BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena kebangkitan agama-agama adalah sebuah isu menarik menjelang akhir milenium kedua. Hal ini membantah prediksi para sosiolog yang mulai meragukan masa depan agama oleh karena erosi budaya dan spiritualitas seiring perkembangan sekularisme dan materialisme. Yang terjadi justru sebaliknya, pada akhir dasawarsa abad ke-20, ternyata agama-agama kembali mengambil peran dalam kehidupan umat manusia. Kebangkitan agama tersebut bukan hanya terjadi pada agama tertentu, melainkan hampir dialami seluruh agama di dunia. Atau dengan kata lain, kebangkitan agama adalah sebuah fenomena global. Fenomena kebangkitan agama ini bukan berarti kembalinya kejayaan agamaagama 'klasik' dan 'tradisional' seperti yang pernah terjadi pada masa pra-modern. Kebangkitan agama sebenarnya mengacu pada religiositas atau kesadaran keagamaan manusia.1 Religiositas baru ini relatif mengambil bentuk yang nontradisional sebagai akibat perlawanan terhadap kecenderungan tradisionalisme, institusionalisme dan formalisme yang menjadi ciri dari kebanyakan agama-agama mapan. Agama mapan terlalu banyak berkompromi dengan modernisasi dan sekularisasi hingga didominasi
peraturan, hirarki, dan birokrasi yang berakibat
memudarnya spiritualitas dan vitalitas agama. Oleh karena itu ada tiga reaksi yang menjadi ciri bagi kebangkitan religiositas manusia tersebut :2 1 2
John Naisbitt & Patricia Aburdene, Megatrend 2000, 1990, hal 271 Bnd. Eka Darmaputra, Religiositas Meningkat, Tapi ke Mana? dalam Penuntun, 1995, hal 2-3
1
1. Religiositas yang menekankan agama sebagai pengalaman pribadi. Paham ini menilai bahwa agama tradisional selama ini terjebak pada institusionalisme dan formalisme yang menyebabkan agama menjadi lumpuh. Di dalam religiositas Kristen menuntut umat harus mengalami Kristus dan Lahir Baru. Oleh karena itu religiositas ini cenderung menekankan spontanitas dan emosi sebagai bentuk pengalaman spiritual. Gerakan Pentakosta Baru atau Gerakan Kharismatik adalah salah satu perwujudannya. Gerakan ini cukup merebut tempat di hati umat, mengingat sifat emosi dan spontan yang sensasional dan kontroversial (menangis, rebah, bergulung, tertawa sebagai suatu tanda manifestasi dari Roh Kudus) seperti fenomena di Toronto Blessing. 2. Religiositas yang menekankan pada kemurnian ajaran (fundamentalisme). Aliran ini menilai bahwa agama-agama mapan dalam prakteknya telah mengkhianati citra agama yang asli dan telah banyak berkompromi dengan nilai-nilai duniawi (misalnya sekularisme dan nilai-nilai modernisme). Mereka berpendapat bahwa agama harus dikembalikan lagi pada jati diri dan ajaran yang ‘murni dan asli’. Pada umumnya pengikut aliran ini memiliki militansi yang tinggi, sikap tidak mengenal kompromi dan toleransi. Aliran ini pun mendapat minat yang banyak pula dari umat oleh karena sifatnya yang tanpa kompromi dan ketegasannya mengenai yang benar dan yang salah. 3. Religiositas yang menekankan pada implikasi etika sosial. Golongan ini melihat agama telah kehilangan kredibilitasnya. Hal ini disebabkan agama cenderung 'selfish' dan 'self-centered' yang diwujudkan dengan memperkuat institusi, memperbesar kekuasaan dan pengaruh, dan menambah jumlah penganut. Bahkan demi kepentingan ini agama berkolaborasi dan berkolusi dengan struktur kekuasaan (baik politik maupun ekonomi) yang pada umumnya justru menindas rakyat. Oleh karena itu reaksi bentuk ketiga selalu menekankan pada tema pembebasan bagi rakyat tertindas dengan mengambil bentuk seperti gerakan Teologi Pembebasan (di Amerika Latin), Teologi Hitam dan Perempuan (di Amerika Serikat), Teologi Minjung atau Akar Rumput (di Korea Selatan), Teologi Konflik (di Filipina), Teologi Dalit (di India) dan sebagainya.
