BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Penelitian Era perdagangan bebas dan perubahan pola konsumsi, mengakibatkan semakin
kuatnya tekanan persaingan produk di dalam negeri. Perdagangan bebas menuntut agar produk dalam negeri yang dihasilkan mampu bersaing. Semakin banyaknya pilihan konsumen, maka produk yang akan diterima oleh pasar adalah produk yang memiliki banyak keunggulan. Sehingga keunggulan-keunggulan ini dapat dijadikan kelebihan bagi para pelaku usaha yang terlibat didalammnya dan digunakan untuk memperoleh keuntungan dan menguasai pasar. Di dalam industri daging sapi, khususnya di Indonesia, perdagangan bebas, menuntut industri ini untuk lebih peka terhadap pasar terutama pasar lokal, bukan hanya sebatas pemenuhan kebutuhan pasar, namun bagaimana membuat pasar produk ini berkembang lebih bergairah bagi produsen dan bagi industri pendukung lainnya. Hal ini akan ditentukan oleh bagaimana pola keputusan pembelian konsumen daging sapi yang semakin menuntut spesifikasi produk yang lebih kompetitif. Bagaimana industri ini berkembang, harus dapat dicermati oleh berbagai pihak, peran pemerintah masih sangat tinggi pengaruhnya, karena peternakan sapi potong di Indonesia 90%-nya merupakan peternakan rakyat atau peternakan penggemukan sapi potong skala kecil yang hanya mempunyai 2 sampai 5 ekor sapi potong dan tidak mempunyai manajemen pembudidayaan dan penyediaan pakan sendiri. Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian suatu negara tercerminkan oleh kemampuan negara tersebut dalam swasembada pangan, atau paling tidak ketahanan pangan. Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu topik yang sangat penting, bukan saja dilihat dari nilai-nilai ekonomi dan sosial, tetapi masalah ini mengandung konsekuensi politik yang sangat besar. Ketahanan pangan bertambah penting lagi terutama karena saat ini Indonesia merupakan salah satu anggota dari
1
2
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Artinya, di satu pihak, pemerintah harus memperhatikan kelangsungan produksi pangan di dalam negeri demi menjamin ketahanan pangan, namun, di pihak lain, Indonesia tidak bisa menghambat impor pangan dari luar. Apabila Indonesia tidak siap, keanggotaan Indonesia di dalam WTO bisa membuat Indonesia menjadi sangat tergantung pada impor pangan, dan ini dapat mengancam ketahanan pangan di dalam negeri. Perdagangan bebas yang telah diikuti Indonesia, tidak terlepas dari stigma konsumsi masyarakat yang masih melekat kuat. Masyarakat Indonesia yang masih merupakan negara ekonomi berkembang, umumnya masih menganggap produk impor lebih baik kualitasnya dibanding produk lokal, hal ini masih menjadi permasalahan yang dapat mengancam daya saing produk lokal. Begitupun pada produk bahan pangan seperti daging sapi. Stigma ini masih menjadi ancaman yang harus diperhitungkan bagi daya saing produk daging sapi lokal. Terlebih lagi dengan keunggulan harga produk impor yang lebih murah. Oleh karena itu, banyak produk lokal yang sulit diterima oleh konsumen domestik dikarenakan harga dan kualitas produk impor lebih diterima oleh kosnsumen domestik. Hal ini terbukti dengan semakin tingginya produk daging sapi impor yang masuk ke Indonesia, baik dari jalur yang resmi ataupun yang tidak resmi. Terlepas dari stigma tersebut, secara teknis untuk meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri. Indonesia pernah melakukan pencanangan PSDS (Program Swasembada Daging Sapi) pada tahun 2005 beserta kebijakan regulasi yang ditujukan untuk pengembangan usaha peternakan sapi potong dalam menghasilkan daging sapi yang
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Sehingga diharapkan dapat
mengurangi
ketergantungan
impor
daging
sapi.
