BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan
fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove ini bersifat khas, yaitu memiliki peranan ekologi yang penting terhadap lingkungan sekitar. Peranan ekologi tersebut diantaranya menjaga stabilitas pantai dari abrasi, berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut, angin topan, serta berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai dan kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus. Mangrove juga mampu menghasilkan oksigen lebih besar dibandingkan dengan tumbuhan darat serta mampu mengendalikan intrusi air laut ke wilayah daratan yang dikendalikan melalui sistem perakarannya (Bayan, 2014). Indonesia sebagai negara kepulauan terdiri kurang lebih 18.300 pulau baik yang besar maupun kecil dengan panjang garis pantai ± 80.000 km (Delinom dan Lubis, 2007). Sebagian daerah pantai tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar dari beberapa meter sampai kilometer. Noor et.al (2006) mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mangrove terluas di dunia dan memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya paling bervariasi. Saat ini mangrove telah mengalami degradasi karena berbagai sebab dan permasalahan yang dihadapinya. Degradasi hutan mangrove Indonesia terjadi
1
akibat penggunaan kawasan yang kurang tepat atau mengalami perubahan fungsi, salah satunya menjadi areal pertambakan udang. Di samping itu, kegiatan pemanfaatan kayu hutan bakau untuk bahan baku arang dan kayu bakar menjadi pendorong menurunnya kualitas hutan mangrove karena ditebangi. Hutan mangrove yang terdegradasi akan mengganggu keseimbangan ekosistemnya sehingga fungsi alaminya terganggu. Keadaan ini cukup mengkhawatirkan mengingat ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang memiliki berbagai fungsi dan manfaat, meliputi fungsi fisik, biologi, dan ekonomi atau produksi (Fitriana, 2006). Wilayah Pantai Utara Brebes merupakan salah satu kawasan mangrove yang mengalami kerusakan akibat adanya abrasi dan penebangan yang berlebihan. Dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2008, abrasi pantai di Kabupaten Brebes mencapai 640,45 hektar dengan panjang garis pantai 27,043 km yang berarti ratarata pengikisan pantai dari pantai ke arah darat sejauh 236,83 m dalam kurun waktu 8 tahun atau 29,60 m per tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Brebes dalam Suyono, 2015). Kecamatan Brebes merupakan wilayah dengan tingkat abrasi paling tinggi, khususnya di Desa Kaliwlingi mencapai 385,98 ha. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di wilayah pantai Kabupaten Brebes dilakukan dan dikoordinasi oleh Dinas Pertanian, Kehutanan dan Konservasi Tanah Kabupaten Brebes yang direalisasikan sejak tahun 2004 (Suyono, 2015). Upaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut perlu memperhatikan faktor biotik dan abiotik. Hal ini dikarenakan keduanya dapat memengaruhi keberhasilan rehabilitasi mangrove.
2
Menurut Bengen (2001), kegiatan penghijauan yang dilakukan terhadap hutan-hutan yang telah gundul, merupakan salah satu upaya rehabilitasi yang bertujuan bukan saja untuk mengembalikan nilai estetika, namun yang paling utama adalah untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan mangrove tersebut. Kegiatan seperti ini menjadi salah satu andalan kegiatan rehabilitasi di beberapa kawasan hutan mangrove yang telah ditebang dan dialihkan fungsinya. Mangrove berfungsi sebagai habitat berbagai jenis biota, diantaranya biota penempel pada pohon, membenamkan diri dan biota yang merangkak di dasar perairan. Sebagai penyedia keanekaragaman hayati (biodiversity), ekosistem mangrove juga sebagai sumber plasma nutfah (genetic pool) dan penunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Menurut Bengen (2004) tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tetapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang, dsb). Banyak fauna khususnya benthos yang berkoeksistensi di hutan mangrove memiliki nilai ekonomi yang tinggi, seperti kepiting bakau, beberapa jenis crustacea, kerangkerangan, dan gastropoda. Kesemua biota itu termasuk kedalam kelompok makrozoobenthos (Tapilatu dan Pelasula, 2012). Makrozoobenthos merupakan kelompok organisme yang hidup di dalam atau permukaan sedimen dasar perairan serta memiliki ukuran panjang lebih dari 1 mm (Nybakken, 1982 dalam Pong-Masak, 2006). Makrozoobenthos hidup
3
menempel, melata (sesile), meliang dan membenamkan diri baik di dasar perairan maupun di permukaan dasar perairan (Arief, 2003). Makrozoobenthos yang umum ditemui di kawasan mangrove adalah makrozoobenthos dari Kelas Crustacea, Polychaeta, Bivalvia dan Kelas Gastropoda. Kelompok hewan tersebut merupakan bagian dari ekosistem mangrove dan mempunyai peranan yang sangat kompleks. Keberadaannya dalam ekosistem perairan memiliki keunikan tersendiri. Unik karena selain berfungsi sebagai bahan makanan bagi organisme lainnya, juga dapat dijadikan sebagai indikator kualitas suatu perairan. Makrozoobenthos memiliki pergerakan yang terbatas dan lambat sebagai organisme dasar perairan sehingga keberadaannya dapat digunakan untuk melihat seberapa besar tekanan lingkungan yang ada. Pada ekosistem perairan, keberadaan makrozoobenthos sangat erat kaitannya dengan kualitas air dan tipe sedimen yang ada karena selain kualitas air, sedimen merupakan media hidup yang bersentuhan langsung dengan makrozoobenthos (Simanungkalit, 2013). Pentingnya peran ekologis makrozoobenthos sebagai dekomposer serta bio-indikator lingkungan dalam menentukan kesuburan dan dinamika hara suatu ekosistem mangrove, maka penelitian yang berjudul “Keanekaragaman Jenis dan Kepadatan Makrozoobenthos pada Berbagai Tahun Tanam di Kawasan Rehabilitasi Mangrove Desa Kaliwlingi, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah” perlu dilakukan. Peneliti ingin mengamati keanekaragaman jenis dan kepadatan makrozooobenthos yang dapat digunakan sebagai objek pengamatan dari kegiatan rehabilitasi yang telah dilakukan. Pengamatan ini sangat dibutuhkan untuk tujuan pelestarian hutan mangrove kedepannya.