Dari ketiga reaksi di atas, reaksi pertama dan kedualah yang cukup banyak mendapat minat di kalangan umat Kristen, hal ini ditandai dengan menjamurnya gereja-gereja 'baru' dari Protestan (tradisional) yang beraliran fundamentalis dan kharismatik di berbagai belahan dunia (termasuk di Indonesia) dalam beberapa
2
dasawarsa terakhir. Secara khusus bagi golongan pertama atau kharismatik meyakini kebangkitan agama ini sebagai 'Masa Pemulihan', 'Masa Pencurahan Roh Kudus', 'Gerakan Hujan Akhir', dan "Third Wave Movement" (Gerakan Gelombang Ketiga) untuk membedakan dengan gereja tradisional.3 Ketidakpuasan mereka dengan gereja yang mapan sebelumnya, diwujudkan pula dengan berbagai perubahan baik di bidang doktrin (bentuk kognitif), ritual (bentuk ekspresif) maupun etika (bentuk praktis) meskipun tetap mewarisi ortodoksi Protestan (reformasi abad ke- 16) yang sama yaitu, Sola Fide (Iman), Sola Gratia (Anugerah), dan Sola Scriptura (Alkitab). Salah satu tema yang mencuat sebagai hasil dari proses perubahan di atas adalah Teologi Kemakmuran. Di kalangan umat Kristen, Teologi Kemakmuran merupakan ajaran yang cukup diminati. Bahkan cukup banyak di kalangan umat Kristen (termasuk di Indonesia) pindah jalur atau haluan dari tradisional ke fundamentalis dan kharismatis demi pembenaran pertobatan. Teologi Kemakmuran sering pula disebut Teologi Sukses (Gospel of Success) atau dengan istilah-istilah lain seperti Injil Kemakmuran (Gospel of Prosperity), Injil Kelimpahan, Injil Berkat (Gospel of Blessing), atau Teologi Anak Raja. Menurut Herlianto, inti ajaran Teologi Sukses menekankan bahwa: Allah kita adalah Allah yang Mahabesar, kaya dan penuh berkat dan manusia yang beriman pasti akan mengalami kehidupan yang penuh berkat pula, kaya, sukses dan berkelimpahan materi. Atau secara singkat dapat dikatakan pula bahwa Teologi Kemakmuran adalah ajaran yang mengajarkan hidup berkelimpahan dan kemakmuran.4
3 4
Herlianto, Teologi Sukses. Antara Allah dan Mamon, 1992, hal. 11-16 Ibid, hal. 1.
3
Teologi Kemakmuran begitu dekat dengan gereja kharismatik, oleh karena semangat
mereka
menunjukkan
semangat
kebangkitan
religiositas
untuk
menunjukkan kekristenan sejati. Antonio Barbosa da Silva (1986) menyatakan ada tiga (3) doktrin pokok yang melandasi Teologi Kemakmuran yang antara lain: 1. Memiliki pandangan bahwa Allah adalah Mahakaya sehingga setiap orang Kristen yang sering disebut sebagai anak-anak Allah harus makmur atau kaya. Allah sendiri akan malu jika melihat anakanakNya miskin.5 2. Orang Kristen mengalami kehidupan ilahi dan memiliki sifat-sifat pribadi (nature) Allah sehingga setiap orang Kristen yang telah diselamatkan dalam pengertian eskatologis (menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamat) akan menjadi sempurna selama hidup mereka di dunia. 3. Baptisan dari Roh Kudus dan karunia Roh, khususnya pada karunia mujizat dan penyembuhan merupakan "keistimewaan" dan "klaim" pemberian "kuasa dari surga" yang sejati.6
Oleh karena itu, masih menurut Antonio Barbosa da Silva, implikasi praktis dari ajaran-ajaran Teologi Kemakmuran menuntut pengikutnya sebagai orang "Kristen Sejati" dengan ciri-ciri: - Menjadi kaya dan sehat serta menjadi makmur dalam seluruh aspek kehidupannya. - Memiliki sifat-sifat pribadi Allah - Harus dibaptis dengan Roh Kudus, dengan tanda bukti karunia berbahasa lidah (glossolalia), karunia penyembuhan dan melakukan mujizat (hal-hal yang adikodrati).7
Teologi Kemakmuran menyatakan bahwa mereka yang mengaku diri orang Kristen tapi tidak memiliki ciri-ciri ini, bukan orang 'Kristen' atau orang Kristen yang lemah imannya atau hidup dalam dosa.