Program
ini
memperkirakan
pengurangan ketergantungan impor dalam kurun waktu 5 tahun yaitu dari 2005-2010, dengan mempertimbangkan asumsi peningkatan populasi ternak sapi potong (5.82%/tahun), peningkatan jumlah penduduk (1.49%/tahun) dan peningkatan konsumsi daging sapi per kapita (5.0%/tahun), selama kurun waktu 5 tahun ke depan ketergantungan impor daging sapi diperkirakan dapat dikurangi. Hal ini memerlukan
3
terobosan untuk mendorong investasi, sehingga tidak menutup kemungkinan produksi daging sapi dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan domestik menuju swasembada daging sapi tahun 2010 (Tabel 1.1). Tabel 1.1 memperlihatkan perkiraan jumlah produksi ideal dari tahun 2005-2010, yang mendekati kebutuhan konsumsi domestik. Jumlah perkiraan produksi tahun 2005 sebesar 2.718.4000 Ton dengan perkiraan kebutuhan konsumsi sebesar 3.789.300 Ton, untuk produksi tahun 2006 sebesar 2.884.300 Ton dengan kebutuhan konsumsi 3.996.600 Ton, produksi tahun 2007 sebesar 3.143.000 dengan konsumsi sebesar 4.215.200 Ton, produksi tahun 2008 sebesar 3.286.100 dengan konsumsi sebesar 4.445.800, produksi tahun 2009 sebesar 4.237.300 Ton dengan konsumsi sebesar 4.689.000 Ton, dan perkiraan produksi tahun 2010 sebesar 4.836.400 dengan perkiraan kebutuhan konsumsi sebesar 4.945.500 Ton. Tabel perkiraan produksi ideal tersebut masih menyertakan sapi yang diimpor. Oleh karena itu, selisih produksi dalam dalam negeri masih lebih besar dengan kebutuhan konsumsinya. Pengadaan daging sapi tersebut erat hubungannya dengan pemasaran daging sapi, dimana pangsa pasar penjualan daging sapi di Indonesia ini sangat besar, terlihat dari tingginya market size perdagangan daging sapi yaitu diatas Rp 20 Triliun pada tahun 2008, seperti ditunjukan pada Tabel 1.2. Hal ini, seiring dengan semakin tingginya konsumsi daging sapi dengan rata-rata peningkatan market size perdagangan mencapai 8,8% per tahunnya. Tingkat market size yang sangat tinggi ini menyebabkan banyaknya perusahaan-perusahaan yang memasok daging sapi di Indonesia. Kebanyakan perusahaan-perusahaan tersebut berada di daerah sentra konsumsi seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat. Selain itu, industri eceran mempunyai peranan yang sangat penting dalam pemasaran daging sapi ditengah pangsa pasar yang sangat besar ini. Bagaimana hal ini dimanfaatkan oleh produsen daging sapi untuk mendapatkan konsumen sebanyak mungkin dan efisiensi usaha sebesar mungkin. Oleh karena itu, produsen atau pemasok harus mengetahui bagaimana kebijakan keputusan pembelian daging sapi oleh pelaku bisnis eceran sebagai konsumen bisnis mereka.
4
Disisi lain, industri eceran ini juga akan terus bersaing untuk menawarkan keragaman produk dengan tingkatan kualitas dan harga yang kompetitif untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Persaingan ini sangat jelas terasa dan terlihat perkembangannya pada industri eceran modern, karena pengecer modern merupakan perusahaan yang telah menerima konsep pemasaran dan senantiasa berorientasi pada kepuasan konsumen. Selain itu, dengan kelengkapan produk dan kenyamanan berbelanja, semakin diminati masyarakat untuk dijadikan tempat memperoleh kebutuhan mereka. Daging sapi sebagai komoditas bahan pangan pokok, menjadi produk yang cukup diunggulkan untuk ditawarkan pengecer modern dengan berbagai tingkatan kualitas dan harga untuk menarik konsumen sebesar-besarnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, pemasaran daging sapi diduga dipengaruhi oleh masalah kualitas produk dan harga. Sedangkan para pembeli yang diteliti adalah supermarket yang menjual daging sapi. Bagaimana kebijakan pembelian daging sapi oleh supermarket, penting untuk diteliti. Apakah benar ada pengaruh kualitas dan harga terhadap keputusan pembelian pelaku usaha. Mengetahui bagaimana kebijakan pembelian bisnis oleh supermarket juga diharapkan dapat berimplikasi positif bagi pelaku bisnis industri pengadaan daging sapi.
Pemerintah mengikuti komitmen kesepakatan perdagangan internasional dengan cara membuka diri terhadap produk dan komoditas pertanian impor. Pada 1998, atas desakan dan tekanan IMF, melalui Inpres No 2 dengan alasan peningkatan daya saing maka disepakati segala hambatan perdagangan yang terjadi di wilayah Indonesia harus dihapuskan, termasuk perdagangan sapi. Hal ini semakin jelas dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Pertanian No.3.026 tahun 2009. Meskipun kebijakan tersebut akan memancing risiko, selain bertentangan dengan Permentan dan UU No.6/1967, juga tidak menjamin terciptanya iklim yang kondusif bagi perkembangan peternakan di dalam negeri khususnya sapi. Dampak lebih lanjut dari keadaan ini adalah menurunnya tingkat kesejahteraan peternak sapi rakyat.