4
1.2.
Rumusan Masalah Mangrove merupakan suatu formasi hutan yang tumbuh di daerah pasang
surut, sehingga hutannya tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut (Kusmana, 2007). Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang memiliki banyak manfaat salah satunya adalah manfaat ekologi yaitu menjadi sumber unsur hara bagi kehidupan hayati (biota perairan) laut, serta sumber pakan bagi kehidupan biota darat seperti burung, mamalia dan jenis reptil (Huda, 2008). Namun, ketika pemanfaatan hutan mangrove dilakukan secara berlebihan seperti pengambilan kayu secara liar untuk dijual dan pembukaan areal mangrove, maka akan berdampak pada kondisi hutan mangrove yang semakin menurun kualitasnya. Wilayah pantai Kabupaten Brebes, Jawa Tengah sepanjang 65,48 km pada tahun 1983 ditumbuhi vegetasi mangrove seluas 2.327 ha. Selanjutnya dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2008, abrasi pantai di Kabupaten Brebes mencapai 640,45 ha dengan panjang garis pantai 27,04 km. Pasca tahun 2008, luasan mangrove tersebut tinggal 257,11 ha (Suyono, 2015). Hutan mangrove yang terdegradasi akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove sehingga fungsi alaminya terganggu. Saat ini kegiatan rehabilitasi di wilayah pantai Brebes mulai ditingkatkan dan dikoordinasikan dengan Dinas Pertanian, Kehutanan dan Konservasi Tanah Kabupaten Brebes. Secara ekologis, ekosistem mangrove berperan sebagai habitat bagi biota perairan, salah satunya adalah makrozoobenthos. Makrozoobenthos merupakan salah satu hewan benthos yang berperan penting dalam siklus hara dan sebagai
5
dekomposer. Secara tidak langsung hewan ini dapat menambah kesuburan dalam ekosistem mangrove. Informasi mengenai makrozoobenthos di Pantai Utara Brebes belum ada setelah kegiatan rehabilitasi. Atas dasar itulah, maka diperlukan penelitian tentang keanekaragaman jenis dan kepadatan makrozoobenthos beserta faktor fisik-kimia perairan yang memengaruhinya pada kawasan rehabilitasi mangrove, khususnya di Desa Kaliwlingi, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Hal tersebut diharapkan dapat menjadi indikator keberhasilan kegiatan rehabilitasi mangrove yang terkelola secara lestari.
1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini, yaitu : 1. Mengetahui keanekaragaman jenis dan kepadatan makrozoobenthos pada berbagai tahun tanam rehabilitasi. 2. Mengetahui
perbedaan
keanekaragaman
jenis
dan
kepadatan
makrozoobenthos beserta faktor fisik-kimia perairan pada berbagai tahun tanam rehabilitasi.
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai struktur
vegetasi mangrove meliputi komposisi dan kerapatannya, faktor fisik-kimia perairan, keanekaragaman jenis, serta kepadatan makrozoobenthos pada berbagai tahun tanam di Kawasan Rehabilitasi Mangrove Desa Kaliwlingi, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Manfaat lain yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu
6
untuk mengetahui peranan hutan mangrove dalam menjaga dan memberikan ruang hidup bagi kehidupan makrozoobenthos. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar dan bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya, juga sebagai salah satu acuan kebijakan Pemerintah dalam rencana pengembangan wilayah dan konservasi mangrove yang ada di pesisir Pantai Utara Brebes.
7