5
Bnd. Yesaya 52:13, Yohanes 10:10b, II Korintus 8:9 Antonio B. da Silva, Gerakan Teologi Kemakmuran. Sebuah Komentar dalam Themelios, 1986. 7 Ibid. 6
4
Seiring berjalannya globalisasi, Teologi Kemakmuran telah berkembang di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Yosef Krisetyo Nugroho (skripsi) sebelumnya di GBI Rumah Pujian (dulu GBI Adisucipto) Yogyakarta,8 Teologi Kemakmuran pun diajarkan baik secara implisit melalui tema-tema kotbah dan pelayanannya maupun secara eksplisit melalui pelatihan-pelatihan School of Ministry (SOM) kepada jemaatnya. Dalam proses observasi terhadap pengajaran dan sosialisasi Teologi Kemakmuran dicapai beberapa hasil penelitian sebagai berikut : Berkaitan analisa psikologi, Teologi Kemakmuran menunjukkan sebagai fenomena agama yang menekankan peran afeksi. Afeksi atau perasaan menjadi hal penting dalam agama setelah dunia mengalami desakralisasi akibat aktivitas rasional manusia. Desakralisasi telah memisahkan yang sakral dari yang profan, yaitu dunia dipisahkan dari Tuhan sehingga dunia modern menjadi dunia otonom. Di sinilah afeksi menjadi bermakna ketika manusia hanya mampu menghayati agama melalui kekuatan batin dan perasaannya.9 Bagi Teologi Kemakmuran, orang Kristen harus lahir baru untuk kembali memiliki citra Tuhan melalui transformasi roh, dimana roh manusia yang sebelumnya dikuasai dosa telah disucikan dan dipenuhi oleh Roh Kudus. Perasaan atau afeksi memiliki peran dominan dalam proses kelahiran baru tersebut. Manusia di luar kesadarannya mampu berbicara ’bahasa roh’ (bahasa surgawi), tertawa dan menangis sebagai akibat pengalaman perjumpaan mereka dengan Tuhan. Peristiwa ini terasa menggetarkan jiwa dan menjadi titik tolak perubahan hidup manusia.
8
Yosef Krisetyo Nugroho, Teologi Kemakmuran. Ajaran dan Implikasi terhadap Perkembangan Umat Protestan (Skripsi), 2006, hal. 21-23. 9 Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama, 1982, hal. 68-69
5
Dalam hal motivasi beragama, Teologi Kemakmuran memberi jawaban atas kebutuhan intelektual kognitif manusia menyangkut asal dan tujuan kehidupan.10 Teologi Kemakmuran memberi kontribusi kepada manusia dengan mengarahkan tujuannya kepada Tuhan sehingga manusia merasa aman dalam hidupnya. Dalam penelitian ini responden digerakkan motivasi yang sama, yaitu apa yang telah mereka usahakan dan alami merupakan bagian rencana Tuhan dalam hidupnya. Kelimpahan materi dan kesuksesan sebagai hasil yang dicapai dari hidup yang berorientasi kepada Tuhan. Berkenaan analisa ekonomi, Teologi Kemakmuran menunjukkan hubungan timbal balik agama dan ekonomi. Ketika kapitalisme telah berkembang semakin kompleks
dan
otonom,
ternyata
nilai-nilainya terkandung dalam Teologi
Kemakmuran. Hal ini bukan berarti kapitalisme menyebabkan Teologi Kemakmuran. Konsep hubungan secara timbal balik dapat dipahami bahwa Teologi Kemakmuran memberi dimensi religius dari sebuah sistem ekonomi kapitalis yang sekuler. Hubungan Teologi Kemakmuran terhadap kapitalisme dapat dijumpai dalam hal motivasi ekonomi. Dorongan untuk berprestasi (Need for Achievement atau N. Ach) terdapat juga dalam Teologi Kemakmuran.11 Kekayaan materi bukan tujuan yang ingin diraih tetapi sebagai bagian hakikat manusia dalam hubungan dengan Tuhan. Kekayaan materi yang diperoleh dipandang sebagai rencana Tuhan untuk dirinya. Hal ini mendorong manusia untuk mempertanyakan status sosialnya. Jika seseorang hidup dalam kemiskinan, ia terpacu untuk bergerak bukan semata-mata menolak status sosialnya, tetapi memenuhi rencana Allah dalam hidupnya. 10 11
Lih. Ibid, hal 104-108 David McClleland, The Achievement Motive in Economic Growth, 1971, hal. 85-89
6
Salah satu bentuk perilaku dari N. Ach dalam Teologi Kemakmuran adalah persembahan perpuluhan. Ketaatan ekonomi kepada Allah ditunjukkan dengan memberi sepersepuluh dari miliknya ke gereja. Dalam penelitian ini menunjukkan sikap positif responden terhadap perilaku persembahan perpuluhan. Persembahan perpuluhan mengakibatkan pengalaman-pengalaman tertentu yang mengubah orientasi responden. Dua manfaat perpuluhan yang dapat diamati dari perilaku responden adalah peningkatan keseriusan dan komitmen responden dalam hal ketaatan ekonomi kepada Tuhan dan orientasi efektif dalam perilaku ekonomi. Perpuluhan dalam Teologi Kemakmuran berfungsi sebagai ’nilai-nilai asketis’ untuk menjadi counter kapitalisme yang berkembang semakin konsumtif. Dalam hubungannya dengan kapitalisme, Teologi Kemakmuran menunjukkan persamaan dalam hal tekanan individu, kecurigaannya terhadap kebudayaan, dan penekanan terhadap materialisme. Perbandingan filosofi/ideologi kapitalisme dan Teologi Kemamuran dapat disimpulkan secara singkat melalui tabel berikut :12 NO KAPITALISME 1 Keuntungan, kepemilikan dan kebebasan individu 2 Tradisi dan kebudayaan setempat harus sesuai dengan nilai-nilai modernisasi dan pembangunan 3 Menawarkan sistem kapitalisme untuk mendapatkan kebebasan dan kemakmuran individu 5 Pertumbuhan ekonomi sebagai alternatif mensejahterakan masyarakat (materialisme) 6 Kemiskinan disebabkan kebodohan dan kemalasan (individu) 12
TEOLOGI KEMAKMURAN Pertobatan individu dan keselamatan individu Tradisi dan kebudayaan setempat harus sesuai dengan Alkitab Menawarkan agama Kristen untuk pertobatan dan keselamatan individu Pertumbuhan ekonomi sebagai hakikat sejati manusia ciptaan Tuhan Kemiskinan diakibatkan dosa dan kegagalan memenuhi rencana Tuhan (individu)
Yosef P. Widyatmaja, Kristen Fundamentalisme di Tengah Kehidupan Gereja dan Masyarakat, 1986, hal 11-14.
