawo yang secara fisik mampu melakukan tugasnya memimpin ritual ada tiga orang. Dari tiga orang balian bawo tersebut hanya satu orang balian bawo yang mampu secara paripurna melaksanakan semua aspek ritual dalam setiap fase siklus kehidupan Dayak Lawangan di Dusun Tengah sedangkan dua orang balian bawo yang lain tidak bersedia menjalankan ritual yang
terkait
dengan
ritual
setelah
kematian.
Fakta
tersebut
juga
7
mengungkapkan di Dusun Tengah terjadi krisis pelaku balian bawo Dayak Lawangan. Malinowski (1939: 938, 1960: 34--37) menyatakan aksioma bahwa setiap unsur kebudayaan itu berfungsi bagi kehidupan, manakala tidak berfungsi lagi, maka kebudayaan tersebut akan hilang atau punah. Dilihat dari pandangan Malinowski di atas, realitas keberadaan balian bawo yang terjadi di Dusun Tengah agak berbeda. Balian bawo mengarah kepada kelangkaan padahal eksistensi balian bawo dalam berbagai segi kehidupan komunitas Dayak Lawangan masih berfungsi. Dengan demikian, keberadaan balian bawo menjadi unsur pranata budaya yang masih memiliki arti bagi komunitas Dayak Lawangan. Kaplan dan Manner (dalam Wirata, 2010: 196) menyatakan bahwa sistem budaya sangat memungkinkan untuk dipertahankan eksistensinya selama memiliki syarat-syarat fungsional bagi masyarakatnya. Di sisi lain terjadi pula kontradiktif di kalangan generasi muda Dayak Lawangan di Dusun Tengah, di tengah kelangkaan balian bawo
tersebut
justru banyak dari kalangan generasi mudanya bersikap permisif terhadap warisan leluhur dan kurang tertarik menjadi balian bawo. Bahkan, beberapa dari kalangan generasi muda yang telah “ditunjuk” sebagai penerus balian bawo cendrung tidak menjalankan profesi sebagai balian bawo. Hal ini akan berpengaruh pada proses pewarisan balian bawo selanjutnya. Balian bawo merupakan pranata sosial budaya yang tak terpisahkan dari struktur sosial budaya komunitas etnis Dayak Lawangan yang mengandung
nilai
religius.
Pelaksanaan
ritual
balian
bawo
banyak
8
mengandung kearifan lokal, simbol, nilai, dan dampak bagi kehidupan masyarakat pendukungnya. Dari semua uraian realitas di atas, maka kajian penelitian mengenai eksistensi balian bawo di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah ini dinilai sangat penting untuk segera dilakukan, mengingat keberadaan balian bawo berkaitan erat dengan siklus hidup maupun praktik kehidupan sehari-hari Dayak Lawangan. Tradisi lisan sebagai titik tolak penelitian ini merupakan suatu bentuk upaya agar tradisi lisan tersebut dapat dimanfaatkan, dikembangkan, direvitalisasi, dan dilestarikan. Balian bawo sebagai suatu bentuk kebudayaan yang perlu dijaga dari ancaman kepunahannya demi keberlanjutan tradisi komunitas etnis Dayak Lawangan.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka bisa ditarik beberapa rumusan permasalahan sebagai berikut. 1.
Bagaimana praktik balian bawo dan relasinya dengan pranata kehidupan komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah?
2.
Mengapa terjadi kelangkaan balian bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah?
3.
Bagaimana implikasi kelangkaan balian bawo bagi komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah?
9
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan mengkaji, mendeskripsikan, dan memahami tentang praktik balian bawo dan relasinya dengan pranata kehidupan komunitas Dayak Lawangan, penyebab utama yang memengaruhi terjadinya kelangkaan balian bawo dan implikasinya bagi komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah.
1.3.2
Tujuan khusus
Secara khusus penelitian ini dilakukan untuk menemukan jawaban atas masalah yang dirumuskan sebagai berikut. 1.
Untuk mengetahui praktik balian bawo dan relasinya dengan pranata kehidupan komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah.
2.
Untuk mengetahui penyebab yang memengaruhi terjadinya kelangkaan balian bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah
3.
Untuk memahami implikasi kelangkaan balian bawo Dayak Lawangan bagi komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah.
10
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Manfaat penelitian ini secara teoretis diharapkan sebagai berikut. 1.
Menghasilkan temuan yang bisa memberikan sumbangan pemikiran bagi upaya pengembangan kajian tradisi lisan di Nusantara.
2.
Memberi kontribusi secara keilmuan bagi akademisi dan peneliti lain yang berminat mengkaji budaya lokal sebagai kajian untuk pengembangan pengetahuan lebih lanjut.
1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1.
memberikan pengetahuan, wawasan, dan penyadaraan pelestarian budaya lokal balian bawo bagi masyarakat;
2.
memberikan kontribusi kepada pembuat kebijakan pembangunan khususnya pemerintah daerah dan pihak terkait dalam menetapkan kebijakan yang tepat untuk pelestarian budaya lokal.