5
Tabel 1.1 Perkiraan Penyediaan, Kebutuhan, Neraca dan Populasi Ideal Sapi Di Indonesia, Tahun 2005-2010 DAGING SAPI
2005
2006
2007
2008
2009
2010
PRODUKSI Populasi sapi (000 ekor)
11 045.90
11746.17
12 467.38
13210.16
13975.14
14763.00
Pertumbuhan (%)
2.98
6.34
6.14
5.96
5.79
5.64
Kelahiran (000 ekor)
2396.83
2 548.78
2705.28
2866.45
3032.44
3203.40
Kematian (000 ekor)
174.76
185.83
197.24
209.00
221.10
233.56
Replacement (000 ekor)
700.27
721.21
742.77
764.98
417.86
441.41
Total Pemotongan (000 ekor)
1 891.45
1 837.82
1 765.26
1 892.47
2393.49
2528.42
a. Pemotongan IB (000 ekor)
500.00
500.00
500.00
500.00
500.00
500.00
b. Pemotongan Kawin Alam (000 ekor)
1 391.45
1 337.82
1 265.26
1 392.47
1 893.49
2028.42
Produksi daging sapi (a+b) (000 ton)
271.84
265.19
256.20
271.97
334.05
350.77
Impor sapi betina muda (000 ekor)
0
500
500
0
0
0
Impor (000 ekor)
0
325
812.5
792.19
1 254.30
1 858.34
Tambahan populasi (000 ekor)
0
825
1 725
1448.44
1 650.39
2485.49
Tambahan produksi daging (000 ton)
0
23.24
58.09
56.64
89.68
132.87
Total produksi daging (000 ton)
271.84
288.43
314.30
328.61
423.73
483.64
Penduduk (juta orang)
219.67
222.97
226.31
229.71
233.15
236.65
Pertumbuhan penduduk (%)
1.49
1.49
1.49
1.49
1.49
1.49
Konsumsi daging (kg/kap/thn)
1.72
1.79
1.86
1.94
2.01
2.09
Total konsumsi (000 ton)
378.93
399.66
421.52
444.58
468.90
494.55
Produksi - kebutuhan (000 ton)
(107.09)
(111.22)
(107.22)
(115.97)
(45.17)
(10.92)
Persentase kekurangan
(28.26)
(27.83)
(25.44)
(26.09)
(9.63)
(2.21 )
Setara dengan sapi hid up (000 ekor)
(864.22)
(897.62)
(865.33)
(935.94)
(364.55)
(88.09)
Betina produktif (000 ekor)
(1 389.87) (1 443.58) (1 391.65) (1 505.21) (586.29)
(141.67)
Persentase kekurangan populasi
12.58
11.48
10.10
10.75
3.85
0.85
POPULASI IDEAL
11910.12
13 468.79
14645.21
14938.28
15593.99
16709.43
KEBUTUHAN
NERACA
Sumber: Ditjen Peternakan, Departemen Pertanian, 2005
6
Tabel 1.2. Market Size Daging Sapi dan Pertumbuhan Market Size Daging Sapi di Indonesia Tahun 2004 – 2008 Tahun Market Size (Rp. T)
2004
2005
2006
2007
2008
15,33
14,30
16,29
20,85
21,47
-6,7
13,9
28,0
3,0
Pertumbuhan Market Size (%)
Sumber: Departemen Pertanian Dikutip dari Economic Review No. 217, September 2009
Selain pemenuhan kebutuhan dalam negeri, sebagai imbas dari meningkatnya spesifikasi produk yang diinginkan konsumen, membuat impor daging sapi terus meningkat. Berdasarkan data Statistik Pertanian 2008, yang ditunjukan pada Tabel 1.3. terlihat volume impor dan pertumbuhan volume impor daging sapi tercatat terus mengalami kenaikan. Dari tahun 2004 hingga 2007, nilai ekspor terkecil terjadi pada 2006. Pada tahun itu, nilai ekspor daging sapi hanya 0,02% dari impor yang sebesar 24.079 ton. Pada 2007 nilai ekspor daging sapi sempat naik tajam hingga 43 ribu ton, tetapi tidak sesignifikan kenaikan impor yang mencapai 39.352 ton. Pada tahun 2006 volume impor daging sapi mencapai 25.949 ton, meningkat dari impor tahun sebelumnya yang hanya mencapai 12.755 ton. Impor daging sapi masih meningkat di tahun 2007 yang mencapai 47.776 ton, dan masih meningkat terus di tahun 2008 hingga mencapai 52.700 ton. Tabel 1.3. Volume Impor Daging Sapi dan Pertumbuhan Volume Impor Daging Sapi Indonesia Tahun 2004 – 2008. Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 Volume Import (Rb Ton) Pertumbuhan Vol. Impor (%)
13,0
12,8
25,9
47,8
52,7
-1,7
103,4
84,1
10,3
Sumber:Departemen Pertanian Dikutip dari Economic Review No. 217, September 2009
Angka statistik di atas menunjukkan betapa besarnya ketergantungan Indonesia akan impor daging sapi dari luar negeri. Inilah yang dalam jangka panjang akan membahayakan ekonomi Indonesia dan menimbulkan ancaman ketergantungan pangan. Impor yang selama ini dilakukan tidak hanya mengancam aspek pengeluaran (belanja) Negara, tetapi juga mengancam peternakan lokal karena penetrasi harga yang
7