7
NO KAPITALISME TEOLOGI KEMAKMURAN 7 Kemakmuran dan kemajuan Kemajuan dan kemakmuran tercapai jika membuka pintu bagi tercapai jika hubungan dengan modal asing Allah baik
Teologi Kemakmuran yang menunjuk pada ciri-ciri kapitalisme, secara tidak langsung mengingatkan pada karya Max Weber mengenai Etos Protestan dan Semangat Kapitalisme (The Protestant Ethics and Spirit of Capitalism). Jadi ada dua variabel yang berhubungan yaitu agama yang dalam kasus ini adalah Kristen Protestan dan ideologi yang dalam kasus ini adalah paham kapitalisme. Tesis Max Weber menunjukkan adanya bukti bahwa ide-ide agama berperan dalam meningkatkan perubahan sosial. Weber berpendapat bahwa manusia memiliki kepentingan ideal dan juga material yang mempunyai pengaruh timbal balik. Hal ini dinyatakan dalam karyanya yaitu Etos Protestan dan Semangat Kapitalisme, bahwa aspek-aspek tertentu dalam Etos Protestan (terutama Calvinisme) merupakan perangsang kuat dalam meningkatkan pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis dalam tahap-tahap pembentukannya.13 Namun perlu digarisbawahi bahwa Weber bukan mengungkapkan kapitalisme disebabkan oleh Protestantisme (kausalitas). Konsep elective affinity jelas menghindarkan hubungan sebab akibat. Konsep ini berhubungan dengan kesesuaian logis dan konsistensi psikologis dimana keduanya saling mendukung. Hal ini berarti bahwa jenis motivasi yang timbul karena menerima kepercayaan dan tuntutan Etos Protestantisme membantu merangsang jenis perilaku yang dibutuhkan atas lahirnya kapitalisme modern.14 Baik Protestantisme maupun kapitalisme menyangkut pandangan hidup rasional dan 13
Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern : Suatu Analisis Karya-Tulis Marx,Durkheim dan Max Weber, 1985, hal 160.
8
sistematis, dimana gaya hidup asketis (inner-worldly ascetism) memberi arti dan makna baru dari kegiatan sekular. Orang-orang Protestan pada masa awalnya tidak mengira akibat-akibat dari etika asketik yang bersifat inner-worldly tersebut dalam jangka panjang menghasilkan sekularisasi yang memperkokoh kapitalisme. Etos Protestan membawa sukses dalam bidang materi, sehingga timbul godaan yang mengakibatkan pada meluruhnya motivasi agama dengan gaya hidup asketis Protestantisme menuju kondisi suatu masyarakat sekuler.15 Sedangkan Teologi Kemakmuran dapat dikatakan sebagai salah satu wujud protes atas sekularisasi yang sebelumnya justru akibat dari sifat asketis Protestantisme itu sendiri. Lalu yang menjadi pertanyaan mendasar adalah mengapa kapitalisme tetap bertahan dan cair dalam dua kondisi tersebut? Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya (GBI Rumah Pujian Yogyakarta –skripsi-), yaitu melihat perkembangan kapitalisme dalam keterkaitan masing-masing dengan Protestantisme dan Teologi Kemakmuran dalam lintasan historis, khususnya kepentingan ideal dan material apa yang melandasi masing-masing teologi sehingga diperoleh nilai-nilai dasar agama khususnya Kristen yang berdampak positif kapitalisme.
1.2. Rumusan masalah Hasil penelitian sebelumnya telah menjelaskan bahwa fenomena Teologi Kemakmuran memiliki kontribusi positif baik dalam pengertian psikologi khususnya penghargaan afeksi dan pembentukan motivasi beragama, maupun dalam pengertian
14 15
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, 1986, hal. 238. Ibid, hal. 234.
9
ekonomi khususnya peningkatan produktivitas dan keinginan berprestasi. Namun ada beberapa hal yang mendasari pada pengembangan penelitian melalui tesis ini : Pertama, penelitian sebelumnya memang telah menjawab pertanyaan sosiologis tentang fakta dan nilai, atau tentang apa yang nyata (Das Sein) dan apa yang seharusnya (Das Sollen). Das Sein berarti tentang fenomena agama yang berorientasi pada material sebagai pemenuhan status, Das Sollen berarti agama sebagai lembaga spiritual yang seharusnya memiliki dimensi etis-moral dalam menanggapi secara kritis materialisme. Namun penelitian tersebut belum melihat lebih jauh konteks struktural khususnya pengaruh perkembangan kapitalisme secara menyeluruh, yang meluas dalam proses globalisasi dan wilayah kultural. Kedua, penelitian sebelumnya telah melihat fenomena Teologi Kemakmuran sebagai perkembangan religiositas khususnya pembentukan etos produktif, kemudian mengkritiknya pada aspek etika sosial. Selain itu, penelitian sebelumnya juga menilai etos produktif Teologi Kemakmuran sebagai fenomena baru karena pengaruh materialisme, namun belum meninjau lebih komprehensif pada aspek historis, mengingat kapitalisme sendiri kelahirannya juga berkorelasi dengan agama khususnya Etos Protestan. Oleh karena itu, pendekatan terhadap fenomena Teologi Kemakmuran dalam tesis ini menekankan dua hal, yaitu Kapitalisme dan Etos Protestan. Kapitalisme dipandang sebagai perkembangan sejarah pola ekonomi yang semakin kokoh sekaligus fleksibel di zaman modern, dan Etos Protestan sebagai nilai dan kultur yang sejak pada awalnya ternyata memiliki respon positif terhadap kapitalisme.
10
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka tesis ini adalah penelitian lanjutan dengan melakukan studi perbandingan antara fenomena Teologi Kemakmuran terhadap Etos Protestan dari karya Max Weber dalam Etos Protestan dan Semangat Kapitalisme. Rumusan masalah penelitian ini disusun sebagai berikut :
Bagaimanakah perbandingan Pengaruh Teologi Kemakmuran dan Etos Protestantisme Weber dalam keterkaitannya dengan perkembangan kapitalisme? Adakah persamaan dan perbedaannya di antara keduanya dalam merespon kapitalisme?
Dari rumusan masalah di atas, penelitian ini ditujukan untuk mendalami dan memperbandingkan fenomena Teologi Kemakmuran dengan Etos Protestan menurut Weber dalam hubungannya dengan perkembangan kapitalisme. Hal ini diharapkan dapat memberikan bantuan baik dalam analisa yang bersifat sosiologi tentang perubahan sosial (khususnya agama), maupun teologis dalam memahami konteks kapitalisme guna membangun suatu teologi publik (khususnya ekonomi) yang kritis, kontekstual dan humanis.
1.3. Hipotesa Penelitian ini berdasarkan hipotesa bahwa dalam Teologi Kemakmuran berkorelasi dengan Etos Protestan dalam merespon kapitalisme baik menyangkut persamaan maupun perbedaannya, mengingat proses perkembangannya dari era lahirnya Etos Protestan Calvinis (karya Max Weber) hingga berkembang menjadi
11
Teologi Kemakmuran, ternyata di dalam keduanya memiliki respon positif terhadap kapitalisme dalam konteksnya masing-masing.
1.4. Tujuan penelitian Melihat perkembangan yang begitu menarik dari proses perkembangan agama Kristen yang melibatkan unsur agama di satu pihak dan kapitalisme di lain pihak maka penelitian ini bertujuan: 1.
Melakukan studi perbandingan antara Pengaruh Teologi Kemakmuran dan Etos Protestan menurut Weber dalam perkembangan kapitalisme. Dari sini diharapkan
mendapati
nilai-nilai
dasar
Protestantisme
yang
memiliki
kecenderungan positif dalam merespon kapitalisme. 2.
Melakukan studi kritis dari hasil perbandingan tersebut baik kekuatannya dalam membangun kesadaran religius dan pemberdayaan agama yang lebih mapan secara ekonomi maupun ketidakmampuannya menjawab masalah-masalah sosial yang ada seperti kemiskinan struktural dan marginalisasi.
3.
Meninjau dari pengaruh Teologi Kemakmuran terhadap masyarakat khususnya umat Kristen, maka penelitian ini juga diharapkan dapat membangun suatu teologi ekonomi kontekstual dalam strategi menghadapi komersialisasi dan fundametalisme agama-agama di dalam masyarakat kapitalis.