terhitung lebih rendah akan merombak struktur harga daging sapi lokal yang berkecenderungan lebih tinggi. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, populasi sapi yang dipotong di Jawa Barat tahun 2009 adalah 287.937 ekor, dimana Jawa Barat sendiri hanya menyuplai sebanyak 49.110 ekor atau 17,06% dan sebanyak 91.679 ekor atau 31,84% disuplai oleh sapi – sapi potong impor, dimana sebenarnya adalah sebanyak 180.000 ekor sapi impor, namun besaran tersebut di atas adalah data sapi yang dipotong. Selain itu sebanyak 147.148 ekor atau 51,10% disuplai dari luar Jawa Barat. Populasi sapi potong dan produksi daging sapi tahun 2008 dan 2009 di Jawa Barat, dimana data tahun 2009 masih sangat sementara, dapat dilihat pada tabel 1.4 dibawah ini. Data statistik pada Tabel 1.4 memperlihatkan posisi daging sapi impor yang akan beredar di Jawa Barat menyediakan hampir setengahnya dari produksi daging lokal. Hal ini dapat menjadi ancaman yang cukup serius bagi penetrasi daging sapi lokal khususnya di Jawa Barat. Tabel 1.4. Data Populasi Sapi dan Produksi Daging Sapi di Jawa Barat Tahun 2008 – 2009 Tahun
2008
2009 (sangat sementara)
295.554
308.414
Lokal
46.175
44.657
Impor
25.176
24.535
Populasi Sapi Potong (Ekor) Produksi Daging Sapi (Ton)
Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat
Sebagian besar atau sekitar 85% kebutuhan daging di Jawa Barat tergantung pasokan dari luar daerah termasuk daging sapi impor. Sedangkan produksi daging sapi lokal hanya mencukupi 15% kebutuhan saja. Pasokan daging sapi dari luar daerah kebanyakan dipasok dari Jatim dan Jateng. Sedangkan impor dilakukan hanya dari empat negara asal yakni Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat dan Kanada. Setiap tahun Jabar mengimpor 1.634,5 ton daging sapi atau setara dengan 161.807 ekor. Produsen daging sapi lokal (Jawa Barat) tersisih oleh produk sapi impor yang banyak
8
mengisi stok khususnya untuk kebutuhan selama bulan Puasa dan Lebaran 2009. Hal ini mengakibatkan, stok hewan sapi hidup dari sejumlah sentra peternakan Jabar, seperti Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, Garut, hanya bisa dijual di daerah setempat. Kondisi tersebut mengakibatkan harga daging sapi praktis ditentukan oleh para pengimpor. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Daging Sapi (Apdasi) Jabar, H. Dadang Iskandar, “kini sudah tak ada lagi pasokan sapi hidup lokal Jabar ke rumah-rumah pemotongan hewan di Kota Bandung, sedangkan yang kini dipotong adalah sapi impor dan sapi asal Jateng-Jatim. Pasokan daging sapi untuk kebutuhan puasa dan Lebaran kali ini, baik di pasar tradisional maupun modern, praktis sepenuhnya diisi dagingdaging sapi impor," (Pikiran Rakyat, Kamis 03 September 2009). Hal ini akan berimbas terhadap para pelaku usaha eceran. Mereka akan memasarkan produk yang beredar banyak di pasaran dengan berbagai alasan yang terutama adalah alasan harga, ketersediaan barang dan kualitas produk. Apalagi produk impor tidak lagi menyuplai pasar-pasar tertentu yang lebih eksklusif, namun telah merambah ke pasar tradsional. Data perkembangan penyediaan produksi daging sapi di kota Bandung dari tahun 2006 sampai tahun 2009 ditunjukan pada Tabel 1.5, berdasarkan data yang didapat dari Dinas Ketahanan Pangan Kota Bandung. Data pada Tabel 1.5 menunjukan, meski produksi daging sapi di Kota Bandung bukan berasal dari ternak sapi yang berasal dari kota Bandung, namun menunjukan perkembangan yang meningkat terutama dari tahun 2007 ke tahun 2008 yang menunjukan kenaikan lebih dari dua kali lipatnya. Data produksi daging tersebut berkorelasi positif dengan tingkat konsumsi daging sapi masyarakat kota Bandung perkapita per tahun dan permintaan daging sapi. Lonjakan produksi yang sangat tajam di tahun 2008 tersebut mengindikasikan bahwa permintaan daging sapi di kota Bandung melonjak tinggi atau terjadi pemenuhan pasar yang sangat tinggi dari produsen (Penulis mengasumsikan, hingga saat tesis ini dibuat, semua data produksi daging sapi tersebut diasumsikan terserap semua oleh konsumen atas dasar fakta dari data masih kurangnya pemenuhan permintaan daging sapi di Jawa Barat khususnya di Kota Bandung).