12
1.5. Kerangka teori Menjelaskan proses perkembangan Teologi Kemakmuran, memang tidak dapat dilepaskan dari sebuah lembaga sosial bernama agama. Dalam menggali konsep agama hendaknya agama lebih dipandang sebagai suatu semesta makna yang dibangun manusia dan dikonstruksikan. Seperti konsep agama dari Luckman yang mengatakan bahwa agama sebagai kapasitas organisme manusia untuk memuliakan hakikat biologisnya melalui pembangunan semesta makna yang obyektif, mengikat secara moral, dan meliputi segalanya.16 Karena itu agama bukan saja fenomena sosial (seperi kata Durkheim), tetapi juga fenomena antropologis par excellence, sehingga agama itu disamakan dengan transendensi diri simbolik. Segala sesuatu yang benarbenar manusiawi adalah religius dan fenomena non-religius dalam lingkaran manusia adalah fenomena-fenomena yang didasarkan dalam hakikat organisme manusia dan bagian konstruksi organisme yang dimiliki bersama organisme-organisme lainnya.17 Oleh karena itu Teologi Kemakmuran dipandang sebagai gejala yang sosiologis, antropologis sekaligus pula psikologis. Fenomena Teologi Kemakmuran menunjukkan kembali keterkaitan agama dan ekonomi. Max Weber menekankan bahwa orang mempunyai kepentingan ideal dan kepentingan material. Kedua kepentingan tersebut saling mempengaruhi (timbalbalik) dan menentukan perilaku individu. Melalui karya The Protestant Ethics and Spirit of Capitalism, Weber menunjukkan bahwa aspek-aspek tertentu dalam agama Kristen menjadi pendorong pertumbuhan sistem ekonomi kapitalisme. Keseluruhan pendekatan Weber menekankan bahwa kepentingan ideal dan material mengatur tindakan orang, dan hubungan antara ideal agama dan 16 17
Peter L Berger, Langit Suci. Agama sebagai Realitas Sosial, 1991, hal. 204. Ibid, hal. 205.
13
kepentingan ekonomi sebenarnya bersifat saling tergantung. Hubungan tersebut bersifat timbal balik, khususnya saling ketergantungan antara Protestantisme dan kapitalisme.18
Hal ini bukan berarti kapitalisme untuk seterusnya membutuhkan legitimasi agama, karena pada perkembangan selanjutnya kapitalisme semakin otonom dan berdikari tanpa membutuhkan dukungan agama. Bahkan sifat konsumtif pada kapitalisme cenderung merusak orientasi agama Protestantisme yang bersifat asketis. Hubungan jangka panjang antara Protestantisme dan kapitalisme bersifat dialektik, dimana Protestantisme membantu pertumbuhan kapitalisme pada masa awalnya, tetapi dirusak oleh pengaruh bentuk kapitalisme yang berkembang menjadi sekuler. Berger mengungkapkan bahwa proses tersebut sebagai manifestasi yang paling sempurna dari proses dialektik dimana orientasi agama yang bersifat inner-worldly telah 'menggali kubur' untuk dirinya sendiri.19 Bagi Weber, agama
merupakan dasar utama dalam pembentukan status
kelompok dan pelbagai tipe struktur kepemimpinan. Masyarakat yang berada dalam stratifikasi sosial yang berbeda maka akan berbeda pula ’selera’ agamanya. Pemeluk agama cenderung memilih kepercayaan dan keyakinan yang mendukung status sosial dan gaya hidupnya.20 Timbulnya fenomena Teologi Kemakmuran menarik untuk mengkaji kembali hubungan timbal balik tersebut. Ketika kapitalisme telah berkembang semakin kompleks dan otonom, ternyata pada suatu momentum sejarah tertentu kapitalisme bersinggungan kembali dengan agama. Bila sebelumnya agama menjadi faktor 18
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, 1986, hal. 239. Berger, Peter L, Langit Suci. Agama sebagai Realitas Sosial, 1991, hal. 127 20 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, 1986, hal. 244. 19
14
pendorong kapitalisme, namun dalam Teologi Kemakmuran nilai-nilai kapitalisme terkandung di dalam ajarannya. Hal ini bukan berarti kapitalisme menyebabkan Teologi Kemakmuran. Konsep hubungan saling ketergantungan secara timbal balik dapat pula dipahami bahwa Teologi Kemakmuran memberi dimensi religius dari sebuah sistem ekonomi kapitalisme yang sekuler. Oleh karena itu, perkembangan ekonomi modern tidak dapat lagi dipahami hanya atas dasar analisa material sematamata. Inilah kritik atas pemahaman kapitalisme menurut Adam Smith ataupun Ulrich Ducrow. Adam Smith berpendapat bahwa manusia memiliki naluri untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari segala sesuatu yang dimilikinya. Adam Smith tidak menganggap naluri tersebut bersifat negatif dan merusak sehingga pasar tidak perlu diawasi dan dibatasi karena Adam Smith percaya adanya ’tangan yang tidak kelihatan’ (invisible hand) yang mengatur pasar tetap berjalan selaras untuk kebaikan bersama. Tangan yang tidak kelihatan itu bekerja sedemikian rupa sehingga manusia yang ingin memperoleh keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya dengan sendirinya akan mengusahakan sesuatu yang menguntungkan masyarakat luas. Jika manusia menguntungkan masyarakat, manusia sendiri juga yang pada akhirnya memperoleh keuntungan. Sebaliknya apabila masyarakat hancur, manusia pula yang pada akhirnya menanggung kerugian. Ekonomi merupakan wilayah kehidupan manusia yang otonom dan berjalan menurut hukum-hukumnya sendiri. Smith meyakini pembebasan mekanisme sistem ekonomi sesuai dengan ’kodrat’nya justru akan menguntungkan masyarakat luas.21 21
Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua. Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, 1990, hal. 22-24.
15
Sedangkan Ducrow menyimpulkan kapitalisme modern sebagai akibat perubahan mendasar dari motif ekonomi penunjang hidup diganti dengan motif mencari keuntungan. Semua transaksi dinyatakan dalam istilah moneter lewat harga. Tenaga kerja dan bahan mentah yaitu manusia dan alam, berubah menjadi komoditas. Sebuah sistem kapitalisme memiliki prasyarat antara lain: -
-
Manusia berperilaku untuk mendapat keuntungan maksimum (rasionalitas) Manusia yang berperan sebagai pensuplai satu atau lebih faktor produksi secara prinsipal harus dianggap sebagai pemilik properti. Jika manusia berperilaku rasional ekonomis maka akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal ini disebabkan ’invisible hand’ akan mengatur dan mengendalikan. Negara sebagai organisasi umat manusia dalam masyarakat harus menjamin otonomi pasar-pasar mereka. 22
Namun melalui karya Etos Protestan dan Semangat Kapitalisme, Weber melihat kepentingan ideal juga memiliki pengaruh signifikan. Kepentingan ideal yang telah di’rutinisasi’kan dan di’institusinalisasi’kan untuk menjadi ’etos’ di dalam masyarakat sebagai hasil interaksi dengan kepentingan material maka akan menghasilkan perubahan penting di dalam masyarakat dan sejarah. Max Weber menyadarkan pentingnya ekonomi bagi agama dan juga sebaliknya pentingnya agama bagi ekonomi. Weber menemukan aspek-aspek tertentu dalam Etos Protestantisme khususnya Calvinisme yang meningkatkan pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis. Munculnya Teologi Kemakmuran yang mengandung nilai-nilai kapitalisme menjadi fenomena yang menarik, karena Teologi Kemakmuran dan Protestantisme Calvinis merupakan ajaran yang berbeda dan dipisahkan sejarah tetapi memiliki respon positif yang sama terhadap kapitalisme. Di dalam Teologi Kemakmuran
16
dibentuk pula sebuah etos dalam wujud Need for Achievement (N. Ach) dalam pengumpulan materi sebagai bagian pemenuhan kehidupan secara religius. Kerangka teori inilah yang dapat menghubungkan Teologi Kemakmuran dan Etos Protestantisme dalam perkembangan kapitalisme. Meski terpisah oleh sejarah selama empat abad, kapitalisme dapat bertahan dalam dua kondisi tersebut. Hal inilah yang akan menjadi titik tolak dari penelitian perbandingan dari Teologi Kemakmuran melalui karya Weber tersebut .
1.6. Metodologi penelitian Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian sebagai berikut : 1.6.1. Pendekatan Metodologi penelitian adalah studi komparatif atau perbandingan dengan menggunakan pendekatan kualitatif23, khususnya dalam memperbandingkan penelitian mengenai ajaran dan pengaruh Teologi Kemakmuran dengan karya penelitian Weber tentang Etos Protestan dan Semangat Kapitalisme. Data yang dikumpulkan dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, kemudian dilakukan analisa data melalui studi perbandingan dari literatur Weber tersebut.
22
Ulrich Ducrow, Mengubah Kapitalisme Dunia. Tinjauan Sejarah-Alkitabiah bagi Aksi Politis, 1998, hal. 24-25. 23 Pendekatan kualitatif melihat rekaman informasi dari sebuah kehidupan nyata yang dipahami dengan logika sesuai dengan gejala itu sendiri -fenomenologis- (Bnd. Robert Bogdan & Steven J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods : A Phenomenological Approach to the Social Sciences, 1975, p. 50).