9
Berdasarkan wawancara Penulis dengan Staf Dinas terkait di Kota Bandung, didapat informasi bahwa harga daging sapi impor lebih murah Rp 2.000,00 – Rp 3.000,00 dibandingkan harga daging sapi lokal. Namun begitu, permintaan akan daging sapi lokal ini masih sangat tinggi, salah satu yang dominan adalah kebiasaan konsumen lokal yang masih menyukai daging sapi segar, karena meski produsen daging sapi memproduksi daging sapinya berasal dari ternak sapi bakalan yang diimpor kemudian digemukan, namun ada juga produsen daging sapi yang langsung mengimpor daging sapi beku (daging sapi box import). Proses masuknya daging sapi beku ini masih banyak yang tidak terdeteksi oleh pemerintah, melalui pintu-pintu yang tidak resmi para pengimpor masih dapat mendatangkan daging sapi import dari luar dengan ketentuan kesehatan veteriner yang tidak berstandar atau resmi. Tabel 1.5 Perkembangan Penyediaan Produksi Daging Sapi Di Kota Bandung Tahun 2006 – 2009 Tahun
Jumlah Produksi (Kg)
Perkembangan (%)
2006
6.897.702
-
2007
7.546.075
9,40
2008
16.211.291
114,83
2009
18.997.798
17,19
Sumber: Dinas Ketahanan Pangan Kota Bandung (Data tersebut adalah data yang tercatat oleh Dinas melalui Rumah Potong Hewan yang terdata oleh Dinas sebagai pintu masuk ternak sapi yang dipotong dan yang akan dipasarkan di Kota Bandung)
Daging sapi beku impor ini meski lebih murah, namun konsumen di kota Bandung cenderung tidak mempercayai kesegaran daging sapi impor. Tetapi tidak menutup kemungkinan ada konsumen yang lebih memilih daging sapi beku dikarenakan
alasan
harga
dan
peruntukan
dalam
pengolahannya,
Sasaran
sesungguhnya dari daging sapi beku impor adalah industri processing daging, pasar institusi, hotel, dan restoran. Keunggulan harga daging sapi beku ini juga banyak dimanfaatkan oleh supermarket untuk lebih banyak menarik konsumennya. Jumlah pelaku yang terlibat dalam pemasaran ternak dan daging sapi bervariasi
10
antar daerah. Berdasarkan studi yang pernah dilakukan, pelaku yang terlibat adalah: peternak/feedloter, pedagang pengumpul desa, makelar di pasar hewan tertentu, pedagang antar provinsi (antar pulau), importir daging, distributor daging/pedagang pejagal, pengecer wetmarket, supermarket/hipermarket, meatshop, dan pedagang keliling, Ilham (2008). Berdasarkan pengamatan dari Dinas Ketahanan Pangan Kota Bandung, estimasi persentase volume produksi daging sapi kota Bandung lokal yang terserap oleh supermarket dan hipermarket di kota Bandung sebesar 7%. Sebagian besar terserap oleh Pasar Basah atau Tradisional dan sisanya tersebar di meatshop, perusahaan pengolahan daging, rumah makan, dan pedagang keliling. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rochadi Tawaf yang dikutip dalam artikelnya yang berjudul Swasembada Terkendala Impor Ilegal di harian Pikiran Rakyat tanggal 3 Maret 2011. Penelitian yang dilakukan di Jawa Barat tahun 2010 yang menggunakan data time series selama 15 tahun ini, mengindikasikan bahwa faktor dominan yang berpengaruh terhadap peningkatan populasi adalah harga daging (38,7%). Rochadi menjelaskan bahwa harga daging adalah faktor pendorong dominan dalam merangsang peternak untuk berusaha/bertani. Mereka akan menambah produksinya jika menguntungkan dan akan menghentikan usahannya jika merugikan. Faktor berikutnya adalah permintaan konsumen (25,5%). Tinggi rendahnya permintaan konsumen akan mendorong peternakan meningkatkan atau menurunkan skala usahanya. Selanjutnya adalah pemasukan sapi (18,8%), faktor ketersediaan pakan (15,9%) dan faktor kelahiran ternak yang relatif rendah (7%). Dalam artikel tersebut, Rochadi Tawaf juga mengindikasikan kegagalan PSDS yang dicanangkan pada tahun 2005 – 2010, selain disebabkan karena program tersebut lebih diarahkan pada hal yang bersifat teknis, yaitu peningkatan populasi melalui upaya meningkatkan produksi atau kelahiran, juga disebabkan oleh ketidakkuasaan pemerintah dalam menghambat masuknya daging box import. Hal ini akan mempengaruhi harga daging yang memberikan pengaruh kuat terhadap populasi ternak. Pemerintah selalu berusaha dengan berbagai upaya untuk menekan harga
11