17
1.6.2. Sumber Data Penelitian Penelitian studi pustaka ini mengambil sumber data dari hasil penelitian empiris yang sebelumnya telah dilakukan dalam karya penulisan skripsi pada Gereja Bethel Indonesia (GBI) Rumah Pujian Jogjakarta.24 Namun data juga dilengkapi dengan beberapa penelitian tentang Teologi Kemakmuran yang lain, khususnya penelitian (tesis) Ronny Chandra Kristanto pada jemaat GBI Keluarga Allah di Solo25 dan penelitian (tesis) Cyndy Quartyamina Koan pada jemaat Gereja Bethany Indonesia di Surabaya.26 Pemilihan terhadap ketiga sumber data tersebut berdasarkan pertimbangan penelitian masing-masing mendeskripsikan kondisi yang serupa, yakni Teologi Kemakmuran yang diajarkan secara eksplisit pada masing-masing gereja tersebut. Akan tetapi ketiga penelitian tersebut masih mengkaji fenomena Teologi Kemakmuran dengan masing-masing perspektif. Misalnya penelitian Yosef K. Nugroho melihat fenomena Teologi kemakmuran sebagai studi sosiologis, penelitian Ronny Chandra Kristanto melihat fenomena Teologi Kemakmuran dengan perspektif perkembangan bisnis jemaat etnis Tionghoa, sedangkan penelitian Cyndy Q. Koan mengkaji secara kritis tentang kelebihan dan kelemahan Teologi Kemakmuran dari
24
Yosef Krisetyo Nugroho, Teologi Kemakmuran. Ajaran dan Implikasi terhadap Perkembangan Umat Protestan. Suatu Studi pada Gereja Bethel Indonesia Rumah Pujian Yogyakarta (Skripsi), UGM, 2006 25 Ronny Chandra Kristanto, Gereja Karismatik dan Bisnis Etnis Tionghoa. Studi Historis - Teologis Mengenai Relasi Gereja dan Bisnis di Gereja Bethel Indonesia Keluarga Allah Solo (Tesis), PPSTMTh UKDW, 2006. Dalam penelitian kualitatif ini ditemukan suatu kondisi dimana Teologi Kemakmuran membentuk suatu etos kerja yang ramah pada dunia bisnis melalui sikap optimisme dan motivasi berprestasi atau need for achievement (hal. 117-119) 26 Cyndy Quartyamina Koan, Teologi Sukses dan Spiritual Capital. Kajian terhadap Teologi Sukses Gereja Bethany –Surabaya dari Perspektif Spiritual Capital dalam Konteks Indonesia (Tesis), CRCS-UGM, 2008. Dalam penelitian kualitatif dan kuantitatif ini juga ditemukan data menarik, yakni 85,54% (71 dari 83 orang) responden merasa telah melewati setengah hingga sepenuhnya proses pencapaian kondisi kelimpahan materi dalam wujud dari kondisi berkecukupan hingga taraf ekonomi meningkat. Masih menurut data tersebut, 75,91% (63 responden) meyakini adanya keterkaitan antara perilaku dan kehidupan rohani yang baik dengan tingkat kelimpahan materi (hal. 116-119)
18
sudut pandang spiritual kapital (modal spiritual). Ketiga penelitian tersebut melihat fenomena Teologi Kemakmuran secara parsial dan mengkaji secara kritis ketidakmampuannya secara etika sosial. Namun ketiga penelitian tersebut juga belum melihat faktor perkembangan eksternal, khususnya sejarah perkembangan kapitalisme dan dinamika korelasinya dengan agama khususnya Etos Protestan yang sebelumnya telah digambarkan dalam uraian tesis Max Weber.
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilaksanakan melalui Research Using Available Data, yaitu sebuah metodologi penelitian yang mengutamakan secondhand information dengan sumber data berasal dari dokumen-dokumen tertulis, publikasi media massa dan literatur buku. Di dalam penelitian ini beberapa hasil penelitian (tesis) sebelumnya akan menjadi sumber data primer. Melalui tahap ini diharapkan untuk mengamati konsep Teologi Kemakmuran dalam kerangka deskriptif yang utuh. Kemudian teknik studi pustaka –studi buku dan literatur sebagai kerangka teoridilakukan sebagai upaya melakukan studi perbandingan antara Teologi Kemakmuran dan Etos Protestan dalam melihat respon masing-masing terhadap kapitalisme. Ada dua kata kunci yang menjadi tema dalam studi pustaka yaitu Etos Protestan (Calvinis) dan
kapitalisme. Melalui studi pustaka ini diharapkan dapat melihat
perkembangan sejarah Protestantisme dalam kaitannya dengan kapitalisme serta memperoleh nilai-nilai dasar yang mendukungnya.
19
1.6.4. Cara Analisa Data Setelah data dikumpulkan, langkah selanjutnya adalah analisis terhadap data tersebut. Data yang diperoleh dari hasil beberapa penelitian tentang pengaruh Teologi Kemakmuran menjadi data primer yang kemudian diperbandingkan dengan kajian dari hasil studi pustaka yaitu Etos Protestan dan Semangat Kapitalisme, dan selanjutnya dilakukan interpretasi atas data-data yang diperoleh. Dalam tahap terakhir akan dilakukan suatu reinterpretasi (penafsiran ulang) terhadap Teologi Kemakmuran guna membangun suatu teologi ekonomi kontekstual.
1.7. Sistematika penulisan Bab I
: Pendahuluan
Bab II
: Ajaran dan Pengaruh Teologi Kemakmuran
Bab III : Teorisasi Etos Protestan dan Semangat Kapitalisme Bab IV : Perbandingan Pengaruh Teologi Kemakmuran dan Etos Protestan menurut Max Weber Bab V : Kesimpulan dan Saran
20