daging agar murah harganya di tingkat konsumen dengan program-program pemerintah yang sifatnya sementara seperti operasi pasar, subsidi, dan impor. Program-program pemerintah ini tidak selaras dengan perkembangan konsep permintaan dan penawaran produk yang diharapkan lebih dinamis di tingkat domestik yang lebih kompleks, dimana sinergi kesejahteraan global harus diawali dari kesejahteraan lokal yang sudah mapan. Rochadi juga menegaskan dalam artikelnya, bahwa keseriusan pemerintah dalam menyukeskan program swasembada daging sapi harus dapat tercermin dalam penataan rantai nilai pasar daging, khususnya daging boks dan jeroan impor. Menurut Rochadi, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui berapa permintaan yang dapat dipenuhi oleh kemampuan produksi dalam negeri. Selain itu, penataan ini juga akan menciptakan daya saing produksi daging sapi lokal terhadap serangan komoditas daging sapi impor. Namun Rochadi juga menegaskan bahwa, tujuan sesungguhnya dari penataan pasar ini adalah untuk menjawab pengaruh harga yang sangat menentukan peningkatan populasi ternak. Selain harga, Rochadi juga menegaskan, bahwa aspek kualitas produk merupakan aspek yang penting selain harga. Aspek kualitas produk daging sapi ini salah satunya adalah aspek kesehatan daging sapi yang dibuktikan oleh certificate of health, yang mana telah terjadi silang pendapat antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Dimana dalam aturan Kementerian Perdagangan tidak diperlukan keberadaan SPP (Surat Persetujuan Pemasukan), sedangkan Kementerian Pertanian belum mewajibkan penyertaan SPP dalam Certificate of Health sebagai prasyarat dalam mengimpor daging sapi. Penyertaan SPP dalam Cetificate of Health ini merupakan salah satu cara bagi Kementerian Pertanian dalam melindungi peternak dalam negeri. Aspek-aspek kualitas produk masih menjadi perhatian yang cukup spesifik bagi konsumen dalam memilih produk yang juga terasa kuat di industri bahan pangan. Dalam produk pangan, aspek kesehatan adalah hal terpenting untuk dijadikan spesifikasi kualitas produk. Begitupun daging sapi, dimana Indonesia adalah salah satu
12
Negara yang sudah dinyatakan bebas penyakit. Impor daging sapi dari Negara-negara yang tidak terdeteksi apakah telah bebas dari penyakit zoonosis akan sangat membahayakan kesehatan konsumen dalam negeri. Rochadi menegaskan pula, untuk tidak diperkenankannya transitment dalam pengiriman daging impor dari Negara eksportir. Hal ini untuk mencegah penularan penyakit hewan yang menular dari lokasi yang dilalui kapal karena wilayah tersebut belum dinyatakan terbebas dari penyakit seperti Indonesia. Oleh karena itu, dalam konteks kesehatan produk, kualitas produk daging sapi lokal lebih terjamin dibanding daging sapi impor, begitupun kesegaran dan kualitas recahan produknya. Selain konsep teknis dalam peningkatan produksi, konsep pemasaran daging sapi juga harus diperhatikan sebagai pemicu atau pendorong dalam meningkatkan produksi. Produksi dan pemasaran daging sapi merupakan unit-unit yang sangat mempengaruhi kesinambungan sistem usaha peternakan dalam skala apapun. Oleh karena itu, konsep permintaan dan penawaran akan selalu berlaku. Sistem permintaan dan penawaran ini harus dibiarkan berjalan secara alami dalam suatu lingkungan pasar dengan sedikit intervensi dari pihak lain yang dapat mempengaruhi sistem. Meski intervensi ini masih dibutuhkan khususnya dari pihak pemerintah, dalam membantu terjaganya eksistensi produk dan eksistensi produsen ternak skala kecil yang merupakan mayoritas di Indonesia. Regulasi-regulasi yang sifatnya menjaga masih harus ditetapkan dengan konsekuen agar kesejahteraan lokal dapat dipertahankan dan diharapkan akan terus meningkat. Prinsip permintaan dan penawaran masih dapat dijadikan konsep dasar dalam perdagangan daging sapi khususnya di tingkat domestik. Aspek permintaan dan penawaran termasuk didalammnya elemen kualitas produk yang diinginkan dan ditawarkan serta implikasinya terhadap harga produk yang sesuai dan disesuaikan, masih merupakan indikator dasar dalam penawaran produk. Bagaimana kriteria permintaan dari spesifikasi produk yang diinginkan pasar harus dapat mempengaruhi spesifikasi penawaran produk dari produsen.
13
Konsep strategi pemasaran seperti Bauran Pemasaran menempatkan produk sebagai strategi pemasaran pada urutan pertama dan selanjutnya adalah harga produk. Kondisi dan spesifikasi produk yang ditawarkan merupakan aspek pertama yang dilihat konsumen dalam membeli produk yang diinginkannya. Apakah masih terjadinya impor daging sapi baik yang legal maupun yang illegal merupakan indikasi rendahnya kondisi produk daging sapi lokal dibanding impor ataukah adanya perbedaan yang cukup signifikan dari segi harga. Faktor-faktor ini harus masih terus dikaji. Khususnya dengan semakin berkembangnya pasar yang ditandai dengan semakin banyaknya pelaku pasar baru dan dengan semakin berkembangnya budaya masyarakat modern di Indonesia yang mengharuskan pelaku pasar dapat menyesuaikan keinginan konsumen yang merupakan bagian dari masyarakat modern. Khususnya di Indonesia, kemodernan ini pun dapat tercermin dan diacu pada kualitas produk yang ditawarkan. Keinginan masyarakat modern lebih beragam, yang harus diikuti oleh produsen dengan menawarkan spesifikasi produk yang lebih banyak pula dan atau produk pionir di pasaran. Tanda-tanda kemodernan masyarakat sudah banyak terlihat di semua sektor, salah satunya adalah sektor perdagangan eceran. Sepuluh tahun terakhir ini, di Indonesia menjamur pelaku usaha eceran yang dikategorikan pasar modern (Minimarket, Supermarket, dan Hipermarket). Oleh karena itu, di Indonesia kategori pasar sudah berkembang dari pasar tradisional yang dulu merupakan pasar eceran yang umum dijumpai dan menjadi pasar sasaran utama dalam mencari barang yang dibutuhkan konsumen, sekarang dapat dijumpai pasar eceran modern. Pelaku usaha eceran modern ini, membedakan diri atau mengembangkan diri dari pesaingnya yaitu pasar tradisional dengan meningkatkan bidang pelayanan terhadap konsumen. Pasar tradisional yang sangat identik dengan pasar basah sangat mengabaikan kenyamanan konsumen dalam bertransaksi dan dalam memilih barang yang diinginkannya. Kenyamanan konsumen akhir dalam membeli barang dijadikan strategi pembeda bagi pasar eceran modern dengan pasar tradisional.
14
Strategi ini sangat berhasil, dibuktikan oleh Laporan Bank Dunia tahun 2007 dimana pada 1999 pasar modern hanya meliputi 11% dari total pangsa pasar bahan pangan. Menjelang 2004, jumlah tersebut meningkat tiga kali lipat menjadi 30%. Terkait dengan tingkat penjualan, studi tersebut menemukan bahwa jumlah penjualan di supermarket bertumbuh rata-rata 15%, sementara penjualan di ritel tradisional menurun 2% per tahun. Diperkuat juga oleh data survey yang dilakukan AC Nielsen Asia Pasific Retail and Shopper Trend tahun 2005, yang menunjukan kecenderungan publik untuk berbelanja di pasar-pasar tradisional telah mengalami penurunan rata-rata 2% per tahun dan survey tersbut mendata bahwa 86% hipermarket berada di pulau Jawa. Hal ini menunjukan pula bahwa wilayah pulau Jawa merupakan wilayah yang potensial bagi perkembangan pasar eceran modern di Indonesia terutama di kota-kota besarnya seperti Bandung. Oleh karena itu, perlu diketahui kriteria yang mendasari pasar eceran modern dalam membeli daging sapi dari produsen/pemasoknya, untuk memperluas pangsa pasar produsen daging sapi dan atau peternak sapi potong di Indonesia, khususnya di Jawa, dan lebih khususnya di Kota Bandung. Melihat dari sudut pandang semakin berkembangnya budaya masyarakat dan stigma kualitas produk impor lebih baik daripada produk lokal dan gempuran daging sapi impor yang sudah merambah ke sektor industri eceran, serta konsumen yang tidak hanya membeli produk untuk memenuhi kebutuhan dasar saja, namun juga melihat produk yang akan dibelinya lebih komperhensif mulai dari segi kondisi produk dan juga implikasinya terhadap kerasionalan harga produk yang ditawarkan. Mendorong perusahaan pemasok untuk dapat mengetahui bagaimana keinginan pelaku usaha eceran modern yang semakin berkembang dan semakin menggeser peran serta eksistensi pasar tradisional, seperti supermarket dan hipermarket sebagai konsumen bisnis dalam pengadaan produk daging sapi yang akan ditawarkannya kepada konsumen akhir mereka. Berdasarkan hal tersebut, maka dirasa sangat perlu untuk melakukan penelitian tahap awal tentang bagaimana pengaruh kualitas produk dan penetapan harga terhadap keputusan pembelian bisnis daging sapi di supermarket dan
15
hipermarket yang menjual daging sapi khususnya di Kota Bandung.dalam upaya yang diharapkan dapat memperbesar pangsa pasar produsen/pemasok daging sapi lokal
1.2.
Identifikasi Masalah Arah permasalahan yang telah diuraikan berkaitan dengan fenomena rendahnya
persentase volume penyerapan penjualan daging sapi dari pemasok/peternak rakyat oleh ritel modern seperti supermarket dan hipermarket di kota Bandung. Perlu diketahui aspek-aspek yang menyebabkan rendahnya tingkat pembelian daging sapi lokal oleh supermarket dan hipermarket, khususnya di kota Bandung. Aspek kualitas produk dan penetapan harga merupakan salah satu aspek awal dalam marketing mix yang dapat dijadikan indikator dalam mengetahui perilaku supermarket dan hipermarket sebagai konsumen bisnis dalam keputusan pembelian bisnis khususnya pada pembelian bisnis produk daging sapi. Mengetahui tingkat keputusan pembelian bisnis daging sapi oleh supermarket dan hipermarket, diharapkan dapat meningkatkan penetrasi pasar kemudian diharapkan dapat memperluas pangsa pasar daging sapi dari peternak atau produsen /pemasok daging sapi lokal. Keberhasilan revitalisasi agribisnis sapi melalui pengembangan program investasi dengan melibatkan peran pemerintah, swasta, dan masyarakat peternak akan sangat ditentukan oleh dukungan kebijakan strategis pengembangan yang mencakup tiga dimensi utama agribisnis, yaitu kebijakan pasar input, budidaya, serta pemasaran dan perdagangan. Dari ketiga dimensi tersebut, kebijakan dalam hal pemasaran (perdagangan) akan memegang peranan kunci. Keberhasilan kebijakan pasar output akan memberi dampak langsung terhadap bagian harga dan pendapatan yang diterima pelaku agribisnis (swasta dan peternak) yang pada akhirnya akan memantapkan proses adopsi teknologi, peningkatan produktivitas, dan pada akhirnya menjamin keberlanjutan investasi ke depan. Andil pihak swasta dalam penyerapan pasar penjualan daging sapi oleh pengusaha pengecer terutama pengecer modern yang semakin berkembang saat ini, merupakan salah satu indikator daya saing produksi daging sapi dalam negeri. Oleh
16
karena itu, peternak rakyat yang diasumsikan sebagai suatu kesatuan korporasi yang dikelola oleh pemerintah diduga perlu membenahi strategi – strategi pemasaran yang lebih berorientasi pada keinginan konsumen. Maka yang menjadi masalah penelitian ini diidentifikasikan ke dalam tema sentral sebagai berikut: Kinerja indikator kualitas produk dan harga menjadi kriteria yang minimal diinginkan oleh supermarket dan hipermarket dalam membeli daging sapi dari para pemasok perlu diketahui, sehingga diharapkan dapat mengetahui perilaku pembelian supermarket dan hipermarket sebagai konsumen bisnis dalam pembelian daging sapi. Hal ini juga diharapkan dapat meningkatkan penetrasi pasar pemasok kecil/peternak rakyat dalam memperluas pangsa pasarnya, sehingga dapat menggairahkan usaha peternakan sapi potong lokal dan juga diharapkan dapat meningkatkan keuntungan perusahaan.
1.3.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan
diteliti sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran kualitas produk daging sapi di Kota Bandung. 2. Bagaimana gambaran penetapan harga daging sapi di Kota Bandung. 3. Bagaimana gambaran keputusan pembelian bisnis daging sapi di Kota Bandung. 4. Sejauhmana pengaruh kualitas produk terhadap keputusan pembelian bisnis daging sapi di Kota Bandung. 5. Sejauhmana pengaruh penetapan harga terhadap keputusan pembelian bisnis daging sapi di Kota Bandung. 6. Sejauhmana pengaruh kualitas produk dan penetapan harga terhadap keputusan pembelian bisnis daging sapi di Kota Bandung.
17
1.4.
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian di atas, dapat ditentukan beberapa tujuan penelitian sebagai
berikut: 1. Untuk mengetahui gambaran kualitas produk daging sapi di Kota Bandung. 2. Untuk mengetahui gambaran penetapan harga daging sapi di Kota Bandung. 3. Untuk mengetahui gambaran keputusan pembelian bisnis daging sapi di Kota Bandung. 4. Untuk mengetahui pengaruh oleh kualitas produk terhadap keputusan pembelian bisnis daging sapi di Kota Bandung. 5. Untuk mengetahui pengaruh oleh penetapan harga terhadap keputusan pembelian bisnis daging sapi di Kota Bandung. 6. Untuk mengetahui pengaruh oleh kualitas produk dan penetapan harga terhadap keputusan pembelian bisnis daging sapi di Kota Bandung.
1.5.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan baik secara teoritis
maupun praktis sebagai berikut: 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam aspek teoritis (keilmuan) yaitu bagi pengembangan ilmu Ekonomi Manajemen khususnya Manajemen Pemasaran dan Manajemen Agribisnis Peternakan, melalui pendekatan serta metode–metode yang digunakan terutama dalam menggali pendekatan–pendekatan baru dalam aspek pemasaran yang menyangkut optimalisasi efisiensi dan efektifitas penetrasi pasar. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi para akademisi dalam mengembangkan teori pemasaran. 2. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam aspek praktis yaitu untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi industri daging sapi dan Pemerintah khususnya Pemkot Bandung.
18
3. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi atau acuan dan sekaligus untuk memberikan rangsangan dalam melakukan penelitian selanjutnya tentang pemasaran dalam industri daging sapi. Mengingat masih banyak faktor – faktor yang dapat mempengaruhi optimalisasi pemasaran daging sapi.